Oleh RZ Hakim
Diceritakan dalam buku Soemarno Sosroatmodjo jika istrinya, Armistiani, pernah menjadi seorang guru Taman Kanak-kanak di Kalisat. Saat itu mereka masih belum menikah. Saban hari Armistiani naik kereta api pulang pergi dari Jember ke Kalisat. Setiap pagi calon mertuanya --Manghoeroedin Sosroatmodjo-- mengantarkannya ke stasiun dan menjemputnya pula ke stasiun.
Soemarno dan Armistiani, mereka menikah pada 17 November 1934 pukul satu tengah hari, di Jalan Taloon Lor Gang Dua Nomor 6 Malang. Benih cinta mereka bersemi di tahun 1928, setelah keduanya sama-sama mengikuti upacara api unggun kepanduan yang diadakan untuk menyongsong Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta, yang kemudian membuahkan Sumpah Pemuda. Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Persatuan. Sungguh tahun yang teramat berkesan bagi Soemarno dan Armistiani. Setelah itu tak ada lagi perkumpulan Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan sebagainya. Semua perkumpulan pemuda yang membawa unsur kesukuan itu meleburkan diri ke dalam Indonesia Muda.
Armistiani, perempuan kelahiran tahun 1914 ini memang memiliki ijasah guru Taman Kanak-kanak. Ia juga memiliki ijasah Jahit Menjahit atau Nuttige Handwerken, serta ijasah Kesejahteraan Keluarga atau Huishoudelyke Vakken.
Ketika di Malang, Armistiani belajar di Sekolah Kartini. Sewaktu Soemarno duduk di kelas dua MULO Tanjung di tahun 1930, Armistiani masih duduk di kelas tertinggi Sekolah Kartini. Tak lama kemudian ia melanjutkan sekolah di MULO tanpa melalui voorklas. Setelah naik ke kelas tiga MULO, Armistiani memilih untuk pindah di Sekolah Van Deeventer Semarang. Tiga tahun lamanya Armistiani tinggal di ibukota provinsi Jawa tengah itu. Ia meninggalkan sekolah van Deventer setelah Soemarno naik ke tingkat lima NIAS Surabaya.
Jika mereka menikah pada 17 November 1934, tentunya Armistiani menjadi seorang guru TK di Kalisat sebelum masa itu.
Seminggu setelah menikah, mereka harus pulang ke Jember. Dari Malang ke Jember mereka naik bis, turun di Rambipuji, berniat singgah terlebih dahulu di kediaman Kakek dan Nenek Soemarno. Di sinilah dulu Soemarno dilahirkan, di Rambipuji tepatnya di Curahsuko, pada 24 April 1911, di rumah Embah RP Pringgoseputro. Ia adalah Embah dari pihak Bapak, Manghoeroedin Sosroatmodjo. Kelak, lelaki kelahiran Rambipuji ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode, yaitu pada periode 1960-1964 dan periode 1965-1966. Barangkali Armistiani juga tidak mengira jika ia akan mendampingi suami bertugas --sebagai dokter-- hingga ke Tanjung Selor-Kalimantan. Anak kedua mereka --Sri Soesilorini-- juga dilahirkan di sini.
Esok harinya, barulah Soemarno dan Armistiani melanjutkan perjalanan ke Kampung Wetan Kantor Jember, diantar oleh Kakek Neneknya. Keluarga Sosroatmodjo dan seluruh kampung sudah menunggu. Jalan di depan rumah yang memang tidak begitu lebar jadi penuh sesak.
Tahun 1935, pasangan pengantin baru ini menyewa rumah kecil di Kedungsari 77-A Surabaya. Di tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Januari 1936, anak pertama mereka lahir, tidak di Kedungsari melainkan di Jalan Kapasari VIII/8 Surabaya. Mereka memberinya nama Sidharta Manghoeroedin, dengan panggilan Mamang. Kelak pada tahun 1961, Mamang menikahi seorang perempuan cantik bernama Iffet Veceha. Perempuan bertanggal lahir 12 Agustus 1937 tersebut hingga kini biasa dipanggil Bunda Iffet oleh para Slangker's. Iffet adalah menantu pertama Armistiani.
Itulah sepenggal kisah tentang Armistiani Soemarno Sosroatmodjo, Nenek Bimo Setiawan Al Machzumi alias Bimbim SLANK. Di masa yang lalu, Nenek Bimbim pernah singgah di Kalisat sebagai seorang guru di sebuah Taman Kanak-kanak. Adapun Soemarno, ia menikmati masa pensiunnya sejak bulan November 1966, satu bulan sebelum Bimbim lahir.
Dimanakah lokasi Taman Kanak-kanak itu?
Informasi tentang lokasi Taman Kanak-kanak tersebut sangatlah terbatas. Taman Kanak-kanak tersebut dibuka oleh Yayasan Diponegoro, dengan pengelola bernama Ny. Diponegoro. Menurut beberapa cerita, Ny. Diponegoro masih termasuk kerabat Pangeran Diponegoro.
Karena Armistiani terbilang tidak membeda-bedakan antara 'putra' Asisten Wedana dan 'anak' kuli sepur yang menjadi muridnya, TK tempat Armistiani mengajar kurang mendapat simpati dari pangreh praja setempat. Kilasan info ini diceritakan dalam Otobiografi Armistiani yang berjudul Bukit Kenangan, terbit tahun 1986.
*Sumber: Buku Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar