Senin, 16 Juni 2014

Teatrikal Pasukan Sroedji di Kalisat

Senin, 16 Juni 2014

Teatrikal Perjuangan Pasukan Sroedji oleh Teman-teman Kalisat, 13 Juni 2014

Saya terharu ketika melihat aksi teatrikal kawan-kawan muda Kalisat tiga hari yang lalu. Bukan karena mereka tampil sempurna, bukan pula karena kostum yang dikenakan. Saya terharu sebab sangat mengerti bagaimana mereka mempersiapkan ini semua.

Adalah Wahyu Muhammad Arif, siswa SMAN 1 Kalisat yang baru lulus tahun ini, ia bertugas membaca dan memahami isi novel karya Irma Devita. Kemudian, Wahyu mengumpulkan rekan-rekannya dan menuturkan isi novel tersebut.

"Waktunya mepet Mas, sementara kami hanya punya satu novel saja."

Kepada Wahyu saya meminta maaf. Saya bilang, novel milik kami dipinjam oleh teman, setelah selesai akan dipinjam lagi oleh teman yang lain. Begitu seterusnya, mungkin dalam waktu yang lumayan lama. Seperti pohon faktor. Dia bilang, tidak masalah sebab telah mengerti harus bagaimana membuat alur teatrikal.

Bagaimana dengan kostum?

"Kami tidak punya kostum-kostum perjuangan Mas, tapi kami akan mengusahakannya. Jika tidak ada, mungkin kami akan memakai baju milik Bapak kami masing-masing. Kalau yang ada hanya baju seragam guru, ya sudah itu saja yang kami pakai. Sing penting kostum gawe pemeran Letkol Moch. Sroedji kudu apik Mas."


Tampak dalam foto, Putri Sroedji diberi cinderamata oleh Kades Ajung, Yusri Irawati

Ya, saya masih mengingatnya.

Benar juga, ketika tiba waktunya, saya melihat kostum-kostum itu. Sangat sederhana. Ada yang hanya memakai kaos Oi dan bercelana pendek, ada juga yang menggunakan seragam pegawai negeri milik orang tuanya.

Di pembuka teatrikal, adaaa saja orang dewasa yang nyeletuk mencoba menggoda para pemain. Tapi lama-lama mereka membisu juga.

Saya sering menundukkan kepala. Ketika mendongak entah yang keberapa kalinya, saya melihat penampilan si Tejo. Dia terlihat ekspresif.


Para penonton teatrikal memenuhi tempat yang disediakan

Beberapa hari sebelumnya saya sempat bercanda dengan Tejo dan teman-temannya, ketika mereka sedang membuat katil. Tejo digojloki oleh para sahabatnya sebab dua kali tidak naik kelas. Tejo tidak marah, dia tersenyum saja. Ketika melihatnya turut berperan di acara teatrikal yang serba sederhana, tentu saya bangga. Tejo cerdas di bidangnya, hanya saja mungkin guru-gurunya belum menyadari bidang apakah itu.

Di penghujung teatrikal, saya semakin menundukkan kepala. Sebabnya, ada seorang gadis membacakan puisi --yang ada di dalam novel-- dengan simpel tapi menusuk.

Ini teatrikal yang biasa, jauh lebih sederhana dari teatrikal manapun yang pernah ada. Namun, mereka membuat saya menundukkan kepala.

Teman-teman, kalian keren!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014