Senin, 21 Desember 2015

Dusun Junggrang

Senin, 21 Desember 2015
Oleh RZ Hakim

Di desa Patempuran kecamatan Kalisat, ada sebuah dusun bernama dusun Junggrang. Di sini tinggal seorang fotografer asal desa Ajung-Kalisat bernama Hendro. Ia mencari penghasilan dengan cara menjadi tukang potret pernikahan, dan atau acara-acara lain.

"Istri saya orang sini. Jadi, di sinilah saya sekarang," kata Hendro dengan bahasa Jawa.
Menurut Hendro, hingga hari ini kearifan masyarakat masih kental terasa. Misal, budaya gotong royong, saling menyapa jika berpapasan, dan masih banyak lagi.

"Di sini, orang-orang terbiasa mandi di sumber. Laki-laki dan perempuan tidak risih jika harus mandi berdekatan. Malah saya yang risih," ujar Hendro sambil terkekeh.

Televisi menjadi hiburan favorit warga dusun Junggrang (baca: junggreng). Pukul delapan malam ke atas, jalanan sudah sepi. Lampu jalan yang dipasang sejak zaman bupati Djalal tidak masuk di dusun ini. Beberapa titik jalan memang sudah terpasang lampu, tapi atas inisiatif masyarakat sendiri.

"Kalau malam, ya selain nonton tivi, kami biasa bertetangga. Nonggo nyeritakno tonggo. Meski orang-orangnya baik, selalu siap sedia dengan suguhan kopi jika ada tetangga berkunjung, namun budaya rasan-rasan masih kental."

Jika tentang kopi, tak ada masalah. Anda bertetangga tujuh kali dalam semalam, maka harus siap pula ngopi tujuh cangkir.

Masih menurut Hendro. Rata-rata penduduk dusun Junggrang dibesarkan dengan bahasa Ibu, bahasa Madura. Bahasa Indonesia dikenalkan lewat pendatang, media, dan sekolah. Orang-orangnya punya karakter keras, termasuk suka bekerja keras. Mereka menghitung pekerjaan dari keringat yang dikeluarkan. Misal, jika harus mencangkul sawah orang dari pagi hingga siang, bayarannya 12.500 rupiah.

"Jadi ketika saya mengajak salah satu dari mereka untuk menemani sesi pemotretan di sebuah pernikahan, mereka heran. Kok saya diberi upah 50.000? Padahal sudah dapat nasi kotak, makan prasmanan dengan lauk yang enak, kerjanya pun cuma duduk-duduk. Keringat tak semengucur ketika alanduk."

Masalah makan, mereka tidak menghitungnya dari gizi. Apapun lauknya, yang penting nasinya banyak.
"Mulanya saya hendak buka toko pracangan di sini. Untuk hasil sampingan. Namun kalau mau buka toko pracangan, modal kita harus berlipat. Soalnya masyarakat di sini terbiasa hutang dulu, bayar ketika mereka telah panen. Atau jika mereka kerja di gudang perkebunan, ya bayarnya saat gajian. Saya tak jadi buka pracangan, modal pas-pasan."

Di dusun Junggrang, masih lestari budaya barter. Beli sesuatu ditukar dengan gabah. "Itu sudah umum di sini, bukan sesuatu yang asing," tambah Hendro.

Para perempuan di dusun Junggrang, sekali tempo mereka suka memperlihatkan keberhasilan suaminya dengan cara memakai perhiasan emas berjubel. kadang di tangannya ada empat gelang emas besar-besar. Itu sering terjadi ketika musim tembakau sukses. Jika beras tidak untuk dijual, mereka menyimpannya sendiri. Bagi yang tak punya sawah, membantu yang punya sawah. Atau portal terakhir adalah 'ngasaq' alias memungut butir-butir padi sisa panen.

"Jika Anda tinggal di sini, niat baik Anda tak selalu berbuah baik. Misal, Anda bagi-bagi beras ke orang-orang Junggrang, atau barang dalam bentuk lain. Bisa jadi Anda dianggap menghina. Barang ada yang dikembalikan, ada pula yang tidak, namun mereka nggrundel di belakang Anda. Itu karena masalah harga diri. Mereka menghargai dirinya sendiri sangat tinggi. Bahkan secara logika, harga diri mereka terlampau tinggi. Itulah budaya yang terbentuk. Hanya 'ilmu pengetahuan' satu-satunya harapan untuk membuka cakrawala kehidupan, hanya agar mereka kuat dalam menghadapi perubahan dan kejutan teknologi."

Namun gempuran televisi (terutama pada generasi muda) sangat dahsyat. Mereka seolah-olah ingin menjadi seperti anak Jakarta. Sementara tradisi dan budaya di lingkungannya berjalan statis. Semuanya menjadi rancu, kabur.

Misalnya ada putra-putri terbaik yang lahir dari desa ini, yang memiliki nilai baik di sekolahnya, yang berprestasi, ketika tamat sekolah mereka lebih memilih untuk hidup di tempat lain. Jakarta misalnya. Mungkin mereka berpikir tentang relasi, kesempatan, dan perputaran mata uang. Kecerdasannya menjadi tak berdampak banyak pada tempat kelahirannya.

Jika ditengok dari sisi sejarah, tentu ada kisah mengapa dusun ini bernama Junggrang, dengan desa bernama Patempuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014