Senin, 25 Agustus 2014

Pusaka itu Bernama Batik: Dibalik Dua Motif Batik Taksaka

Senin, 25 Agustus 2014
Oleh Edwindy Corbezt

Ditengah hiruk pikuk dan hangatnya perbincangan tentaang event tahunan Jember Fashion Carnival ke-13, saya masih saja asyik dengan lembaran kain putih yang hendak saya gambari. Ia akan saya poles dengan motif batik serta imaji yang melintasi masa masa lalu Jember, masa dimana saya pun belum dilahirkan.

Saya menerawang jauh membayangkan tentang tren fashion di masa-masa awal kemerdekaan. Kemudian mundur di era Perkebunan kolonial, era pra kolonial, hingga pada masa Majapahitan. Ketika itu di Jember masih eksis yang namanya Kerajaan Sadeng.

Bukan tanpa alasan saya menerawang terlalu jauh pada masa-masa yang lampau yang mungkin sangat sulit di bayangkan. Hal ini dikarenakan keinginan saya menciptakan suatu desain batik yang mampu merepresentasikan kebudayaan lokal dan tradisional di Jember. Saya tidaklah hendak menciptakan sebuah icon, namun hanya sedang melakukan sebuah eksplorasi budaya berpakaian batik serta motifnya. Saya sangat membutuhkan sebuah gambaran tentang batik di era-era Jember tempo dulu. Keberadaan batik sebagai pusaka bangsa membuat saya melakukan pendalam tentang apa itu batik serta kenapa tren fashion itu terjadi.

Ajine Rogo Soko Busono.

Ia adalah penggalan pepatah Jawa yang terekam di ingatan  saya. Ajine Rogo Soko Busono ... Simbol penghargaan pada tubuh berasal dari pakaian yang dikenakan. Hal ini meyakinkan saya bahwa batik tak hanya menjadi sekedar tren fashion di masa itu, namun ia memiliki kedudukan sebagai uniform atau seragam identitas tentang siapa pemakainya dan kedudukan serta perannya dalam masyarakat.

Dalam sebuah staatsblad yang diterbitkan Keraton Jogja disebutkan bahwa motif batik selain sebagai busana juga merupakan penegasan fungsi serta identitas pemakainya. Ketika itu, seorang Raja hingga masyarakat diatur dalam sebuah tatanan busana dengan pola-pola motif tertentu untuk acara-acara tertentu pula, yang bersifat formal.

Baiklah, mungkin itu terdengar terlalu aristokrat dan feodal banget. Namun saya lebih memandangnya bahwa peraturan tata busana tersebut akan lebih memudahkan seseorang mengontrol prilakunya dalam masyarakat. Ya, saya berfikiran demikian. Sebab pastilah tidak ada seorang yang berani menggunakan motif ciptoning yang dipakai para pengadil serta menegak hukum dimasa itu, lalu seenaknya saja bertingkah di muka umum.

Batik akan menjadi semacam pengotrol perilaku, seperti halnya ketika Anda menggunakan seragam Polisi atau Lurah. Anda akan merasa sangat perlu menjaga perilaku dan selalu menjadi tauladan bagi masyarakat.

Di era itu manakala Anda diberikan tugas sebagai pengadil oleh Raja yang identitasnya dapat diketahui dari pakaian batik motif ciptoning yang Anda kenakan, pastiah Anda perlu menjaga ke-jaim-an. Anda tentunya juga takkan mau menggunakan motif slobog dimasa tersebut, terlebih jika Anda hanya masyarakat biasa dengan usia muda.

Motif Slobog Bagi Pinisepuh

Semua orang paham motif slobog merupakan motif yang diilhami pakaian para fakir dan biksu yang penuh tambalan. Motif ini diciptakan dimasa itu untuk orang-orang yang sudah tua, yang telah mapan dan tak lagi mengejar kehidupan duniawi. Dalam kultur Jawa disebut pinisepuh. Mereka yang menggunakan motif slobog haruslah orang yang mapan jasmani rohani, lahir maupun batinnya. Hal ini dikarenakan para pinisepuh merupakan rujukan atas semua masalah yang ada di masyarakat. Mereka orang yang penuh kemapanan hingga segala kenyamanan yang melekat pada dirinya dipersembahkan pada masyarakat, baik harta maupun segala bentuk keluhuran yang dimilikinya.

Ibaratnya, mereka pemakai moti slobog adalah tambalan bagi lubang-lubang kehidupan dan kefanaan masyarakat.

Kembali pada pola-pola lokal yang hendak saya kembangkan.

Selama ini pola-pola batik di Jember banyak berkutat pada motif tembakau. Keberadaan motif tembakau ini kemungkinan tidak lepas karena hasil sayembara desain motif batik khas Jember yang kemudian menjadi sebuah icon daerah. Atau mungkin pula disadur dari tarian khas Jember yang diciptakan berdasarkan penggalian tradisi menanam tembakau sebagai ciri masyarakat Jember.

Kenapa Jember Menjadi Tembakau?

Tentu itu menjadi sebuah pertanyaan yang sangat mengganggu manakala icon tembakau akhirnya menutupi kekhasan tradisi Jember yang telah ada sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa popularitas tembakau naik manakala George Birnie membawa dan mengenalkan tembakau jenis na oust untuk ditanam di tanah Jember di era 1800-an. Suburnya tanah Jember dan baiknya hasil panen tembakau di tanah Jember pada akhirnya turut mempengaruhi kebijakan pola tanam kolonial terhadap daerah jajahan.

Nah, dikarenakan Jember merupakan kota perkebunan bentukan kolonial, maka pada akhirnya tembakau dianggap sebagai cikal bakal keberadaan Jember sebagai kota pemerintahan. Disinilah mungkin awal mulanya budaya tembakau-isme menjadi budaya yang populer atau dipaksakan populer lewat lambang daerah, tarian, bahkan corak batik. Tembakau pada akhirnya sukses menggeser budaya Sadeng serta akar budaya pesisir selatan baik itu secara tradisi, tarian, maupun tren berbusana.

Karakteristik Jember yang begitu moderat terhadap hal baru cukup mendukung kesuksesan tembakau menjadi icon bagi Jember. Hal ini berbeda dengan kota-kota lainnya. Ambilah contoh Lumajang dengan icon pisang agungnya yang tak terjebak pada tren pisangnya namun tetap bertahan pada akar budaya Lamajang dengan tradisi jaran kencak. Atau mungkin Banyuwangi yang tetap setia dan teguh memegang budaya Usingnya meski ada produk bakiak.

Lumajang dan Banyuwangi, mereka tidak terjebak pada icon product namun pada icon budaya untuk melesatarikan identitas dan tradisi masyarakatnya.

Bagaimana bisa budaya lokal Jember yang berakar dari Sadeng bisa tak terlacak? Masalah pelestarian serta hilangnya --atau belum ditemukannya-- bukti budaya dan tradisi Sadeng memang menjadi sebuah kendala untuk menggalinya lebih jauh. Berangkat dari pemikiran tersebut maka saya meyakini; sebagai sebuah kerajaan, Sadeng pastilah memiliki tarian, tradisi, budaya serta aturan adat yang termasuk diantaranya adalah produk tata busana.

Sebagai kerajaan yang eksis di era Majapahitan, Sadeng pastilah memiliki busana kenegaraan seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya. Keberadaannya di pesisir Selatan yang kental akan mitos Penguasa Laut Selatan serta kisah Nyi Blorong menjadi sebuah referensi bagi saya untuk menciptakan sebuah pola yang bisa mewakili budaya yang pernah ada di Jember.

Beberapa poin yang saya jadikan pakem penciptaan motif batik tersebut diantaranya adalah; Legenda Watu Ulo yang dikisahkan terpotong tubuhnya --ekornya di Jember kepalanya di Banyuwangi, Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul dengan busananya yang anggun, budaya petik laut di pesisir selatan yang pastinya memiliki aturan pelaksanaan, tata busana, doa serta kelengkapan, serta pengaruh tren motif motif batik klasik yang eksis di masa itu yang umum digunakan di kerajaan kerajaan di Jawa.

Motif Taksaka


Berangkat dari pemikiran di atas maka terciptalah motif taksaka yang merangkum kesemuanya itu. Taksaka adalah nama ular dalam mitologi Jawa. Dalam pawayangan Taksaka adalah saudara dari Naga Basuki.

Taksaka adalah naga yang menuntaskan kutukan pada Raja Parikesit yang telah menghina seorang pertapa dengan mengalungkan ular di lehernya karena tak mau bangun dari pertapaannya untuk menjawab pertanyaan Prabu Parikesit. Mungkin penamaan Taksaka masihlah belum pas untuk batik yang akan merepresentasikan Jember. Tapi untuk sementara ini nama tersebutlah yang saya pandang cocok sampai saya menemukan nama yang lebih cocok lagi.


Motif Taksaka - Dokumentasi Pribadi

Untuk saat ini saya telah menyelesaikan dua motif yang mengambil dasar dari motif semen dan truntum. Pemakaian motif semen diinspirasi keberadaan Jember yang kaya serta memiliki banyak wilayah pegunungan, laut, serta hewan-hewan eksotis, termasuk lokasi Watu Ulo yang berada di kawasan Hutan Grintingan Wuluhan.

Adapun motif Truntum, ia didominasi bunga-bunga. Motif ini terilhami oleh busana para penari yang menurut saya dulu selalu dihadirkan dalam upacara petik laut di pesisir Selatan.

Berikutnya yang menjadi PR bagi saya adalah membuat motif yang mampu merepresentasikan budaya di Jember Utara. Budaya-budaya yang didominasi kultur Madura serta keberadaan Situs Rengganis.

Ach.... Sepertinya masih panjang proses kreatif yang harus saya lalui. Semoga nantinya bisa turut menyumbang atas apa yang telah ada sekaligus menjadi bahan pengingat bahwa Jember itu tak hanya tembakau dan George Birnie, bahwa budaya lokal serta tradisi masyarakat haruslah dipertahankan dan dikembangkan mengiringi budaya kontemporer seperti JFC yang beranjak besar dan mendunia.

Salam Budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014