Oleh RZ Hakim
Tadi sore saya mengajak Prit jalan-jalan ke Kalisat, Jember Utara. Di sini kami mengunjungi beberapa gumuk, dua diantaranya sempat terdaki. Salah satu dari gumuk itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman sedulur Chinese Indonesian. Jalan menuju ke puncak tertata rapi dan berpaving.
Dulu semua orang bebas masuk dan mendaki hingga ke puncak gumuk. Hanya zona-zona makamnya saja yang dipagari. Namun suatu hari ada terjadi kecelakaan. Saya dengar kabar dari warga sekitar gumuk, dulu ada dua orang anak usia pelajar yang turun ke bawah naik motor. Tak disangka rem motornya nge-slong. Lalu mereka terjatuh. Kisah naas itu menyebabkan pengurus gumuk membuat portal pintu masuk. Orang semakin sulit untuk mendaki ke puncak gumuk.
Suasana makam overseas Chinese di puncak gumuk di Kalisat
Dari puncak, kita bisa memandang Taman Makam Pahlawan Kalisat yang berada tepat di bawah gumuk, anak-anak kecil yang bermain bola di samping TMP, dan juga Argopuro di kejauhan sana.
Dokumentasi 25 Desember 2013
"Indah ya Mas," ujar Prit.
Iya, indah sekali. Hawanya segar. Yang lebih terasa indah, fungsi gumuk sebagai pemecah angin, serapan air, ruang hidup keanekaragaman hayati, dan sebagainya, masih terjaga.
Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan, ada kereta api lewat, jurusan Banyuwangi. Saya sibuk merogoh hape di saku, ingin lekas-lekas memotretnya. Sayangnya saya kalah cepat.
Ingat kereta api, ingat pula kisah Cak Har. Ia pernah bercerita tentang Gumuk Marada di Sumber Jeruk yang dulu pernah direncanakan oleh Belanda akan dibuatkan terowongan tembus, membelah gumuk. Untuk jalur jurusan Sumber Jeruk - Kalisat. Rencana itu tidak jadi dieksekusi.
Foto di bawah ini diambil lima bulan yang lalu, ketika saya dan istri, serta Cak Har dan putrinya, satu lagi seorang kawan bernama Nan, kami mendaki Puncak Marada.
Di Puncak Marada bersama Cak Har - Dokumentasi 14 Juli 2013
Kata Cak Har, setelah Belanda mencoba membuat galian di sana, tidak berhasil. Entah apa penyebabnya, saya sendiri tidak tahu. Cak Har lebih banyak menceritakan sesuatu yang di luar logika. Kisah itu dia dapat dari Bapaknya, Bapaknya menerima kisah itu dari Kakek Cak Har. Saya kurang percaya, tapi tetap mencatat semua itu di sebuah notes kecil.
Kini jalur kereta api bergerak memutari Gumuk Marada. Saya pernah mendaki Marada dan menanti datangnya kereta. Benar, ketika kereta api lewat, saya terpukau. Indah sekali menatap kereta yang bergerak meliuk dari ketinggian.
"Di awal 1900an, Belanda menggunakan dinamit untuk meledakkan lereng-lereng gumuk untuk dijadikan jalur kereta api."
Itu kata Nendes, adik saya di pencinta alam yang sedang melakukan riset observasi gumuk di Jember. Dia menemukan data-data itu dari koran jaman Hindia Belanda. Tadi sore Nendes juga ikut saya jalan-jalan, bersama Leker dan FranQie.
Laba-laba di Puncak Gumuk
Di puncak gumuk ini juga saya dapati laba-laba. Rata-rata gumuk di Jember ada predator laba-laba yang mengendalikan jumlah serangga lain, termasuk capung.
Pukul empat sore, perut saya dangdutan. Lapar. Kemudian kami turun, menuju warung Mbah Wa, yang berada tepat di kaki gumuk yang tidak ada namanya. Lokasinya ada di dusun Grugul, berbatasan langsung dengan Dusun Patempuran dan Dusun Sumber Kalong, Kalisat. Di atas gumuk ini, ada makam Buyut Madin (atau Buyut Madrin). Ia dipercaya sebagai pembabat dusun Grugul desa Sukoreno, Kalisat. Saya sempatkan juga untuk ke makam Buyut Madin, ditemani Leker dan Nendes.
Untuk kisah Buyut Madin, bisa Anda baca di sini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar