Mas Opik - Dokumentasi Pribumi Advertising
Saya masih ingat ketika pertama kali berjumpa dengannya. Ia mengenakan hem warna cerah, bersarung, lengkap dengan songkok yang dipelorotkan ke dahi hingga mendekati tengah alis. Wajahnya tampak ceria, tak kentara jika enam tahun lagi usianya genap setengah abad.
Caranya bercerita terbilang cerdas, membuat ekspresi wajah pendengarnya berubah-ubah. Kadang serius, kadang tertawa ngakak. Dia memulai kisahnya saat bekerja sebagai sopir ambulance sejak pertengahan tahun 1990an. Lalu, pada kisaran 2007, ia menjabat sebagai carik atau sekretaris desa di desa Sukosari.
Saya terkesan ketika dia bertutur tentang penggalan pengalaman saat menjadi sopir ambulance.
"Paling apes itu kalau harus mengangkut jenasah orang yang meninggal dengan cara tidak normal. Kadang tubuhnya tidak bisa diluruskan. Saya masih harus menyiramnya dengan air panas."
Meski ceritanya sedikit seram, namun lelaki bernama lengkap Taufik Dwi Septiarso ini pandai sekali merangkainya dengan humor-humor segar.
Ada juga sih kisah sedihnya, ketika lelaki kelahiran 27 September 1970 ini harus pontang panting mencari duit untuk biaya pendidikan salah satu anaknya. Suatu hari buah hatinya meminta uang. Lalu ia bertanya, uang itu untuk digunakan kapan? Eh, ternyata hari terakhir pembayaran adalah esok harinya.
"Ya sudah, demi anak BPKB pun ikut sekolah!"
Melihat caranya mengisahkan pengalaman hidup, saya tersenyum, meski tetap menyisakan ruang empati.
"Pekerjaan yang paling banyak suka dukanya itu ya Badut. Saya bahagia menatap senyum bocah-bocah, kadang juga merasa kasihan ketika ada yang menangis histeris melihat tampilan saya. Ya, itu peran yang harus saya jalani. Menjadi badut adalah tentang membahagiakan orang lain, meski kadang kita sendiri sedang ada di suasana hati yang tak prima."
Keren!
Menjadi badut tak semudah yang saya kira. Jika kita jatuh, labu napang, anak-anak kecil bakal bersorak. Dikiranya itu bagian dari atraksi. Kita juga harus siap tampil meski hanya di depan seorang perempuan hamil yang sedang ngidam.
Berani menatap hidup, berani bermanfaat untuk orang lain. Setidaknya, itu falsafah yang saya dapatkan dari seorang lelaki beranak dua yang akrab dipanggil Mas Opik ini.
Mas Opik, ia menyegarkan kembali ingatan kita semua bahwa setiap orang adalah guru bagi kita dan setiap tempat adalah sekolah bagi kita.
Terima kasih inspirasinya, Mas. Salam Kari Kecingkul.
*Hasil obrolan awal Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar