Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee ketika mengunjungi kediaman Joop Hueting di sebuah apartemen di Castricum, Belanda bagian utara, pada 19 September 2013. Lalu Ady Setyawan mengunggahnya di Facebook pada 5 Oktober 2013.
Joop Hueting, tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia
Di akhir tahun 1960, tepatnya 17 Januari 1969, beliau berbicara di media Belanda tentang kekejaman tentara Belanda terhadap penduduk Indonesia. Sebelum itu keadaan Belanda tenang-tenang saja. Lalu meledaklah negeri itu. Media Belanda, Jerman, hingga Amerika ingin mewawancarai Hueting. Dampaknya adalah semua veteran memburu Hueting. Keluarga hingga media yang mewawancarai Hueting menerima ancaman pembunuhan. Dari keributan inilah akhirnya muncul de Exessennota.
19 September 2013
Dari Rotterdam saya dan Marjolein Van Pagee menuju rumah Joop Hueting di sebuah apartemen. Disana kami disambut dengan ramah.
Apa kabarmu tuan? Kawan saya membuka pembicaraan, dan Hueting menjawab, "Tidak begitu baik, istriku baru saja meninggal, dia adalah orang terhebat dalam hidup saya." Dan kami dipersilahkan masuk.
"Kau... siapa namamu? Kau keturunan seorang freedom fighter juga kah?"
"Nama saya Ady Pak. Ya, Kakek saya dulu ikut dalam perang kemerdekaan." Marjo tidak ditanya karena sudah kenal.
"Apakah dia masih hidup?"
"Kakek saya sudah meninggal."
"Kau menang dalam perang itu, kami yang harus angkat kaki dan memang itulah yang seharusnya terjadi."
Tak lama kemudian Meneer Hueting berjalan, langkahnya sangat pelan.
"Bantu aku mengambil beberapa barang, aku akan ceritakan beberapa hal padamu Nak."
Dan kami pun mengikutinya mengambil beberapa benda, diantaranya sepucuk pistol, sepotong lantai tegel, bayonet arisaka Jepang dan sebuah triplek bertuliskan 50 Th Indonesia Merdeka.
Dan mulailah beliau bercerita.
"Semua ini adalah barang kenanganku dengan leluhurmu. Akhir September 1947 adalah awal kedatangan saya ke Indonesia. Pertama kali saya ditugaskan adalah di Jawa Timur. Pangkat saya saat itu adalah first class soldier. Di tahun 1948 saya ikut menyerbu Jogja dalam gelombang pertama. Saya adalah pasukan STOOTTROEPEN bagian intelijen. Saya ingat ketika pertama kali masuk kota Jogja, ada sebuah poster yang sangat besar dipasang oleh para pejuang, poster itu bertuliskan WILHELMINA LONTE."
"Kawan-kawan prajurit saya menanggapi itu dengan sangat marah, tetapi saya hanya tertawa terbahak-bahak. Sempat-sempatnya mereka membuat poster ejekan seperti ini."
Kemudian beliau menyerahkan pistol itu di tangan saya. Saya tak mengenali jenisnya, pistol itu kecil, saya keluarkan magasen, mengokang untuk memastikan chamber kosong dan juga mencoba tuas penguncinya.
"Pistol ini dalam kondisi sangat bagus tuan."
"Ya, saya selalu merawatnya."
"Bagaimana anda mendapatkan pistol ini?"
"Jogjakarta, 1948, perang kota. Saat itu saya mendadak berhadapan dengan seorang anggota TNI. Masing-masing dari kami saling menodongkan pistol, dan.... Kamu bisa melihat, siapa diantara kami yang lebih cepat menarik pelatuk. Dia gugur. Dia seorang Letnan. Namun bagaimana pun dia adalah prajurit dan saya juga prajurit. Tak ada pilihan lain, inilah dunia kami. Dia meninggal dengan terhormat."
"Bagaimana dengan pecahan lantai ini?"
Ketika saya menanyakan pecahan lantai tersebut, Tuan Hueting sejenak terdiam. Ada raut kesedihan yang muncul....
"Itu bukan hanya sekedar pecahan lantai. Itu adalah pecahan hati saya. Sebuah stasiun kecil di Kalisat, mereka menyiksa seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, sangat gigih. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah, disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah."
Dan kami melihat mata Tuan Hueting yang mulai berkaca-kaca.
"Aku berteriak-teriak, aku menangis memohon agar mereka berhenti melakukannya. Dan detik itu aku menyadari, bahwa leluhurmu berjuang untuk sebuah keinginan mulia. Nyawa sekalipun akan mereka korbankan untuk itu...KEMERDEKAAN..."
Inilah sebagian kecil dari hasil wawancara dengan Tuan Hueting, begitu banyak kisah yang cukup menyentuh yang beliau sampaikan pada kami, mulai kelucuan, tentang kengerian perang, tentang kemanusiaan.
"Terima kasih telah mengunjungiku. Puluhan tahun telah berlalu. Melihatmu dan berbicara denganmu sangat menyenangkan. Kau... Sungguh mengingatkanku pada mereka. Tinggimu, warna kulitmu, gaya bicaramu. Seandainya saja saya bertemu mereka di waktu yang tepat, tentu kita semua bisa menjadi sahabat."
*Dari catatan Ady Setyawan.
Mulanya catatan ini berjudul; Joop Hueting, tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia. Masuk dalam album jeraring sosial Facebook milik Ady Setyawan, di album berjudul; no Sir...Im not historian.....Im a treasure hunter *sigh
Dalam catatan ini, judul berubah menjadi; Dari Catatan Ady Setyawan: Joop Hueting dan Kisah Yang Tertinggal di Stasiun Kalisat.
Untuk Mas Ady Setyawan dan Marjolein van Pagee, terima kasih. Sekali lagi terima kasih.
mantap gan... btw siap2 yak, bakalan banyak orang kemari
BalasHapuskalisat, sebuah stasiun kereta api di perbatasan jember banyuwangi sekitar gunung gumitir...
BalasHapusLike this...(Y)
BalasHapusBaru baca ini dan nangis..
BalasHapusSedih banget dan semakin sedih kalo liat banyak yang menyia2kan kemerdekaan.
Terimakasih atas berbagi kisahnya
saya gemetar membayangkan pejuang yg disiksa demi kemerdekaan
BalasHapus-Rumah saya dekat dengan stasiun kalisat ini
ada wawancara beliau waktu itu dengan Achter Het Niews... bisa dilihat di https://youtu.be/ya39u5HMQxc dah lengkap dengan subtitel baik bhs Indonesia dan Inggris ...
BalasHapus