Sabtu, 31 Oktober 2015

Kedai Lecang Kalisat

Sabtu, 31 Oktober 2015
Oleh RZ Hakim

Impian membuat kedai bisa dialami oleh siapa saja, tak peduli siapa dan apa latar belakangnya. Ia bisa hinggap di benak pemuda Rotterdam hingga pensiunan pegawai negeri di Merauke. Begitu juga impian empat pemuda kelahiran tahun 1990an dari Kalisat, kabupaten Jember. Mereka adalah Gunawan, Verdy, Febri, serta Fanggi. Mimpi ini bermula ketika mereka masih bekerja di Pulau Dewata. Melihat orang-orang berlalu lalang di sebuah cafe, bercakap-cakap, menikmati hidup, barangkali hal-hal serupa itu yang ingin mereka bawa pulang ke Kalisat.

Pada 13 Januari 2014 lalu, saya mengirimkan pesan pendek kepada Fanggi, ketika ia memutuskan untuk berproses --kerja-- di Bali, mengikuti jejak Verdy dan Gun. Ini pesan pendek yang saya kirimkan.

"Oke Fanggi ati-ati dan sukses ya. Masbro masih di Jkt."

Sepuluh bulan kemudian --16 November 2014, ketika saya dan istri berkunjung ke Kalisat, saya berkesempatan berjumpa dengan Fanggi. Kami ke sana, salah satu tujuannya adalah untuk nongkrong di cafe seberang stasiun Kalisat yang dibuka oleh seorang teman muda bernama Frans Sandi. Ia baru membuka cafe itu sehari sebelumnya, 15 November 2014, bertepatan dengan peringatan tiga tahun pernikahan kami.

Fanggi. Lelaki bungsu dari tiga bersaudara ini memanfaatkan hari liburnya untuk pulang. Dari Fanggi kami mengerti, baru-baru ini Febri juga memutuskan untuk hijrah ke Bali. Fanggi dan teman-teman yang mencarikan Febri pekerjaan.

"Saya tetap ingin ke Jogja Mas. Tapi sebelum itu, saya bersama Mas Verdy ingin membuat sesuatu di Kalisat. Semacam kedai yang dilengkapi distro, untuk menjual karya-karya sendiri. Ya ada kaos, serta hasil-hasil karya yang lain." Begitu menurut keterangan Fanggi, lelaki muda kelahiran Kalisat, 13 Agustus 1995.

Di pertengahan November tahun lalu itu, Fanggi bilang jika akan pulang ke Kalisat. Bikin kedai. Melaksanakan impian. Fanggi memberi batasan 6 bulan lagi dia mantap akan pulang. Jadi, sekitar bulan Mei 2015 dia akan pulang, bersama teman yang satu impian. Kelak, tak hanya Verdy dan Fanggi yang berkeinginan mewujudkan mimpi ini. Mereka berempat, Gun dan Febri juga turut serta, meski posisi Gun hanya turut di bagian investasi saja. Empat orang, masing-masing meletakkan satu juta untuk sebuah mimpi.

Ketika saya dan istri memutuskan untuk kontrak rumah di Kalisat, dimulai sejak 20 April 2015, teman-teman muda Kalisat yang ada di Bali saya hubungi. Saya senang sebab mereka masih ada niatan untuk bikin kedai. Fanggi masih berpikiran sama. Ia ingin mengelola sebuah kedai yang ada perpustakaan kecilnya, ada kopi dan semacamnya, musik akustik, jual baju, tempat yang digagas tempo dulu dengan sentuhan agak modern yang didominasi warna pastel biru telur asin, cokelat, putih, hijau dan kuning.

Pada 4 Juli 2015, saya dan Fanggi berkomunikasi lewat jejaring sosial Facebook. Dia sedang berpikir keras tentang sebuah brand. Akan diberi nama apa kedai itu nanti? Saya dimintai tolong untuk sumbang ide. Saya bilang, bagaimana jika namanya kedai Lecang?

Sebenarnya saya tidak ingin turun tangan mengenai masalah nama. Saya bilang ke Fanggi, "Kamu harus memikirkan sebuah kata, yang kata itu bisa memotivasi hidupmu, dan menginspirasi orang lain." Namun kata Fanggi, dia bingung. Jadilah saya mencoba menawarkan sebuah nama. Lecang. Dari bahasa lokal Madura untuk menyebutkan getah buah nangka yang bisa dijadikan lem/perekat, biasanya untuk menjebak burung. Tadinya nama itu saya jadikan nama sebuah gang menuju rumah kontrakan. Di hari yang lain, teman-teman sependapat. Lecang menjadi nama kedai teman-teman, tak lagi saya gunakan untuk menamai gang.

Ketika itu --4 Juli 2015, posisi Fanggi masih ada di Bali.

Saat kami boyongan rumah --20 April 2015-- Fanggi, Fia, Anif, dan beberapa lagi, mereka baru turun dari Ijen. Katanya, memanfaatkan waktu libur. Lagipula EXPA --Sispala tempat mereka pernah aktif berproses-- sedang ada acara. Saat itu mereka menyempatkan diri untuk singgah di kontrakan meski sebentar.

Saya lupa kapan tepatnya Fanggi pulang --dari Bali-- ke Kalisat. Yang saya ingat, di akhir bulan Juli kami sudah ngopi bersama-sama. Bulan Agustus Fanggi (dan Lukman) habiskan untuk membantu/bekerja di IGA Production milik Mas Bajil, yang sedang kebanjiran pesanan kostum karnaval.

Di pemula bulan September, pesanan untuk karnaval masih ada. Setiap kali berjumpa dengan Fanggi, ia tak pernah membahas sedikit pun perihal impian yang belum tersentuh itu. Sebuah kedai. Pertengahan bulan September, jika tidak keliru, pada 17 September 2015, saya coba ingatkan itu.


Fanggi di hari pertama pembukaan Kedai Lecang, 17 Oktober 2015

Pada akhirnya impian itu terwujud juga. Bertempat di pelataran rumah kontrakan orangtua Febri di desa Ajung Krajan, Kalisat, pada 17 Oktober 2015. Saya dan istri senang menjadi pembeli pertama di kedai yang telah lama sekali direncanakan kehadirannya ini. Lima hari sebelumnya, berita gembira ini saya tuliskan di Funpage Facebook Sudut Kalisat.

Di Kalisat akan segera hadir sebuah distro dan kedai bernama LECANG, ia dimotori oleh Fanggi, Verdi, dan Febri. Mereka akan menyediakan ruang publik kecil untuk nongkrong dan bercengkerama, sembari menyiapkan karya-karya seni. Di sini, Anda bisa memesan kaos cukil, sablon, dan lukis.

LECANG direncanakan akan bertempat di rumah orang tua Febri di Kampung Lima, bersebelahan dengan IGA Production, JL. Kartini desa Ajung Krajan.

Tentu mereka akan menghadapi konflik dan proses-proses yang lain, mengingat ini pengalaman pertama mereka mendirikan 'ruang publik kecil' di sebuah kecamatan yang jarang mengadakan hal serupa kecuali musik dan karnaval. Namun di sini telah tercatat, pernah dilakukan/dibuka ruang seni di sekitaran lingkaran Kalisat, keberadaan komunitas teater, kehadiran pelukis, eksistensi penggemar Koes Plus, jaranan, patrol, macapat, pencak, dan beberapa lagi. Kiranya teman-teman 'Lecang' bisa banyak-banyak belajar dari mereka.

Kelak, mereka memang menghadapi konflik yang sederhana namun ia bisa saja berpotensi menjadi sangat rumit jika tidak segera dikomunikasikan. Sebelum Hari H pembukaan kedai Lecang memang telah ada konflik internal antara Febri, Fanggi, dan Verdy. Akan tetapi itu hanya sebuah ketidaksamaan sudut pandang saja, antara tiga lelaki yang sama-sama masih sangat muda. Konflik itu sudah tuntas, beberapa hari sebelum Kedai Lecang dibuka. 

Teguran muncul mula pertama dari Bapak Adi Wiyono selaku Ketua RT, pada 23 Oktober 2015. Wajar. Itu tentang musik akustik. Teman-teman Kedai Lecang pun telah manut. Sejak saat itu, tak ada lagi Live Music. Menjadi tidak wajar ketika konflik-konflik lainnya --ikutan-- mblarah kemana-mana. Saya menjadi empati kepada teman-teman muda itu. Neser.

Kiranya, di kesempatan yang berbeda, saya merasa perlu untuk membuat sebuah arsip tulisan tentang kronologis kejadian yang menimpa teman-teman Kedai Lecang, hanya agar semua menjadi jelas. Terima kasih.

*Bersambung ke catatan: Menjadi Seorang Penyampai Pesan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014