Selasa, 12 November 2013

Mari Berpikir Tentang Narasi Sejarah

Selasa, 12 November 2013
Berikut ini adalah catatan dari Funpage Surabaya Tempo Dulu, dengan judul asli Renungan Hari Pahlawan. Kami tampilkan kembali di sini dengan harapan bisa menambah wawasan bagi kita semua, serta bermanfaat. Sayang sekali, dalam catatan ini tidak ada nama penulis, jadi kari kecingkul hanya bisa menuliskan nama Funpage Facebook Surabaya Tempo Dulu. Semoga ada manfaatnya, bagi kita dan bagi penulis.

Renungan Hari Pahlawan

Hari Pahlawan mengingatkan pada kata penjajahan dan nasionalisme. Dua kata yang mencerminkan tema besar dalam sejarah (kita) dunia dan menjadi awal kehidupan berbangsa yang baru di era kemerdekaan. Sungguh jarang Hari Pahlawan mengingatkan kita pada aspek lain dari kemerdekaan, yaitu penghapusan kebodohan. Narasi Hari Pahlawan serasa tidak cocok dengan tema mencerdaskan kehidupan bangsa, kurang pas. Ada hari sendiri untuk pendidikan, dan harus kita akui peringatannya tidak seheboh Hari Pahlawan atau Hari Kemerdekaan.

Kata Pahlawan itu sendiri lebih mengingatkan pada para penjuang yang memegang senjata dan gugur. Aspek pahlawan yang lain sedikit terlupakan; mereka yang memulai gerakan, berjuang siang malam di balik meja, berunding, menekuni buku, menulis, mengajar dan mendidik. Lebih mudah mana mengorbankan nyawa dengan belajar? Lebih bernilai mana maju ke medan perang atau maju ke perundingan? Lebih gampang dipahami yang mana: mereka yang melakukan tindakan jelas (maju berperang) dengan mereka yang berupaya dengan diplomasi dibalik kantor?

Umat manusia ternyata memiliki insting untuk menyederhanakan sesuatu. Otak kita pun ternyata tersusun secara alami tanpa kemampuan abstraksi yang jauh.

Sampai zaman ini pun, masih ada suku di Amazon, di Australia dan Papua yang tidak mengenal angka lebih dari tiga. Kemampuan kolektif mereka hanya mengenal satu, dua, tiga, dan banyak. Jika kita analogikan, kita sendiri pun tidak begitu peduli membedakan angka 18 - 20 digit (besar maupun kecil). Angka sebesar (sekecil) itu bukan milik masyarakat awam tapi milik sekelompok ilmuwan yang berkutat dengan dunia superbesar (superkecil). Ironinya sebuah pusat riset di Jepang berhasil melatih simpanse untuk mengenal angka baik nilai maupun urutannya, bahkan mengenal angka nol. Penelitian menunjukkan kapasitas abstraksi numerikal alami manusia sebelum belajar berhitung (anak-anak) hanyalah sampai pada tiga. Ini menjelaskan mengapa angka 1, 2 dan 3 di banyak bahasa dilambangkan dengan garis. Lewat angka tiga dibutuhkan simbol yang berbeda untuk merangkum berikut memperlebar kapasitas numerikal mereka.

Kita dapat menduga bahwa mereka yang sehari-hari berkutat hanya dengan angka satu sampai tiga akan kalah bersaing dalam tuntutan dunia saat ini yang serba maju. Suku-suku yang masih primitif itu pasti memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih maju dari kita yang hidup di alam modern, kepandaian mereka berbeda namun tidak cocok untuk bersaing di dunia yang kita jalani. Boleh kita analogikan suku primitif itu adalah anak-anak yang belum belajar angka. Perjalanan mereka masih jauh untuk bisa bersaing dengan anak SD sekalipun.

Manusia pada awalnya sederhana. Untuk mencapai apa yang kita sanggupi (membaca, berhitung dan bernarasi - bersejarah) dibutuhkan perjuangan. Pembelajaran. Untuk menjadi pelaku maupun sebagai penonton masing-masing membutuhkan investasi waktu dan tenaga. Ketiga kemampuan tadi tidak bisa dicapai dengan cara menjalani hidup tanpa belajar.

Tanpa belajar seorang anak menjadi dewasa namun tidak dengan sendirinya sanggup melakukan perkalian dengan cepat.

