Oleh RZ Hakim
Saya selalu senang bila berjalan-jalan di Kalisat, sebuah kecamatan di kabupaten Jember. Ia memiliki luas wilayah 53,48 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 281 MDPL. Jarak kecamatan Kalisat dengan rumah saya sekitar 20 menit dengan mengendarai motor. Sedangkan jarak Kalisat dengan pusat kota Jember adalah 16 kilometer.
Kalisat terdiri dari 12 desa; Gumuksari, Sumberjeruk, Glagahwero, desa Kalisat kecamatan Kalisat, Ajung, Plalangan, Sebanen, Sumberketempa, Sumberkalong, Sukoreno, Patempuran, serta Gambiran.
Jika melihat komposisi penduduk di Afdeling Jember pada tahun 1930, di era itu Kalisat adalah sebuah wilayah yang cukup ramai. Penduduk Bumiputera 131.856, sedangkan Jember wilayah kota penduduk pribuminya sejumlah 139.955. Di Kalisat tahun 1930 terdapat 957 warga Cina, 81 warga Arab, serta 211 warga Eropa.
Sumber: Memories van Overgave van den Residentie Besoeki 1931
Saya kira itu komposisi yang menandakan suasana Kalisat saat itu, lima belas tahun sebelum kemerdekaan. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, pada tahun 1845 daerah Jember hanya terdiri dari 36 desa, namun pada tahun 1874 berkembang menjadi 46 desa (Regering Almanak, 1874). Lalu pada tahun 1883 berkembang lagi menjadi 117 desa. Saya menebak, tentu Kalisat di tahun 1845 hanya terdiri dari sedikit desa, atau hanya ada satu desa yang luas, dengan sistem pemerintahan yang serba sederhana.
Di pemula tahun 1883, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Besluit Residen Besuki tertanggal 18 Januari 1883 nomer 9/42 --sumber dari ANRI Besoeki, 1884-- untuk pembentukan desa baru. Besluit itu juga menandai lepasnya Jember dari Bondowoso dan menjadi Afdeling tersendiri, Afdeling Jember.
Oleh sejarawan Edi Burhan Arifin, Januari 1883 pernah diajukan sebagai Hari Jadi Kota Jember. Ini berdasarkan dokumen tentang Splitsing de afdeeling Bondowoso in twee assisten-residentien, tercatat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indiƫ 1883.
Pemecahan desa seperti di atas, berdasarkan Besluit Residen Besuki, juga terjadi di Kalisat.
Pemecahan desa-desa di Kalisat terjadi lagi di era 1890an, setelah George Birnie dan rekan-rekannya sesama pengusaha, mereka berhasil menyulap Jember menjadi wilayah metropolitan di bidang perkebunan. Kerlap-kerlip kemakmuran ekonomi di Jember saat itu mengundang datangnya para migran. Mereka ingin merubah nasibnya di sini. Kalisat semakin ramai oleh pendatang.
Secara teritorial, migran asal Madura lebih senang tinggal di wilayah Jember bagian utara, sedangkan migran asal Jawa lebih memilih tinggal di wilayah Jember selatan. Suku yang lain lebih terpusat di wilayah kota, sekitar alun-alun. Jadi, para migran yang ada di wilayah Kalisat rata-rata memang dari Madura. Hingga hari ini, bahasa Ibu dari warga Kalisat didominasi oleh bahasa Madura.
Wajah Kalisat Sebelum Tahun 1845
Jika menengok Regering Almanak tahun 1874, jangkauan terjauhnya adalah 1845. Wajar jika kemudian kita bertanya-tanya, bagaimana wajah Kalisat sebelum masa itu?
Menurut penuturan Musthofa, seorang warga desa Ajung kecamatan Kalisat, di akhir tahun 1980an hingga di pemula 1990an, saat itu banyak orang yang melakukan penggalian di lapangan Kotok dekat stasiun. Mereka sedang mencari manik-manik peninggalan zaman kerajaan. Kotok masuk desa Gumuksari kecamatan Kalisat, Jember.
"Lapangan itu dulu berlubang-lubang. Banyak yang melakukan penggalian dan tidak menutup kembali lubang yang terlanjur menganga."
Dalam perjumpaan yang berbeda, Har, warga desa
Sumberjeruk kecamatan Kalisat juga membenarkan apa yang dituturkan Musthafa. Dikatakannya, banyak yang menemukan anting-anting lalu mereka menjualnya.
Berbeda dengan yang diinformasikan oleh Musthofa dan Har, Durahem mengatakan pernah membawa sebuah tameng sisa-sisa dari prajurit kerajaan. Beberapa hari kemudian ia terpaksa memberikan tameng kuno tersebut kepada tokoh masyarakat Kotok, atas saran Ayahnya.
Kisah di atas tentu membuat kita berpikir, ada cerita tempo dulu di
tlatah Kalisat.
Jika kita tarik lebih jauh lagi, di zaman megalitikum, Jarak antara Kalisat dengan desa Kamal kecamatan Arjasa adalah dekat sekali. Seperti yang kita tahu, desa Kamal dikenal karena di sini dijumpai banyak sekali batu kenong dan situs yang lain, sisa zaman megalitikum. Bagaimana dengan Kalisat?
Pada tahun 2007 lalu, saya dan dua orang teman yang lebih mengenal Kalisat --Revo serta Har, kami pernah mendiskusikaa ini di balai desa Sumberjeruk kecamatan Kalisat. Saya tentu terkejut jika ternyata tak jauh dari balai desa Sumberjeruk terdapat makam-makam kuno. Di waktu yang lain, saya dan Har ke sana. Iya benar, di sini nisan yang digunakan memakai batuan
lawas.
"Jek ender takerjet, bedhe pole e desa Plalangan."
Har tidak berbohong, di tanah Kalisat ada begitu banyak kisah yang belum terdokumentasikan. Bagaimana wajah Kalisat di masa sebelum 1845? Kita sendiri yang harus mencari tahu jawabannya. Setidaknya kelak generasi muda di Kalisat bisa menjadikannya bahan untuk belajar.
Dimulainya Pemerintahan Desa di Kecamatan Kalisat
Pada tahun 1883, sehubungan dengan berubahnya status kota Jember yang menjadi Afdeling sendiri berpisah dari Bondowoso, maka pemerintah pusat Hindia Belanda mengadakan perombakan struktur pemerintahan. Jember tidak lagi dikepalai oleh seorang Wedana pribumi yang dibantu oleh seorang asisten controleur yang berkebangsaan Belanda, melainkan langsung dikepalai oleh Asisten Residen. C.H Blanken adalah Asisten Residen pertama di Jember yang menjabat sejak tahun hingga 1885.
Asisten Residen bertugas mengepalai Afdeling. Dalam menjalankan roda pemerintahan bekerjasama dengan Bupati yang menjadi kepala pemerintahan pribumi. Untuk itu pemerintah pusat juga mengangkat seorang Bupati. Adapun Bupati Jember yang pertama menurut Regering Almanak tahun 1891 ialah R. Panji Kusumonegoro. Ia menjabat dari tahun 1883 sampai 1891, setelah itu diganti oleh R. Tumenggung Kerto Subroto.
Selain dua pejabat yang memimpin afdeling Jember, pemerintah pusat juga mengangkat pejabat sekretaris, komis, dan seorang controleur, yang diangkat berdasarkan Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Pejabat-pejabat itu fungsinya membantu melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.
Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan atau landraad, dengan berdasarkan besluit pemerintah nomor 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883). Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat Kepala Jaksa Jember yang semula bertugas di landraad Situbondo dengan jabatan sebagai Adjunct Jaksa.
Selain jabatan-jabatan seperti diatas, pemerintah mengangkat seorang patih yang fungsinya sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik.
Di masa itu di Jember hanya terdapat empat Wedana yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul. Jadi wilayah Kalisat dan sekitarnya dirangkum dalam satu kesatuan distrik, di bawah tanggung jawab Wedana Sukokerto.
Antara tahun 1869 hingga tahun 1900, Jember mengalami pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan ini melahirkan adanya pemekaran wilayah, ditandai dengan dikeluarkannya besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913. Mayang yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto, akhirnya menjadi distrik sendiri yaitu distrik Mayang.
,
Hingga 1 Januari 1929, Jember terbagi atas tujuh distrik, yaitu; Distrik Jember, Kalisat, Mayang, Rambipuji, Tanggul, Puger dan Wuluhan.
Pada tahun 1941, satu tahun sebelum Belanda menyerah kepada Jepang, mereka memberlakukan Staatsblad No. 46/1941 tanggal 1 Maret 1941. Staatsblad itu mengharuskan Wilayah Distrik dipecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu:
1. Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi, dan Arjasa.
2. Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe, dan Sukowono.
3. Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli, dan Jenggawah.
4. Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari, dan Tempurejo.
5. Distrik Tanggul meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru, dan Bangsalsari.
6. Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong Gumukmas, dan Umbulsari.
7. Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu, dan Balung.
Sistem pemerintahan desa di Kalisat (Kades pertama) dimulai pada era antara 1913 hingga 1941, mengikuti catatan di atas. Kades pertama biasanya dimakamkan di ketinggian, dengan sebutan
Mbah atau
Bujuk. Namun tidak semua
pesarean bujuk adalah mantan kepala desa.
Makam Mbah Genduk. Dokumentasi Kari Kecingkul
Di desa Kalisat kecamatan Kalisat ada sebuah makam yang terletak di puncak gumuk. Semua warga sekitar mengerti jika itu adalah makam Mbah Genduk, Kades pertama di desa Kalisat kecamatan Kalisat. Kepala desa setelah Mbah Genduk bernama Truno.Kepala desa nomor tiga, setelah Truno, ia bernama Srika. Kades Srika menjabat selama sepuluh tahun, sejak 1942 hingga 1952.
Itulah gambaran umum tentang sistem pemerintahan desa di Kalisat.
*Catatan ini masih belum selesai dan akan disempurnakan di lain waktu.