Perjalanan itu dilakukan oleh Hayam Wuruk saat ia berusia kira-kira 26 atau 27 tahun, dengan melibatkan jumlah personil yang sangat besar, dan ditempuh dalam tempo dua hingga tiga bulan lamanya. Pantaslah jika Prapanca bisa menuliskan lebih dari 200 nama-nama desa yang dilalui.
Prapanca lumayan detail menceritakan perjalanan rombongan besar itu. Ketika mereka telah meninggalkan daerah Lumajang dan memasuki wilayah Jember, desa yang mula-mula tercatat adalah Rabut Lawang, di sekitaran muara sungai Bondoyudo. Ia lalu menuliskan saat Hayam Wuruk berburu di Pulumbwan, sekitar desa Wotgalih-Yosowilangun, sebelah Barat pantai Paseban.
Catatan berikutnya dari Prapanca:
"Pada pagi berikutnya ia melalui Kunir dan Besini sebentar lagi memasuki Sadheng dan tinggal di sana selama beberapa hari, sambil bersantai dan menikmati pemandangan alam di Sarampwan."
Selanjutnya yang dituju adalah Kutha Bacok, sebuah tempat di tepian pantai Selatan. Kini masih dikenal nama Gunung Bacok di desa Sumberrejo kecamatan Ambulu, Jember. Beberapa orang menyimpulkan jika yang dimaksud Kutha Bacok adalah Watu Ulo.
Kemudian perjalan menuju Patukangan pun kembali dilanjutkan.
Bilamana Rombongan Hayam Wuruk melintas di Kalisat?
Nama Kalisat memang tidak dijumpai di Negarakretagama. Bisa jadi karena nama-nama daerah yang ditulis oleh Prapanca kini sudah berganti nama disebabkan oleh berbagai hal; diantaranya gelombang migrasi orang madura ke Jember, atau dikarenakan adanya pemberontakan raja-raja kecil terhadap Majapahit. Namun kiranya, jika kita baca lagi kitab tersebut, Prapanca memang tidak menulis secara detail ketika ia melintas di daerah Jember wilayah Utara.
Adalah Nigel Bullough, seorang arkeolog kelahiran Inggris pada tahun 1952 yang senang mengganti namanya dengan Hadi Sidomulyo ini, ia membuat jalur sederhana perjalanan Hayam Wuruk.
Setelah melewati Balung, kemudian Renes (Wirowongso Ajung), perjalanan dilanjutkan menuju Pakis Haji. Disinyalir, yang dimaksud Pakis Haji adalah Pakusari. Dari Pakusari menuju Mayang, menyusuri Kali Mayang hingga menuju Kalisat, lalu Sukowono. Barulah kemudian perjalanan dilanjut ke Tamanan. Dari sini, perjalanan berlanjut hingga ke Pakambangan atau Gambang, desa Tlogosari kabupaten Bondowoso, sampai akhirnya menuju ke Patukangan atau Panarukan.
Menurut Nigel Bullough, daerah yang dilewati merupakan 'jalan pintas' dengan mengikuti aliran Kali Mayang hingga melintas di atas tanah Kalisat. Seperti itulah gambaran sederhana tentang perjalanan rombongan besar Majapahit beserta rajanya, Hayam Wuruk, pada 656 tahun yang lalu.
Disarikan dari kitab Negarakretagama atau Desawarnana, serta dari catatan-catatan Nigel Bullough.
Di pemula keberadaan even JFC, disebutkan --di situs resminya, kini tak tertulis lagi-- bahwa mereka muncul dengan sendirinya, mengusung gaya kontemporer dan tidak memiliki ikatan sejarah dengan Jember. Pada kenyataannya, wilayah-wilayah di Jember dari Selatan hingga Utara, mereka terbilang sangat antusias ketika harus tampil necis, tak hanya di karnaval jalanan saja.
BalasHapusKemudian saya mengenal Kalisat, semacam satelit Jember yang ada di titik Utara. Di sini, semangat karnaval menjadi sebuah ruang dialog, tempat bertemunya orang-orang dari berbagai lapisan.
Lalu saya teringat perjalanan kolosal Majapahit menuju Panarukan, ketika Hayam Wuruk masih berusia 27 tahun.
Nama Kalisat memang tidak dijumpai di Negarakretagama. Namun di catatan Nigel Bullough, seorang arkeolog kelahiran Inggris tahun 1952, ada sebuah pengembangan jalur sederhana perjalanan Hayam Wuruk di tahun 1359 itu. Menurut Nigel Bullough, daerah yang dilewati --di Utara-- merupakan 'jalan pintas' dengan mengikuti aliran Kali Mayang hingga melintas di atas tanah Kalisat.
Kalisat memang bukan daerah yang tumbuh dari reruntuhan kerajaan. Ia hanya sebuah areal perlintasan saja. Tak ada catatan yang menyebutkan berapakah jumlah penduduk Utara di abad ke-14, hanya ada catatan dari Bleeker 500 tahun kemudian. Menurut Bleeker tahun 1845 penduduk Jember berjumlah hanya 9.237 orang. Tentu saja, sebagian hidup di wilayah Utara.
Kiranya, meski Kalisat jauh dari laut, kemungkinan besar telah ada peradaban kecil di sini ketika iring-iringan Hayam Wuruk melintas. Mereka berpotensi melihat panji-panji kerajaan dikibarkan, kereta kencana, aneka kostum Majapahit, alas kaki dan ikat kepala, payung kebesaran dengan sepuhan emas, dan aneka desain di masa itu. Kejadian ini --jika jalan pintas yang disebutkan Nigel Bullough benar-- membola salju hingga sekarang dan menjadi daya rangsang kreatifitas kolektif masyarakat dalam berkehidupan sosial.
Kalisat tak hanya tentang jalur Kereta Api. Kalisat juga tentang sepakbola dan semangat karnaval. Misalnya ditunjang dengan mutu pengetahuan, tak perlu lagi ada keresahan besar mengenai dampak negatifnya.
*Oleh RZ Hakim