Itu juga menjelaskan mengapa banyak manula yang masih buta huruf dan banyak generasi muda yang narasi sejarahnya masih berupa dongeng (salah satunya kepahlawanan). Secara awam kita ingin menyederhanakan narasi sejarah kita menjadi hal yang mudah ditangkap dan diingat.

Hari pahlawan adalah hari memperingati para pejuang yang gugur untuk merebut kemerdekaan. Mereka yang menjadi suri teladan bagi kita untuk memupuk rasa nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air. Sungguh sulit memperingati Hari Pahlawan dengan tema penghapusan kebodohan (kebodohan disini sebaiknya dibaca ketidaktahuan, bukan kebodohan dalam arti bodoh secara fisik yang dikonotasikan tidak tertolong dari bawaannya).

Mari kita telusuri jalan sulit mengkaitkan hari pahlawan dengan penghapusan kebodohan.

Penjajahan tidak lebih dari ekploitasi sekelompok manusia oleh kelompok lain. Disederhanakan: yang pintar mengeksploitasi yang kurang pintar. Yang maju menguasai yang kurang maju, yang kuat "memakan" yang lemah. Ya, hukum rimba versi umat manusia.

Dongeng sejarah kita tentang penjajahan diawali dengan datangnya kapal orang Eropa di kepulauan Nusantara kita (tidak terlalu dijelaskan kemakmuran, keadilan, kemajuan maupun nasionalisme-nya). Melalui perjalanan waktu yang kurang begitu kita ingat (silakan baca di buku sejarah - yang mungkin kurang akurat juga) tiba-tiba kita ditindasi para pendatang itu dan semua kekayaan, tenaga dan nyawa rakyat kita disedot mereka. Tiga ratus lima puluh tahun sudah cukup, para pahlawan kita memulai gerakan nasional dan berjuang hingga kita berhasil mengusir penjajah dan merdeka. Dalam perjalanan perjuangan banyak pahlawan yang gugur dan patut kita dikenang jasa-jasanya.

Dongeng sejarah ini tampil jelas dari ekspresi kebencian pada atribut penjajah kita dan ekspresi ini kita wariskan ke generasi berikutnya. Jika perlu semua peninggalan penjajah kita dihancurkan dan jejaknya dihapus dari sejarah kita yang kelam.

Ekspresi sebaliknya ada dalam kata nasionalisme. Jika penjajahan menimbulkan respon anti maka nasionalisme memiliki narasi berbunga-bunga. Mencontoh para pahlawan kita yang cinta tanah air, berkorban dan dikenang harum namanya dalam sejarah. Narasi sejarah yang 'positif' ini mudah dicerna dan mudah diajarkan. Pertanyaan yang sulit tentang nasionalisme bisa diredam dengan segera dalam bentuk pengucilan atau penghukuman. Mempertanyakan nasionalisme memiliki ancaman yang cukup menakutkan.

Sampai kapan kita berkutat terus dengan angka tiga? Sampai kapan kita terus meyakini narasi sejarah kita tanpa berani mempertanyakan?

Jika kita begitu benci dengan penjajah kita yang sudah angkat kaki, sebaiknya kita mulai sadar bahwa eksploitasi masih berlangsung dan akan terus berlangsung jika kita masih ada dalam kelompok yang 'bodoh.'

Ilustrasinya:

Mereka yang kurang begitu pintar dalam berhitung dan (otomatis) malas berhitung akan menjadi obyek eksploitasi bagi mereka yang lebih pintar berhitung. Membeli barang secara kredit adalah contoh abadi. Bagaimana seseorang (kisah umum) terlilit dalam hutang kredit dan kartu kredit yang kelihatannya ringan ternyata membuat kehidupan finansial yang bersangkutan tidak berdaya. Ketika tagihan jatuh tempo mereka malas untuk menghitung angka-angka dan secara gegabah melihat angka-angka yang dikiranya masih sanggup diatasinya. Ilustrasi inilah yang membuat secara kolektif kelompok satu dikuasai kelompok lain. Penduduk asli dikalahkan para pendatang dalam perdagangan. Ujungnya, perdagangan yang menguntungkan harus diamankan dari ancaman, dari manapun. Para pedagang asing baik Tionghoa, Eropa, Arab maupun India akan mengambil langkah apapun untuk melindungi perdagangan yang telah mereka rintis bertahun-tahun. Di sisi lain para penduduk asli yang kalah, yang mewakili mayoritas harus memiliki narasi yang menggugah untuk membuat mereka bergerak. Narasi ini harus diciptakan, siapa yang menuliskannya? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang berstrategi siapa yang maju menumpahkan darah? Ilustrasi ini menggambarkan proses lahirnya penjajahan dan nasionalisme.

