Oleh RZ Hakim
Ciri-ciri cerita rakyat, ia selalu memiliki kemiripan dengan cerita rakyat di daerah lain. Begitu pula dengan cerita rakyat tentang Panji Laras.
Dikisahkan pada dahulu kala, hiduplah seorang pandita tua di sebuah padepokan di Arjasa, Jember. Ia tinggal bersama putrinya. Suatu hari, ada rombongan kecil yang melintas di sana. Mereka adalah seorang raja dan para pengawal yang sedang berburu di hutan. Kepincut dengan paras jelita putri pandita, sang raja pun melamarnya. Pandita menyetujui lamaran raja. Setelah menikah, raja tinggal di sana, sedangkan para pengawal kepercayaannya ia suruh kembali ke kerajaan untuk mengurusi beberapa hal.
Namanya juga seorang raja. Ia tidak bisa meninggalkan kerajaannya dalam waktu yang sangat lama. Singkat cerita, sang raja meninggalkan padepokan itu dalam keadaan si putri sang pandita sedang hamil. Putri sang pandita lebih memilih menemani Ayahnya daripada harus turut ke kerajaan.
Kelak, tanpa didampingi suaminya, putri sang pandita tersebut melahirkan bayi laki-laki. Kakek bayi tersebut menamainya Panji Laras.
Saat Panji Laras beranjak remaja, ketika ia bermain-main di sekitar padepokan, tiba-tiba ada seekor Alap-alap yang terbang. Alap-alap itu berputar-putar, sebelum kemudian menjatuhkan anak ayam dari cengkeramannya. Panji Laras memungutnya, lalu membawanya pulang. Oleh Kakek dan Ibunya, ia diizinkan untuk merawat anak ayam tersebut. Panji Laras merawatnya dengan penuh kasih sayang, hingga anak ayam tersebut tumbuh besar dan menjadi ayam jago yang gagah. Oleh Panji Laras, ayam tersebut biasa dipanggil Cindelaras.
Suatu hari, Panji Laras meminta izin untuk berkelana ke kota raja. Saat mendapatkan izin, berkelanalah Panji Laras. Dengan membawa Cindelaras, ia keluar dari hutan menuju kota raja.
Singkat cerita, Panji Laras berhasil berjumpa dengan Ayahandanya lantaran ada sayembara sabung ayam. Bersama Cindelaras, ia berhasil memenangkan sayembara itu.
Sampai di bagian ini, ada banyak versi.
Panji Laras adalah folklor yang unik, sebuah 'cerita rakyat' yang dilengkapi dengan reruntuhan batu bata berukuran jumbo di desa Tegalbagu kecamatan Arjasa. Reruntuhan itu dipercaya adalah sisa-sisa dari padepokan keluarga Panji Laras.
Hingga kini warga desa Tegalbagu percaya, jika mereka sedang punya gawe dan membuat dapur umum, jangan coba-coba membuat tungku dari batu bata padepokan Panji Laras. Apinya menyala tapi nasinya tak pernah tanak. Memang pralogis, tapi itulah 'cerita rakyat' yang datang dari Jember.
Pada 18 Maret 2015, saya dan Hana jalan-jalan di Arjasa demi mencari kepingan batu bata sisa-sisa padepokan Panji Laras. Kami diantar oleh Kang Wisnu, warga desa Tegalbagu kecamatan Arjasa.
Untuk menuju lokasi yang dimaksud, kami harus membelah Perumahan Panji Laras dan melewati rumah seorang penulis muda, Nuran namanya. Dari rumah Nuran, reruntuhan padepokan Panji Laras jaraknya dekat sekali. Sayang, hingga senja semakin pekat, reruntuhan batu itu tak berhasil kami jumpai. Yang saya lihat hanya hamparan kebun singkong bersebelahan dengan kebun pepaya. Kebun-kebun lain mulai didominasi oleh pohon sengon.
Lalu kami singgah di warung pracangan milik Bapak Mulyono, lelaki baik hati kelahiran 21 Juni 1948. Ia adalah seorang pendatang, namun telah tinggal di Perumahan Panji Laras sejak 1983.
"Dulu di sini masih sepi. Kisah tentang folklor Panji Laras dan ayam jagonya --Cindelaras-- saya dapat dari orang-orang sepuh kelahiran desa ini."
Pak Mul tidak percaya jika reruntuhan batu bata yang besar-besar itu tidak berhasil kami jumpai. Tapi Wisnu mengiyakan. Kata Wisnu, "Tahun lalu masih ada tumpukan batu bata itu, meskipun sudah tinggal sedikit. Cuma ada tiga tumpuk. Sekarang tak ada lagi."
Batik Panji Laras
Corak Batik Panji Laras Karya Edwindy
Seorang teman, namanya Edwindy, ia tidak setengah-setengah ketika mempelajari seni membatik. Mulanya Edwindy rajin mengumpulkan referensi batik, terutama dalam bentuk gambar. Lalu ia mempelajari sejarahnya. Mengapa harus ada batik? Apa bedanya batik Indonesia dengan batik-batik luar seperti batik dari India, Cina, hingga Afrika? Bagaimana karakter batik istana dan batik di luar kerajaan? Mengapa raja-raja di Jawa memiliki empat kewajiban dasar --sebelum menjadi raja-- dan kewajiban nomor empat adalah bisa membatik?
Dia melakukan penelusuran dengan baik, baru kemudian mencari penghasilan agar bisa membeli peralatan yang dibutuhkan untuk membatik. Adapun tujuan final dari proses pembelajaran ini, ia ingin melamar perempuannya dengan seserahan berupa batik yang dibuatnya sendiri.
Antara bulan Februari hingga Maret, Edwindy sibuk menelisik sebuah folklor yang tumbuh di kecamatan Arjasa-Jember, tidak lain adalah cerita rakyat tentang Panji Laras dan ayam jago kesayangannya yang dinamai Cindelaras --di beberapa versi yang lain, Cindelaras adalah nama tokoh utama dalam kisah serupa.
Pada awalnya, Edwindy mencoba menakar dan membandingkan folklor ini dengan cerita-cerita senada dari daerah lain, terutama folklor tentang Ciung Wanara dan Sawunggaling. Ia juga melacak jejak cerita serupa tentang Panji Laras yang tumbuh di wilayah lain. Misalnya, tempat Panji Laras menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dunia, di sebuah desa di kabupaten Sampang, Madura.
Dalam menuangkan idenya, Edwindy lebih menyukai membuat corak ayam Cindelaras.
Foto corak batik Panji Laras di atas diunggah oleh Edwindy di Group Facebook Keluarga Tamasya pada 1 April 2015, dengan keterangan berikut ini.
"Perkembangan terbaru dari Cindelaras, setidaknya butuh 1 kali proses ulangan lagi untuk bisa dinikmati."
Setelah batik Panji Laras bercorak Cindelaras, mungkin akan ada banyak 'folklor' lain lagi yang akan tertuang dalam selembar kain atau karya-karya yang lain. Semoga. Teman-teman, dimanapun kita berada, mari mencintai cerita rakyat di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar