Dalam kebudayaan masyarakat Kalisat telah dikenal budaya memelihara hewan yaitu hewan ternak. Macam-macam hewan ternak yang dipelihara, mulai dari sapi, kambing, hingga ayam kampung. Jika dilihat dari foto Kalisat tempo dulu, di tahun 1930an di sini telah ada peternakan sapi perah. Ia adalah sebuah peternakan besar, jauh sebelum di Rembangan ada peternakan yang sama. Hingga hari ini, setiap hari Rabu di Kalisat digelar sebuah pasar rakyat yaitu pasar sapi --bukan sapi perah. Selain sapi, di sana juga ada hewan-hewan lain seperti kambing.
Mengenai memelihara ternak ayam kampung, setidaknya dalam satu RT terdapat satu keluarga yang memeliharanya. Kebiasaan ini didukung oleh kondisi lingkungan. Tak ada masyarakat yang keberatan jika ada tetangganya memelihara ayam kampung. Alasan lain, karena rata-rata hunian masyarakat Kalisat memiliki halaman yang cukup untuk dijadikan ruang bermain ayam kampung. Kecuali tentu saja bagi mereka yang tinggal di sebuah perumahan dan cluster. Untuk dapat memelihara ayam kampung, mereka tentu perlu memikirkan space kandang serta bagaimana sebaiknya memelihara aroma agar tidak mengganggu tetangga kiri kanan.
Warga Kalisat memiliki sejarah yang panjang dengan ayam kampung.
Di Kalisat, agama paling dominan --menurut pengamatan secara acak-- adalah agama Islam. Ia adalah sebuah agama samawi yang dalam kitab sucinya ada beberapa kali ayat yang menyebutkan tentang binatang ternak. Dihalalkan bagi umat Islam memelihara hewan ternak untuk diperlakukan dengan baik serta diambil manfaatnya. Perihal keyakinan ini, tentu juga menjadi pengaruh mengapa di Kalisat mudah dijumpai orang-orang yang memelihara hewan ternak.
Gara-gara Ada Anjing Tak Diundang, Mas Supri Membeli Bedil
Tetangga terdekat saya adalah keluarga Mas Supri. Ia memiliki sebuah kandang yang besar di belakang rumah kontrakan kami. Itu digunakan untuk memelihara ayam potong. Usaha Mas Supri ini bukan usaha mandiri, melainkan kemitraan. Suatu malam, ayam-ayam potong peliharaannya gelisah. Usut punya usut, di hari yang lain ditemukan jawaban mengapa ayam-ayamnya gelisah. Ternyata ada anjing melintas. Entah anjing siapakah itu. Asumsi yang berkembang, bisa jadi anjing itu adalah anjing peliharaan maling yang sengaja lewat sana untuk mengamati situasi. Tak menunggu waktu lama, kurang dari satu bulan kemudian, Mas Supri merogoh kocek sebesar dua juta rupiah untuk membeli sebuah senapan angin rakitan sendiri. Malam-malam selanjutnya, Mas Supri selalu siaga dengan senapan angin tersebut, berharap ada anjing lewat dan ia bisa menembaknya.
Mas Supri bukan tanpa alasan mengambil langkah tersebut. Di masa yang lalu, jauh sebelum saya kontrak rumah di Kalisat, ia pernah disamperin oleh maling (lebih dari satu orang) yang membawa anjing. Mas Supri hanya ingin keluarganya terlindungi. Juga, tentu saja ayam-ayam peliharaannya.
Di hari yang lain, iseng-iseng saya meminjam senapan angin milik Mas Supri dan bergaya di depan rumah kontrakan, pada bulan September 2015. Ini hasilnya.
Pada Bulan September 2015
Membaca kisah di atas, tahulah kita bahwa kalisat tak memiliki budaya memelihara anjing.
Hewan-hewan peliharaan selain ternak (untuk kesenangan semata) yang paling sering saya jumpai adalah burung berkicau. Aneka ragam burung peliharaan yang mereka rawat dalam sangkar. Yang paling mudah dijumpai adalah jenis Punglor, Cicak Ijo, Trucuk, Kacer, dan Cendet atau Das.
Kucing Peliharaan
Fenomena naik daunnya kucing sebagai peliharaan juga menjangkiti Kalisat. Di sini dikenal pula kucing anggora, siam, dan kucing hasil persilangan. Kucing lokal yang dipelihara dengan baik juga menjadi tren. Ia diberi makan dengan makanan yang baik --biasanya beli makanan kucing yang sudah dalam kemasan, kesehatan mereka diperhatikan, dan disediakan tempat tinggal yang layak. Tidak seperti anjing yang mengalami nasib buruk --tidak pernah dipeluk atau dibiarkan masuk ke dalam rumah, nasib kucing yang dipelihara di kalisat rata-rata jauh lebih mulia. Ia lagi-lagi perkara kultur dan agama. Dalam agama Islam sering dikisahkan jika Nabi Muhammad SAW menyayangi kucing. Dikisahkan juga bahwa kucing bukan jenis hewan yang najis.
Hewan-hewan lain yang menjadi tren untuk dipelihara (di Kalisat) adalah iguana, musang, semut jepang, kadal non endemik, elang, ular, dan lain-lain.
Para Pemilik Hewan Peliharaan
Jika kita lacak, di masa yang lalu orang-orang yang memelihara hewan untuk kesenangan (bukan hewan ternak) hanyalah mereka yang memiliki waktu luang, memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata, punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat, dan seringkali adalah orang-orang yang dihinggapi rasa kesepian.
Memelihara hewan peliharaan menunjukkan pemiliknya mempunyai sumber daya yang cukup untuk hewan kesayangannya, selain untuk dirinya sendiri. Misalnya Anda memelihara kucing, maka Anda butuh mengeluarkan uang secara berkala. Uang itu digunakan untuk biaya yang paling pokok yaitu membeli makan. Meskipun Anda tidak membeli makanan kucing buatan pabrik, Anda tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan dari jenis yang lain. Ikan laut seperti tongkol, misalnya. Tentu ada biaya insidental yang juga harus dipersiapkan. Katakanlah ketika kucing peliharaan kita jatuh sakit, kita harus membawanya ke dokter hewan dan membelikannya obat. Ini belum perhitungan yang lain-lain seperti biaya pembuatan (dan perbaikan) kandang.
Jadi, ketika saya melihat ada orang Kalisat memiliki hewan peliharaan untuk kesenangan, secara naluriah saya akan memperkirakan bahwa si empunya hewan peliharaan tersebut adalah pribadi yang mandiri, yang telah selesai dengan urusan perutnya. Namun sayang sekali, yang saya jumpai di sini lebih banyak kepada mereka yang sama sekali belum mandiri secara ekonomi.
Peran Budaya dan Pengaruh Media
Dalam urusan dinamika sosial semakin banyaknya orang Kalisat yang memelihara hewan untuk kesenangan, budaya tentu memiliki peran. Ia berperan pula dalam masalah mana hewan yang sebaiknya dipelihara dan mana yang sebaiknya dihindari. Sebagai contoh kasus, seperti kisah anjing dan kucing di atas. Lebih mudah memelihara kucing, apapun jenisnya, sebab masyarakat kalisat telah memiliki modal sosial. Jauh-jauh hari, sebelum ada tren memelihara kucing dengan model perawatan seperti yang kita kenal sekarang, orang-orang Kalisat telah sering melihat kucing kampung di sekitar rumahnya. Terlebih, ketika sedang berada di pasar tradisional atau di sebuah rumah sakit.
Anjing tentu juga dipelihara dengan baik di Kalisat, namun jumlahnya sangat sedikit. Biasanya dipelihara oleh warga GKJW, warga pendatang, atau WNI keturunan Tionghoa. Masyarakat penganut agama lain yang hidup berdampingan dengan mereka tentu tak ada masalah, sebab mereka telah terbiasa.
Adapun pengaruh media (terutama media televisi sebab masyarakat Kalisat secara umum lebih suka menonton/mendengar daripada membaca) selama lima tahun terakhir sangat mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Kalisat. Belum lagi tentang mudahnya akses informasi yang cepat lewat jejaring sosial di dunia maya.
Pengaruh lain yang juga tak kalah dahsyatnya adalah lingkungan. Jadi, misalnya ada satu orang memelihara musang (meskipun pada kenyataannya orang Kalisat telah terbiasa melihat musang) maka yang lain juga ingin memelihara hewan yang sama. Ini dinamakan penularan sosial.
Mereka yang menjadi inisiator penularan sosial adalah para pemuda kelahiran tahun 1990an yang memiliki pengalaman hijrah; baik karena alasan kuliah/sekolah maupun hijrah karena unsur ekonomi. Dari merekalah seringkali penularan sosial 'memelihara binatang' ini dimulai dan menyebar.
Galeri Satwa di Kedai Lecang Kalisat, 28 Desember 2015. Foto oleh Lukman
Setelah membaca runtutan catatan di atas, tahulah kita mengapa pada malam ini di Kedai Lecang Kalisat teman-teman muda menyelenggarakan pertemuan antar sesama kawan pencinta hewan peliharaan untuk kesenangan. Mereka menamainya Galeri Satwa.
Separuh dari mereka yang berkumpul di Kedai Lecang adalah teman-teman yang kini masih tercatat sebagai mahasiswa di kampus luar Kalisat --sebab di Kalisat masih belum ada Universitas/Institut/Sekolah Tinggi. Ketika mereka pulang ke Kalisat (rata-rata kos atau kontrak, sebab jarak antara Kalisat-wilayah kampus terbilang tanggung, 16 kilometer) maka mereka mulai mengenalkan kebiasaan baru tersebut kepada teman-teman masa kecilnya yang memilih untuk tinggal saja di Kalisat, setamat SMA. Itu contoh kasus jika model 'penularan sosial' bukan dari media, melainkan antar teman.
Begitulah, teman-teman muda di Kalisat sedang membentuk kembali kebudayaannya; dengan cara mengumpulkan puing-puing budaya dan segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat Kalisat --dan sekitarnya, serta denyut budaya Indonesia dan dunia. Ia tentu dipengaruhi pula oleh tingkat pengetahuan --meliputi sistem ide atau gagasan-- mereka di hari ini.
KRISNA KURNIAWAN. Namanya sudah saya dengar pada akhir bulan Maret 2015, satu bulan sebelum saya dan Hana memutuskan untuk kontrak rumah di Kalisat. Saat itu kami diantarkan oleh Mas Mustafa ke rumah Pakde Sugeng Sugiarto, untuk mendengar dongeng tentang Kalisat tempo dulu. Di waktu itulah kami dengar selentingan dari Mas Mustafa, "Sebenarnya lebih enak menjumpai Krisna, mungkin dia tahu tentang silsilah keluarga, dimulai dari Kakeknya dari pihak Bapak."
Di waktu yang lain, tepatnya pada 4 April 2015, ada kabar baik dari Mas Bajil. Ia bilang jika baru saja memotret ulang selembar foto keluarga Karjodimoeljo --Kakek Krisna Kurniawan-- atas izin ahli waris. Hari itu juga saya menunggangi motor dari Patrang ke Kalisat.
Kabar lain yang cukup mencengangkan, bahwa keluarga Krisna Kurniawan masih menyimpan selembar foto keluarga dengan latar belakang seekor harimau jawa yang ada di dalam kandang kerangkeng. Ia semakin membuat saya penasaran. Kata Frans Sandi, "Biasanya Mas Sap sering mampir ke Kedai." Orang yang Frans maksud adalah kakak kandung Krisna Kurniawan. Namun hingga saya memutuskan untuk kontrak rumah --pada 20 April 2015-- saya belum mengenal Krisna Kurniawan maupun kakak kandungnya.
Hari berlalu. Memasuki bulan keenam masa kontrak rumah, barulah kami berjumpa.
Saat itu malam hari, 8 Oktober 2015. Kami baru pulang dari Lombok, dalam rangka mengikuti acara Jelajah Negeri Tembakau. Di rumah kontrakan kami telah ada Fanggi dan Mas Bajil. Mereka sibuk sekali membuat kostum, sayap-sayap, dan pernik-pernik lainnya. Maklum, Agustus hingga Oktober adalah musim karnaval. Ketika ada rombongan orang-orang menuju rumah kontrakan kami, saya kira mereka sedang ada perlu dengan Mas Bajil. Jadi, saya lanjutkan nongkrong di teras rumah tetangga sebelah, bersama Mas Supri selaku tuan rumah, Pak Adi Wiyono, dan Mas Mustapa. Kami bahkan mengabadikannya dalam sebuah foto meskipun hasilnya tidak maksimal.
Sepulang dari Lombok, 8 Oktober 2015
Sekitar dua puluh menit kemudian, Mas Bajil keluar dan bilang pada saya, "Mas, ini ditunggu sama teman-teman." Barulah saya sadar, ternyata mereka bukan ada perlu ke Mas Bajil, melainkan ke saya.
Mas Krisna tidak datang sendirian, melainkan berempat. Tiga lainnya adalah Mas Roni, Mas Imron Rosidi, serta Mas Imam. Tentu saya senang bisa berkenalan dengan mereka, terlebih Mas Krisna. Namanya telah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya. Di perjumpaan pertama tersebut, kami banyak berdiskusi segala hal mengenai Kalisat. Perihal catatan di blog ini, ada beberapa poin koreksi dari Mas Krisna. Syukurlah.
Krisna Kurniawan adalah bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan (Almarhum) Madiroso (ejaan di KTP Mardiroso, kelahiran 1923) dan Dwi Setiati (1942). Ibunya --Dwi Setiati-- adalah seorang perempuan anggun asal Mojoagung. Pertama kali berjumpa, beliau dalam keadaan sakit. Tujuh belas hari kemudian, ketika saya dan istri sedang ada di Surabaya, ada kabar dari Mas Imron Rosidi bahwa Ibunda Mas Krisna meninggal dunia. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun.
Hari-hari selanjutnya, kami kerap ngopi bersama sambil mendiskusikan hal-hal ringan yang berhubungan dengan Kalisat. Di luar bidang sejarah dan dinamika sosial, Mas Krisna dan teman-temannya menyukai musik. Menyenangkan ketika menikmati saat mereka bikin konser mini di dapur rumah Mas Krisna.
Tentu bahagia sebab bertambah lagi saudara saya di Jember Utara. Terima kasih.
Di desa Patempuran kecamatan Kalisat, ada sebuah dusun bernama dusun Junggrang. Di sini tinggal seorang fotografer asal desa Ajung-Kalisat bernama Hendro. Ia mencari penghasilan dengan cara menjadi tukang potret pernikahan, dan atau acara-acara lain.
"Istri saya orang sini. Jadi, di sinilah saya sekarang," kata Hendro dengan bahasa Jawa.
Menurut Hendro, hingga hari ini kearifan masyarakat masih kental terasa. Misal, budaya gotong royong, saling menyapa jika berpapasan, dan masih banyak lagi.
"Di sini, orang-orang terbiasa mandi di sumber. Laki-laki dan perempuan tidak risih jika harus mandi berdekatan. Malah saya yang risih," ujar Hendro sambil terkekeh.
Televisi menjadi hiburan favorit warga dusun Junggrang (baca: junggreng). Pukul delapan malam ke atas, jalanan sudah sepi. Lampu jalan yang dipasang sejak zaman bupati Djalal tidak masuk di dusun ini. Beberapa titik jalan memang sudah terpasang lampu, tapi atas inisiatif masyarakat sendiri.
"Kalau malam, ya selain nonton tivi, kami biasa bertetangga. Nonggo nyeritakno tonggo. Meski orang-orangnya baik, selalu siap sedia dengan suguhan kopi jika ada tetangga berkunjung, namun budaya rasan-rasan masih kental."
Jika tentang kopi, tak ada masalah. Anda bertetangga tujuh kali dalam semalam, maka harus siap pula ngopi tujuh cangkir.
Masih menurut Hendro. Rata-rata penduduk dusun Junggrang dibesarkan dengan bahasa Ibu, bahasa Madura. Bahasa Indonesia dikenalkan lewat pendatang, media, dan sekolah. Orang-orangnya punya karakter keras, termasuk suka bekerja keras. Mereka menghitung pekerjaan dari keringat yang dikeluarkan. Misal, jika harus mencangkul sawah orang dari pagi hingga siang, bayarannya 12.500 rupiah.
"Jadi ketika saya mengajak salah satu dari mereka untuk menemani sesi pemotretan di sebuah pernikahan, mereka heran. Kok saya diberi upah 50.000? Padahal sudah dapat nasi kotak, makan prasmanan dengan lauk yang enak, kerjanya pun cuma duduk-duduk. Keringat tak semengucur ketika alanduk."
Masalah makan, mereka tidak menghitungnya dari gizi. Apapun lauknya, yang penting nasinya banyak.
"Mulanya saya hendak buka toko pracangan di sini. Untuk hasil sampingan. Namun kalau mau buka toko pracangan, modal kita harus berlipat. Soalnya masyarakat di sini terbiasa hutang dulu, bayar ketika mereka telah panen. Atau jika mereka kerja di gudang perkebunan, ya bayarnya saat gajian. Saya tak jadi buka pracangan, modal pas-pasan."
Di dusun Junggrang, masih lestari budaya barter. Beli sesuatu ditukar dengan gabah. "Itu sudah umum di sini, bukan sesuatu yang asing," tambah Hendro.
Para perempuan di dusun Junggrang, sekali tempo mereka suka memperlihatkan keberhasilan suaminya dengan cara memakai perhiasan emas berjubel. kadang di tangannya ada empat gelang emas besar-besar. Itu sering terjadi ketika musim tembakau sukses. Jika beras tidak untuk dijual, mereka menyimpannya sendiri. Bagi yang tak punya sawah, membantu yang punya sawah. Atau portal terakhir adalah 'ngasaq' alias memungut butir-butir padi sisa panen.
"Jika Anda tinggal di sini, niat baik Anda tak selalu berbuah baik. Misal, Anda bagi-bagi beras ke orang-orang Junggrang, atau barang dalam bentuk lain. Bisa jadi Anda dianggap menghina. Barang ada yang dikembalikan, ada pula yang tidak, namun mereka nggrundel di belakang Anda. Itu karena masalah harga diri. Mereka menghargai dirinya sendiri sangat tinggi. Bahkan secara logika, harga diri mereka terlampau tinggi. Itulah budaya yang terbentuk. Hanya 'ilmu pengetahuan' satu-satunya harapan untuk membuka cakrawala kehidupan, hanya agar mereka kuat dalam menghadapi perubahan dan kejutan teknologi."
Namun gempuran televisi (terutama pada generasi muda) sangat dahsyat. Mereka seolah-olah ingin menjadi seperti anak Jakarta. Sementara tradisi dan budaya di lingkungannya berjalan statis. Semuanya menjadi rancu, kabur.
Misalnya ada putra-putri terbaik yang lahir dari desa ini, yang memiliki nilai baik di sekolahnya, yang berprestasi, ketika tamat sekolah mereka lebih memilih untuk hidup di tempat lain. Jakarta misalnya. Mungkin mereka berpikir tentang relasi, kesempatan, dan perputaran mata uang. Kecerdasannya menjadi tak berdampak banyak pada tempat kelahirannya.
Jika ditengok dari sisi sejarah, tentu ada kisah mengapa dusun ini bernama Junggrang, dengan desa bernama Patempuran.
Seperti yang telah tertulis di catatan sebelumnya berjudul; Kedai Lecang Kalisat, saya merasa perlu untuk membuat sebuah arsip tulisan tentang kronologis kejadian yang mewarnai hari-hari teman-teman di Kedai Lecang --Verdy, Febri, serta Fanggi.
Di pemula bulan Oktober 2015, telah disepakati jika mereka akan membuka kedai untuk kali pertamanya yaitu sebelum Tahun Baru 1437 Hijriah atau satu suro. Sedangkan tahun baru Hijriah tersebut jika di kalender Masehi jatuh pada 14 Oktober 2015. Menurut tetua setempat, akan baik jika memulai usaha sebelum satu suro. Namun karena ada kendala internal antara para pendiri kedai, maka mereka baru bisa membuka kedai tiga hari setelah tahun baru Hijriah.
Mengenai Hari Baik:
Tadinya Ibu Sulasmini menyarankan kepada teman-teman penggagas Kedai Lecang untuk membuka usahanya sebelum tanggal 14 Oktober. Katanya, itu hari baik. Ibu Sulasmini memang begitu, ia sangat perhatian terhadap hari-hari. Dulu saat kami pindah rumah, beliaulah yang berkonsultasi dengan tokoh agama setempat dan mencarikan kami hari baik untuk boyongan. Dengan senang hati, kami berdua manut Ibu. Sebagai pencinta alam, adalah penting menghargai tata aturan yang berlaku pada masyarakat setempat.
Saya juga pernah mendengar dari orang yang berbeda, bahwa bulan Sura merupakan bulan sunya, maka untuk segala keperluan menjadi tidak baik.
Tahun baru Hijriah 1437 kali ini --satu suro, jika dilihat dari kalender Masehi, ia jatuh pada tanggal 14 Oktober 2015. Konon menurut kalender Jaya Baya, antara tanggal 15 Oktober hingga 13 November 2015, kita disarankan untuk tidak mendirikan apapun, tidak terkecuali pendirian sebuah usaha macam Kecai Lecang. Tidak baik. Dikhawatirkan sering tertimpa kesedihan serta banyak orang berbuat jahat, kecuali untuk menobatkan Raja atau pelantikan Presiden.
Rentang waktu tersebut juga tidak baik untuk pindah rumah. Akan ada banyak huru-hara dan bilahi. Kecuali jika dilakukan setelah tangal 13 November 2015.
Namun Verdy, Febri, dan Fanggi tidak dilahirkan di masa ketika primbon masih diperhatikan. Mereka punya masanya sendiri. Saya pun tak mengenal dengan baik apa dan bagaimana dunia neton dalam primbon.
Sore perdana, 17 Oktober 2015, persiapan pembukaan Kedai Lecang
Sedari tanggal satu hingga delapan hari kemudian --di bulan Oktober-- saya dan istri sedang berada di Pulau Lombok. Sepulang dari Lombok, pada 10 Oktober 2015 kami berdua menuju ke kota sebelah, Bondowoso. Dua hari berikutnya, kami baru sempat jalan-jalan bersama Mas Bajil menuju desa Gayasan, melihat orang-orang menjemur tembakau di depan GKJW Gayasan.
Esoknya, saya dan Hana sudah janjian berjumpa dengan Om Qingliang Yang, salah satu putra dari Njoo Giok Kwan, pemilik Njoo Studio. Saya kira, itu studio foto terlama di Kalisat. Dalam kesempatan yang baik tersebut, saya ajak Mas Bajil beserta kakak kandungnya, Joko Purnomo.
Berikut catatan saya mengenai Kedai Lecang sejak hari pertama dibuka.
1. Pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015, Kedai Lecang buka perdana. Verdy, Febri dan Fanggi tampak senang sebab ada banyak pembeli yang datang di kedai mereka. Sore harinya, saya dan istri menyempatkan diri untuk nongkrong di sana, pesan jus mangga. Verdy yang bikin, rasanya kacau namun kami senang sebab kamilah pembeli perdana. Di sore yang indah itu, kami juga ditemani oleh Agil, Intan, serta Mas Pur.
Malam harinya, bertepatan dengan malam minggu, kedai yang baru buka ini dikunjungi oleh banyak orang. Mereka memulai usaha antar teman. Tutur tinular, kalau kata orang Jawa. Ada dua mobil parkir, salah satunya ber-plat B, entah milik siapa.
Parkiran tertata rapi, motor-motor berjajar di lahan kosong seberang Kedai Lecang. Menurut Fanggi, telah ada izin dari keluarga pemilik lahan kosong itu untuk dimanfaatkan sebagai ruang parkir. Permohonan izin disampaikan oleh Verdy, beberapa hari sebelum kedai dibuka.
*Esok paginya, kami mendengar kabar jika semalam, saat kedai telah tutup, ada sebuah insiden kecil. Febri dan teman-teman memergoki sekumpulan pemuda dari kampung yang berbeda, mereka dicurigai hendak mencuri sandal di rumah Bapak Untung --seorang Polisi di kampung kami. Usut punya usut, salah satu dari mereka masih bersaudara dengan Febri, namanya Rio. Kehadiran Pak Aryo di Hari Pertama
Bapak Aryo Mujiyono, seorang pendidik di SMAN 1 Kalisat kelahiran 10 Mei 1964, ia juga hadir di kedai sebagai customer. Adalah wajar, sebab ketiga pendiri kedai terbilang masih anak didiknya. Dulu sewaktu masih sekolah, ketiga-tiganya juga aktif di Sispala EXPA, dimana Bapak Aryo masih menjabat sebagai pembinanya. Waktu itu posisi Mas Bajil --di EXPA-- adalah pelatih.
Kelak --29 Oktober 2015, ketika saya diajak bicara dengan Bapak Aryo, dia bilang kehadirannya di kedai adalah atas undangan dari Fanggi.
Hari sudah larut malam saat Mas Bajil dan Lukman datang, mereka seharian menghabiskan waktu untuk menonton Banyuwangi Ethno Carnival di kabupaten sebelah. Saat Mas Bajil masih parkir motor, Lukman sudah terlebih dahulu masuk kedai. Tangannya dingin ketika kami bersalaman. Saat itu saya dan Hana duduk melingkar di sudut kedai dekat bar yang terbuat dari bilik bambu. Duduk di dekat kami adalah Febri Arisandy a.k.a Mergeng, Frans Sandi, serta Pak Aryo (yang baru saja gabung dengan kami).
Saat Mas Bajil memasuki Kedai Lecang, di mulutnya telah ada satu batang rokok namun belum dinyalakan. Pandangannya seperti sedang mencari-cari pinjaman korek api. Ketika ia ada di dekat kami, tangannya telah hampir meraih korek api yang ada di atas meja kecil. Namun dia mengurungkan niatnya saat dilihatnya Pak Aryo duduk satu meja dengan saya. Sedangkan Pak Aryo sendiri tidak tahu tentang kehadiran Mas Bajil, sebab sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Mergeng memahami situasi ini dengan sangat jelas, tapi dia lebih memilih diam, seolah-olah tidak tahu. Mas Bajil segera masuk ke dalam rumah Febri dengan langkah yang cepat. Tak lebih dari lima menit, ia segera keluar, masih dengan langkah yang cepat, menuju ke rumahnya --tepat di samping kiri Kedai Lecang-- dan segera mengunci pintu.
Kejadian itu mengingatkan saya pada malam takbir Idul Fitri, di pertengahan bulan Juli 2015. Ketika itu teman-teman muda di kedai seberang stasiun Kalisat milik Frans Sandi, mereka sedang bercekcok dengan para pemuda dari desa lain, hingga terjadi kontak fisik. Oleh Frans Sandi, mereka dilarikan ke kontrakan kami. Barangkali pertimbangan Frans, karena kontrakan kami sunyi dan jauh dari keramaian.
Banyak orang datang di kontrakan, sebagian besar tidak saya kenal. Tujuan mereka tentu baik, hendak mencarikan jalan keluar terbijak, mengikuti tata aturan tak tertulis yang biasanya berlaku.
Saat itu Pak Aryo datang dengan mengendarai mobilnya. Ia parkir di depan rumah keluarga Supri, tetangga saya. Di saat tersebut, di depan rumah Mas Supri juga sedang berkumpul tuan rumah bersama Mas Pur, Pak Adi, dan entah siapa lagi --saya tidak tahu sebab lebih banyak di dalam rumah bersama teman-teman muda serta para tamu. Ketika Pak Aryo datang, menurut cerita dari Pak Adi, Mas Bajil segera beranjak pergi. Saya memang tidak melihatnya secara langsung. Namun ketika melihat sendiri kejadian di hari pertama Kedai Lecang, saya menjadi ngeh.
Saya terbilang dekat dengan Mas Bajil. Kami sering hunting bersama. Tentu saya bisa membaca gelagat ketidakharmonisan hubungan/komunikasi antara ia dan Pak Aryo.
Posisi Pak Aryo adalah sebagai pelanggan, dan tidak sedang melakukan kejahatan. Wajar jika teman-teman Kedai Lecang tetap melayani pesanannya dengan baik.
2. Minggu, 18 Oktober 2015. Saya dan Hana tidak nongkrong di sana, namun dapat kami lihat para pengunjung ramai sekali. Parkiran penuh. Di antara pengunjung, ada juga si Yuli, putri keluarga Untung yang juga turut nongkrong di sana. Jika tidak salah ingat, ia berada di kedai bersama Ibunya.
Melihat Kedai Lecang semarak di malam kedua, saya tentu turut merasa gembira.
3. Cerita menjadi berbeda ketika pada esok siangnya, Senin, 19 Oktober 2015, saya diajak ngobrol oleh Mas Bajil, manakala saya dan Hana singgah di rumahnya.
Ketika Mas Bajil Menyampaikan Kabar dari Pak Adi Wiyono
"Begini Masbro. Saya habis diajak ngobrol sama Pak Adi," ujar Mas Bajil saat memulai percakapan. Lalu dia bercerita tentang tanda-tanda keberatan seorang Pak Adi mengenai keberadaan Kedai Lecang. Waktu itu saya bertanya, "Lho kenapa Mas?" Mas Bajil tidak menerangkan secara rinci. Namun ada dua hal yang bisa saya tangkap dari hasil perbincangan itu. Pertama, masalah parkiran. Barangkali Pak Adi selaku ketua RT khawatir jika masalah parkiran belum ada izin dari si empunya tanah, sebab posisi pemilik ada di luar kota. Saat itu juga saya jelaskan apa yang saya ketahui --dari Fanggi, bahwa teman-teman sudah meminta izin, Verdy yang menyampaikan, dan telah diizinkan. Masalah kedua, mungkin saja Pak Adi khawatir tempat itu hanya dijadikan ruang cangkruk'an 'tidak jelas' oleh teman-teman muda.
"Saya tidak bisa menyampaikan masalah ini ke anak-anak, Masbro. Repot. Lak anak-anak tahunya saya tidak cocok dengan Pak Aryo. Takutnya nanti, saya menyampaikan omongan Pak Adi cuma dikira gara-gara itu. Mungkin Masbro bisa membantu saya untuk menyampaikan omongan Pak Adi."
Melihat posisi Pak Adi selaku ketua RT, saya kira wajar jika ia khawatir. Tapi tentu akan lebih baik semisal ia menyampaikan secara langsung uneg-uneg itu kepada Verdy, Fanggi, dan Febri. Saya bilang ke Mas Bajil, saya bisa membantu jika kami duduk bersama. Jadi, ada Pak Adi, Mas Bajil bila perlu, serta teman-teman Kedai Lecang. Menurut Mas Bajil, akan baik jika saya bicara berdua terlebih dahulu dengan Pak Adi. Lalu saya mengiyakan.
Kelak, saya dan Pak Adi tidak segera berjumpa. Saya sibuk menulis, Pak Adi sibuk urus tembakau. Kami memang sempat berjumpa. Saat itu Pak Adi sedang ada di ladangnya, sedangkan saya dan istri sedang akan pergi ke kota Jember. Pak Adi bilang, "Masbro, saya ada perlunya. Mau nitip tembakau di teras kontrakan." Saya juga membalasnya, "Saya juga ada perlunya Pak, masalah RT." Tapi perjumpaan kami terlambat, baru lima hari kemudian, saat membicarakan masalah Live Music.
*Sementara itu, di dunia maya lagi ramai kasus si Ida Tri Susanti yang makan daging kucing hutan.
4. Selasa, 20 Oktober 2015. Siang hari. Berbincang dengan Mas Krisna di rumah Mas Bajil.
5. Rabu, 21 Oktober 2015. Pak Adi kirim pesan di ponsel saya, "Maaf masbro aku besuk mau naruh tembakau yg kering di teras sampean."
6. Pada hari Kamis, 22 Oktober 2015. Siang hari. Saya diajak Mas Krisna dan Mas Roni untuk wawancara dengan Pak Darmo, perintis keberadaan GKJW Kalisat. Mas Bajil datang juga saat itu, tapi menyusul, ketika kami sudah hendak pulang. Dia menyusul sebab sebelumnya masih harus ke Sumberjambe.
Malam hari di Kedai Lecang.
Agil ulang tahun, dapat hadiah lilin dan lagu dari teman-temannya.
Usai acara tiup lilin, Pak Adi datang ke pelataran kedai. Ia tidak masuk ke dalam kedai, melainkan masih di tepi jalan, di atas Vario putih pelipit biru yang baru ia beli di akhir bulan Juni lalu. Pak Adi memanggil Agil. Mereka bercakap-cakap di tepi jalan. Melihat raut wajahnya, saya menebak jika saat itu Pak Adi sedang akan marah pada putra sulungnya.
Seusai bercakap-cakap, Pak Adi pulang, Agil kembali ke dalam kedai. Saya yang duduk satu meja dengan Mas Pur bertanya pada Agil, "Tidak ada apa-apa kan Gil?" Syukurlah, Agil bilang tidak ada apa-apa. Bapaknya hanya bertanya, sudah makan apa belum? Jika belum makan, Agil disarankan pulang sebab Ibunya telah menyiapkan sesuatu di meja makan. Barangkali orangtuanya ingin menghadiahi sesuatu di hari istimewa Agil.
Ohya, hampir lupa.
Sebelum Agil tiup lilin, Ibu Sulasmini turut nongkrong di Kedai Lecang, bersama cucu-cucunya. Sengaja saya dan istri menjemput Bojes dan dua kakak perempuannya (ketika itu di sana juga ada si kecil Amel), Bian, serta tentu saja Dila adiknya Febri. Meski malam Jumat, kedai jadi tampak semarak oleh kehadiran customer-customer kecil.
7. Jumat, 23 Oktober 2015. Merayakan satu minggu dibukanya kedai LECANG di Kalisat, saat itu saya --bersama Fanggi dan kawan2-- bernyanyi menghibur sedikit pengunjung. Ada sekitar empat atau lima lagu yang saya nyanyikan. Jika menengok rekaman, saya bernyanyi sejak pukul 21.28.
Ketika saya sedang bernyanyi, datang rombongan Mas Krisna Kurniawan beserta istri, juga Mas Imron Rosidi, serta Mas Asep dan Mas Roni. Selang lima menit kemudian, Mas Asep dan Mas Roni keluar lagi berboncengan naik motor. Ternyata mereka kembali dengan membawa sound mini, gitar, serta stand mic untuk tempat menaruh not-not lagu. Mereka turut bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu slow rock berbahasa Inggris era 1980 hingga 1990an. Nyaman sekali mereka menyanyikannya. Pada pukul 23.05, dengan berat hati saya bilang ke Mas Krisna, "Bagaimana jika off?" Lalu mereka menghentikan kegembiraannya.
Agil Menyampaikan Pesan Bapaknya
Jadi di pertengahan lagu yang dimainkan oleh Mas Asep dan kawan-kawan, tak lama kemudian Pak RT kasih teguran, yang disampaikan lewat Agil, putra sulungnya. Agil menyampaikannya tidak secara langsung melainkan masih melalui pesan BBM yang ia kirimkan kepada Mergeng. Isi pesan tersebut kurang lebihnya begini;
"Tolong bilang ke anak-anak kedai, Bapak marah soalnya acara musik berlangsung hingga malam. Bapak malu ke warga sebab Bapak seorang RT. Jika tidak mau berhenti, Bapak sendiri yang akan ke sana."
Mergeng yang kebingungan hendak berkata apa, memperlihatkan pesan tersebut kepada Mas Pur, lalu ditunjukkannya pula pesan itu kepada saya. Mas Pur dan saya memang duduk satu meja. Dengan inisiatifnya sendiri, Mergeng membalas pesan itu dengan kalimat yang kurang lebih seperti ini;
"Maaf Gil, aku tidak bisa membicarakan itu ke pemain musik sebab aku ini pelanggan, bukan pemilik kedai. Ya aku tahu posisi Bapakmu sulit. Tapi pesan Bapakmu sudah aku sampaikan ke anak-anak. Di sini juga ada Mas Pur dan Masbro."
*Jika butuh teks asli, masih tersimpan.
Saya bilang ke Mergeng, "Biar wes le, nanti kalau Pak Adi ke sini, kalau anak-anak takut, aku yang bantu ngomong, sekalian minta maaf."
Teman-teman kedai tentu tak berani menegur Mas Asep dan teman-temannya. Pertama, mereka tidak kenal. Yang kedua, para musisi ini terlalu senior bagi generasi kelahiran tahun 1990an. Dapat saya mengerti.
Lalu Bermusyawarah
Tak lama setelah turun, Mas Krisna, Mas Asep, dan lain-lain pamit undur diri. Syukurlah, mereka tak tahu jika ada teguran dari Pak RT yang disampaikan melalui anak sulungnya.
Ketika kedai telah tutup, saat teman-teman sudah selesai menghitung posisi keuangan di hari ketujuh itu, kami bicara di ruang tamu rumah keluarga Febri. Saya suka cara teman-teman dalam mencari solusi. Saya bilang ke mereka, semua masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi.
Lalu datang Agil, dia nongkrong di luar bersama teman-teman yang tak diikutkan ngobrol. Saya berinisiatif mengajaknya serta. Agil masuk. Dia terlihat kikuk. Wajar, Agil ada di posisi sulit. Menyampaikan kabar dari Bapaknya, ditujukan kepada para sahabatnya sendiri, bukankah itu sulit?
Dari Agil kami mengerti jika suara sound yang ditimbulkan oleh Kedai Lecang menyebabkan si kecil Ayik tidak bisa tidur. Ayahnya, seorang mantan ketua RT sebelum Pak Adi --Juhari-- melaporkan itu kepada Pak Adi.
*Esoknya, saat saya membicarakan ini dengan Pak Adi, ia sama sekali tak mau menyebutkan nama, siapa warga yang menjadi pelapor. Padahal saya butuh itu untuk minta maaf secara langsung. Face to face. Dan kelak --31 Oktober 2015, Pak Juhari bilang ke Febri jika ia tak sekalipun pernah bilang perihal keberatan itu kepada Pak Adi. Febri menyampaikan pertemuannya dengan Pak Juhari --kepada saya dan istri-- ketika kami hendak mengantarkan beras (amanah dari keluarga Sroedji) ke beberapa keluarga pejuang, sore hari.
Hasil perbincangan malam itu ada tiga. Pertama, saya akan mewakili teman-teman untuk bicara dengan Pak Adi Wiyono selaku ketua RT. Kedua, teman-teman tetap melanjutkan nazar untuk bagi-bagi takjil (kemudian diganti bungkusan nasi) kepada warga di sekitaran Kedai Lecang, untuk memperingati tahun baru Islam. Ketiga, teman-teman akan meminta saran (serta sambung doa) kepada Ibu Sulasmini/Ibu Usman selaku sesepuh yang rumahnya paling dekat dengan kedai.
8. Pada esok harinya, Sabtu, 24 Oktober 2015, semua kesepakatan itu berjalan dengan baik. Saat mereka ada di kediaman Ibu Sulasmini, saya juga ada di sana. Teman-teman kedai bahkan juga mengajak bicara Mas Bajil, putra bungsu Ibu Sulasmini. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan sebab mereka bicara di dalam kamar. Namun dapat saya ambil kesimpulan, semua baik-baik saja. Kedai Lecang lanjut berproses.
Sore hari, saya dan Hana menuju ke rumah Pak Adi Wiyono, untuk bicara mengenai masalah live music semalam.
Kata Pak Adi, "Saya Tidak Ada Masalah Dengan Pak Aryo."
Ketika saya --bersama istri-- datang ke rumah Pak Adi, ia masih keluar untuk urusan pakan ternak ayam potong. Di rumah ada istrinya, menemani si bungsu merangkai origami. Untuk tugas sekolah, kata si bungsu. Tak lama kemudian, datanglah Pak Adi. Rupanya Rizal Abud sedang ada di dalam rumah Pak Adi. Ia keluar untuk membantu Pak Adi angkat pakan.
Lalu kami duduk bersama. Bu Adi masuk ke dalam rumah, membuatkan kami wedang kopi. Rizal Abud tidak ikut nimbrung. Jadi hanya ada saya, Pak Adi, Hana, serta Dila yang membantu Zidath membuat origami.
"Gimana-gimana, Masbro. Sakjane saya ini sudah lama menunggu waktu yang pas untuk bicara sama sampeyan," kata Pak Adi. Pembicaraan kami mengalir alami. Iya benar sekali, Pak Adi menyesalkan perihal 'musik-musikan' di Kedai Lecang. Ia bilang, suaranya terlalu kencang. Sedangkan dirinya adalah seorang ketua RT. Tidak nyaman rasanya ketika ada tetangga yang komplain.
"Tentu saya mendukung ide dibukanya Kedai Lecang. Lha wong itu positif. Dalam artian, anak-anak kan belajar mencari penghasilan. Tapi ya itu tadi Masbro, bagaimana jika tanpa musik?" Saya bilang ke Pak Adi. "Bagaimana kalau begini Pak Adi, musik dibatasi sampai jam sembilan malam, misalnya. Volume dikurangi. Saya kira, jika sebuah kedai yang dikelola anak muda tak ada musiknya, sepertinya garing."
Pak Adi membalas ucapan saya dengan nada yang cukup tinggi. Ia bilang, "Lho, kalau memang ingin bermain musik, kenapa tidak di dalam studio musik saja?"
Saya kemudian diam. Tidak nyaman membicarakan itu. Lagipula, saat itu telah ada Mas Pur di antara kami. Dia habis mengantarkan dua ekor ayam potong ke keluarga Bu Mina, kakak ipar Pak Adi. Pertimbangan lain lagi yang agak subyektif, selama ini saya dekat dengan Pak Adi. Ia orang yang riang, suka bercanda, dan senang mengajak saya jagongan.
Singkat cerita, Pak Adi meminta bantuan saya untuk menyampaikan pesan tersebut kepada anak-anak Kedai Lecang. "Jadi Masbro, saya sangat meminta bantuan sampeyan untuk menyampaikan itu --perihal 'bagaimana jika tanpa musik', tapi dengan satu syarat. Tolong jangan sebutkan jika itu dari saya, sebab saya tidak enak, takut dibenci sama anak-anak." Saya mengiyakan permintaan Pak Adi.
"Baik Pak, dengan senang hati. Akan saya sampaikan masalah 'tanpa musik' ini kepada teman-teman, semampu yang saya bisa. Dan tidak saya sebutkan darimana datangnya."
Kini, saya tuliskan semua itu di blog ini --sebagai arsip-- semata-mata karena teman-teman sudah tahu. Ini menjadi semacam rahasia umum, jika Pak Adi tidak setuju perihal 'musik-musikan' itu, entah siapa yang memulai bercerita. Alasan yang dikemukakan Pak Adi juga masuk di akal, ia hanya penyambung lidah warga yang komplain, meski ketika saya desak dengan halus, Pak Adi tak mau terbuka tentang siapa yang komplain. Misalnya Pak Adi bilang, saya tentu tidak keberatan mewakili teman-teman kedai untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung. Yang ada di pikiran saya, mungkinkah si pelapor benar-benar Mas Juhari, seperti yang disampaikan Agil semalam? Sulit untuk mempercayainya. Semalam, Agil ada di posisi yang rumit, antara ingin membantu sahabat-sahabatnya, serta menjaga nama baik Bapaknya.
Sudah saya sampaikan kepada Pak Adi, mengapa tidak menggunakan cara secara ketua RT saja? Misalkan, memanggil anak-anak lalu duduk bersama dan saling bicara. Bila perlu, melayangkan surat sederhana berstempel RT, sebagai teguran halus kepada teman-teman. Kata Pak Adi, "Biar begini sajalah, Masbro. Saya ini orangnya santai, tidak suka pakai cara-cara yang kaku."
Dalam perbincangan itu, sempat disinggung pula masalah parkiran, seperti yang pernah disampaikan oleh Mas Bajil (ia menyampaikan keluhan Pak Adi) pada 19 Oktober, ketika teman-teman kedai baru dua malam membuka usahanya. Saya jelaskan pada Pak Adi, perihal parkiran sudah ada izin dari si empunya tanah. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya.
"Bagaimana dengan Pak Aryo? Apakah Pak Adi punya masalah dengan Pak Aryo selaku pelanggan Kedai Lecang sejak hari pertama?"
Pak Adi terkekeh mendengar pertanyaan saya. Lalu Pak Adi menjelaskan jika ia sama sekali tak ada masalah dengan customer yang saya sebut namanya itu. "Saya itu dengan Pak Aryo begini," Pak Adi mengatakan itu sambil kedua jari telunjuknya saling dikaitkan, pertanda antara Pak Adi dengan Pak Aryo punya hubungan yang baik.
Tentu saya heran dengan jawaban tersebut, sekaligus lega. Tapi mengapa pada waktu itu --19 Oktober-- Mas Bajil menyampaikan uneg-uneg Pak Adi kepada saya? Sedangkan Mas Bajil tidak nyaman untuk menyampaikan secara langsung kepada anak-anak kedai, sebab ditakutkan jika ia yang menyampaikan, anak-anak akan berpikir berbeda. Jika Mas bajil yang menyampaikan, ditakutkan teman-teman akan menyambungkannya dengan hubungan Mas Bajil-Pak Aryo, yang menurut Mas Bajil mereka sedang tidak baik-baik saja. Mulanya saya menebak, Pak Adi menyampaikan uneg-uneg itu (perihal parkiran dan kekhawatiran tentang keberadaan kedai) lewat Mas Bajil sebab Pak Adi tahu jika hubungan Mas Bajil dengan Pak Aryo tak lagi dekat seperti dulu. Barangkali saya yang salah, terlalu mudah menebak-nebak, meski itu hanya untuk konsumsi saya sendiri --kini telah menjadi milik umum sebab telah saya arsipkan di sini.
Tak menunggu waktu lama, sore harinya, amanah dari Pak Adi segera saya sampaikan kepada Verdy, Fanggi, dan Febri. Ketika itu mereka baru saja selesai bagi-bagi rezeki untuk memperingati satu Muharam. Bertempat di kediaman Ibu Sulasmini/Mas Bajil. Dengan memilih kata-kata terbaik yang saya mampu, amanah Pak Adi saya sampaikan (perihal 'bagaimana jika kedai tanpa musik?') tanpa saya sebut nama Pak Adi. Sesuai janji saya. Meski berat, teman-teman menyanggupi. Lega sekali rasanya, saya telah bisa menyampaikan amanah yang sederhana namun sulit diutarakan.
Lalu Kami ke Surabaya
Saya kira, sudah tak ada lagi masalah mengenai Kedai Lecang. Saya dan istri kemudian pesan karcis kereta api Mutiara Timur jurusan Surabaya, untuk kemudian packing. Esoknya kami berangkat ke Surabaya untuk mengikuti acara Blogger Camp. Kami baru pulang kembali ke Kalisat pada Rabu dini hari, 28 Oktober 2015.
Ketika Kami Tiba di Kalisat
Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari lewat beberapa menit, ketika kami tiba di stasiun Kalisat. Kalender telah menunjukkan bahwa saat itu sudah masuk hari Rabu, 28 Oktober 2015. Dini hari itu juga, saya dan Hana singgah di Kedai Lecang. Dari stasiun menuju kedai, kami memilih untuk berjalan kaki saja. sesekali kami bercanda, saling dorong, seperti anak kecil.
Pukul 02.30 masih ada Verdy, Fanggi, dan Febri. Namun Verdy sudah bersiap-siap hendak pulang. Dari mereka saya mendapat kabar jika Pak RT semalam habis mendatangi kedai, berkata dengan nada tinggi perihal Pak Aryo.
Jadi waktu Pak Adi sedang nongkrong di sekitaran kedai --saya tidak tahu lokasi pastinya. Pak Aryo keluar dari kedai dan segera mengendarai mobilnya. Ia buru-buru tancap gas, tanpa menoleh sedikit pun kepada Pak Adi. Mungkin Pak Aryo tidak tahu, dan mungkin Pak Adi tersinggung dengan kejadian itu. Saya tentu tidak tahu sebab tak melihatnya secara langsung, tak ada di tempat.
"Iyo le, aku iki karo Aryo musuhan tah? Kok nyetir mobil kari koyok ngono." Kira-kira seperti itu kurang lebihnya kata-kata Pak Adi kepada anak-anak kedai. Saya mendengarnya dari Fanggi dan Febri. Mereka berkesimpulan, Pak Adi marah. Saya maklum. Seringkali Pak Adi senang menggunakan nada tinggi ketika sedang bicara, apalagi ketika bicara di sebuah forum.
"Apa kami pindah tempat saja ya Masbro? Saya merasa tidak nyaman di sini."
Kata-kata Fanggi sukses membuat saya iba. Kasihan, mereka hanya sedang ingin berkegiatan positif. Mereka pun masih sangat muda. Dengan diselingi canda, dini hari itu juga saya mencoba memberi pengertian kepada Fanggi, juga Febri, tentang dasar-dasar berkehidupan. "Masalah selalu ada dimanapun kamu berada. Ini hanyalah fase yang harus kalian lewati untuk menuju tingkat kedewasaan berikutnya." Itu kira-kira garis besar yang saya sampaikan kepada mereka berdua. Saya hanya berharap, semoga itu tidak terkesan menggurui.
Kemudian kami pulang ke rumah kontrakan dengan masih terbayangi wajah-wajah sahabat muda. Adzan subuh berkumandang. Mulanya kami mengira, masalah itu sudah selesai.
9. Pada hari Kamis, 29 Oktober 2015, seusai adzan Isya, saya dan istri menuju ke rumah Mas Krisna. Ibunya --Ibu Madiroso-- meninggal dunia pada 25 Oktober 2015. Ketika mendengar kabar itu, posisi saya dan istri sedang berada di Gresik. Niatan kami hanya sebentar saja di sana. Tapi saat itu saudara-saudara Mas Krisna sedang berkumpul, kami berbincang seolah-olah telah lama kenal. Senang sekali.
Pukul 19.50, Mas Bajil kirim pesan pendek, isinya, "Ditunggu Yoyon dan Dwi, di rumah." Saya tidak ada pulsa untuk membalas. Esok harinya kami mendengar kabar jika semalam Mas Bajil bilang, "Omongno yo, ngono nek wes nduwe konco anyar." Saya tersenyum mendengarnya. Tentu tidak marah, sebab itu sudah khas Mas Bajil.
Diajak Bicara Oleh Pak Aryo
Pukul 20.06, ada sms dari Pak Aryo di nomer istri (Hana), isinya, "Sy p.aryo sdh ada di rmh mas yon"
Saya lupa, ada janji dengan Pak Aryo. Ia ingin sekali bicara dengan saya perihal kehadirannya di Kedai Lecang yang konon menjadi akar masalah. Tempatnya tidak di Lecang, tidak di kontrakan, tidak pula di rumah Pak Aryo. Lalu disepakati jika kami akan berbincang di rumah orangtua Mas Yon, dekat PTP Sukokerto-Ajung.
Setengah jam kemudian --dari kediaman Mas Krisna--, saya segera meluncur ke rumah orangtua Mas Yon. Pak Aryo mengajak saya bicara. Intinya, ia merasa tersinggung. Sedari kalimat pertama hingga akhir, Pak Aryo seperti sedang meledak. Nyata sekali terdengar jika ia sedang di posisi tersinggung. Saya mendengarnya, tak sekalipun memotong kata-katanya. Baru kemudian saat jeda, gantian saya yang bicara. Saya hanya bercerita sebatas yang saya tahu.
"Tadi pagi saya sudah ada di tempat Masbro. Sekitar jam delapan pagi. Saya di sana hingga kira-kira pukul setengah sebelas, duduk-duduk bersama Margono, tetangga Masbro." Rupanya Pak Aryo datang ke kontrakan saat kami masih tidur. Malam harinya saya habiskan untuk menulis.
Panjang sekali yang diutarakan Pak Aryo malam itu. Jika dirasa perlu, akan saya tuliskan garis besarnya di kesempatan lain, sesuai dengan kapasitas daya ingat saya yang terbatas.
Pak Aryo mengajak saya ngobrol dalam konteks, karena menurutnya saya
dianggap bisa menjadi mediator dalam masalah ini. Pertimbangan yang
lain, karena saya dekat dengan Mas Bajil. Baginya, masalah ini bukan
hanya tentang Live Music dan parkir, namun lebih penting lagi, tentang
pencemaran nama baik.
Jadi begini. Bagi Pak Aryo, masalah ini menjadi besar karena berhubungan dengan keputusannya untuk mengasuh seorang anak angkat bernama Diana, lalu mereka datang bersama di Kedai Lecang dan itu menjadi sebuah masalah. Barangkali saja saya bisa menjadi mediator. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari keinginan Pak Aryo. Dia siap dipertemukan kapan saja dengan Mas Bajil --serta orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadirannya di kedai-- dan menjelaskan tentang apapun yang dirasa butuh untuk dijelaskan.
"Tapi apakah Masbro bisa mempertemukan kami? Sedangkan Bajil jika bertemu saya, dia selalu lekas menghindar."
Saya tersenyum mendengar kata-kata Pak Aryo. Tentu itu sulit. Dulu saya pernah hampir mencobanya, hanya agar ingin semua masalah menjadi jelas. Namun sepertinya Mas Bajil memang lebih memilih untuk diam dan atau menghindar. Lalu saya mengabaikan keinginan itu, dan tetap berteman baik dengannya. Karena tak ada masalah apapun dengan Pak Aryo, saya pun bersikap wajar ketika kami berjumpa. Saya kira, masalah mereka dimulai di Sispala EXPA, bukan karena Pak Aryo punya anak asuh bernama Diana.
Sejujurnya, saya sendiri bingung dengan posisi saya. Jika masalah ini berkaitan dengan Diana anak asuh Pak Aryo, mengapa ia merasa butuh bicara dengan saya? Apalah saya ini, hanya seorang penyampai pesan. Namun kelak, 2 November 2015, amanah itu saya sampaikan dalam bahasa yang sederhana kepada Mas Bajil, ketika kami di rumahnya --seusai menjenguk Agil di rumah sakit, lalu singgah di rumah Mas Opik. Saya kira, saya tidak bisa menjadi mediator yang baik.
Ada satu pesan yang Pak Aryo ingin agar saya menyampaikannya kepada teman-teman kedai. "Tolong sampaikan pada anak-anak, jangan diulangi lagi untuk menyerang saya lewat anak asuh saya. Jangan campur-adukkan masalah pribadi antara saya dan Bajil --meskipun saya sendiri merasa tidak punya masalah dengan Bajil-- dengan kehadiran saya di Kedai Lecang."
Kira-kira begitu yang Pak Aryo ucapkan. Saya lupa bagaimana tepatnya ia mengatakan, sebab tidak mencatatnya.
"Pokoknya ojok diulangi maneh, sebelum saya merangkak ke ranah hukum." ujarnya.
Saya kira, Pak Aryo ingin saya menyampaikan itu kepada masyarakat Kedai Lecang. Jika memungkinkan (saya sanggup), ia juga ingin dipertemukan dengan Mas Bajil untuk saling bicara dengan akal sehat. Jika berjumpa dengan Mas Bajil, ia ingin fokus bertanya tentang akar masalah di Kedai Lecang. Kalau pun ingin membicarakan masa lalu, Pak Aryo oke-oke saja. Jika tidak pun tidak apa-apa.
Di agama saya, jika ada orang yang meminta bantuan kita, sementara kita cukup memiliki energi untuk membantunya, maka kita harus membantunya.
Di kesempatan itu, Pak Aryo juga sempat berkata jika ia --dan Mas Yon-- akan mengalah demi Kedai Lecang. Dia bilang, tidak akan nongkrong di sana lagi agar teman-teman tak lagi punya masalah. "Nantilah, kalau semua sudah membaik, saya mungkin akan ke sana lagi."
Untuk masalah Live Music, Pak Aryo juga berkomentar. "Sebenarnya saya sendiri juga tidak setuju dengan adanya itu. Bukan apa-apa, teman-teman kan bikin kedai di sana, rumahnya berhimpitan." Namun baginya, yang sebenarnya menjadi trending topic di sana bukanlah mengenai live music maupun tentang parkiran, tapi mengenai kehadirannya.
Perihal kehadirannya --yang disangkutpautkan dengan anak asuhnya-- yang dirasa membuat pihak lain tidak suka, telah didengar oleh Pak Aryo. Itulah sebabnya ia memilih mengalah, tidak lagi datang ke kedai. Jadi belum/tidak ada yang mengusir Pak Aryo. Adapun darimana sumber datangnya ketidaksukaan itu, saya mengira jika Pak Aryo merasa ini ada hubungannya dengan Mas Bajil.
"Tenang saja, saya ada saksi dengar," ujarnya.
"Tolong sampaikan ke orangnya Mas, jangan diulangi lagi. Kalau tidak, terpaksa saya bikin laporan. Ini kan mencemarkan nama baik namanya."
"Orang itu siapa Pak?" tanya saya. Pak Aryo menjawab, "Tanyakan saja pada 'anak ini' dan 'anak ini'." Dia menyebut nama dua anak yang dianggapnya mengerti siapa yang harus saya jumpai.
Lalu saya dan istri pamit undur diri, bergeser ke Kedai Lecang.
Tak menunggu waktu lama, amanah itu saya sampaikan kepada teman-teman. Saya bilang juga ke mereka, untuk urusan Pak Adi (yang tidak terima saat Pak Aryo tidak menyapanya) itu akan menjadi urusan Pak Aryo. Dalam waktu dekat ia akan menghubungi Pak Adi, mereka akan saling bicara. Sedangkan Kedai Lecang, bisa melanjutkan prosesnya untuk berniaga.
Malam itu, saya dibuatkan jus kersen oleh Fanggi, rasanya lumayan. Ada Anif di Kedai Lecang. Sudah lama sekali kami tak jumpa dengan Anif.
Esok malamnya, saya dan istri kembali ngopi di Kedai Lecang, bersama Mas Pur, Mbak Yati, Mas Tapa, serta Mbak Iin. Sebelumnya, kami bercanda dengan Apek, Tejo, Putra, Hazbi, dan beberapa lagi saya lupa namanya.
10. Sabtu, 31 Oktober 2015. Pada dini hari pukul setengah satu, teman-teman Kedai Lecang memasang tenda warna orange. Pada sore harinya, saya menuju rumah Ibu Sulasmini untuk mengambil dua kantong beras. Itu amanah dari keluarga Sroedji yang belum saya sampaikan pada beberapa pejuang kemerdekaan. Ketika itu, Febri mendekati saya. Ia bilang jika pagi harinya diajak bicara oleh Pak Juhari, tetangga belakang rumah. Kata Febri, Pak Juhari bilang jika ia tak sekalipun pernah bilang keberatan perihal suara sound musik kedai kepada Pak Adi. Saya bilang ke Febri, "Ya sudah tidak apa-apa. Tak perlu diperpanjang. Yang penting kalian tetap membuka kedai."
Di Penghujung Bulan Oktober
Kami menyempatkan diri untuk menikmati malam di Kedai Lecang. Pengunjung sepi, teman-teman nampak berseri-seri menyambut kami. Tak lama kemudian datang Mas Roni dan Mas Asep. Kami tidak janjian, hanya sebuah kebetulan yang menyenangkan saja. Febri dan Verdy agak kikuk saat melihat salah satu dari mereka datang membawa gitar. Mungkin mereka masih mengingat dampak dari Live Music pada 23 Oktober lalu. Lucu juga melihat cara Febri dan Verdy saat menghadapi masalah-masalah kecil seperti itu. Kiranya mereka masih butuh banyak-banyak belajar.
*Malam itu tidak ada Fanggi. Ia sedang bernyanyi di Cafe Kolong.
Kedatangan Mas Roni dan Mas Asep rupanya murni hanya hendak memesan kopi, bukan untuk bernyanyi. Kami bercakap-cakap mengenai banyak hal, terutama tentang suasana Kalisat di era 1980an, saat mereka masih belajar nakal.
Ketika sedang asyik bercakap-cakap, ada Pak Aryo datang berdua dengan Mas Yon/Oldies. Otak saya segera mengingat perkataan Pak Aryo dua hari sebelumnya, saat kami berbincang di kediaman Mas Yon. Waktu itu dia bilang akan mengalah demi kebaikan anak-anak pengelola kedai, dan tidak akan ke kedai dalam waktu yang mungkin lama. Lalu saya menyimpulkan sendiri, barangkali antara Pak Aryo dan Pak Adi telah saling bicara, dan semua baik-baik saja.
Saya dan Hana, serta Mas Roni dan Mas Asep, kami keluar dari kedai bersamaan. Kami hendak ke Base Camp Badut yang sedang mempersiapkan acara malam santunan untuk esok harinya, sedangkan Mas Asep dan Mas Roni hendak menuju pos di depan rumah Mas Krisna. Kepada Pak Aryo dan Mas Yon, saya berpamitan.
Saat baru melangkah keluar, Pak Adi datang mengendarai motor, berboncengan dengan Mas Bajil. Kiranya mereka habis dari Base Camp Badut. Mas Bajil langsung masuk rumah. Katanya hendak segera beristirahat, esok pagi-pagi sekali ia akan ke Ijen dalam rangka acara pemotretan. Saya masih bercakap-cakap sebentar dengan Pak Adi. Malam itu Pak Adi terlihat gembira, dan bersikap biasa saja. Meski tak ada perbincangan antara Pak Adi dengan Pak Aryo --karena mungkin jaraknya jauh-- namun saya menebak jika urusan mereka (untuk saling berbincang) telah selesai.
Impian membuat kedai bisa dialami oleh siapa saja, tak peduli siapa dan apa latar belakangnya. Ia bisa hinggap di benak pemuda Rotterdam hingga pensiunan pegawai negeri di Merauke. Begitu juga impian empat pemuda kelahiran tahun 1990an dari Kalisat, kabupaten Jember. Mereka adalah Gunawan, Verdy, Febri, serta Fanggi. Mimpi ini bermula ketika mereka masih bekerja di Pulau Dewata. Melihat orang-orang berlalu lalang di sebuah cafe, bercakap-cakap, menikmati hidup, barangkali hal-hal serupa itu yang ingin mereka bawa pulang ke Kalisat.
Pada 13 Januari 2014 lalu, saya mengirimkan pesan pendek kepada Fanggi, ketika ia memutuskan untuk berproses --kerja-- di Bali, mengikuti jejak Verdy dan Gun. Ini pesan pendek yang saya kirimkan.
"Oke Fanggi ati-ati dan sukses ya. Masbro masih di Jkt."
Sepuluh bulan kemudian --16 November 2014, ketika saya dan istri berkunjung ke Kalisat, saya berkesempatan berjumpa dengan Fanggi. Kami ke sana, salah satu tujuannya adalah untuk nongkrong di cafe seberang stasiun Kalisat yang dibuka oleh seorang teman muda bernama Frans Sandi. Ia baru membuka cafe itu sehari sebelumnya, 15 November 2014, bertepatan dengan peringatan tiga tahun pernikahan kami.
Fanggi. Lelaki bungsu dari tiga bersaudara ini memanfaatkan hari liburnya untuk pulang. Dari Fanggi kami mengerti, baru-baru ini Febri juga memutuskan untuk hijrah ke Bali. Fanggi dan teman-teman yang mencarikan Febri pekerjaan.
"Saya tetap ingin ke Jogja Mas. Tapi sebelum itu, saya bersama Mas Verdy ingin membuat sesuatu di Kalisat. Semacam kedai yang dilengkapi distro, untuk menjual karya-karya sendiri. Ya ada kaos, serta hasil-hasil karya yang lain." Begitu menurut keterangan Fanggi, lelaki muda kelahiran Kalisat, 13 Agustus 1995.
Di pertengahan November tahun lalu itu, Fanggi bilang jika akan pulang ke Kalisat. Bikin kedai. Melaksanakan impian. Fanggi memberi batasan 6 bulan lagi dia mantap akan pulang. Jadi, sekitar bulan Mei 2015 dia akan pulang, bersama teman yang satu impian. Kelak, tak hanya Verdy dan Fanggi yang berkeinginan mewujudkan mimpi ini. Mereka berempat, Gun dan Febri juga turut serta, meski posisi Gun hanya turut di bagian investasi saja. Empat orang, masing-masing meletakkan satu juta untuk sebuah mimpi.
Ketika saya dan istri memutuskan untuk kontrak rumah di Kalisat, dimulai sejak 20 April 2015, teman-teman muda Kalisat yang ada di Bali saya hubungi. Saya senang sebab mereka masih ada niatan untuk bikin kedai. Fanggi masih berpikiran sama. Ia ingin mengelola sebuah kedai yang ada perpustakaan kecilnya, ada kopi dan semacamnya, musik akustik, jual baju, tempat yang digagas tempo dulu dengan sentuhan agak modern yang didominasi warna pastel biru telur asin, cokelat, putih, hijau dan kuning.
Pada 4 Juli 2015, saya dan Fanggi berkomunikasi lewat jejaring sosial Facebook. Dia sedang berpikir keras tentang sebuah brand. Akan diberi nama apa kedai itu nanti? Saya dimintai tolong untuk sumbang ide. Saya bilang, bagaimana jika namanya kedai Lecang?
Sebenarnya saya tidak ingin turun tangan mengenai masalah nama. Saya bilang ke Fanggi, "Kamu harus memikirkan sebuah kata, yang kata itu bisa memotivasi hidupmu, dan menginspirasi orang lain." Namun kata Fanggi, dia bingung. Jadilah saya mencoba menawarkan sebuah nama. Lecang. Dari bahasa lokal Madura untuk menyebutkan getah buah nangka yang bisa dijadikan lem/perekat, biasanya untuk menjebak burung. Tadinya nama itu saya jadikan nama sebuah gang menuju rumah kontrakan. Di hari yang lain, teman-teman sependapat. Lecang menjadi nama kedai teman-teman, tak lagi saya gunakan untuk menamai gang.
Ketika itu --4 Juli 2015, posisi Fanggi masih ada di Bali.
Saat kami boyongan rumah --20 April 2015-- Fanggi, Fia, Anif, dan beberapa lagi, mereka baru turun dari Ijen. Katanya, memanfaatkan waktu libur. Lagipula EXPA --Sispala tempat mereka pernah aktif berproses-- sedang ada acara. Saat itu mereka menyempatkan diri untuk singgah di kontrakan meski sebentar.
Saya lupa kapan tepatnya Fanggi pulang --dari Bali-- ke Kalisat. Yang saya ingat, di akhir bulan Juli kami sudah ngopi bersama-sama. Bulan Agustus Fanggi (dan Lukman) habiskan untuk membantu/bekerja di IGA Production milik Mas Bajil, yang sedang kebanjiran pesanan kostum karnaval.
Di pemula bulan September, pesanan untuk karnaval masih ada. Setiap kali berjumpa dengan Fanggi, ia tak pernah membahas sedikit pun perihal impian yang belum tersentuh itu. Sebuah kedai. Pertengahan bulan September, jika tidak keliru, pada 17 September 2015, saya coba ingatkan itu.
Fanggi di hari pertama pembukaan Kedai Lecang, 17 Oktober 2015
Pada akhirnya impian itu terwujud juga. Bertempat di pelataran rumah kontrakan orangtua Febri di desa Ajung Krajan, Kalisat, pada 17 Oktober 2015. Saya dan istri senang menjadi pembeli pertama di kedai yang telah lama sekali direncanakan kehadirannya ini. Lima hari sebelumnya, berita gembira ini saya tuliskan di Funpage Facebook Sudut Kalisat.
Di Kalisat akan segera hadir sebuah distro dan kedai bernama LECANG, ia dimotori oleh Fanggi, Verdi, dan Febri. Mereka akan menyediakan ruang publik kecil untuk nongkrong dan bercengkerama, sembari menyiapkan karya-karya seni. Di sini, Anda bisa memesan kaos cukil, sablon, dan lukis. LECANG direncanakan akan bertempat di rumah orang tua Febri di Kampung Lima, bersebelahan dengan IGA Production, JL. Kartini desa Ajung Krajan. Tentu mereka akan menghadapi konflik dan proses-proses yang lain, mengingat ini pengalaman pertama mereka mendirikan 'ruang publik kecil' di sebuah kecamatan yang jarang mengadakan hal serupa kecuali musik dan karnaval. Namun di sini telah tercatat, pernah dilakukan/dibuka ruang seni di sekitaran lingkaran Kalisat, keberadaan komunitas teater, kehadiran pelukis, eksistensi penggemar Koes Plus, jaranan, patrol, macapat, pencak, dan beberapa lagi. Kiranya teman-teman 'Lecang' bisa banyak-banyak belajar dari mereka.
Kelak, mereka memang menghadapi konflik yang sederhana namun ia bisa saja berpotensi menjadi sangat rumit jika tidak segera dikomunikasikan. Sebelum Hari H pembukaan kedai Lecang memang telah ada konflik internal antara Febri, Fanggi, dan Verdy. Akan tetapi itu hanya sebuah ketidaksamaan sudut pandang saja, antara tiga lelaki yang sama-sama masih sangat muda. Konflik itu sudah tuntas, beberapa hari sebelum Kedai Lecang dibuka.
Teguran muncul mula pertama dari Bapak Adi Wiyono selaku Ketua RT, pada 23 Oktober 2015. Wajar. Itu tentang musik akustik. Teman-teman Kedai Lecang pun telah manut. Sejak saat itu, tak ada lagi Live Music. Menjadi tidak wajar ketika konflik-konflik lainnya --ikutan-- mblarah kemana-mana. Saya menjadi empati kepada teman-teman muda itu. Neser.
Kiranya, di kesempatan yang berbeda, saya merasa perlu untuk membuat sebuah arsip tulisan tentang kronologis kejadian yang menimpa teman-teman Kedai Lecang, hanya agar semua menjadi jelas. Terima kasih.
Berikut adalah catatan Om Qingliang Yang (warga Kalisat kelahiran 21 Januari 1958) di status Facebook miliknya tanggal 10 Oktober 2015. Dia menceritakan tentang sebuah pembunuhan di Kalisat, saat dia masih berusia tujuh tahun.
Catatan Qingliang Yang
Hari ini saya membaca berita mengenai seorang suami di India yang menenteng kepala istrinya yang dia pancung karena dugaan selingkuh. Ada banyak komentar mengenai berita tersebut di Kompas.com.
Pada tahun 1960an di desa tempat saya tinggal --Kalisat, Ayah saya adalah satu-satunya tukang potret yang membuka foto studio di sana. Ayah saya bernama Njoo Giok Kwan, pemilik Nyoo Studio di Kalisat, kabupaten Jember.
Pada suatu hari ada kejadian pembunuhan yang dilakukan seorang suami yang memergoki istrinya sedang selingkuh dengan pacar gelapnya. Sang suami kalap ini langsung membunuh keduanya. Tidak cukup begitu saja, dia juga memenggal kepala kedua korbannya sampai putus dan menentengnya ke rumah kepala desa. Istri sang kepala desa sampai pingsan ketika melihatnya.
Rekonstruksi dilakukan secara cepat oleh pihak kepolisian setempat dan Ayah saya diminta untuk mendokumentasikannya. Ayah menolak tapi tidak keberatan untuk meminjamkan kameranya kepada Mantri Polisi yang bernama Pak Soewardi (dia juga dikenal sebagai pengembang Orhiba di desa kami) untuk mewakilinya. Rekonstruksi dilakukan di zaman itu tanpa menggunakan boneka seperti di masa kini, alias langsung pakai barang bukti berdarah itu.
Ayah saya mencetak foto itu dan menyisakan beberapa lembar untuk di simpan dan ditunjukkan ke teman-temannya. Foto-foto hitam putih berukuran 6x6 yang dengan cukup jelas menunjukkan 2 buah kepala tergeletak di tanah, sering kami lihat ketika kami kecil dulu --saat saya berusia tujuh tahun-- karena diletakkan di laci tempat barang-barang tetek bengek disimpan! Sayangnya atau untungnya foto-foto itu sudah lenyap sehingga tak perlu saya memenuhi permintaan no pic=hoax untuk saya posting di sini.
Tambahan
Kisah serupa di Kalisat juga pernah saya jumpai di buku Srihandoko berjudul, Berjalan Bersama Tuhan. Buku itu adalah kumpulan beberapa catatan, dan catatan pertamanya berjudul; Kepala Manusia di Atas Piring. Ia berkisah tentang suatu pagi di Kalisat, ketika terjadi pembunuhan, namun berlatar tahun 1950an.
Korban pembunuhan itu adalah seorang sinder perkebunan bernama Pak Karman, sedangkan pembunuhnya adalah seorang mandor kebun yang tak lain adalah orang kepercayaan Pak Karman.
PENYEBARAN KETURUNAN BUJUK/BUYUT GENDUK DENGAN KETIGA ISTRINYA
I. Istri pertama, Nyi Genduk, dengan gelar Mungsing Sari. Ia kelahiran Sumenep, dinikahi oleh Raden Bakat Joyo Manguk alias Bujuk Genduk ketika ia berdagang hingga ke tanah Sumenep.
II. Istri kedua bernama Nyi Gluduk, dari Pamekasan tulen, dinikahi oleh Bujuk Genduk ketika ia melarikan diri dari penjajah VOC, dari Sumenep dan hengkang/pindah ke daerah Pamekasan. Di sini Bujuk Genduk berjumpa dengan Nyi Gluduk yang kelak diberinya gelar Lembu Petteng.
Keturunan Bujuk Genduk dan Nyi Gluduk menyebar ke daerah:
III. Istri ketiga Bujuk Genduk bernama Buyut Ripa. Ia adalah perempuan kelahiran Besuki. Dinikahi oleh Bujuk Genduk ketika ia berdagang dan bermukim di wilayah Besuki-Panarukan. Selain berdagang, Bujuk Genduk juga mensiarkan agama Islam. Melalui ikatan pernikahan, semakin memudahkannya untuk melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat yang ketika itu disinyalir masih memeluk agama Hindu. Sama seperti dua istri Bujuk Genduk sebelumnya, Nyi Ripa juga memiliki gelar pemberian suaminya, yaitu Singo Mendung.
Keturunan Bujuk Genduk dan Singo Mendung menyebar ke daerah:
Perlu diketahui bahwa keturunan Buyut Genduk alias Raden Bakat dari ketiga istrinya inilah sampai tujuh turunan dilarang memakan ikan mungsing. Memang kalau kita pikirkan segala sesuatu bila Tuhan menghendaki maka terjadilah seperti halnya kisah ini (penulis: Hery Soekinem).
PUTRA-PUTRA BUYUT GENDUK DENGAN ISTRI KETIGA/BUYUT RIPA:
BUYUT GENDUK dengan ketiga istrinya masing-masing menurunkan 12 orang anak:
1. Dengan istri pertama: 12 orang putra
2. Dengan istri kedua: 12 orang putra
3. Dengan istri ketiga: 12 orang putra.
Buyut Genduk dengan istri ketiganya memiliki anak pertama bernama SARYO atau dikenal juga dengan nama Nurdin. Ia --Saryo/Nurdin-- memiliki keturunan sebagai berikut:
Anak ketiga Mbah Saryo yang bernama PASAH memiliki dua istri, Muti'ah dan Muntamah.
KETURUNAN PASAH DAN MUTI'AH:
1. Minati
2. Soedarmi
3. Sudarso.
MINATI menikah dengan Abusidin, dikaruniai enam buah hati:
a. Soeroso
b. Soetopo
c. Rustam Affandi (menikah dengan Rochilla)
d. Sunarifin (menikah dengan Supinah)
e. Suryati
f. Kunayah (menikah dengan Samsuri).
SOEDARMI menikah dengan Soedarmo, dikaruniai tiga buah hati:
a. S. Koesnadi (menikah dengan Soertiningsih)
b. Soedaryo (menikah dengan Soeratminah)
c. Astutik.
SUDARSO, putra ketiga Pasah dan Muti'ah, tanpa keterangan.
1. SURATMI menikah dengan H. Mashuri, dikaruniai sepuluh buah hati:
a. H. Abdurrahman, menikah dengan Badriyah
b. Hj. Halimatus Sa'diyah (Nurwati), menikah dengan H. Hadiso
c. Nurtinah, menikah dengan H. Abd. Wahid
d. Nurwasih, menikah dengan Koesni Kuswandono
e. H. Imam Suharjo, menikah dengan Siti Hamidah
f. Sukarsono, menikah dengan Sri Ida Ningsih
g. Sujoko, menikah dengan Khoiriyah Lilfi
h. Jakfar Ashari
i. Nurhayani, menikah dengan Sukirman
j. Nurhayati, menikah dengan Hery Soeprajitno.
2. SOEMAKYA menikah dengan Atmowijono, dikaruniai empat buah hati:
a. Sukemi, menikah dengan Kariyanto
b. Sasmita, menikah dengan Yusup
c. Kusnadi, menikah dengan Wasiah
d. H. Siswanto, menikah dengan Hj. Siti Nur Aisyah
3. SOEKINA menikah dengan Djamaludin, dikaruniai seorang buah hati:
a. Soedartin, menikah dengan Toekijo
4. SOEKINEM menikah dengan Djamaludin, dikaruniai empat bua hati:
a. Bambang Sumadi
b. Endang Wahyuniningsih, menikah dengan Suja'i
c. Heri Kusyanto, menikah dengan Nanik Purwaningsih
d. M. Siswandi AJM, menikah dengan Lilis Tri Indriatmi.
5. SOEKANDAR, tanpa keterangan.
6. ABDUL KARIM, tanpa keterangan.
7. SIAMA, tanpa keterangan.
8. Soeryani, memiliki buah hati bernama Untung Bejo Kasianto (yang menikah dengan Mita)
9. SOEKIMAN menikah dengan Susyati, dikaruniai seorang buah hati:
a. Slamet Sholihin, menikah dengan Nanik Widowati
10. SOEMIRAH menikah dengan Wahyoedi, dikaruniai tujuh buah hati:
a. Kutut Soebiyantoro, menikah dengan Aruminingsih
b. Tutik Wahyuningtias Lestari, menikah dengan Sumarno
c. Metri Wahyuningsih, menikah dengan Sumarno
d. Bambang Irawan, menikah dengan Ernawati
e. Slamet Hariadi, menikah dengan Ririn Pramilu Karyawati
f. Teguh Santoso, menikah dengan Ety Prastiwi
g. Indah Wahyu Winarni
11. RUFIATI menikah dengan Soeminto, dikaruniai dua buah hati:
a. Eko Suprihatin
b. Wiwik Sukoatim
*Disalin dari buku "Legenda: Asal-usul Tanah Kalisat" yang ditulis oleh Hery Soekinem
Orang yang baik adalah orang yang berani menjaga keutuhan martabat dan nama baik keluarganya secara ikhlas lahir batin, cinta kasih serta saling memberi dan menerima dalam situasi apapun demi terciptanya rasa persatuan dan kesatuan keluarga dan sesamanya.
Buku ini berisi tentang kisah sesepuh kita semua yang dahulu pembabat daerah kota Kalisat. Kisah ini ditulis dari hasil kesepakatan para sesepuh atau tetua-tetua kita dahulu.
Buku ini saya tulis dikandung maksud agar dibaca anak-anak saya, ponakan saya, cucu-cucu saya, cicit-cicit saya dan seterusnya. Yang maksud dan tujuan untuk dijadikan bahan tolak ukur dalam belajar dan meniti kehidupan ke depan, serta dapatnya minimal bisa membanggakan perjuangan para sesepuhnya yang terdahulu.
Semoga kisah ini dapat bermanfaat bagi kita Keluarga Besar "Raden Bakat Joyo Manguk alias Buyut Genduk alias Buyut Geluduk."
Wassalam
Penulis/Hery Soekinem
Asal-usul Tanah Kalisat
PERJALANAN MEMBAWA AMANAT
Dahulu kala kurang lebih tahun 1685 sebelum tempat-tempat sekarang ramai tersebutlah tiga saudara yaitu Buyut Halim, Buyut Mahin, dan Buyut Genduk. Ketiga saudara tersebut adalah santri dari Kanjeng Sunan Kudus. Beliau bertiga memiliki nama asli R. Halim Joyo Laksono, R. Mahin Joyo Kusumo, R. Bakat Joyo Manguk. Ketiga orang tersebut bersaudara kakak beradik mengemban tugas mensiarkan agama Islam ke timur.
Suatu hari berangkatlah ketiga bersaudara tersebut dari daerah Rembang Jawa Tengah. Perjalanan tersebut berhari-hari bahkan berbulan-bulan keluar masuk daerah yang satu ke daerah yang lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Tidaklah halangan dan kepahitan sering dialami ketiga bersaudara tersebut. Tetapi dengan tabah dan sabar dihadapi dengan tawakal kepada Allah SWT.
Perjalanan demi perjalanan sampailah tiga orang tersebut ke daerah Surabaya. Tepatnya di daerah Jagir (sekarang Wonokromo). Di daerah Jagir menetap beberapa bulan, bersilaturahmi ke pesantren Ampel, Giri, dan tempat pesantren lainnya. Maka ketiga orang tersebut akan melanjutkan perjalanan ke timur.
Raden Bakat berkata, "Kang Mas meneruskan perjalanan ke timur, biar dimas mau ke utara pantai Madura."
Sahdan perjalanan R. Bakat ke Madura mengendarai tapis kelapa yang kering yang seperti perahu bentuknya, melintasi lautan pulau Jawa di perairan pantai Madura. Sedangkan kakak Raden Bakat yaitu Raden Mahin Joyo Kusumo dan Raden Halim Joyo Laksono meneruskan perjalanan ke timur dengan mengendarai kupu-kupu pemberian sesepuh Kiai Jagir seorang ulama berilmu tinggi dan bijak.
Keduanya berangkat menaiki kupu-kupu pemberian Kiai Jagir. Perjalanannya berbulan-bulan dari satu daerah ke daerah lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Banyak pengalaman-pengalaman yang dihadapi karena pada masa itu orang-orang banyak menganut agama Hindu. Sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan kedua saudara itu mengarungi perjalanan.
Karena kupu-kupu melihat badan luas yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang bermacam-macam maka turunlah kupu-kupu itu. Turunnya kupu-kupu itu sahdan di antara dua sungai (sekarang dusun Gerugul desa Sukoreno, Kalisat).
Raden Mahin berkata kepada kakaknya:
"Biar Kangmas saya mau membuka tanah ini, asal saja nanti kalau membuka tanah lain Kangmas harus sama di bulan Rajab hari Kamis Keliwon!"
Sedangkan Raden Halim meneruskan perjalanan ke timur, karena siang tengah hari kupu-kupu yang dinaiki melihat sumber air yang besar dan jernih maka turunlah kupu-kupu tersebut (sumber air itu yaitu bernama Sumber Tujuh di bawah Gumuk Pakil Kalisat Barat dan sampai saat ini sumber tersebut dipakai sebagai pemandian umum).
NAIK IKAN MUNGSING
Sahdan keadaan Raden Bakat di wilayah Sumenep Madura bermukim tidak seberapa lama karena Raden Bakat tercakup kasus masuk barisan kolonial penjajah. Dengan pertolongan Allah SWT Raden Bakat dapat melarikan diri hengkang/pindah ke daerah Pamekasan dan di sinilah beliau bermukim agak lama. Dan di Pamekasan ini Raden Bakat beristri lagi yang kedua tulen orang Pamekasan yang bernama Gluduk. Hingga kedua istrinya berkumpul dengan rukun. Perlu diketahui istri pertama Raden Bakat asli orang Sumenep bernama Genduk.
Memang kita perlu menyadari bahwa orang tua zaman dahulu rata-rata merupakan orang yang tekun dan tabah dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan hidup walaupun ke seberang lautan sekalipun mereka arungi demi masa depan bangsa yang akan datang.
Tidak lepas dari tanggung jawab dan kewajiban Raden Bakat untuk menghidupi kedua isrinya di Pamekasan dan sambil berdagang barang kelontong, kain sarung, dll. Raden Bakat berdagang tidak hanya berkeliling pulau Madura saja. Sambil berdagang juga mensiarkan agama Islam bahkan sampai juga ke wilayah tanah Jawa Besuki Panarukan.
Kepentingan Raden Bakat berdagang hingga sampai daerah Panarukan Besuki meninggalkan kedua istrinya tercinta tujuannya pula sambil menjenguk kesehatan kakak kandungnya yaitu Raden Halim Joyo Laksono yang berada di daerah Jember Utara yaitu wilayah Kalisat. Perjalanan Raden Bakat setiap pergi berdagang dari pulau Madura ke pulau Jawa tidak hanya memakan waktu sehari dua hari, bahkan berbulan-bulan.
Dari seringnya datang berdagang ke daerah Besuki, Raden Bakat beristri lagi orang Besuki bernama Ripa dan tak lama kemudian istri yang ketiga ini oleh Raden Bakat diboyong juga ke Pamekasan Madura.
Di Pamekasan inilah ketiga istrinya berkumpul bersama, dan ketiga istrinya tersebut rukun dan damai saling bantu membantu dalam mengabdikan dirinya sebagai istri kepada suaminya. Bukan merupakan keanehan ketiga istrinya kumpul menjadi satu rukun dan damai sebab beliau memang berilmu tinggi bahkan kalau perlu walau binatang buas sekalipun akan luluh dan tunduk pada dirinya. Namun apa daya, selama Raden Bakat bermukim di Pamekasan bersama dengan ketiga istrinya hambatan dan rintangan baginya selalu berkobar menghalangi sehingga beliau tidak dapat bertahan. Maklum kaum penjajah saat itu sewenang-wenang terhadap bangsa kita, karena pada waktu itu kaum penjajah VOC baru menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini untuk mengadakan persaingan dan monopoli dagang.
Beliau bersama dengan ketiga istrinya hengkang/pindah dari Pamekasan Madura ke daerah Panarukan Besuki.
Dalam perjalanannya, Raden Bakat bersama ketiga istrinya dari pantai utara Madura ke pantai selatan Panarukan Besuki, tidak dinyana sebelumnya di tengah lautan yang luas cuaca seketika di atas langit penuh mendung tebal dan tak lama kemudian datang ombak dan badai yang sangat besar disertai dengan angin kencang yang menggila. Raden Bakat bersama ketiga istrinya menghadapi seperti itu dalam keadaan panik dan kehilangan keseimbangan berhubung perahunya terombang-ambing dipukul ombak dan angin yang besar sehingga perahu yang ditumpangi tidak telak lagi karam.
Raden Bakat bersama ketiga istrinya berusaha sekuat tenaga memegangi perahunya yang karam itu agar tidak tenggelam ke dalam laut.
Allah Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Bijaksana kepada umatnya, waktu itu beliau sekeluarga berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba muncul ikan yang sangat besar sekali, namanya ikan Mungsing dan seketika itu juga Raden Bakat bersama ketiga istrinya yang masih memegangi perahu yang terombang-ambing tahu-tahu sudah di punggung ikan besar tersebut, seakan-akan Raden Bakat bersama ketiga strinya duduk di sebuah meja yang besar.
Lalu ikan besar itu berkata:
"Tujuan hendak kemana gerangan ada di sini?"
Raden Bakat menjawab:
"Saya mau pulang ke tanah Jawa Panarukan Besuki."
Ikan besar itu bertanya lagi:
"Aku antarkan kamu semua ke pantai Panarukan tapi harus engkau ingat, tujuh turunan dari kamu tidak boleh makan dagingku!"
Raden Bakat menganggukkan kepala dengan takdimnya dan menyetujui permintaan ikan mungsing besar itu yang telah menyelamatkan beliau sekeluarga. Tak lama kemudian beliau sekeluarga sampailah di pantai Panarukan dengan selamat. Dan setelah itu Raden Bakat sekeluarga meneruskan perjalanannya menuju Besuki.
Untuk mengenang perjalanan Raden Bakat bersama ketiga istrinya, dari pantai Madura menuju pantai selatan Panarukan Besuki maka dengan bijak Raden Bakat memberikan gelar kepada istrinya yang pertama dengan nama "Mungsing Sari," sebab yang menolong beliau sekeluarga waktu perahunya karam di tengah lautan adalah ikan mungsing besar.
Dan gelar yang diberikan kepada istri kedua ialah dengan nama "Lembu Petteng" karena pada waktu perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika diterpa badai keadaan perahu gelap, Raden Bakat meraba-raba waktu tu tepat memegang seekor sapi.
Sedangkan pemberian gelar kepada istrinya yang ketiga ialah dengan nama "Singo Mendung," pemberian gelar ini disebabkan karena perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika perahunya diamuk badai kala itu mendung di atas lautan tebal hitam menakutkan, seakan-akan hendak menelan lautan beserta isinya.
SAMBIL DUDUK MENEBANG HUTAN
Perihal tindak lanjut keadaan Buyut Halim di daerah Jember Utara maka, dengan tekun dan tanpa terbabatkan suatu dusun yang asalnya hutan belantara penuh dengan belukar dan angker. Berhubung Buyut Halim keadaannya yang sudah tua maka kesehatannya menurun dan ia tidak dapat melanjutkan pembabatannya yang ia tempati karena kemampuan manusia itu serba terbatas seperti halnya Buyut Halim. Sebelum ia dipanggil oleh Allah maka sempat ia mengirim kabar kepada adik kandungnya yaitu Raden Bakat di Besuki agar ia dapat melanjutkan pembabatannya dan sempat pula ia memberi petunjuk-petunjuk tentang daerah babatannya yang masih belum selesai.
Sementara Buyut Halim menetap di daerah Gumuk Pakel, sambil membuat rumah gubuk kecil untuk melindungi dinginnya malam hari dan terik matahari. Untuk makan Buyut Halim setiap hari tidak bingung karena banyak tanaman di sekelilingnya bermacam-macam untuk kebutuhan sehari-harinya. Suatu hari tepatnya Bulan Rajab Kemis Kliwon dimulailah penebangan yang dimulai dari lereng Gumuk Pakel. Buyut Halim menebang pohon-pohon besar menggunakan tombaknya yang bernama "Sanjung Langit Nogo Ilang."
Tombak itu dilemparkan ke tanah maka berputarlah di tanah dan mengeluarkan asap tebal serta seketika itu kepulan asap itu berubah menjadi ular yang sangat besar, maka ular itulah yang menumbangkan pohon-pohon besar itu (tombak tersebut sampai saat ini masih ada di rumah penulis dan kesaktiannya masih bisa dibuktikan, kalau ingin melihat kesaktiannya bila malam Kemis Kliwon).
Berbulan-bulan penebangan pohon-pohon besar dan tempat-tempat banyak dibersihkan. Suatu hari Buyut Halim sakit lantas mengirim kabar memanggil adiknya Raden Bakat di daerah Besuki. Terkirim salam lewat angin Buyut Halim memakai kesaktiannya bernama "delik ati miber angin."
Selang beberapa lama maka Buyut Halim wafat dengan tenang, karena ada yang meneruskan perjuangannya untuk dinikmati dan untuk kesejahteraan keturunannya dan pada sesamanya. Adapun makam Buyut Halim sampai saat ini di sebelah barat tempat pemotongan sapi (muka pelabuhan Kalisat).
Sejak pada saat itulah Raden Bakat dengan hati-hati diambilnya tongkat pusakanya dan dengan segera menuju ke tempat yang dipesankan Buyut Halim saudaranya dengan bekal keyakinan dan ketekunan serta ketabahan sehingga mampu sampai ke tempat yang dituju. Apa boleh dikata, tidak ada hutan yang tidak beronak dan berduri dan tidak ada kehidupan yang tidak ada rintangan.
Pada suatu tempat Raden Bakat bersama keluarganya ia tak bisa melintasi sungai (sekarang dinamakan sungai pelabuhan utara makam pahlawan Kalisat), karena keadaan sungai waktu itu banjir besar. Dengan tidak disadarinya ditancapkannya tongkat yang dibawa untuk menghela agar air tidak ke tempatnya Raden Bakat sekeluarga.
Sementara itu sembari menunggu kecilnya air sungai, menanti hingga keesokan harinya, berharap air sungai yang banjir itu bisa surut. Dengan kebesaran Yang Maha Kuasa, air yang tadinya banjir itu "sat." Bertepatan pada waktu itu pagi-pagi benar Nyi Genduk hendak mencuci pakaian ke sungai tersebut. Sesampainya di tempat yang dituju ia segera kembali, namun berpapasan kedahuluan suaminya yang bertanya kepada Nyi Genduk yang dari sungai.
"Lah...Kok balik?"
Nyi Genduk menjawab, "Kaline Sat...!"
Seja saat itulah sesuai dengan jawab ramalan Raden Bakat menyatakan bahwa besok daerah ini terbuka sebagai lanjutan (sedari kini). Kuberi nama daerah ini dengan nama "Kali-sat."
Kira-kira kurun beberapa hari, Raden Bakat mulai melanjutkan babatan yang masih belum selesai melaksanakan pesannya Buyut Halim tentang tempat-tempat yang dpesankan. Salah satunya berpesan agar pohon yang paling besar yang berada di tengah-tengah daerah babatannya yaitu pohon beringin dan pohon katu agar tidak ditebang, karena pohon itu tempat tidurnya macan yang kuasa di wilayah alas tersebut.
Alkisah, macan tersebut sudah tunduk kepada Buyut Halim dan sudah lulut kepada Buyut Halim. Macan tersebut jumlahnya dua ekor, yang satunya bulunya merah tidurnya di lubang pohon beringin, dan yang satunya lagi bulunya belang tidurnya di bawah pohon katu. Pohon katu itu tumbuh di ketinggian rawa-rawa yang curam dan keadaannya wilayah itu berair (ledok). Tempat itu sekarang Terminal Kalisat dan sekitarnya, hingga sekarang kampung itu diberi nama kampung Ledok (selatan stasiun KA Kalisat).
Kira-kira pada tahun 1798, semua babatan sudah selesai dan sudah dibersihkan sehingga banyak sebagian yang mendirikan gubug-gubug. Sudah ada banyak pendatang dari Jawa Tengah, Madura, Bangil, Gresik, Tulungagung, Bojonegoro. Orang-orang itu untuk berdagang dan bekerja, pendatang itu menyatu membuat gubug-gubug kecil seperti perkampungan berhimpit-himpitan. Sehingga sampai sekarang perkampungan itu tetap dinamai Kampung Templek, asal kata dari nemplek.
Suatu hari secara serempak bersama-sama Raden Bakat dinobatkan menjadi tetua wilayah babatan atau menjadi kepala desa Kalisat.
Kurang lebih pada tahun 1802, para penduduk yang mendiami wilayah itu ada sesepuh yang kharismanya tinggi, berilmu tinggi, alim agamanya yaitu Buyut Patar berasal dari pulau Madura (makam Buyut Patar sekarang di pinggir sungai selatan pasar Kalisat). Buyut Patar tersebut oleh Raden Bakat dengan kesepakatan penduduk diangkat menjadi wakil Kepala Desa atau Carik.
Kantor desa dahulu berada di sebelah timur di wilayah yang ramai penduduknya yaitu di seputaran kampung Nemplek. Dahulu rumah dan kantor desa disebut orang dengan Kerajaan sehingga sampai sekarang dikatakan dengan Dusun Krajan. Dimana-mana desa kalau ada Dusun Krajan berarti rumah dan kantor desa Kepala Desa pertama.
Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, hingga Kalisat mulai ramai penduduk yang datang untuk berdagang. Raden Bakat selaku Kepala Desa Kalisat merasa perlu untuk mendirikan pasar. Pengadaan pasar Kalisat pertama tahun 1835.
Kepala desa dan carik tiap sebulan sekali kalau repotan (laporan) atas perkembangan desanya yaitu ke Besuki (kepada Residen Besuki). Hal ini aturan tempo dulu.
Kepala desa dan carik kalau repotan naik kuda. Keduanya terbang naik kuda, kalau Kepala Desa naik kuda sebagai cambuknya seadanya apapun bisa digunakan. Kalau Pak Carik sebagai cambuk kudanya khusus yaitu berupa lidi yang dijadikan satu. Keramaian di desa Kalisat tiap tahun sangat pesat sekali, keramaiannya itu berkat kepemimpinan Raden Bakat dan Buyut Patar, sehingga tidak terasa kira-kira hari Rabu tanggal 1 bulan dua 1902 Adipati Jember pertama RM. Astrodikoro dan Wakil Gubernur Surabaya yang di Jember John Van Horn sempat berkenan hadir ke Kalisat, naik kereta kuda yang jumlah kudanya empat ekor.
Dan pada hari Senin tanggal sembilan (lima) bulan lima 1947 Adipati kedua (ketiga) RP. Sudarman sempat swan ke desa Kalisat diantar oleh Wedana Kalisat RM. Surahmat Hadinoto yaitu meninjau sapi perah di rumah Mbah Abdul Wahab (Mbah Mariam dan Mbah Pasah).
Demikian asal-usul secara singkat terjadinya tanah Kalisat, mudah-mudahan hal ini dapat dijadikan pegangan instropeksi kehidupan bagi anak cucu berikutnya.
Selesai
BIOGRAFI PENULIS
Nama: Hery Kusyanto,S.Pd
Tempat, tgl lahir: Jember, 29 Juni 1958
Status Anak: Anak ke-3 dari Mr. Achmad Djamaludin dengan Soekinem
Jabatan: Kepala Sekolah SDN Kalisat 04
Alamat Rumah: Jalan Sumber Bringin Dusun Grugul Desa Sukoreno Kalisat
PENUTUP
Penulis kisah ini adalah Aliran dari keturunan nasab Buyut Genduk dengan istrinya yang ketiga yaitu Buyut Ripa (Buyut Singo Mendung). Penulis mengangkat kisah ini hasil dari kesepakatan para sesepuh-sesepuh kita terdahulu.
Penulis juga merangkum kisah cerita ini dari beberapa narasumber:
1. Bpk. SOEDARSO (Almarhum);
2. Bpk. SOEKINEM (Almarhum) berasal dari Mbah Pasah dan Mbah Abdul Wahab (Mbah Maryam);
3. Bpk. SOEKIMAN (Putra Bungsu Pasah);
4. Dan sesepuh-sesepuh lainnya.
Demikian cerita ini terangkum sangat sederhana sekali, bila kurang sempurna penulis mohon maaf karena semata-mata penulis berusaha dan berupaya untuk mengingatkan kita semua khususnya keturunannya bahwa sesepuhnya terdahulu adalah seorang Ulama Agama yang terhormat dan Aliran Darah Ningrat.
Penulis
HERY SOEKINEM
Catatan:
Dituliskan kembali oleh RZ Hakim, atas izin ahli waris. Tulisan di atas nyaris tanpa edit, kecuali sedikit edit redaksional saja.
Buku "Legenda: Asal-usul Tanah Kalisat" adalah milik Keluarga Besar Alm. MADIROSO, dipinjamkan --kepada RZ Hakim-- oleh putra bungsu Alm. Madiroso yaitu Krisna Kurniawan, pada hari Kamis Kliwon, 8 Oktober 2015.
Mengenai silsilah para keturunan Buyut Genduk bisa dibaca di SINI.
Adalah Krisna Kurniawan yang mengabaran kepada saya jika pemilik studio foto terlama di Kalisat --Nyoo Studio-- itu bernama Njoo Giok Kwan. Kebetulan, di jejaring sosial Facebook, saya sudah mendapatkan izin dari ahli waris yang tak lain putra dari pemilik studio foto tersebut --Qingliang Yang-- untuk menampilkan foto era 1940an ini.
"Yang di tengah itu mendiang Ayah saya," tulis Om Liang. Liang adalah sapaan akrab untuk Qingliang Yang.
"Orang tua Liang terpelajar, Ibunya pandai berbahasa Belanda," tambah Mas Imron Rosidi.
Saya suka dengan foto ini. Setidaknya ia berkisah tentang arsitektur jendela kereta di masa itu, dan tentang bagaimana laki-laki tempo dulu ketika mereka tampil modis.
Jika kita baca ulang buku berjudul Outward appearances, di sana disebutkan jika perubahan datang bersama perkembangan moda transportasi kereta api. Akulturasi budaya lekas terjadi, diantaranya adalah tentang penampilan di masa itu. Orang-orang Indonesia ini menjadi sebuah tipe pan-Nusantara. Mereka dibedakan, atau ingin membedakan diri, dari profesi mereka. Diantaranya dengan cara tampil necis.
Untuk Mas Krisna Kurniawan, Mas Imron Rosidi, Om Liang, dan semua yang telah sangat membantu melengkapi data dengan berbagai cara, terima kasih.
Foto tempat pemerahan susu di Kalisat tahun 1939 di atas adalah kiriman dari Om Bambang Hermanto, seorang alumnus SMAK Santo Paulus Jember. Menurut keterangannya, ia juga mendapatkan foto ini dari teman dekatnya --tidak disebutkan nama.
Tampak dalam foto, paling kanan sendiri --duduk di kursi-- adalah keluarga Eropa di Kalisat. Di belakang mereka ada Bumiputera, mungkin warga Kalisat. Di belakangnya lagi ada sebuah mobil dengan Nopol P 491.
Jika melihat latar belakang gumuk di belakang bangunan dan pepohonan, saya kira lokasi foto ini adalah di Glagahwero, jalan menuju desa Jatian. Jika benar, hingga kini tempat itu masih dijadikan tempat serupa, namun bukan untuk pemerahan susu sapi melainkan untuk jual beli sapi, di setiap hari Rabu. Orang-orang bilang, itu adalah Pasar Sapi Reboan Kalisat.
Lapangan Tennis di Kalisat, di Sebelah Gudang Garam
Foto di atas masih kiriman dari Om Bambang Hermanto, tentang lapangan tennis di Kalisat. Gedung di belakangnya adalah Gudang Garam, ia ada sejak zaman kependudukan Belanda. Tidak ada keterangan angka tahun untuk foto ini. Barangkali juga di tahun yang sama seperti foto pemerahan susu sapi di Kalisat, yaitu tahun 1939. Atau mungkin lebih modern lagi.
Menurut keterangan Qingliang Yang di kolom komentar Facebook, ia menulis seperti berikut, "Ayah saya yang duduk berjongkok di depan sebelah kiri."
Kini lokasi berdirinya Gudang Garam, atau gudeng buje kalau kata orang Kalisat, ditempati sebagai hunian, oleh keluarga Haji Kokok. Lapangan tennis seperti tampak dalam foto, sekarang juga sudah tidak ada lagi.
Ketika teman-teman Kari Kecingkul berkunjung di rumah Haji Kokok, beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Darinya, kami mendapat banyak informasi. Kami mencatatnya dalam artikel berjudul, Gudeng Buje e Kalisat.
Catatan lain yang bersumber dari kisah --beserta foto-- Haji Kokok berjudul, Kalisat Pada Waktu Itu.
Untuk Om Bambang Hermanto, terima kasih. Senang sekali menjumpai dua foto di atas. Ia mampu mengajak generasi kami untuk mengimajinasikan suasana Kalisat Tempo Dulu.