Rabu, 14 Oktober 2015

Asal-usul Tanah Kalisat

Rabu, 14 Oktober 2015
Oleh Hery Soekinem

Sepatah Kata Penulis

Orang yang baik adalah orang yang berani menjaga keutuhan martabat dan nama baik keluarganya secara ikhlas lahir batin, cinta kasih serta saling memberi dan menerima dalam situasi apapun demi terciptanya rasa persatuan dan kesatuan keluarga dan sesamanya.

Buku ini berisi tentang kisah sesepuh kita semua yang dahulu pembabat daerah kota Kalisat. Kisah ini ditulis dari hasil kesepakatan para sesepuh atau tetua-tetua kita dahulu.

Buku ini saya tulis dikandung maksud agar dibaca anak-anak saya, ponakan saya, cucu-cucu saya, cicit-cicit saya dan seterusnya. Yang maksud dan tujuan untuk dijadikan bahan tolak ukur dalam belajar dan meniti kehidupan ke depan, serta dapatnya minimal bisa membanggakan perjuangan para sesepuhnya yang terdahulu.

Semoga kisah ini dapat bermanfaat bagi kita Keluarga Besar "Raden Bakat Joyo Manguk alias Buyut Genduk alias Buyut Geluduk."

Wassalam

Penulis/Hery Soekinem


Asal-usul Tanah Kalisat


PERJALANAN MEMBAWA AMANAT


Dahulu kala kurang lebih tahun 1685 sebelum tempat-tempat sekarang ramai tersebutlah tiga saudara yaitu Buyut Halim, Buyut Mahin, dan Buyut Genduk. Ketiga saudara tersebut adalah santri dari Kanjeng Sunan Kudus. Beliau bertiga memiliki nama asli R. Halim Joyo Laksono, R. Mahin Joyo Kusumo, R. Bakat Joyo Manguk. Ketiga orang tersebut bersaudara kakak beradik mengemban tugas mensiarkan agama Islam ke timur.

Suatu hari berangkatlah ketiga bersaudara tersebut dari daerah Rembang Jawa Tengah. Perjalanan tersebut berhari-hari bahkan berbulan-bulan keluar masuk daerah yang satu ke daerah yang lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Tidaklah halangan dan kepahitan sering dialami ketiga bersaudara tersebut. Tetapi dengan tabah dan sabar dihadapi dengan tawakal kepada Allah SWT.

Perjalanan demi perjalanan sampailah tiga orang tersebut ke daerah Surabaya. Tepatnya di daerah Jagir (sekarang Wonokromo). Di daerah Jagir menetap beberapa bulan, bersilaturahmi ke pesantren Ampel, Giri, dan tempat pesantren lainnya. Maka ketiga orang tersebut akan melanjutkan perjalanan ke timur.

Raden Bakat berkata, "Kang Mas meneruskan perjalanan ke timur, biar dimas mau ke utara pantai Madura."

Sahdan perjalanan R. Bakat ke Madura mengendarai tapis kelapa yang kering yang seperti perahu bentuknya, melintasi lautan pulau Jawa di perairan pantai Madura. Sedangkan kakak Raden Bakat yaitu Raden Mahin Joyo Kusumo dan Raden Halim Joyo Laksono meneruskan perjalanan ke timur dengan mengendarai kupu-kupu pemberian sesepuh Kiai Jagir seorang ulama berilmu tinggi dan bijak.

Keduanya berangkat menaiki kupu-kupu pemberian Kiai Jagir. Perjalanannya berbulan-bulan dari satu daerah ke daerah lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Banyak pengalaman-pengalaman yang dihadapi karena pada masa itu orang-orang banyak menganut agama Hindu. Sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan kedua saudara itu mengarungi perjalanan.

Karena kupu-kupu melihat badan luas yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang bermacam-macam maka turunlah kupu-kupu itu. Turunnya kupu-kupu itu sahdan di antara dua sungai (sekarang dusun Gerugul desa Sukoreno, Kalisat).

Raden Mahin berkata kepada kakaknya:

"Biar Kangmas saya mau membuka tanah ini, asal saja nanti kalau membuka tanah lain Kangmas harus sama di bulan Rajab hari Kamis Keliwon!"

Sedangkan Raden Halim meneruskan perjalanan ke timur, karena siang tengah hari kupu-kupu yang dinaiki melihat sumber air yang besar dan jernih maka turunlah kupu-kupu tersebut (sumber air itu yaitu bernama Sumber Tujuh di bawah Gumuk Pakil Kalisat Barat dan sampai saat ini sumber tersebut dipakai sebagai pemandian umum).

NAIK IKAN MUNGSING

Sahdan keadaan Raden Bakat di wilayah Sumenep Madura bermukim tidak seberapa lama karena Raden Bakat tercakup kasus masuk barisan kolonial penjajah. Dengan pertolongan Allah SWT Raden Bakat dapat melarikan diri hengkang/pindah ke daerah Pamekasan dan di sinilah beliau bermukim agak lama. Dan di Pamekasan ini Raden Bakat beristri lagi yang kedua tulen orang Pamekasan yang bernama Gluduk. Hingga kedua istrinya berkumpul dengan rukun. Perlu diketahui istri pertama Raden Bakat asli orang Sumenep bernama Genduk.

Memang kita perlu menyadari bahwa orang tua zaman dahulu rata-rata merupakan orang yang tekun dan tabah dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan hidup walaupun ke seberang lautan sekalipun mereka arungi demi masa depan bangsa yang akan datang.

Tidak lepas dari tanggung jawab dan kewajiban Raden Bakat untuk menghidupi kedua isrinya di Pamekasan dan sambil berdagang barang kelontong, kain sarung, dll. Raden Bakat berdagang tidak hanya berkeliling pulau Madura saja. Sambil berdagang juga mensiarkan agama Islam bahkan sampai juga ke wilayah tanah Jawa Besuki Panarukan.

Kepentingan Raden Bakat berdagang hingga sampai daerah Panarukan Besuki meninggalkan kedua istrinya tercinta tujuannya pula sambil menjenguk kesehatan kakak kandungnya yaitu Raden Halim Joyo Laksono yang berada di daerah Jember Utara yaitu wilayah Kalisat. Perjalanan Raden Bakat setiap pergi berdagang dari pulau Madura ke pulau Jawa tidak hanya memakan waktu sehari dua hari, bahkan berbulan-bulan.

Dari seringnya datang berdagang ke daerah Besuki, Raden Bakat beristri lagi orang Besuki bernama Ripa dan tak lama kemudian istri yang ketiga ini oleh Raden Bakat diboyong juga ke Pamekasan Madura.

Di Pamekasan inilah ketiga istrinya berkumpul bersama, dan ketiga istrinya tersebut rukun dan damai saling bantu membantu dalam mengabdikan dirinya sebagai istri kepada suaminya. Bukan merupakan keanehan ketiga istrinya kumpul menjadi satu rukun dan damai sebab beliau memang berilmu tinggi bahkan kalau perlu walau binatang buas sekalipun akan luluh dan tunduk pada dirinya. Namun apa daya, selama Raden Bakat bermukim di Pamekasan bersama dengan ketiga istrinya hambatan dan rintangan baginya selalu berkobar menghalangi sehingga beliau tidak dapat bertahan. Maklum kaum penjajah saat itu sewenang-wenang terhadap bangsa kita, karena pada waktu itu kaum penjajah VOC baru menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini untuk mengadakan persaingan dan monopoli dagang.

Beliau bersama dengan ketiga istrinya hengkang/pindah dari Pamekasan Madura ke daerah Panarukan Besuki.

Dalam perjalanannya, Raden Bakat bersama ketiga istrinya dari pantai utara Madura ke pantai selatan Panarukan Besuki, tidak dinyana sebelumnya di tengah lautan yang luas cuaca seketika di atas langit penuh mendung tebal dan tak lama kemudian datang ombak dan badai yang sangat besar disertai dengan angin kencang yang menggila. Raden Bakat bersama ketiga istrinya menghadapi seperti itu dalam keadaan panik dan kehilangan keseimbangan berhubung perahunya terombang-ambing dipukul ombak dan angin yang besar sehingga perahu yang ditumpangi tidak telak lagi karam.

Raden Bakat bersama ketiga istrinya berusaha sekuat tenaga memegangi perahunya yang karam itu agar tidak tenggelam ke dalam laut.

Allah Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Bijaksana kepada umatnya, waktu itu beliau sekeluarga berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba muncul ikan yang sangat besar sekali, namanya ikan Mungsing dan seketika itu juga Raden Bakat bersama ketiga istrinya yang masih memegangi perahu yang terombang-ambing tahu-tahu sudah di punggung ikan besar tersebut, seakan-akan Raden Bakat bersama ketiga strinya duduk di sebuah meja yang besar.

Lalu ikan besar itu berkata:

"Tujuan hendak kemana gerangan ada di sini?"

Raden Bakat menjawab:

"Saya mau pulang ke tanah Jawa Panarukan Besuki."

Ikan besar itu bertanya lagi:

"Aku antarkan kamu semua ke pantai Panarukan tapi harus engkau ingat, tujuh turunan dari kamu tidak boleh makan dagingku!"

Raden Bakat menganggukkan kepala dengan takdimnya dan menyetujui permintaan ikan mungsing besar itu yang telah menyelamatkan beliau sekeluarga. Tak lama kemudian beliau sekeluarga sampailah di pantai Panarukan dengan selamat. Dan setelah itu Raden Bakat sekeluarga meneruskan perjalanannya menuju Besuki.

Untuk mengenang perjalanan Raden Bakat bersama ketiga istrinya, dari pantai Madura menuju pantai selatan Panarukan Besuki maka dengan bijak Raden Bakat memberikan gelar kepada istrinya yang pertama dengan nama "Mungsing Sari," sebab yang menolong beliau sekeluarga waktu perahunya karam di tengah lautan adalah ikan mungsing besar.

Dan gelar yang diberikan kepada istri kedua ialah dengan nama "Lembu Petteng" karena pada waktu perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika diterpa badai keadaan perahu gelap, Raden Bakat meraba-raba waktu tu tepat memegang seekor sapi.

Sedangkan pemberian gelar kepada istrinya yang ketiga ialah dengan nama "Singo Mendung," pemberian gelar ini disebabkan karena perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika perahunya diamuk badai kala itu mendung di atas lautan tebal hitam menakutkan, seakan-akan hendak menelan lautan beserta isinya.

SAMBIL DUDUK MENEBANG HUTAN

Perihal tindak lanjut keadaan Buyut Halim di daerah Jember Utara maka, dengan tekun dan tanpa terbabatkan suatu dusun yang asalnya hutan belantara penuh dengan belukar dan angker. Berhubung Buyut Halim keadaannya yang sudah tua maka kesehatannya menurun dan ia tidak dapat melanjutkan pembabatannya yang ia tempati karena kemampuan manusia itu serba terbatas seperti halnya Buyut Halim. Sebelum ia dipanggil oleh Allah maka sempat ia mengirim kabar kepada adik kandungnya yaitu Raden Bakat di Besuki agar ia dapat melanjutkan pembabatannya dan sempat pula ia memberi petunjuk-petunjuk tentang daerah babatannya yang masih belum selesai.

Sementara Buyut Halim menetap di daerah Gumuk Pakel, sambil membuat rumah gubuk kecil untuk melindungi dinginnya malam hari dan terik matahari. Untuk makan Buyut Halim setiap hari tidak bingung karena banyak tanaman di sekelilingnya bermacam-macam untuk kebutuhan sehari-harinya. Suatu hari tepatnya Bulan Rajab Kemis Kliwon dimulailah penebangan yang dimulai dari lereng Gumuk Pakel. Buyut Halim menebang pohon-pohon besar menggunakan tombaknya yang bernama "Sanjung Langit Nogo Ilang."

Tombak itu dilemparkan ke tanah maka berputarlah di tanah dan mengeluarkan asap tebal serta seketika itu kepulan asap itu berubah menjadi ular yang sangat besar, maka ular itulah yang menumbangkan pohon-pohon besar itu (tombak tersebut sampai saat ini masih ada di rumah penulis dan kesaktiannya masih bisa dibuktikan, kalau ingin melihat kesaktiannya bila malam Kemis Kliwon).

Berbulan-bulan penebangan pohon-pohon besar dan tempat-tempat banyak dibersihkan. Suatu hari Buyut Halim sakit lantas mengirim kabar memanggil adiknya Raden Bakat di daerah Besuki. Terkirim salam lewat angin Buyut Halim memakai kesaktiannya bernama "delik ati miber angin."

Selang beberapa lama maka Buyut Halim wafat dengan tenang, karena ada yang meneruskan perjuangannya untuk dinikmati dan untuk kesejahteraan keturunannya dan pada sesamanya. Adapun makam Buyut Halim sampai saat ini di sebelah barat tempat pemotongan sapi (muka pelabuhan Kalisat).

Sejak pada saat itulah Raden Bakat dengan hati-hati diambilnya tongkat pusakanya dan dengan segera menuju ke tempat yang dipesankan Buyut Halim saudaranya dengan bekal keyakinan dan ketekunan serta ketabahan sehingga mampu sampai ke tempat yang dituju. Apa boleh dikata, tidak ada hutan yang tidak beronak dan berduri dan tidak ada kehidupan yang tidak ada rintangan.

Pada suatu tempat Raden Bakat bersama keluarganya ia tak bisa melintasi sungai (sekarang dinamakan sungai pelabuhan utara makam pahlawan Kalisat), karena keadaan sungai waktu itu banjir besar. Dengan tidak disadarinya ditancapkannya tongkat yang dibawa untuk menghela agar air tidak ke tempatnya Raden Bakat sekeluarga.

Sementara itu sembari menunggu kecilnya air sungai, menanti hingga keesokan harinya, berharap air sungai yang banjir itu bisa surut. Dengan kebesaran Yang Maha Kuasa, air yang tadinya banjir itu "sat." Bertepatan pada waktu itu pagi-pagi benar Nyi Genduk hendak mencuci pakaian ke sungai tersebut. Sesampainya di tempat yang dituju ia segera kembali, namun berpapasan kedahuluan suaminya yang bertanya kepada Nyi Genduk yang dari sungai.

"Lah...Kok balik?"

Nyi Genduk menjawab, "Kaline Sat...!"

Seja saat itulah sesuai dengan jawab ramalan Raden Bakat menyatakan bahwa besok daerah ini terbuka sebagai lanjutan (sedari kini). Kuberi nama daerah ini dengan nama "Kali-sat."



Kira-kira kurun beberapa hari, Raden Bakat mulai melanjutkan babatan yang masih belum selesai melaksanakan pesannya Buyut Halim tentang tempat-tempat yang dpesankan. Salah satunya berpesan agar pohon yang paling besar yang berada di tengah-tengah daerah babatannya yaitu pohon beringin dan pohon katu agar tidak ditebang, karena pohon itu tempat tidurnya macan yang kuasa di wilayah alas tersebut.

Alkisah, macan tersebut sudah tunduk kepada Buyut Halim dan sudah lulut kepada Buyut Halim. Macan tersebut jumlahnya dua ekor, yang satunya bulunya merah tidurnya di lubang pohon beringin, dan yang satunya lagi bulunya belang tidurnya di bawah pohon katu. Pohon katu itu tumbuh di ketinggian rawa-rawa yang curam dan keadaannya wilayah itu berair (ledok). Tempat itu sekarang Terminal Kalisat dan sekitarnya, hingga sekarang kampung itu diberi nama kampung Ledok (selatan stasiun KA Kalisat).

Kira-kira pada tahun 1798, semua babatan sudah selesai dan sudah dibersihkan sehingga banyak sebagian yang mendirikan gubug-gubug. Sudah ada banyak pendatang dari Jawa Tengah, Madura, Bangil, Gresik, Tulungagung, Bojonegoro. Orang-orang itu untuk berdagang dan bekerja, pendatang itu menyatu membuat gubug-gubug kecil seperti perkampungan berhimpit-himpitan. Sehingga sampai sekarang perkampungan itu tetap dinamai Kampung Templek, asal kata dari nemplek.

Suatu hari secara serempak bersama-sama Raden Bakat dinobatkan menjadi tetua wilayah babatan atau menjadi kepala desa Kalisat.

Kurang lebih pada tahun 1802, para penduduk yang mendiami wilayah itu ada sesepuh yang kharismanya tinggi, berilmu tinggi, alim agamanya yaitu Buyut Patar berasal dari pulau Madura (makam Buyut Patar sekarang di pinggir sungai selatan pasar Kalisat). Buyut Patar tersebut oleh Raden Bakat dengan kesepakatan penduduk diangkat menjadi wakil Kepala Desa atau Carik.

Kantor desa dahulu berada di sebelah timur di wilayah yang ramai penduduknya yaitu di seputaran kampung Nemplek. Dahulu rumah dan kantor desa disebut orang dengan Kerajaan sehingga sampai sekarang dikatakan dengan Dusun Krajan. Dimana-mana desa kalau ada Dusun Krajan berarti rumah dan kantor desa Kepala Desa pertama.

Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, hingga Kalisat mulai ramai penduduk yang datang untuk berdagang. Raden Bakat selaku Kepala Desa Kalisat merasa perlu untuk mendirikan pasar. Pengadaan pasar Kalisat pertama tahun 1835.

Kepala desa dan carik tiap sebulan sekali kalau repotan (laporan) atas perkembangan desanya yaitu ke Besuki (kepada Residen Besuki). Hal ini aturan tempo dulu.

Kepala desa dan carik kalau repotan naik kuda. Keduanya terbang naik kuda, kalau Kepala Desa naik kuda sebagai cambuknya seadanya apapun bisa digunakan. Kalau Pak Carik sebagai cambuk kudanya khusus yaitu berupa lidi yang dijadikan satu. Keramaian di desa Kalisat tiap tahun sangat pesat sekali, keramaiannya itu berkat kepemimpinan Raden Bakat dan Buyut Patar, sehingga tidak terasa kira-kira hari Rabu tanggal 1 bulan dua 1902 Adipati Jember pertama RM. Astrodikoro dan Wakil Gubernur Surabaya yang di Jember John Van Horn sempat berkenan hadir ke Kalisat, naik kereta kuda yang jumlah kudanya empat ekor.

Dan pada hari Senin tanggal sembilan (lima) bulan lima 1947 Adipati kedua (ketiga) RP. Sudarman sempat swan ke desa Kalisat diantar oleh Wedana Kalisat RM. Surahmat Hadinoto yaitu meninjau sapi perah di rumah Mbah Abdul Wahab (Mbah Mariam dan Mbah Pasah).

Demikian asal-usul secara singkat terjadinya tanah Kalisat, mudah-mudahan hal ini dapat dijadikan pegangan instropeksi kehidupan bagi anak cucu berikutnya.

Selesai


BIOGRAFI PENULIS

Nama: Hery Kusyanto,S.Pd

Tempat, tgl lahir: Jember, 29 Juni 1958

Status Anak: Anak ke-3 dari Mr. Achmad Djamaludin dengan Soekinem

Jabatan: Kepala Sekolah SDN Kalisat 04

Alamat Rumah: Jalan Sumber Bringin Dusun Grugul Desa Sukoreno Kalisat


PENUTUP

Penulis kisah ini adalah Aliran dari keturunan nasab Buyut Genduk dengan istrinya yang ketiga yaitu Buyut Ripa (Buyut Singo Mendung). Penulis mengangkat kisah ini hasil dari kesepakatan para sesepuh-sesepuh kita terdahulu.

Penulis juga merangkum kisah cerita ini dari beberapa narasumber:

1. Bpk. SOEDARSO (Almarhum);

2. Bpk. SOEKINEM (Almarhum) berasal dari Mbah Pasah dan Mbah Abdul Wahab (Mbah Maryam);

3. Bpk. SOEKIMAN (Putra Bungsu Pasah);

4. Dan sesepuh-sesepuh lainnya.

Demikian cerita ini terangkum sangat sederhana sekali, bila kurang sempurna penulis mohon maaf karena semata-mata penulis berusaha dan berupaya untuk mengingatkan kita semua khususnya keturunannya bahwa sesepuhnya terdahulu adalah seorang Ulama Agama yang terhormat dan Aliran Darah Ningrat.


Penulis

HERY SOEKINEM



Catatan:

Dituliskan kembali oleh RZ Hakim, atas izin ahli waris. Tulisan di atas nyaris tanpa edit, kecuali sedikit edit redaksional saja.

Buku "Legenda: Asal-usul Tanah Kalisat" adalah milik Keluarga Besar Alm. MADIROSO, dipinjamkan --kepada RZ Hakim-- oleh putra bungsu Alm. Madiroso yaitu Krisna Kurniawan, pada hari Kamis Kliwon, 8 Oktober 2015.

Mengenai silsilah para keturunan Buyut Genduk bisa dibaca di SINI.

2 komentar:

Sudut Kalisat © 2014