Oleh RZ Hakim
Misalnya Anda sedang berkunjung ke kecamatan Kalisat kabupaten Jember, lalu bertanya tentang siapa leluhur mereka, bisa dipastikan Anda akan menjumpai jawaban seperti ini, "Nenek Moyang kami berasal dari Pulau Madura."
Kemudian jika Anda lanjut bertanya tentang siapa mereka, maka akan terdengar nama-nama para bujuk atau para pembabad desa. Sudah diceritakan di artikel-artikel sebelumnya, jika Kalisat dan sekitarnya kaya akan bujuk. Hingga kini makam mereka masih dirawat dan diperlakukan dengan baik. Biasanya bertempat di atas Gumuk dan di tanah yang tinggi.
"Mbah Patar, Mbah Genduk, dan Mbah Alim. Tiga nama ini sering terdengar dari orang-orang tua di sekitar rumah saya. Beliau bertigalah yang membabat tanah Kalisat dari sewaktu masih hutan belantara," begitu menurut Verdy Pradipta, pemuda Kalisat yang kini bekerja di Bali.
Kalisat adalah sebuah kecamatan di Jember yang terdiri dari 12 desa, masing-masing; Desa Kalisat, Ajung, Plalangan, Sebanen, Sumberketempa, Sumberkalong, Sumberjeruk, Sukoreno, Patempuran, Glagahwero, Gambiran, dan Gumuksari. Menurut Sugeng Sugiarto, warga desa Ajung-Kalisat, tiga desa yang ada di wilayah kota adalah desa kalisat kecamatan Kalisat, Ajung, serta Glagahwero. Ketiganya memiliki bujuk sendiri-sendiri. Desa Kalisat dikenal bujuk 'Mbah' Genduk, lalu ada bujuk Nurdin di Glagahwero, kemudian bujuk Patar di desa Ajung. Dari ketiganya, bujuk Patar adalah yang tertua.
Selengkapnya bisa dibaca di artikel berjudul; Dimulai dari Bujuk Patar.
Apakah benar bujuk Patar membabat tanah Kalisat sewaktu ia masih berupa hutan belantara? Mari kita melacaknya bersama-sama.
Kalisat di Masa Perkebunan Belanda
Jika kita merujuk pada keterangan Residen Besuki di pemula 1800an, masyarakat Madura belum tertarik bermigrasi ke Jember. Selain alasan transportasi yang sangat sulit, di masa itu sebagian wilayah Jember masih berupa hutan, dengan kondisi tanah yang moeras atau berawa.
ANRI Besoeki 8.4. Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki. 1886.
Pada awalnya, proses migrasi orang-orang dari Pulau Madura tersebut masih bersifat coba-coba. Mereka datang melalui Pelabuhan Penarukan yang secara geografis sangat dekat dengan Kalianget, daerah Sumenep-Madura. Jika saat ini, perjalanan Kalianget-Jangkar dengan naik kapal laut adalah lima jam. Selanjutnya, mereka akan melalui Besuki dan Bondowoso, baru kemudian sampai di wilayah Jember bagian Utara dan Timur. Wilayah hunian sementara mereka ada di Maesan, Jelbuk, dan Arjasa. Kemudian menyebar hingga ke Kalisat.
Semenjak adanya perusahaan perkebunan milik pengusaha Belanda di Kalisat dan sekitarnya, terhitung hingga akhir tahun 1870an, orang dari Pulau Madura-lah yang lebih banyak bermigrasi ke Jember wilayah Utara dan Timur. Menurut statistik Belanda, mereka berjumlah 44.041 jiwa. Ini tentu merupakan jumlah yang sangat besar sekali. Dibandingkan dengan jumlah penduduk 81 tahun sebelumnya ketika Jember masih dianggap berpopulasi rendah, saat itu --1789-- onder distrik Jember hanya memiliki jumlah penduduk berkisar 8.000 jiwa saja.
Di era 1870an, hubungan antara masyarakat Jember dengan masyarakat dari Pulau Madura semakin terjalin.
Menurut Tjiptoatmodjo dalam Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura, interaksi antara masyarakat dari Pulau Madura dengan penduduk lokal di Jember sudah lama dibangun melalui jalur komunikasi kota-kota pantai.
Adapun masyarakat Jawa pedalaman --yang jauh dari laut, mereka telah memulai melakukan migrasi sejak berakhirnya Perang Jawa. Perang yang terjadi tahun 1825-1830 tersebut kiranya berhasil merugikan perekonomian Belanda.
Baca juga artikel Kari Kecingkul berjudul; De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong.
Struktur Pemerintahan Saat Itu
Semula struktur pemerintahan --sebelum tahun 1883-- masih sangat sederhana. Rakyat hanya dipimpin oleh seorang Wedana pribumi dan Asisten controleur yang berkebangsaan Belanda.
Di tahun 1845, secara administratif, Jember masih menjadi salah satu distrik afdeling Bondowoso. Di tahun itu Jember sudah memiliki 36 desa dengan jumlah penduduk sebesar 9.237 jiwa. Jumlah tersebut tidak termasuk Puger.
Catatan: Untuk Puger, bisa kita diskusikan di lain waktu.
Pada tahun 1866 jumlah penduduk semakin meningkat tajam karena adanya gelombang migrasi para pendatang dari berbagai daerah ke Jember, tak hanya dari Pulau Madura.
Kesuksesan wilayah Jember di bidang perkebunan merubah segalanya. Ia menjadi semacam kota metropolis berbasis perkebunan, tempat orang menggantungkan mimpi untuk merubah nasib ekonominya. Di era 1870an hingga lima puluh tahun kemudian, masyarakat Madura tak lagi 'migrasi coba-coba' seperti sebelumnya, melainkan memang berniat ingin mencari penghasilan bidang ekonomi.
Wilayah hunian masyarakat Madura saat itu adalah Jelbuk, Arjasa, Kalisat, Sukokerto, Mayang, serta Jember itu sendiri.
Menurut Regering Almanak tahun 1874, di tahun tersebut --1874-- Jember telah berkembang menjadi 46 desa.
Di pemula tahun 1883, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Besluit Residen Besuki tertanggal 18 Januari 1883 nomor 9/42 --sumber dari ANRI Besoeki, 1884-- untuk pembentukan desa baru. Besluit itu juga menandai lepasnya Jember dari Bondowoso dan menjadi Afdeling tersendiri, Afdeling Jember. Di tahun ini, Jember berkembang pesat menjadi 117 desa.
Sejak tahun 1883, terjadi perombakan di bidang struktur pemerintahan Regentschap Jember. Asisten Residen dan Bupati, sebagai penguasa tertinggi di Afdeling Djember. Wedana Pribumi dan Asisten controleur secara otomatis ada di bawah struktur penguasa tertinggi.
Perangkat desa yang bersifat sederhana ini --Wedana pribumi-- masih difungsikan sebagai perantara antara Penguasa Kolonial dan rakyat biasa.
Saya tidak berhasil mencarikan foto Kawedanan Kalisat di masa Hindia Belanda. Jadi, sebagai contoh, saya ceritakan tentang Kawedanan Jember Tempo Dulu.
Menurut beberapa sumber, sebelum ada bangunan Masjid Jamiek Lama Jember, ia adalah sebuah Kantor Kawedanan. Lalu sejak 1894 berubah fungsi menjadi Masjid Jamiek --Lama. Dengan kata lain, sebelum tahun 1894 di atas tanah seluas 2.760 meter tersebut berdiri sebuah Kawedanan, tempat seorang wedana melaksanakan tugasnya.
Kemungkinan Kawedanan Jember ini ada di era 1883-1894, sehubungan dengan berubahnya status kota Jember yang lepas dari Bondowoso, atau telah ada sejak sebelumnya, ketika Jember masih menjadi salah satu distrik dari afdeling Bondowoso.
Saat Jember masih menjadi distrik bagian dari afdeling Bondowoso, ia memang dikepalai oleh seorang Wedana pribumi yang dibantu oleh seorang asisten controleur yang berkebangsaan Belanda.
Jika Kawedanan tersebut ada pada periode 1883-1894, maka susunan pemerintahannya adalah sebagai berikut;
Jember dikepalai oleh Asisten Residen. Adapun Asisten Residen yang diangkat pertama kali --sejak 1883 hingga 1885-- ialah C.H Blanken. Setelah itu C.H Blanken diganti oleh B.C. Repelius yang menjabat tahun 1885 sampai 1891. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Asisten Residen bekerjasama dengan Bupati yang menjadi kepala pemerintahan pribumi. Untuk itu pemerintah pusat juga mengangkat seorang Bupati Jember yang pertama ialah R. Panji Kusumonegoro yang menjabat dari tahun 1883 sampai 1891, setelah itu diganti oleh R. Tumenggung Kerto Subroto.
*Regering Almanak, 1891
Disamping mengangkat dua pejabat yang memimpin afdeling Jember, Pemerintah Pusat juga mengangkat pejabat-pejabat sebagai berikut:
1. Pejabat Sekretaris Komis
2. Seorang Countroler
Keduanya diangkat berdasarkan Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Mereka memiliki fungsi membantu melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.
Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan --landraad, dengan berdasarkan besluit pemerintah nomer 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883). Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat Kepala Jaksa Jember yang semula bertugas di landraad Situbondo dengan jabatan sebagai Adjunct Jaksa.
Selain jabatan-jabatan seperti diatas, pemerintah mengangkat seorang patih, dengan menyediakan kantornya di Balai Kepatihan. Fungsi seorang Patih adalah sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik. Menurut Alm. Eyang Roekanti, lokasi Kepatihan Jember ada di JL. Trunojoyo Jember.
*Wawancara dengan Eyang Roekanti pada 12 November 2012.
Seperti yang pernah dituliskan sebelumnya, pada waktu itu di Jember hanya terdapat empat Wedana yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul.
Pertumbuhan kota Jember semakin pesat, hal itu terbukti pada tahun 1869 sampai 1900 telah berdiri distrik-distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember dan distrik Mayang --dan Kalisat-- yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963).
Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua distrik yaitu distrik Puger dan distrik Wuluhan. Berdasarkan pada besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.
Meski belum berhasil mencarikan foto Kawedanan Kalisat tempo dulu, semoga foto di bawah ini bisa dijadikan rujukan untuk memperkuat hipotesa ini.
KARJODIMOELJO, cucu dari Mbah Patar sekaligus Kepala Desa Ajung-Kalisat yang ketiga, setelah Kaera dan Dulani. Dulani tak lain adalah Ayah dari Karjodimoeljo. Ibu Karjodimoeljo adalah putri dari Mbah Patar.
Keterangan Foto: Dari album foto keluarga Karjodimoeljo, atas izin ahli waris, diantaranya Mas Krisna serta Raining Sukandari, ibunya Inggrid. Repro oleh Ivan Bajil pada 4 April 2015.
Keterangan tambahan tentang foto Karjodimoeljo:
Tampak dalam foto, Karjodimoeljo beserta istri sedang berada di halaman rumahnya yang berasitektur Eropa. Hingga kini arsitektur rumah tidak banyak mengalami perubahan --di seberang Toko Adin Kalisat.
Dikisahkan oleh Sugeng Sugiarto, Karjodimoeljo adalah putra pertama dari Kades Dulani. Karjodimoeljo tiga bersaudara. Istri Kades Dulani, atau Ibu dari Karjodimoelyo, ia tak lain adalah putri Mbah Patar.
Tentang Dulani, Ayah Karjodimoeljo. Mulanya, Mbah Genduk berbesan dengan Bujuk Nurdin Glagahwero. Lalu putra-putri mereka punya anak namanya Saryo. Nah, Saryo adalah Bapaknya Dulani.
Jadi Karjodimoeljo memiliki garis keturunan dari Mbah Patar, Mbah Genduk, dan Mbah Nurdin.
Sebelum menjabat petinggi atau Kades, Karjodimoeljo masih menggunakan nama aslinya yaitu Sukiman. Ia menikahi dua perempuan, istri kedua bernama Siti Khatidja. Karjodimoeljo memiliki anak bernama Madiroso, menikah dengan perempuan asal Mojoagung.
Tidak ada keterangan tahun pengambilan gambar.
Wawancara dengan Pakde Sugeng Sugiarto pada 30 Maret 2015
Mundur ke Belakang: Mencoba Melacak Masa Hidup Bujuk Patar
Dikatakan oleh tokoh Kalisat Sugeng Sugiarto, makam Bujuk Patar ada di Selatan Pasar Kalisat. Dulu sebelum menjadi sebuah pasar, di sana adalah Kantor Kawedanan Kalisat. Dikatakan juga bahwa dulu rumah Mbah Patar ada di Kawedanan. Jadi ada kemungkinan jika bujuk Patar adalah mantan Wedono Kalisat.
Pertanyaannya, kapan pertamakalinya Kalisat dibentuk kawedanan?
Pertanyaan sederhana di atas memaksa kita harus mundur ke belakang, kembali ke masa dimana sistem pemerintahan Eropa mulai mempengaruhi sistem pemerintahan di Jawa.
Di masa yang lalu, Kawedanan ditempati oleh seorang Wedana yang diangkat dan ditunjuk oleh Bupati untuk menjadi wakil di sebuah distrik. Jadi, bisa digambarkan jika Kawedanan adalah sebuah Balai pendopo yang sangat luas, sebagai institusi pemerintahan yang berfungsi untuk kordinasi wilayah distrik yang ada. Tugas dan wewenangnya dibawah langsung komando Bupati. Ia memiliki kuasa untuk wilayah dan koordinasi, namun tak memiliki kuasa dalam hal pengambilan keputusan.
Balai Kawedanan serta sang wedana itu sendiri sangat disegani oleh masyarakat. Biasanya seorang wedana dipilih karena memiliki kharisma dan kewibawaan di mata masyarakat, dan bisa menampakan perilaku kebangsawanan. Kawedanan bersifat protokoler, tidak semua orang bisa seenaknya masuk ke sana.
Semoga pemaparan di atas dapat membantu mengimajinasikan Kawedanan di masa lalu.
Jika bicara tentang wedana, ia mengingatkan pula pada julukan Mangkunegara II yaitu Prang Wedana. Gelar itu juga dipakai oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, namun ia lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa serta Raden Mas Said. Mangkunegara II. Ia hidup di era 1796-1835.
Ketika Mangkunegara II berusia tiga tahun, VOC dibubarkan. Penyebabnya selain korupsi oleh pegawai VOC itu sendiri, saat itu telah terjadi perang Perancis-Inggris. Biaya perang begitu tinggi. Pada periode ini, Belanda ada di tangan Perancis, sejak 1795. Jadi, ketika itu kita sedang dijajah oleh negeri yang sedang dijajah.
Dengan VOC gulung tikar, Belanda membentuk pemerintahan baru yang disebut dengan Hindia Belanda atau Nederlands Indies. Tahun 1799 adalah tonggak adanya sistem pemerintahan sederhana di sebuah negeri bernama Hindia Belanda, ditandai dengan tutupnya Perusahaan Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie.
Sistem Pemerintahan di Masa Deandels
Di tahun 1808, Raja Napoleon Bonaparte sebagai penguasa Perancis mengutus Daendels untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Secara struktur, Deandels ada dibawah kekuasaan Perancis. Napoleon berharap Deandels bisa merancang sistem pemerintahan yang dapat memberikan hasil terutama di bidang ekonomi. Selain itu, tugas utama Deandels adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Deandels melaksanakan peran sebagai Gubernur Jenderal sedari 1808 hingga 1811. Ketika menyebut namanya, yang kita ingat adalah program kerja Deandels dalam membuat Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km. Dia juga membentuk pasukan, mendirikan tangsi-tangsi, benteng-benteng pertahanan, rumah sakit, membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon, kerja paksa, perluasan penanaman kopi sebab hasilnya menggiurkan, penjualan tanah kepada orang- orang partikelir atau swastanisasi tanah-tanah rakyat pada para pemodal, itu semua untuk kepentingan perang.
Kiranya Daendels berupaya keras untuk memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC. Ia bertangan besi, menjadikannya tidak disukai kalangan penguasa daerah dan dibenci rakyat Bumiputera. Daendels menghancurkan kekuatan kerajaan-kerajaan Jawa dan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa.
Deandels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan Jawa dengan dua cara;
1. Menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister.
2. Deandels mengeluarkan peraturan baru tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya.
Cara kerja Deandels yang kejam menuai banyak kritik. Pada bulan Mei 1811 kedudukan Daendels sebagai Gubernur Jenderal digantikan oleh Jan Willem Jansses. Ini tentu terdengar oleh Inggris.
Pada tanggal 4 Agustus 1811, ada 60 kapal Inggris muncul di depan Batavia. Sampai 22 hari berikutnya, daerah-daerah sekitar Batavia jatuh ke tangan Inggris. Jan Willem Jansses mundur ke Semarang. Pada tanggal 18 September 1811, Jenssens menyerah di dekat Salatiga. Ketika itu Jenssens menandatangani Kapitulasi Tuntang yang isi pokoknya ialah seluruh pulau Jawa menjadi milik Inggris. Inilah era dimana Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris.
Sistem pemerintahan di Masa Thomas Stamford Raffles
Thomas Stamford Raffles memimpin Jawa sedari 1811 hingga 1816. Karena di bawah Inggris tidak ada jabatan Gubernur Jenderal, maka sebutan untuk Raffles adalah Letnan Gubernur. Ia memiliki persamaan dengan Deandels, yaitu sama-sama menentang paham feodal. Cara berpikirnya mirip Dirk Van Hogendorp --Liberal-- pada tahun 1799, tentang kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintah hanya berhak menarik pajak dari penggarap.
Di zaman Raffles, perbudakan dilarang. Pengadilan menggunakan sistem juri. Ada kejelasan tentang sewa tanah. Sayang sekali kenyataan di lapangan tidak sama.
Namun ada yang pengaruhnya lama di masa Raffles, yaitu ketika ia membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan. Sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964. Sebelum tahun itu, Jember masuk wilayah Karesidenan Besuki. Setelah 1964, kita mengenal istilah Eks-Karesidenan Besuki.
Raffles mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi yang memperoleh kedudukannya secara turun-temurun, dilepaskan dari jabatan.
Pada tahun 1816, sesuai hasil Konvensi London, Indonesia alias Hindia Belanda kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk era ini, silahkan baca; Masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Kawedanan
Istilah Kawedanan sepertinya hanya ada di Pulau Jawa. Di Kalimantan ia disebut Kiai. Kawedanan sendiri adalah wilayah Administrasi Pemerintahan yang berada di bawah Kabupaten dan di atas Kecamatan, berlaku pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Kawedanan masih dipakai di beberapa Provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemimpinnya disebut wedana atau wedono.
Seorang wedana tidak memiliki kewenangan dalam hal pengambilan keputusan. Ia hanya memiliki wilayah dan memiliki peran ketika ada kepentingan dalam hal koordinasi. Ibaratnya, jika diposisikan saat ini, fungsi Wedana serupa Kepala Kampung. Namun tentu saja dulu wedana memiliki wilayah yang lebih luas, tak sekedar kampung.
Jika kita tarik benang merah atas pemaparan di atas, kawedanan bermula ketika tonggak pemerintahan Hindia Belanda kembali berkibar sejak 1816, berdasarkan Konvensi London.
Kapitalisasi perkebunan di Jember baru tercatat pada masa LMOD gagasan George Birnie, 21 Oktober 1859. Di masa itu Jember masih menjadi bagian dari Bondowoso.
Hingga 9 November 1883, ketika sebelumnya Jember telah menjadi Afdeling sendiri lepas dari Bondowoso, di sini hanya ada empat Distrik Kawedanan; Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul. Jadi pada 1883 Kalisat kemungkinan masih berupa bagian dari Sukokerto. Wilayah bagian lain dari Sukokerto kemungkinan adalah Sukowono, Ledokombo, Sumberjambe, dan Mayang.
Setelah itu, hingga tahun 1900 telah berdiri distrik-distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember, serta distrik Mayang yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963). Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua distrik yaitu distrik Puger dan distrik Wuluhan. Berdasarkan pada besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.
Pemecahan desa-desa di Jember terutama terjadi setelah datangnya para migran Jawa pada sekitar tahun 1890an. Namun, berdasarkan ANRI Besuki tahun 1888, di tahun yang sama Kalisat telah disebut sebagai sebuah distrik.
"Pada tahun 1888 dibuka pasar baru di distrik Wuluhan, Kalisat, Mayang, dan tahun-tahun berikutnya masih banyak pendirian pasar yang lain."
Catatan ANRI Besuki-1888 di atas disarikan dari makalah Drs. Edy Burhan Arifin, SU yang berjudul; Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan.
Kelak, pada tahun 1976, kembali ada perubahan struktur atau tata ulang wilayah di Jember, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976 tanggal 19 April 1976, menjadi seperti berikut ini:
1. Kacamatan Jember dihapus
2. Lalu dibentuklah tiga kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates.
3. Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.
4. Wilayah Kewedanan Jember bergeser dari Jember ke Arjasa. Ini terjadi bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember. Setelah kawedanan bergeser --dari Jember ke Arjasa, wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari, dan Sukowono. Sebelumnya masuk Distrik Kalisat.
*Secara administratif Kabupaten Jember saat itu terbagi menjadi tujuh Wilayah Pembantu Bupati, satu wilayah Kota Administratif, dan 31 Kecamatan.
5. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001 sebagai tuntutan No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten Jember telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk penghapusan lembaga Pembantu Bupati yang kini menjadi Kantor Koordinasi Camat. Selanjutnya, dalam menjalankan roda pemerintah di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember dibantu empat Kantor Koordinasi Camat, yakni:
a. Kantor Koordinasi Camat Jember Barat di Tanggul
b. Kantor Koordinasi Camat Jember Selatan di Balung
c. Kantor Koordinasi Camat Jember Tengah di Rambipuji
d. Kantor Koordinasi Camat Jember Timur di Kalisat
Munculnya reformasi 1998 membuat status Kawedanan menjadi tidak jelas. Setelah ada Otonomi daerah di Tahun 2001, maka status Kawedanan dihapus.
Masa Hidup Bujuk Patar
Kapan pertamakalinya Kalisat dibentuk kawedanan?
Prakiraan keberadaan kawedanan Kalisat yang perdana adalah antara tahun 1883-1888. Jika benar bujuk Patar seorang wedono Kalisat yang pertama, maka ia hidup di masa tersebut. Tentu saja di masa itu Kalisat bukan lagi sebuah hutan yang lebat, melainkan telah tampil cantik sebagai kota kapital perkebunan. Telah ada pembangunan rel yang menghubungkan Pelabuhan Panarukan dengan jalur kereta api Jember-Kalisat-Bondowoso-Panarukan sepanjang 150 km, dibuka pada tanggal 1 Oktober 1897, telah ada perusahaan perkebunan. Kalisat tentu juga semakin ramai sebab di sini dihuni oleh berbagai etnis; Using, Jawa, Madura, Cina, Arab, serta orang-orang Eropa. Keadaan ini melahirkan gesekan di beberapa sisi. Selain berdampak pada bidang ekonomi, adanya migrasi besar-besaran di Jember tentu berdampak pada budaya, seni, lingkungan, dan lain-lain. Cara pandang masyarakat pada tembakau juga mengalami pengkayaan makna. Tembakau tak hanya dianggap sebagai tanaman biasa, melainkan telah menjadi sebuah kegiatan menanam yang bersifat tradisi. Seperti itulah suasana Kalisat --dan sekitarnya-- di masa 1883-1888.
Teman-teman, di atas bujuk Patar masih ada bujuk-bujuk yang lain. Akan menarik jika kita coba telisik satu-persatu. Penting bagi kita untuk mengetahui masa hidup para bujuk-bujuk itu, sebab sejarah adalah tentang segala catatan penelitian berdasarkan ruang dan waktu.
Ini bukan sebuah penilaian final, namun masih berupa hipotesis. Mari kita telaah dan koreksi bersama-sama.
Salam Kari Kecingkul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar