Senin, 30 Maret 2015

Mengenang Gedung Bioskop di Jember

Senin, 30 Maret 2015
Oleh RZ Hakim

Ketika saya masih kecil, sore yang cerah adalah saat yang dinanti-nanti. Saya dan teman-teman akan ada di tepi jalan menanti datangnya mobil box yang dipenuhi poster-poster film. Di atas mobil itu terdapat toa. Lalu orang yang ada di samping kiri pak sopir akan setia memegang microphone dan tak henti-hentinya berkata, "Saksikanlah.. Saksikanlah!"

Itulah secuil dari masa kecil saya selama tinggal di JL. Pahlawan di wilayah Patrang, kini bernama JL. Slamet Riyadi.

Kisah lain yang saya ingat adalah ketika sekolah saya --di SDN Patrang 1 Jember-- mewajibkan siswa-siswinya untuk menonton film Tjoet Nja' Dhien. Ia adalah film drama epos berlatar sejarah Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, sebab saya benar-benar lupa meskipun telah sekuat tenaga mengingatnya kembali. Waktu kelas berapa saya nonton film ini? Apa baju yang saya gunakan saat itu? Saya lupa. Ingatan saya hanya samar-samar saja. Hanya tentang bagaimana guru-guru saya mengkoordinir siswanya untuk menonton film. Sebagian besar teman-teman saya nonton dengan ditemani orang tuanya. Satu lagi yang saya ingat adalah gedung bioskop tempat kami menonton secara kolektif. Itu di bioskop Kusuma Jember.

Seorang kawan bernama Elfira pernah melakukan wawancara dengan beberapa orang demi mengetahui perwajahan gedung bioskop di Jember tempo dulu. Dia juga menyinggung tentang keberadaan Kusuma.

Bioskop Kusuma dulunya bernama Bioskop Ambassador. Pembukaannya pada tanggal 15 Maret 1952. Pak Edi, seorang pemutar rol film (proyeksionis) yang telah bekerja sejak dibukanya bioskop tersebut mengatakan pada masa kejayaannya sekitar sedikitnya 300 sampai 400 orang perhari menonton film disana. Bioskop Ambassador berganti nama menjadi Duta, penggantian pemilik lalu membuatnya berubah nama menjadi Kusuma.

Pada masa-masa awal Bioskop Kusuma memiliki tustel pemutar film terbaik di Indonesia, sama seperti di Jakarta dan Surabaya. Bioskop Kusuma memutar film-film lokal, india, china, dan film barat dari MGM (Metro Goldwyn Mayer), Columbia Pictures, serta Paramount. Film-film tersebut diambil dari kantor distributor film di Surabaya. Sama seperti bioskop-bioskop lainnya, Kusuma sempat mengalami mati suri. Namun Kusuma mulai bangkit lagi dengan perubahan manajemen dan menggunakan nama baru yaitu New Kusuma. Sampai saat ini New Kusuma mendapat respon yang cukup bagus dari masyarakat Jember.

Hasil wawancara Elfira dengan Pak Edi, lelaki kelahiran 16 Agustus 1933.

Pergantian nama-nama gedung bioskop di Indonesia terjadi pada tahun 1960. Ketika itu Presiden Sukarno tidak suka dengan segala hal yang menggunakan nama-nama asing. Semua dirubah menjadi nama-nama Indonesia.

Gedung bioskop lain yang ada di Jember adalah REX Theatre. Bertempat di Jalan Imam Syafi'i, kini bernama JL. Diponegoro. Saat ada perubahan nama-nama asing, REX Theatre berganti nama menjadi bioskop Jaya. Kini bekas gedung bioskop Jaya beralih fungsi menjadi sebuah toko, Sumber Kasih namanya. Bioskop REX/Jaya terbilang gedung bioskop tua di Jember. Selain Jaya, gedung bioskop tua lainnya adalah CATHAY Theatre. Kini Cathay Theatre menjadi gedung Telkom, di belakang Masjid Jamiek lama. Kata Lik Wuwul, dulu Cathay mengalami kebakaran kemudian gulung tikar.

Di seberang gedung bioskop Jaya juga ada gedung bioskop Sampurna. Sebelum ada Cineplex 21 di Johar Plasa Jember, Sampurna adalah gedung bioskop dengan karcis yang paling mahal. Hingga pertengahan tahun 1990an harga karcis adalah 1.250 rupiah. Terbilang mahal sebab ketika itu harga angkutan umum Lin dan bus DAMRI untuk pelajar masih 50 rupiah, sebelum akhirnya mundak menjadi 100 rupiah. Cineplex sendiri baru beroperasi di Jember sekitar tahun 1993-1994.

Jika kita hanya punya uang pas-pasan namun ingin nonton film, pilihannya adalah bioskop Indra atau bioskop Kusuma. Harga karcis sama-sama 500 rupiah. Bioskop Jaya 750 rupiah. Itu adalah pertengahan tahun 1990an yang indah. Ketika itu Gebang Theatre alias GT sudah terlebih dahulu gulung tikar.

Bagaimana jika uang kita pas-pasan tetapi ingin merasakan kursi empuk warna merah di Cineplex 21 Johar plasa Jember? Satu-satunya cara adalah menanti datangnya hari Senin. Di Senin siang dan sore, Cineplex 21 ramai sekali dipenuhi oleh para pelajar. Ini adalah saat yang tepat untuk nonton film. Harga karcis khusus 'senenan' adalah 1500 rupiah. Saya sering menjadi bagian dari penonton Cineplex 21 di hari Senin.

