Rabu, 04 Juni 2014

Kisah Ibu Sulasmini

Rabu, 04 Juni 2014

Ibu Sulasmini - Dokumentasi Kari Kecingkul

Nama saya Sulasmini, kelahiran tahun 1938. Orang-orang Kalisat yang mengenal saya, mereka biasa memanggil Bu Oesman. Itu nama suami saya, Bapaknya Ivan. Kami menikah tahun 1951. Saat itu saya belum 16 tahun, jadi tanggal lahir saya di surat nikah dirubah, biar bisa kawin.

Saya dan Bapak Oesman, kami dianugerahi sembilan buah hati, Ivan itu anak ragil. Cicit saya 13, sedangkan cucu? Saya lupa, mungkin 26. Lebih mudah menghitung cicit daripada cucu.

Setelah menikah, kami sering berpindah-pindah tempat. Maklum, saya istri seorang tentara. Satu tahun setelah menikah saja, kami sudah tinggal di Flores dan tetap berpindah-pindah. Enam bulan di Ende, lalu Maumere, lalu Larantuka. Kadang terasa capek. Syukurlah, untuk masalah makan apa kata bagian dapur.

Harta kekayaan kami hanya kasur, seprai, dan hal-hal sederhana lainnya.

Di Flores tidak ada cakalan seperti yang saya rindukan. Padahal ikan laut di sini besar-besar. Kalau mereka membuat cakalan hanya sekedar dibakar dengan bumbu sederhana. Suatu hari saya bikin cakalan yang racikannya seperti di Kalisat. Banyak yang suka. Barangkali mereka masih melestarikan racikan itu hingga sekarang.

Saya kerasan tinggal di Flores, terutama di Larantuka. Orangnya ramah-ramah, lingkungan alamnya cantik.

Menjadi SUKWATI alias SUKARELAWATI

Pertengahan tahun 1960an, ketika itu suami saya sudah dinas di Sukorejo. Kalau tidak salah ingat, saat itu pangkatnya sersan mayor. Ketika itu kami dikumpulkan, 60 perempuan. Kami mewakili Brimob, Kepolisian, CPM, 509, Batalyon Tanggul, dan satu lagi saya lupa.

Kami dilatih selama 6 bulan lamanya untuk menjadi Sukwati.

Saya paling tidak suka dengan latihan baris berbaris. Latihannya sejak pukul sebelas siang hingga pukul satu. Sayangnya, itu adalah latihan wajib, setiap hari. Kalau latihan meriam, hari senin dan sabtu di Mumbulsari. Latihan tembak biasanya juga di Mumbulsari. Saya diharuskan bisa mengoperasikan berbagai senjata. Mulanya bingung, tapi lama-lama saya menjadi sehati dengan Pistol, Jeren, LA, Cong dan Sten.

Cong itu jenis senjata yang pelurunya ada di luar. Ketika tiarap sambil memegang Cong, kaki harus dibuka. Ini senjata favorit saya.

Setengah tahun yang berat. Pagi-pagi pukul setengah lima saya berangkat dari Kalisat ke Jember, pulangnya jam lima sore.

Suka duka selama latihan? Hmmm, apa ya?

Saya ingat. Yang paling sering ditempak oleh pelatih adalah istri-istrinya Polisi. Waktu itu, rata-rata dari mereka manja sekali. Istrinya Armed juga begitu.

Hal paling buruk dari SUKWATI yang saya ingat hanya satu. Kami para lulusan Sukwati belum sempat mendapat ijasah. Kondisi politik negeri ini lagi gonjang-ganjing oleh komunisme. Kalisat ada banyak Gerwani. Serem.

Waktu ada Agresi Militer, saya masih belum menikah dengan Bapak Oesman K. Setelah menikah, dia kadang bercerita tentang itu. Suami saya anak buah Pak Magenda. Ketika mendengar kabar duka, Bapak susah makan berhari-hari, dia sedih.

Apakah saya dendam pada Belanda? Tidak. Ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang Belanda masih banyak sekali di Flores hingga tahun 1950an. Kami bisa hidup berdampingan karena memang setara.

Lagipula, Bapak dari Bapak saya adalah orang Belanda, akrab dipanggil Sinyo Yan. Bapak saya sendiri asli Solo, namanya Surodo Sumodiharjo. Ia menikahi perempuan Kalisat bernama Painem. Itu nama Ibu saya.

Semoga tidak ada lagi penjajahan ya Nak.

*Hasil wawancara RZ Hakim, 3 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014