Oleh RZ Hakim
Dalam kebudayaan masyarakat Kalisat telah dikenal budaya memelihara hewan yaitu hewan ternak. Macam-macam hewan ternak yang dipelihara, mulai dari sapi, kambing, hingga ayam kampung. Jika dilihat dari foto Kalisat tempo dulu, di tahun 1930an di sini telah ada peternakan sapi perah. Ia adalah sebuah peternakan besar, jauh sebelum di Rembangan ada peternakan yang sama. Hingga hari ini, setiap hari Rabu di Kalisat digelar sebuah pasar rakyat yaitu pasar sapi --bukan sapi perah. Selain sapi, di sana juga ada hewan-hewan lain seperti kambing.
Mengenai memelihara ternak ayam kampung, setidaknya dalam satu RT terdapat satu keluarga yang memeliharanya. Kebiasaan ini didukung oleh kondisi lingkungan. Tak ada masyarakat yang keberatan jika ada tetangganya memelihara ayam kampung. Alasan lain, karena rata-rata hunian masyarakat Kalisat memiliki halaman yang cukup untuk dijadikan ruang bermain ayam kampung. Kecuali tentu saja bagi mereka yang tinggal di sebuah perumahan dan cluster. Untuk dapat memelihara ayam kampung, mereka tentu perlu memikirkan space kandang serta bagaimana sebaiknya memelihara aroma agar tidak mengganggu tetangga kiri kanan.
Warga Kalisat memiliki sejarah yang panjang dengan ayam kampung.
Di Kalisat, agama paling dominan --menurut pengamatan secara acak-- adalah agama Islam. Ia adalah sebuah agama samawi yang dalam kitab sucinya ada beberapa kali ayat yang menyebutkan tentang binatang ternak. Dihalalkan bagi umat Islam memelihara hewan ternak untuk diperlakukan dengan baik serta diambil manfaatnya. Perihal keyakinan ini, tentu juga menjadi pengaruh mengapa di Kalisat mudah dijumpai orang-orang yang memelihara hewan ternak.
Gara-gara Ada Anjing Tak Diundang, Mas Supri Membeli Bedil
Tetangga terdekat saya adalah keluarga Mas Supri. Ia memiliki sebuah kandang yang besar di belakang rumah kontrakan kami. Itu digunakan untuk memelihara ayam potong. Usaha Mas Supri ini bukan usaha mandiri, melainkan kemitraan. Suatu malam, ayam-ayam potong peliharaannya gelisah. Usut punya usut, di hari yang lain ditemukan jawaban mengapa ayam-ayamnya gelisah. Ternyata ada anjing melintas. Entah anjing siapakah itu. Asumsi yang berkembang, bisa jadi anjing itu adalah anjing peliharaan maling yang sengaja lewat sana untuk mengamati situasi. Tak menunggu waktu lama, kurang dari satu bulan kemudian, Mas Supri merogoh kocek sebesar dua juta rupiah untuk membeli sebuah senapan angin rakitan sendiri. Malam-malam selanjutnya, Mas Supri selalu siaga dengan senapan angin tersebut, berharap ada anjing lewat dan ia bisa menembaknya.
Mas Supri bukan tanpa alasan mengambil langkah tersebut. Di masa yang lalu, jauh sebelum saya kontrak rumah di Kalisat, ia pernah disamperin oleh maling (lebih dari satu orang) yang membawa anjing. Mas Supri hanya ingin keluarganya terlindungi. Juga, tentu saja ayam-ayam peliharaannya.
Di hari yang lain, iseng-iseng saya meminjam senapan angin milik Mas Supri dan bergaya di depan rumah kontrakan, pada bulan September 2015. Ini hasilnya.
Pada Bulan September 2015
Membaca kisah di atas, tahulah kita bahwa kalisat tak memiliki budaya memelihara anjing.
Hewan-hewan peliharaan selain ternak (untuk kesenangan semata) yang paling sering saya jumpai adalah burung berkicau. Aneka ragam burung peliharaan yang mereka rawat dalam sangkar. Yang paling mudah dijumpai adalah jenis Punglor, Cicak Ijo, Trucuk, Kacer, dan Cendet atau Das.
Kucing Peliharaan
Fenomena naik daunnya kucing sebagai peliharaan juga menjangkiti Kalisat. Di sini dikenal pula kucing anggora, siam, dan kucing hasil persilangan. Kucing lokal yang dipelihara dengan baik juga menjadi tren. Ia diberi makan dengan makanan yang baik --biasanya beli makanan kucing yang sudah dalam kemasan, kesehatan mereka diperhatikan, dan disediakan tempat tinggal yang layak. Tidak seperti anjing yang mengalami nasib buruk --tidak pernah dipeluk atau dibiarkan masuk ke dalam rumah, nasib kucing yang dipelihara di kalisat rata-rata jauh lebih mulia. Ia lagi-lagi perkara kultur dan agama. Dalam agama Islam sering dikisahkan jika Nabi Muhammad SAW menyayangi kucing. Dikisahkan juga bahwa kucing bukan jenis hewan yang najis.
Hewan-hewan lain yang menjadi tren untuk dipelihara (di Kalisat) adalah iguana, musang, semut jepang, kadal non endemik, elang, ular, dan lain-lain.
Para Pemilik Hewan Peliharaan
Jika kita lacak, di masa yang lalu orang-orang yang memelihara hewan untuk kesenangan (bukan hewan ternak) hanyalah mereka yang memiliki waktu luang, memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata, punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat, dan seringkali adalah orang-orang yang dihinggapi rasa kesepian.
Memelihara hewan peliharaan menunjukkan pemiliknya mempunyai sumber daya yang cukup untuk hewan kesayangannya, selain untuk dirinya sendiri. Misalnya Anda memelihara kucing, maka Anda butuh mengeluarkan uang secara berkala. Uang itu digunakan untuk biaya yang paling pokok yaitu membeli makan. Meskipun Anda tidak membeli makanan kucing buatan pabrik, Anda tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan dari jenis yang lain. Ikan laut seperti tongkol, misalnya. Tentu ada biaya insidental yang juga harus dipersiapkan. Katakanlah ketika kucing peliharaan kita jatuh sakit, kita harus membawanya ke dokter hewan dan membelikannya obat. Ini belum perhitungan yang lain-lain seperti biaya pembuatan (dan perbaikan) kandang.
Jadi, ketika saya melihat ada orang Kalisat memiliki hewan peliharaan untuk kesenangan, secara naluriah saya akan memperkirakan bahwa si empunya hewan peliharaan tersebut adalah pribadi yang mandiri, yang telah selesai dengan urusan perutnya. Namun sayang sekali, yang saya jumpai di sini lebih banyak kepada mereka yang sama sekali belum mandiri secara ekonomi.
Peran Budaya dan Pengaruh Media
Dalam urusan dinamika sosial semakin banyaknya orang Kalisat yang memelihara hewan untuk kesenangan, budaya tentu memiliki peran. Ia berperan pula dalam masalah mana hewan yang sebaiknya dipelihara dan mana yang sebaiknya dihindari. Sebagai contoh kasus, seperti kisah anjing dan kucing di atas. Lebih mudah memelihara kucing, apapun jenisnya, sebab masyarakat kalisat telah memiliki modal sosial. Jauh-jauh hari, sebelum ada tren memelihara kucing dengan model perawatan seperti yang kita kenal sekarang, orang-orang Kalisat telah sering melihat kucing kampung di sekitar rumahnya. Terlebih, ketika sedang berada di pasar tradisional atau di sebuah rumah sakit.
Anjing tentu juga dipelihara dengan baik di Kalisat, namun jumlahnya sangat sedikit. Biasanya dipelihara oleh warga GKJW, warga pendatang, atau WNI keturunan Tionghoa. Masyarakat penganut agama lain yang hidup berdampingan dengan mereka tentu tak ada masalah, sebab mereka telah terbiasa.
Adapun pengaruh media (terutama media televisi sebab masyarakat Kalisat secara umum lebih suka menonton/mendengar daripada membaca) selama lima tahun terakhir sangat mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Kalisat. Belum lagi tentang mudahnya akses informasi yang cepat lewat jejaring sosial di dunia maya.
Pengaruh lain yang juga tak kalah dahsyatnya adalah lingkungan. Jadi, misalnya ada satu orang memelihara musang (meskipun pada kenyataannya orang Kalisat telah terbiasa melihat musang) maka yang lain juga ingin memelihara hewan yang sama. Ini dinamakan penularan sosial.
Mereka yang menjadi inisiator penularan sosial adalah para pemuda kelahiran tahun 1990an yang memiliki pengalaman hijrah; baik karena alasan kuliah/sekolah maupun hijrah karena unsur ekonomi. Dari merekalah seringkali penularan sosial 'memelihara binatang' ini dimulai dan menyebar.
Galeri Satwa di Kedai Lecang Kalisat, 28 Desember 2015. Foto oleh Lukman
Setelah membaca runtutan catatan di atas, tahulah kita mengapa pada malam ini di Kedai Lecang Kalisat teman-teman muda menyelenggarakan pertemuan antar sesama kawan pencinta hewan peliharaan untuk kesenangan. Mereka menamainya Galeri Satwa.
Separuh dari mereka yang berkumpul di Kedai Lecang adalah teman-teman yang kini masih tercatat sebagai mahasiswa di kampus luar Kalisat --sebab di Kalisat masih belum ada Universitas/Institut/Sekolah Tinggi. Ketika mereka pulang ke Kalisat (rata-rata kos atau kontrak, sebab jarak antara Kalisat-wilayah kampus terbilang tanggung, 16 kilometer) maka mereka mulai mengenalkan kebiasaan baru tersebut kepada teman-teman masa kecilnya yang memilih untuk tinggal saja di Kalisat, setamat SMA. Itu contoh kasus jika model 'penularan sosial' bukan dari media, melainkan antar teman.
Begitulah, teman-teman muda di Kalisat sedang membentuk kembali kebudayaannya; dengan cara mengumpulkan puing-puing budaya dan segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat Kalisat --dan sekitarnya, serta denyut budaya Indonesia dan dunia. Ia tentu dipengaruhi pula oleh tingkat pengetahuan --meliputi sistem ide atau gagasan-- mereka di hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar