Oleh RZ Hakim
Tinggal di desa dan tua bersama rupanya tak hanya ada di karya sastra belaka. Banyak orang-orang yang telah melakoninya, diantaranya adalah pasangan Kakek Kamsih dan Nenek Buana. Oleh masyarakat lingkungan sekitar, mereka berdua dikenal dengan nama Mbah Wa. Mereka dipanggil Wa, sebab putri sulung mereka bernama Seniwati, dengan panggilan Wa.
Bersama Kakek Kamsih - Dokumentasi 25 Desember 2013
Kakek Kamsih dilahirkan pada tahun 1936. Ia pernah mengabdi sebagai Hansip pada 1957 hingga 1970, melewati 5 petinggi desa. Di tahun 1970, Kakek memutuskan untuk berhenti sebagai Hansip, dan membuka warung di atas tanah milik saudaranya, hingga saat ini. Warung mereka kecil saja, menyatu dengan rumah. Tepat di belakang rumah mereka, menjulang sebuah gumuk atau bukit kecil. Pantas jika sumur dan sungai kecil di sana airnya terasa segar, jauh lebih segar dibanding air kemasan.
Lokasi kediaman mereka ada di Dusun Grugul, dusun yang berbatasan langsung dengan desa Patempuran dan desa Sumber Kalong, Kalisat.
Nenek Buana
Berbeda dengan Kakek Kamsih, Nenek Buana tidak mengerti tahun berapakah ia dilahirkan. Namun dari perempuan berparas bijak ini, saya mendapati sebuah cerita, bahwa di puncak gumuk di belakang rumah mereka, ada terdapat sebuah makam kuno.
"Itu makamnya Buyut Madin Nak, yang mbabat Dusun Grugul dan sekitarnya."
Makam Buyut Madin atau Mahin kini sudah diberi cungkup, semacam rumah kecil. Makam itu biasanya ramai dikunjungi dan dibersihkan oleh warga ketika menjelang Idul Fitri. Sembari menyiapkan kopi dan makanan untuk kami, Nenek aktif bercerita tentang gumuk di belakang warungnya.
“Boleh saya naik ke atas gumuk, Nek?”
Demi mendengar kata-kata yang saya lontarkan, perempuan sepuh itu tersenyum mengiyakan. Begitulah selanjutnya. Seusai makan, saya melangkahkan kaki menuju makam Buyut Madin --sebagian ada yang menyebutnya gumuk Madrin. Saya tidak sendirian melainkan ditemani oleh dua rekan muda, Leker dan Nendes. Sesampainya di sana, tampak sebuah cungkup yang dikelilingi oleh habitat bambu. Rimbun sekali. Entah bagaimana suasananya jika di malam hari.
Makan Buyut Madin di Dusun Grugul - Dokumentasi 25 Desember 2013
Tadinya makam Buyut Madin hanya dihiasi oleh pondok dari bambu saja. Tidak ada dinding di keempat sisinya. Barulah kemudian masyarakat di sekitar gumuk saling bahu membahu membuatkan cungkup untuk makam ini. Biaya materialnya didapat dari iuran seikhlasnya, sedang pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Direncanakan juga jika jalan menuju makam juga hendak dipaving, tapi urung. Biayanya terlalu mahal.
Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling cungkup. Di sana ada saya lihat Al Quran, dua batang rokok kretek filter yang sudah berwarna putih mangkak, nisan yang ditutupi kain berwarna putih, kelambu di dalam cungkup untuk menutupi makam, dan tumpukan piring seng yang belum dicuci. Tebakan saya, tumpukan piring tersebut sekitar 40 - 50 biji. Entah, mungkin baru-baru ini habis ada semacam doa bersama. Hal ini lupa saya tanyakan.
Lalu saya turun menuju ke warung, nyruput kopi, dan kembali ngobrol bersama mereka, Kakek Kamsih dan Nenek Buana.
Pasangan sepuh ini dikaruniai dua buah hati. Yang nomor satu putri, bernama Seniwati, panggilannya Wa. Itulah kenapa mereka juga biasa dipanggil Mbah Wa. Yang bungsu laki-laki, bernama Kusminardi. Dari keduanya, mereka mendapatkan cucu-cucu tersayang yang sekali waktu mengunjunginya.
Mereka menua bersama, saling menjadi teman bicara, menghabiskan sisa usia di kaki gumuk yang tak seberapa tinggi, yang di atasnya terdapat makam Buyut Madin, di sebuah dusun bernama Grugul, Desa Sukoreno, Kecamatan Kalisat, Jember.
Menua bersama di kaki Gumuk, alangkah indahnya.
Sedikit Tambahan
Catatan ini sebenarnya adalah lanjutan dari catatan sebelumnya yang berjudul; Kalisat Punya Banyak Puncak Gumuk.