Di tahun 2000 ada kabar sedih bagi para pencinta film bioskop. Gedung Sampurna mengalami kebakaran, disinyalir karena ada konsleting listrik. Saya jadi ingat kejadian dua tahun sebelumnya, di pertengahan bulan Januari 1998. Saat itu Sumber Mas Department Store --toko swalayan terbesar kedua setelah Johar Plasa Jember-- mengalami kebakaran. Kejadiannya pada dini hari. Saya adalah salah satu dari sekian orang yang menyaksikan proses memadamkan api.

Gedung-gedung bioskop lainnya selain Kusuma, Jaya, Indra, Sampurna, GT, Cineplex 21, serta Cathay (yang saya ketahui tentang Cathay adalah sedikit sekali) adalah kisah tentang Trisno Theatre. Ia adalah anak perusahaan dari Jaya Theatre. Lokasinya ada di JL. Trunojoyo Jember.

"Film-film sing diputer nang Jaya Theatre pasti mlayune nang Misbar Trisno Theatre, baru maringono diputer nang Gebang Theatre," kata Lik Wuwul.

Masih menurut sumber yang sama. Dulu lapangan ARMED Jember pernah menjadi Misbar. Di Gladak Pakem juga ada Misbar milik Haji Imam. Selain hiburan film bioskop, dulu di Jember juga marak hiburan kesenian.

"Mbiyen nang Kantin --kini berfungsi menjadi PUJASERA-- iku gedung konser gawe pertunjukan wayang wong. Terus nang balai desa Jember Kidul JL. Gajah Mada --kini jadi RM Chiong On-- iku khusus konser ludruk. Terus gang Babian JL. Rasulta iku yo khusus konser ludruk."

Senang sekali menelisik keberadaan gedung-gedung bioskop di Jember tempo dulu.

Pertengahan tahun 1990an adalah masa suram bagi industri film tanah air. Bioskop-bioskop di Jember mulai sepi, semua siap-siap gulung tikar. Jember sempat mengalami ketiadaan gedung bioskop lumayan lama. Pertama kali yang berani membuka bisnis hiburan film di Jember adalah ketika Gedung Bioskop Kusuma kembali beroperasi, 2005-2006. Ia berganti nama menjadi New Kusuma Theatre. Kata Cak Ratt, beberapa waktu yang lalu New Kusuma Theatre kembali merubah namanya menjadi Jember Cineplex.

Bagaimana dengan Kalisat? Apakah ia juga memiliki cerita tentang gedung bioskop?

Keberadaan Gedung Bioskop Binaria di Kalisat

*Cerita di bawah ini saya sarikan dari cerita Ibu Sulasmini kepada saya pada 23 Januari 2015.

Di pemula era 1950an, paska 'booming' film Darah dan Doa, berdirilah sebuah gedung bioskop bernama Binaria. Lokasinya ada di seberang Koramil Kalisat. Ia didirikan oleh seorang pengusaha dari Surabaya. Lalu dibeli oleh Chung Yang, seorang pengusaha Kalisat yang masih bersaudara dengan Yok Cemara.

Ketika film Rhoma Irama sedang populer di era 1970an, bioskop Binaria ramai sekali. Orang-orang harus antri untuk bisa membeli karcis.

Sebelumnya, ada sosok yang tak kalah dengan pamor Rhoma Irama. Ia adalah seorang gadis cantik di masanya, Rita Zahara. Salah satu film yang pernah diperankan oleh Rita Zahara berjudul, Teror Di Sulawesi Selatan, rilis tahun 1964. Ia juga terlibat dalam film Tjoet Nja' Dhien, berperan sebagai Nya' Bantu. Selain piawai sebagai aktris, Rita juga seorang pemain drama sandiwara dan seorang penyanyi keroncong. Salah satu lagunya yang disukai oleh orang tua saya berjudul surat undangan.

"Rita Zahara itu juga seorang kiper sepakbola perempuan lho Nak," kata Ibu Sulasmini. Di masa itu, pemain film perempuan lain yang juga menjadi atlit sepakbola adalah Nurnaningsih, kelahiran Surabaya, 5 Desember 1925.

Pada tahun 1960, ketika Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua nama yang berbau asing, bioskop Binaria tak mengalami nasib seperti bioskop Rex Theatre Jember yang merubah namanya menjadi Jaya, atau Ambassador yang merubah namanya menjadi Duta, lalu berubah lagi menjadi Kusuma. Binaria tetap Binaria.

Seiring semakin menguatnya keberadaan televisi swasta di Indonesia pada pertengahan era 1990an, bioskop Binaria pun gulung tikar. Itu adalah masa suram bagi industri film tanah air.

"Saya masih ingat ketika Binaria beroperasi di pertengahan 1990an. Saat itu salah satu petugas gedung bioskop yang bertugas memutar film, ia adalah Pak Bani. Saya mengenalnya," kata Ivan, anak bungsu Ibu Sulasmini.

Kini gedung bioskop Binaria beralih fungsi menjadi Toko Baju Surya yang dikelola oleh seorang pengusaha dari Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014