Penjajahan dalam bentuk lain masih terus berlangsung kawan, dalam skala individual maupun dalam skala kolektif. Negara maju menguasai perekonomian negara kurang maju. Kepentingan negara bisa jadi dikalahkan kepentingan negara lain yang menanamkan investasi besar di negeri kita. Kesempatan terlewatkan dan jatuh ketangan mereka yang siap. Dalam skala individual kita bekerja siang malam secara literal tanpa sempat menyadari bahwa kita melakukan kesalahan fatal dalam menjalani pilihan hidup kita dan tidak sempat mendidik anak kita untuk belajar dengan benar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tidak ada waktu; besok bangun pagi untuk berangkat kerja dan pulang malam ketika anak kita sudah terlelap. Kita membiarkan anak kita menjalani proses trial and error nya sendiri khususnya dalam bernarasi sejarah (berhitung dan menulis syukurlah sudah ditangani sekolah). Bagaimana dengan membaca? Apakah perpustakaan menyuplai buku yang bermutu?

Penjajahan hanyalah fenomena perekonomian.

Kesadaran (oleh yang terjajah) akan penjajahan yang berlangsung di muka bumi hanya muncul ketika tabir kebodohan disingkapkan dari mata mereka. Para penjajah sendiri yang menyingkapkan tabir itu untuk para penduduk terjajah. Para tokoh nasionalis yang mengawali gerakan nasionalime dan berujung pada kemerdekaan adalah para pelajar yang sempat mencicipi pendidikan di Eropa dan sempat membaca buku-buku asing.

Hal di atas sering kita lupakan. Otak kita senang membuat sesuatu menjadi sederhana. Kita membayangkan para pahlawan nasionalisme tiba-tiba secara brilian mendapatkan inspirasi untuk melakukan gerakan untuk mengangkat harkat hidup rakyat yang tertindas. Kita tidak pernah membayangkan para pahlawan itu setiap malam tidur hanya 3 - 5 jam dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membaca buku dan mempelajarinya. Kita tidak pernah membayangkan pahlawan yang kesepian dan begitu sedih melihat situasi yang diluar kapasitas mereka untuk merobahnya, yang di tengah malam ketika semua orang pada tidur menangis sendiri membayangkan betapa jauhnya mereka tertinggal dan betapa beratnya membagikan pengetahuan ini kepada yang lain, yang tidak memiliki kemewahan untuk membaca (sibuk bekerja) dan tidak memiliki modal untuk sekolah. Lebih pahit lagi membayangkan selera masyarakat yang belum tentu suka dengan ide-ide yang ditangkapnya. Membayangakan mereka yang meskipun tertindas namun merasa nyaman dengan kondisi itu. Membayangkan betapa beratnya membuat mereka menyadari apa yang disadarinya.

Lebih mudah maju ke medan laga dan gugur di sana daripada melihat beban moral yang begitu berat.

Pada akhirnya semua orang akan mati, namun tidak semua yang mati melihat beban mental yang ditanggung para pahlawan jenis yang satu ini. Satu-satunya harapan yang mereka lihat adalah pendidikan, lubang yang diberikan para penjajah itu sendiri. Menggerakkan pendidikan ibaratnya merubah otak kita yang cenderung menggampangkan dan aman dengan angka tiga untuk mau berubah dan mulai bersusah payah maju melewati angka tiga. Sejarah yang dongeng harus ditutup dan maju ke sejarah yang pahit getir dan lebih susah dicerna. Buku yang tebal harus dibaca halaman demi halaman. Kesepian harus dilewati, malam-malam harus terjaga dan semua kerja keras harus dibagikan seluas mungkin. Inspirasi disebarkan agar mereka yang lebih berbakat dan lebih brilian mau menanamkan waktu dan tenaganya di area yang sama. Agar tidak semua memilih gampang maju berperang dan gugur bersama-sama (paling tidak ada temannya). Agar yang terlilit hutang mulai berubah dan tidak mengambil langkah pintas dengan amuk masa.

Penjajahan adalah fenomena perekonomian. Perekonomian adalah produk samping kepandaian, pengetahuan, dan ketrampilan.

Pengetahuan, ketrampilan dan kepandaian adalah pembelajaran yang butuh waktu, tenaga dan pengorbanan. Jika kita terjajah berarti kita kalah dalam hal-hal inti ini. Penjajahan bukanlah fenomena emosional dimana orang jahat berbuat jahat kepada kita. Tapi kita membiarkan diri kita menjadi kalah pintar dan dieksploitasi tanpa sadar. Oleh karena itu Hari Pahlawan sebaiknya bertemakan pendidikan, bukan lagi tema senapan. Pahlawan bukan hanya yang gugur di medan laga. Kaitan ini memang sungguh sulit ditampilkan di parade Hari Pahlawan. Sulit membayangkan Pembukaan UUD 1945 kita bukan berbunyi ".... maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan..." melainkan berbunyi "...maka kebodohan diatas dunia harus dihapuskan..."

Adanya penjajahan melahirkan nasionalisme. Kata nasionalisme ini pun tidak seheboh kesan yang kita tangkap selama ini. Bagaimana jika nasionalisme ini hanyalah konsep. Konsep yang mungkin saja salah kita tangkap dan salah disajikan para pendiri negara kita? Bagaimana jika nasionalisme hanyalah narasi yang dicekokan pada kita di masa sekolah demi agenda politik tertentu?

Sejauh nasionalisme berkaitan dengan perjuangan untuk merdeka, mungkin konsep ini cocok dan menggugah. Ketika kemerdekaan sudah tercapai apakah nasionalisme masih relevan? Bagaimana jika nasionalisme justru menimbulkan kegetiran di provinsi-provinsi seperti Aceh, eks Timor dan Papua? Apakah benar kemerdekaan itu hak segala bangsa? Atau lebih tepatnya hak setiap individu seperti di deklarasi kemerdakaan negara-negara lain? Apakah itu bangsa, apakah identik dengan Jawa? Kata Nasionalisme ini mengundang uraian yang dalam, biarlah kita sisakan untuk Renungan Hari Kemerdekaan.

Sebuah Komentar dari Nikki Putrayana

Ada teori peradaban manusia yang penting untuk kita sadari bersama. Awalnya manusia mendengar, lalu melihat, lantas ia belajar membaca, dan yang paling tinggi adalah menulis. Disana terkandung kapasitas intelektual manusia. Mendengar tidak membutuhkan konsentrasi, seperti kita mendengarkan radio di mobil sambil menyetir. Lantas kita berubah melihat, di sana kita harus fokus kepada gambar atau citra yang ada di depan mata, kita menonton tv tidak bisa sambil menyetir mobil bukan?

Kemudian manusia berkembang menjadi membaca, fokus pada apa yang dilihat, mengingat dan merangkai kata2 dan memahami maknanya. Mulai saat inilah manusia dibedakan dengan mahluk hidup lainnya. Mungkin simpanse dapat mengenal huruf dan merangkai kata tapi belum tentu ia memahami kalimat yang panjang apalagi makna dari sebuah buku.

Yang paling tinggi dari peradaban manusia adalah menulis.

Ketika menulis, kita diharuskan mengeluarkan kembali apa yang ada didalam pikiran kita dan merangkainya dalam satu kalimat yang dapat dipahami orang lain. Kata dipahami sangat penting, banyak orang gila dapat menulis, tapi belum tentu isinya kita pahami maknanya. Inilah tingkatan tertinggi dimana manusia dapat diukur seberapa besar timgkat intelektualnya dari tulisannya, karena tulisan menggambarkan isi pikirannya, itulah mengapa kita sarjana diharuskan membuat skripsi.

Dari sana kita bisa mengukur diri kita sendiri. Sampai mana tingkat peradaban kita.

Apakah kita adalah bangsa yang suka mendengar dongeng? Menerima begitu saja apa yg kita dengar.
Apakah kita adalah bangsa yang suka menonton tv tanpa pernah mau membaca sumber2 bacaan?
Ataukah kita hanya bangsa yang membaca saja namun tidak pernah mau menulis?

Saya rasa gerakan gemar membaca negara kita masih begitu lemah. Tapi mulailah menulis dari saat ini, dan percayalah tidak mungkin tidak ada yang membaca tulisan kita walau hanya satu orang.

Kalau kita tidak pernah mau melakukan loncatan peradaban seperti diatas, lantas kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014