Oleh RZ Hakim
Diceritakan oleh Mas Achmad Rizal dalam catatannya yang berjudul; Kamp Interniran di Jember, di daerah Kotok juga terdapat kamp interniran. Ia merupakan sebuah tempat pengasingan bagi tawanan perang di masa pendudukan Jepang. Kotok sendiri masuk desa Gumuksari kecamatan Kalisat, Jember.
Teman-teman dari Kari Kecingkul --atas bantuan seorang warga Sumberjeruk bernama Har, pernah beberapa kali melacak jejak interneeringen ini namun belum membuahkan hasil.
Mengapa Harus Ada Kamp Tawanan Perang
Catatan di bawah ini banyak saya sarikan dari karya Anna Mariana yang berjudul; Perbudakan Seksual, Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Kebetulan pada 5 Maret 2015 yang lalu saya turut menghadiri peluncuran dan diskusi buku itu. Bertempat di Hall Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.
Jadi, mengapa harus ada kamp tawanan perang?
Ketika Jerman berhasil menembus Rusia, langkah pertama yang mereka bangun adalah kamp interniran. Itu juga terjadi di atas tanah air kita, ketika sekutu keok dalam Perang Asia Pasifik di Perang Dunia II. Kondisi itu mengantarkan Hindia Belanda jatuh ke tangan balatentara Jepang. Seirama dengan langkah Jerman ketika merangsek Rusia, Jepang juga segera membuat kamp interniran.
Kamp interniran dibutuhkan untuk mengisolasi pergerakan kaum terjajah.
Interniran di masa Jepang berbentuk kamp-kamp yang dikelola dengan sangat rapi, tersembunyi, serta selektif dalam 'mengambil' orang-orang yang akan diinternir. Dalam pengelompokannya juga selektif. Para tahanan kebanyakan dari golongan intelektual. Yang diseser pertama kali adalah warga Eropa maupun warga keturunan Indo. Golongan yang paling merasakan dampak interniran ini tentu mereka dari etnis Tionghoa. Ini juga karena dampak perang, hubungan dua negara saat itu yang sama sekali tidak harmonis.
Menurut catatan Nio Joe Lan, seorang wartawan Tionghoa, penangkapan terhadap etnis Tionghoa, yang kebanyakan merupakan kelas menengah dan kaum intelektual, berlangsung tidak lebih dari enam minggu setelah Jepang berkuasa.
Foto di atas adalah dokumentasi milik KITLV Leiden. Semoga bisa membantu mengimajinasikan bagaimana seorang tawanan hidup terisolasi, terenggut dari kehidupan nyaman sebelumnya.
Berikut adalah kesaksian dari Anne-Ruth Wertheim. Pada saat tinggal di Kamp Pengasingan, ia baru berumur delapan tahun, dan hidup di sana hingga berumur sepuluh tahun.
"Kamp dikelilingi pagar kawat berduri lapis dua yang tinggi serta dinding bambu, hingga kita tidak bisa melihat keluar. Di sudut-sudut kamp ada menara tinggi, terbuat dari bambu, yang selalu dikawal para penjaga. Mereka bersenjata senapan mesin, yang mengawasi kita sepanjang hari dan malam. Berjaga-jaga jika ada yang mau melarikan diri. Tapi aku tidak akan pernah mimpi melarikan diri. Apa yang akan kulakukan tanpa mama, kakak dan adikku?"
Anne-Ruth Wertheim, Angsa Merampas Roti Bebek-bebek: Masa Kanak-kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa (Yogyakarta: Galang Press, 2008) hlm. 12.
Kaum kulit putih adalah golongan terbesar yang ditempatkan di pengasingan. Para penghuni interniran itu dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berisi laki-laki, khususnya yang telah berumur 12 tahun ke atas, sedangkan kelompok kedua adalah para perempuan dan anak-anak di bawah 12 tahun. Pertimbangannya adalah agar tidak ada kelahiran bayi selama di pengasingan.
Mengapa Kamp Interniran Ditempatkan di Kotok?
Untuk menghindari pandangan masyarakat umum, biasanya kamp-kamp memang sengaja dibangun agak sedikit jauh dari pusat kota atau di lokasi tersembunyi. Kiranya Kotok dianggap cocok dijadikan tempat pengasingan. Ingatan seorang interniran tentang gambaran letak kamp dapat kita simak sebagai berikut:
"Kamp itu terletak di daerah pinggiran kota, ditutupi gedek dengan pagar kawat berduri. Kami menempati rumah-rumah biasa meskipun penuh sesak, sehingga kami harus melangkahi orang-orang kalau keluar masuk; rumah-rumah itu terletak di sebuah jalan yang kedua susunnya disusuri pohon-pohon."
Paula Gomes, Sudah, Biar Saja... (Jakarta: Djambatan, 1993), hlm. 45.
Jika menengok dari catatan Achmad Rizal, Kamp di Kotok beroperasi dari April 1946 hingga Mei 1947. Penghuninya adalah wanita dan anak-anak pidahan dari Kamp Bataan, sekitar 15 Km Timur Laut Jember. Berikut adalah keterangan dari Achmad Rizal tentang Kamp Bataan.
Kamp Bataan, Desember 1945-Desember 1946
Awalnya ditempati oleh tawanan pindahan dari Sekolah Suster di Jember, tempatnya di bangunan milik Djelboek Tobacco Company. Bangunannya sebagian berupa gedek. Pada bulan Mei 1946, para wanita dan anak-anak ini dipindahkan ke Kamp Kotok.
Dari Mei 1946, kamp Bataan digunakan sebagai kamp untuk pria dan anak laki-laki yang lebih tua. Para penghuni kebanyakan tidur di tanah karena terbatasnya tempat tidur untuk menampung 302 penghuninya. Dapur umum tersedia dengan jatah terbatas untuk tiap orang. Toilet juga terbatas sehingga penghuninya menggunakan sungai di dekat kamp. Tidak ada dokter tetapi tersedia obat dan ada seorang tawanan yang perawat. Pada September 1946, terdapat kunjungan dari Palang Merah dan sebagian penghuni dievakuasi ke Semarang. Selanjutnya secara bertahap penghuninya dievakuasi sampai akhirnya ditutup pada Desember 1946.
Tercatat 1 orang penghuninya meninggal. Kamp ini dipimpin oleh J.D Belle.
Kamp Pengasingan di Kotok Adalah IANJO
Kembali ke kamp pengasingan yang ada di Kotok. Telah dijelaskan oleh Achmad Rizal bahwa penghuni kamp Kotok adalah wanita dan anak-anak. Oleh Jepang, kamp untuk perempuan dan anak-anak diberi label ianjo. Di sini tentu terjadi segala hal yang bernama pelecehan dan perbudakan seksual, seperti yang dipaparkan oleh Anna Mariana dalam bukunya. Perempuan-perempuan yang direkrut menjadi budak seksual tentara Jepang dinamakan jugun ianfu.
Para perempuan yang dijadikan jugun ianfu tak hanya kaum bumiputera. Eksploitasi seksual menimpa semua golongan, tidak terkecuali para perempuan kulit putih. Rekruitmen yang dilakukan terhadap perempuan kulit putih hampir sama dengan rekruitmen terhadap perempuan bumiputera. Modusnya bermacam-macam, salah satunya adalah dengan diiming-imingi pekerjaan yang lebih baik. Tidak ada yang mengira bahwa para perempuan itu akan ditempatkan di dalam kamp khusus yang sebenarnya berfungsi sebagai rumah bordil.
Berikut adalah kesaksian Elien Utrecht yang melihat bagaimana para perempuan itu dimobilisasi:
"Berikutnya barisan panjang gadis dan perempuan muda berdesak-desakan di sepanjang meja pendaftaran di kantor kamp. Beberapa orang Jepang duduk di dekat tempat itu dengan pandangan menguji. Mengerikan (....) Beberapa gadis dan perempuan mengenakan rok yang baik dan memakai dandanan rambut yang rapih. Mereka percaya cerita tentang pekerjaan kantor itu. Mereka dan Ibu mereka, jika ada yang menyertainya di kamp itu, ingin sekali mendapat kehidupan yang lebih baik di luar kamp. Sekitar dua belas atau barangkali sepuluh atau dua puluh dipilih, dan beberapa hari kemudian mereka meninggalkan kamp. Tanpa Ibu-ibu yang berkepentingan. Menyongsong masa depan yang tak diketahui."
Elien Utrecht, Melintasi Dua Jaman: Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan (Jakarta: Komunitas Bambu, 2006) hlm. 69-70.
Menurut Joost Cote dalam Recalling the Indies, dampak dari dipisahkannya kamp laki-laki dan perempuan untuk menghindari lahirnya bayi, terjadilah hubungan homoseksual dan lesbian di kamp-kamp. Bahkan hubungan seksual antara penjaga kamp Jepang dan tahanan perempuan pun terjadi.
Ketika September 1945, setelah Jepang bertekuk lutut, tentara sekutu menemukan 1.900 tawanan Belanda di Jakarta dalam keadaan menyedihkan.
Itulah yang terjadi. Ketika Jepang menginjakkan kekuasaannya di sini, warga Belanda dan sebagian Tionghoa menjumpai hari-hari yang tak sama lagi. Pada bulan-bulan awal, mereka mendapatkan makanan yang cukup. Terbilang mewah untuk seorang tawanan. Namun menjelang kekalahan Jepang, mereka dipindah ke Serang dan Cimahi.
Kala itu, kota Serang dijadikan penampungan untuk menyatukan tahanan Tionghoa dari seluruh Jawa dan Madura. Diperkirakan saat itu 500 orang Tionghoa dari Pulau Jawa dan 6 orang dari Pulau Madura dikumpulkan di tempat itu.
Bahkan untuk mandi pun mereka kesulitan. Dari catatan Rita la Fontaine de Clercq Zubli berjudul Disguised, ada disinggung pula masalah mandi ini.
Para perempuan menggunakan kain sarung untuk mandi di sumur. Satu tangan memegangi sarung, sementara tangan lainnya mengguyur air dengan gayung. Ketika menyabuni badan, tepian sarung digigit, sementara dua tangan bekerja di dalam sarung.
Catatan Rita itu terbit pertama kali di London pada 2007. Rita merupakan gadis Indo-Belanda. Kala menjadi tawanan Jepang, dia baru berusia 12 tahun.
Teman-teman di Jember memang belum berhasil merangkai kisah original tentang keberadaan Kamp Interniran di Kotok, di masa yang lalu. Namun kiranya masih ada harapan untuk menelisik kisah itu, sebab menurut beberapa catatan, meskipun biasanya kamp-kamp tersebut sengaja dibangun agak sedikit jauh dari pusat kota atau di lokasi tersembunyi, terkadang hal itu tak luput diketahui oleh warga sekitar. Namun tentu saja kita berlomba dengan waktu. Saksi mata --warga sekitar-- yang saat itu berusia 10 tahun kini telah berusia lanjut. Jika pun telah menjumpai saksi mata, kita masih berhadapan dengan daya ingat seseorang, serta hal-hal lainnya.
Jika ada data segar mengenai ini, tentu akan lahir artikel selanjutnya. Semoga.
Catatan
1. Komandan Kamp saat itu --April 1946 hingga Mei 1947-- bernama Moh. Rais. Ia adalah Wedono dari Kalisat.
2. Kepemimpinan Kamp di bawah pengawasan Nyonya M.H. Edie-Horsting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar