Tadi sore, kawan-kawan mengajak saya cangkruk'an di rel belakang Perumahan Ajung, Kalisat. Dulu di sini dikenal dengan nama Gardu, tempat pertemuan antara rel yang menuju Jalur Kalisat - Banyuwangi dengan jalur Kalisat - Panarukan. Kini yang beroperasi hanya satu, Jalur Jember - Kalisat - Banyuwangi. Sedangkan jalur satunya lagi mangkrak.
"Jadi Mas, di sini letak gardunya, di titik S 35. Ada penjaga yang bertugas untuk memindah jalur, mengikuti kode sinyal. Bukan sinyal hape lho, tapi sinyal kereta api."
Kini gardu yang dimaksud sudah tidak ada lagi. Di atas tanahnya ditumbuhi ilalang dan pohon pisang. Kita hanya bisa melihat ujung rel untuk tujuan Panarukan. Jika jalur ini dibuka kembali, tentu areal ini butuh diperhatikan secara serius.
Di sinilah tempat pertemuan antara rel yang menuju Jalur Kalisat - Banyuwangi dengan jalur Kalisat - Panarukan. Dokumentasi oleh Ivan Bajil, 5 Juni 2014.
Saya suka berlama-lama di tempat ini. Sejauh mata memandang, ada terlihat gumuk-gumuk, dua diantaranya digunakan sebagai makam untuk overseas Chinese. Orang Kalisat akrab menyebutnya Guchi.
"Di sini, Yok yang paling terkenal namanya Yok Panggung. Tokonya di Pasar Sore, arah menuju Stasiun Kalisat. Arsitekturnya dipertahankan hingga sekarang, banyak unsur kayu jatinya. Dulu mereka dikenal gara-gara jualan Cao dan Tao Co."
Yok adalah sebutan warga untuk sedulur Cina yang berdagang. Bukan hanya Yok Panggung saja yang mereka kenal. Masih ada Yok Kepak, Yok Gembreng, Yok Coni, dan masih banyak lagi.
Sepulang dari jalan-jalan, saya singgah di rumah Ibu Sulasmini. Ia tampak senang.
"Jangan keburu pulang ya Nak, Ibu bikin cakalan dengan bumbu Papua."
"Lho, Ibu juga pernah tinggal di Papua juga?"
"Iya Nak, kan sudah cerita kalau hidup Ibu dan Pak Oesman berpindah-pindah. Setidaknya setiap enam bulan."
Lalu kami makan bersama-sama. Setelahnya, kami berbincang-bincang. Entah bagaimana awalnya, Bu Sulasmini tiba-tiba menyebut nama Boerah.
"Di sini ini, kalau nggak ada pak Boerah, habis! Akan ada banyak orang yang diangkut di zaman 45 sampai Belanda datang lagi."
Kata Bu Sulasmini, nama Pak Boerah harum di Kalisat. Selain di Ajung, ia paling sering berada di Sukogidrih, Sumber Anget dan Karang Paiton. Itu tempat-tempat yang diincar Belanda.
"Hasil panen tembakau dan padi, kalau dari Sukogidrih, Sumber Anget dan Karang Paiton, harganya lebih mahal. Rasanya berbeda. Orang-orang Londo mengerti betul tentang ini. Entah karena faktor apa, mungkin unsur tanahnya, atau lantaran anginnya yang ideal."
Saya mengangguk mendengar kata Ivan, anak bungsu Bu Sulasmini. Saya kira, itu disebabkan oleh faktor banyaknya gumuk.
Saya bertanya, "Bukankah katanya Pak Boerah orang Karangkedawung?"
Bu Sulasmini tersenyum. Dia bilang, jarak antara Kalisat - Mayang - Karangkedawung tidaklah jauh. Ketika masih muda, ia sering jalan kaki ke sana, apalagi jika musim pasaran. Bu Sulasmini menutup kisahnya dengan pertanyaan, "Kenapa sekarang terasa jauh ya Nak?"
Beberapa saat sebelum pulang, Ivan mengingatkan saya untuk membawa memori kameranya. Dia ingin foto-foto rumah tua di depan Stasiun Kalisat dikirimkan ke Marjolein. Tadi sebelum ke Gardu Rel, kami memang lama sekali mengubek-ubek dua rumah tua tak berpenghuni yang menyimpan kisah penyiksaan pejuang.
Salah satu sudut rumah tua di seberang Stasiun Kalisat
Jalan-jalan sambil belajar sejarah memang menyenangkan. Ia memberi kita inspirasi, pelajaran, dan memberikan kesadaran waktu. Kita akan dibuat mengerti tentang adanya gerak sejarah. Kesadaran itu membuat kita bisa memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam, bermuara ke masa kini, dan berlanjut ke masa depan.
Dengan sejarah, kita bisa meraba-raba apa yang tersembunyi dan yang disembunyikan.
Sebagai penutup catatan, saya ucapkan selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Salam Lestari!