Oleh RZ Hakim
Kuntum Edelweiss yang terjatuh di tanah Arcopodo-Semeru
Dia bernama Mochammad Arifin, anak pertama dari pasangan Juhari dan Sri Wahyuni. Mochammad Arifin dua bersaudara, dia anak sulung. Adiknya bernama Siti Hoiriyah.
"Bapak saya seorang petani, sedangkan Ibu kerja di PTPN yang lokasinya dekat sekali dengan stasiun Ajung yang kini telah rata oleh tanah."
Saya mengenal Mochammad Arifin, dia anak yang baik. Oleh teman-temannya Mochammad Arifin biasa dipanggil Nyek. Saya juga memanggilnya Nyek. Katanya, itu nama panggilan sejak ia tercatat sebagai anggota pencinta alam EXPA angkatan pertama di SMA Negeri 1 Kalisat kabupaten Jember. Nyek lulus tahun 2010.
"Angkatan pertama EXPA itu ada dua generasi Mas, siswa angkatan tahun 2009 dan 2010. Guru pembina EXPA adalah Pak Aryo. Baru-baru ini pembina EXPA mengalami perubahan. Pak Aryo digantikan oleh guru lain, namanya Pak Lihin. Dies Natalis lalu, 14 Desember 2014 adalah Dies Natalis pertama dengan pembina baru."
Nyek, lelaki muda kelahiran Kalisat, 24 Oktober 1991 ini, mulanya ia kelimpungan saat saya meminta izin untuk membagikan fotonya yang sedang berpose memegang sekuntum Edelweiss.
"Ella mas, sieee. Aku dulu masih polos itu, belum tahu apa-apa."
Lalu saya meyakinkan dia jika ini untuk pendokumentasian. Syukur jika ada yang berhasil memetik hikmah.
"Itu waktu EXPA mengadakan expedisi Mas, angkatannya Bajay. Pertengahan tahun 2013. Kita mendaki di Mahameru."
Saya menggodanya, "Dua tahun lalu kamu masih polos?"
Menurut keterangan Nyek, waktu itu dia menemukan sekuntum Edelweiss yang jatuh ke tanah. Sebelumnya telah ada yang memetiknya. Kemudian Nyek memungutnya. Yang mendokumentasikan momen itu adalah Fia AL --kini tercatat sebagai anggota IMAPALA STIE Mandala Jember-- atas permintaan Nyek.
"Itu waktu di Arcopodo. Tapi bunganya tak buang lagi. Sompa."
Pada 23 Juli 2013 Nyek menjadikan foto itu sebagai foto sampul jejaring sosial Facebook miliknya. Expedisi EXPA itu sendiri dilaksanakan pada bulan Mei 2013.
Saya senang Nyek tidak memetik sendiri bunga itu. Ia memungutnya. Tadinya, di kolom komentar jejaring sosial Facebook saya menuliskan ini untuk Nyek. "Sedih melihatnya. Kamu menyakiti hatiku, Nyek."
Kisah di atas mengingatkan saya pada catatan seorang teman di blog personal miliknya. Namanya Indana Putri Ramadhani. Dia menulis artikel berjudul, ketika mendaki gunung berubah menjadi lifestyle. Artikel itu diunggah pada 14 September 2014 untuk menanggapi sebuah pemberitaan sebuah koran harian di tajuk Lifestyle, berjudul; Petik Edelweiss Untuk Kekasih, Rayakan 17 Agustus.
Foto dari blog Dunia Kelor
Lalu gemparlah group-group dunia pencinta alam di jejaring sosial. Banyak hujatan untuk artikel itu, juga untuk pelaku yang diceritakan dalam artikel tersebut.
Karena Nyek telah mengunggah foto dirinya yang sedang memegang Edelweiss --meskipun kini foto yang dimaksud telah ia hapus secara permanen oleh Nyek-- maka saya berinisiatif untuk mendokumentasikannya di sini. Dengan harapan, untuk menghindari fitnah. Menjelaskan bahwa Nyek tidak memetiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar