Jumat, 03 April 2015

Gudeng Buje e Kalisat

Jumat, 03 April 2015
Rumah itu bercat hijau seperti hijaunya dalam warna liturgis. Bagian depan dari rumah ini difungsikan sebagai warung makanan. Meski hanya tersedia empat meja saja, namun ruangannya bersih. Pagar depan rumah langsung berbatasan dengan jalan beraspal. Ia tak terlalu lebar, menghubungkan antara stasiun Kalisat dengan desa Ajung dan gedung bioskop lama --kini beralih fungsi menjadi Toko Baju Surya. Setelah jalan beraspal ada sebidang tanah memanjang dengan lebar kira-kira lima meter, baru kemudian rel kereta api jalur Kalisat-Banyuwangi.


Dari sini kita bisa melihat Stasiun Kalisat berlatar Argopuro

Tak jauh dari rumah bercat hijau ini terdapat pula pangkal pintu kereta api. Jika berdiri di rel kereta api dan menghadap ke Barat, dapat kita lihat Pegunungan Hyang-Argopuro di kejauhan sana. Jika kita berjalan tiga puluh langkah lagi, maka akan sampailah kita pada rumah bercat hijau.

"Iya benar, dulu di sini adalah gudang garam," kata Djoko Angkoso atau lebih akrab dipanggil Haji Kokok.

Haji Kokok bertanya, mengapa kami bersusah-susah mencari lokasi gudang garam Kalisat peninggalan zaman Belanda? Ivan lalu bercerita tentang Komunitas Kari Kecingkul Kalisat. Setelah memahami maksud kedatangan kami yang ingin mendapat kepingan sejarah tentang gudang garam di Kalisat, maka berceritalah Haji Kokok.

"Keluarga saya menempati rumah ini sejak tahun 1970. Sebelumnya rumah saya ada di dekat toko biru, lebih dekat dari stasiun Kalisat. Di sana sejak 1964. Saya sendiri lahir pada 16 Juni 1961. Jadi ketika pindah di sini --gudang garam Kalisat, usia saya masih sembilan tahun."

Apakah ada foto-foto lama tentang bangunan rumah ini sebelum ditempati?

"Sayang sekali, rasanya tidak ada. Namun samar-samar saya masih bisa mengingat, dulu bekas bangunan gudang garam didominasi oleh kayu. Semuanya dari kayu jati. Bahkan lantai menggunakan kayu jati. Sekarang, semua bangunan rumah ini sama sekali baru. Apalagi rumah ini dibangun lagi sejak tahun 2004. Lokasi gudang garam kini menjadi bagian dalam atau rumah induk."

Jeda sejenak. Haji Kokok masuk ke ruang dalam di rumahnya, kemudian keluar dengan membawa album foto keluarga. Iya benar, di sana tidak ada foto tentang kondisi rumahnya ketika masih menjadi gudang garam.


Mencatat cerita dari Haji Kokok. Dokumentasi oleh Ivan

Apa lagi yang Haji Kokok ingat?

"Hingga hari ini orang-orang yang memang kelahiran Kalisat, atau pendatang yang sudah lumayan lama tinggal di Kalisat, mereka pasti mengerti jika ditanya dimana letak gudang garam. Tapi nama 'gudang garam' sama sekali tidak familiar. Harus menggunakan bahasa Madura, gudeng buje, baru semua orang mengerti. Gudeng buje ya di sini ini. Sejak dulu gudeng buje sudah dijadikan ancer-ancer oleh warga Kalisat."

Bagaimana lingkungan sekitar gudeng buje di masa kecil Haji Kokok?

"Dulu di seberang rel sana adalah tempat latihan ARMED. Kalau orang naik sepeda --ke arah SMAN 1 Kalisat-- harus dituntun. Itu di era 1970an. Kemudian, karena dianggap sudah tidak memadai lagi, semua kegiatan latihan dilaksanakan di Sukorejo, Jember. Dongki menara air kereta uap itu dulu dijadikan pos. Selain gudeng buje, Kalisat tempo dulu juga punya pabrik es. Mereka memproduksi es batu besar-besar. Kalau kata orang, namanya es godoran. Selain es godoran, mereka juga bikin es lilin untuk anak-anak. Lokasinya ada di Barat Kantor Polisi Kalisat. Tahun 1970an pabrik es masih ada, dikelola oleh pengusaha etnis Cina, anaknya bernama Juntek."

Kembali lagi ke gudang buje di Kalisat. Di Jember wilayah kota juga ada gudang garam, lokasinya ada di samping kiri DPU Bina Marga, atau di seberang SMP Negeri 2 Jember. Ia masih eksis hingga masa sebelum 1965. Di era 1920an masyarakat kota Jember harus antri untuk menukar kupon dengan garam. Bagaimana dengan gudang buje di Kalisat?

"Maaf, tentu saya tidak tahu."

Kami semua tersenyum. Rupanya kami terlalu bersemangat berbincang dengan Haji Kokok, hingga melupakan scope temporal. Kami senang sekali mendapat sambutan luar biasa, apalagi Haji Kokok juga mengeluarkan album foto keluarga. Ada foto kedua orang tuanya di sana, Saswandi dan Adeline. Mami Haji Kokok kelahiran Belanda namun sejak kecil tinggal di Indonesia. Di lain kesempatan, kami akan menceritakannya.

Terima kasih haji Kokok, pengetahuan kami hari ini semakin bertambah. Tentang gudeng buje, dan tentang wajah Kalisat pada saat itu.

Tulisan lain tentang Kalisat pada waktu itu bisa dibaca di sini.

*Wawancara dengan Djoko Angkoso pada 3 April 2015

Sedikit Tambahan

JEMBER DI TAHUN 1918

Ketika itu Perang Dunia I masih sedang berkecamuk namun disinyalir hampir berakhir. Akibat PD I tersebut, harga beras di Jember turut melambung. Banyak yang bertanya-tanya, perangnya di Eropa, kenapa harga beras di Jember jadi ikut-ikutan naik?

Akhirnya, dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, dan para petani berdatangan hendak menjual padi. Asisten Wedana bekerja ekstra, sebab tugasnya waktu itu banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi.

Keadaan ini mungkin tidak berdampak bagi 'de doorsnee priyayi' tapi bagaimana dengan para inlander Djember?

Bagaimana dengan garam?

Dulu jember punya GUDANG GARAM. Letaknya di muka sekolah HIS (SMP 2), bersebelahan dengan Kantor PU - Openbare Werken, di lingkungan JB sekarang alias dekat pasar contong. Efek PD I, harga garam tidak turut melambung namun barangnya langka di pasaran.

Demi mendapatkan buje orang-orang harus rela antri di gudang garam, dan itu lama sekali. Saat itu, untuk membeli garam --dan gula-- kita harus terlebih dahulu memiliki kupon yang bisa kita dapatkan dari Controleur setempat. Barangkali kondisi ini juga dialami warga Kalisat di tahun 1918. Mari kita telisik bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014