Jumat, 21 Agustus 2015

Ekonomi dan Masyarakat Jajahan

Jumat, 21 Agustus 2015
Dari buku berjudul; Citra kaum perempuan di Hindia Belanda. Bab awal, dengan tema; Ekonomi dan Masyarakat Jajahan. Penulis adalah Tineke Hellwig. Ia lahir di Surabaya pada 13 Juni 1957.

Ekonomi dan Masyarakat Jajahan

Dalam dasawarsa setelah tahun 1870, ekonomi menempuh arah baru di bawah kebijakan liberal--yaitu liberal dalam arti kata laisser-faire. Transformasi-transformasi ekonomi ini sejalan dengan perubahan-perubahan sosial dan politik yang luas. Cara-cara komunikasi yang lebih mudah (telegram, pengiriman surat) serta sistem transportasi yang lebih baik (kapal uap serta pembukaan terusan suez pada tahun 1869), merupakan penemuan baru dan berguna untuk memperpendek jarak antara negeri Belanda dan Hindia Belanda. Era ini dapat dianggap sebagai pengantar ke sejarah Hindia Belanda modern yang tak berumur panjang itu (1900-1940) dan yang berciri khas perluasan pada awalnya, lalu konsolidasi dan stagnasi, sampai akhirnya daerah jajahan ini mendapat pukulan terakhir: pendudukan oleh Jepang disusul oleh revolusi Indonesia (Van Doorn 1994: 49).

Kaum liberal menganut gagasan-gagasan yang mengizinkan usaha dagang swasta, bebas membuka perkebunan dan kepemilikan perorangan di Hindia Belanda. Di bawah sistem tanam paksa kebijakan surplus (batig slot) menjadi lazim. Ini menandakan bahwa hasil lebih dari wilayah Hindia tersedia bagi khazanah negeri Belanda. Selama hampir lima puluh tahun (1832-1877) jutaan (gulden) mengalir ke dalam khazanah negeri Belanda dan memungkinkan negeri ini menutupi defisit-defisitnya, menurunkan pajak, serta mengkonstruksi prasarana kereta api dan terusan-terusan. Antara tahun 1850 dan 1860, harga pasaran kopi dan gula demikian menguntungkan, sehingga menghasilkan laba berjumlah 31 persen dari seluruh jumlah penghasilan/pemasukan negara (Fasseur 1980: 4).

Sementara Hindia Belanda selama abad ke-19 menjadi wilayah yang menghasilkan (wingewest) atau Perusahaan Negara (Staatsbedriff), maka setelah tahun 1870 perjalanan ekonomi dan pemerintahan berpisah satu sama lain. Bermula, kaum liberal tetap memandang wilayah jajahan ini sebagai perusahaan negara dan berpegang pada kebijakan surplus. Hal ini, bagaimanapun, mengakibatkan pengeluaran pemerintah di Hindia, khususnya untuk maksud-maksud pertahanan (peperangan di Aceh) segera habis. Salah satu prinsip tentang kepemilikan tanah adalah bahwa tanah yang bukan milik perorangan, menjadi tanah negara (domein van de staat), yang terbagi dalam tanah bebas hak adat dan tanah yang terkena hak adat (Furnivall 1944: 179).

Warga negara Belanda dan perusahaan-perusahaan dapat dan boleh menyewa tanah ini, yang berakibat pelanggaran batas penananaman modal swasta di tanah jajahan ini. Makin banyak orang Eropa sekarang kecipratan pertumbuhan ekonomi, sementara makin banyak penduduk pribumi merasakan tekanan kolonialisme. Kapitalisme tumbuh pesat dan ekonomi penyambung hidup yang berabad-abad lamanya sesuai bagi para petani di Jawa, mau tidak mau digantikan oleh ekonomi moneter. Dengan produksi hasil bumi ekspor, Hindia mendapatkan tempat berpijak yang kokoh dalam ekonomi dunia.

Bermula, tanah disewakan kepada tuan tanah swasta yang mulai membuka perusahaan dan perkebunan. Dalam keadaan seperti di masa lalu, tuan-tuan tanah ini seluruhnya berkuasa atas penduduk di wilayahnya. Konon beberapa diantaranya, memerintah laksana seorang sultan, misalnya Andries De Wilde, yang tinggal bersama beberapa orang gundik dan mempunyai perempuan muda di antara hamba sahayanya yang katanya membentuk haremnya (Van Doorn 1994: 31). Gula, tembakau, karet, kelapa cungkil, minyak kelapa sawit, nila, dan kulit pohon kina, merupakan hasil-hasil tanaman menguntungkan, yang baik untuk ditanam karena sangat dicari-cari di dunia Barat yang mulai mengalami industrialisasi. Tak lama setelah generasi pertama pengusaha perkebunan mulai mantap, sistem perkebunan tumbuh menjadi organisasi usaha dagang berbentuk hukum dan yang sering berkantor pusat di negeri Belanda (Legge 1964: 82).

Selanjutnya, halaman 20 dan 21 tidak dapat dibaca. Silahkan membeli buku, Citra kaum perempuan di Hindia Belanda.

...posisi mereka setelah ekonomi mereka menjadi bagian dari pasaran dunia serta dari dunia modern. Akibat dari cara pemerintahan mereka yang tidak langsung, Belanda telah memanipulasi kaum ningrat Jawa ke dalam struktur pemerintahan mereka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu mereka makin menghilangkan orang pribumi dari kegiatan-kegiatan ekonomi. Sementara komunikasi bisnis dan niaga Eropa yang semakin besar menjadi makmur di bawah perundang-undangan Liberal, mereka menentang keras 'pengindonesiaan' tatanan jajahan. Sementara itu, pemerintah juga mematahkan dan bahkan menghalangi upaya-upaya para warga negara Belanda di Hindia ikut campur dalam hal politik.

Liberalisasi beroperasi berdasarkan prinsip bahwa kemajuan ekonomi serta laisser-faire akan mengakibatkan perbaikan kesejahteraan umum, tetapi, ternyata kebijakan liberal tidak mencapai hasil-hasil yang dimaksud, juga tak tercapai masyarakat yang seragam. Setelah mula-mula meningkatkan keadaan menyeluruh, ekonomi jadi terhenti sehingga perlu diadakan intervensi Pemerintah (Furnivall 1944: 223). Bila tatanan sosial serta kelompok-kelompok berlainan yang membentuk tatanan tersebut diamati secara lebih cermat, maka jelaslah sampai seberapa jauhkan periode ini menguntungkan bangsa Eropa (Belanda) dan betapa tak seimbangnya penyebaran kekayaan.

Dalam mata kaum liberal, kunci ke arah sukses adalah pembangunan ekonomi, namun mereka tak mempunyai strategi untuk membangun Hindia Belanda. Kemakmuran bagi segala pihak akan dicapai melalui ekonomi yang tumbuh subur. Mereka juga bertujuan mempersatukan kaum pribumi melalui proses tersebut. Dalam hal ini politik Liberal sama sekali gagal, bukannya integrasi masyarakat pribumi yang terjadi, melainkan pengucilan yang makin lama makin memburuk, dan kesadaran akan konflik kepentingan-kepentingan timbul antara berbagai kelompok.

Dalam studi tentang masyarakat dan ekonomi Hindia, konsep kemajemukan sering disebut sebagai faktor dominan. Akan tetapi, konsep ini relatif tetap terselubung, sampai abad ke-19. Tahun-tahun VOC membentuk fondasi bagi pengotakan masyarakat: Orang Belanda (Eropa), kaum Indo, orang Indonesia pribumi dan Tionghoa membentuk komunitas-komunitas mereka sendiri, dan hingga tingkat tertentu tinggal di wilayah mereka sendiri. Dalam ideologi kolonial pertengahan tahun 1830-an, diskriminasi sosial menjadi garis pemisah utama, suatu klasifikasi di mana sebuah perbedaan antara lapisan atas kulit putih serta massa pribumi yang lebih rendah memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang paling mencolok. Golongan Indo dan Tionghoa termasuk lapisan menengah. Sesuai dengan fluktuasi-fluktuasi sosial yang terjadi, mereka harus senantiasa meredefinisikan posisi. Semua kelompok memperlihatkan tanda-tanda asimilasi serta akulturasi. Namun, yang tetap saling memisahkan mereka, lebih kuat daripada persamaan-persamaan mereka.

Penduduk pribumi Indonesia tersebar di beberapa ribu pulau, senantiasa bersifat heterogen dan terbagi dalam ratusan kelompok etnik. Di atas stratifikasi sosial dan etnik tradisional ini masih ada lagi lapisan stratum jajahan. Buku ini bertujuan hanya mendiskusikan sistem status pribumi di Pulau Jawa saja (Berdasarkan Wertheim 1964: 133-36). Penduduk pedesaan di Pulau Jawa akan mencapai gengsi dari tanah yang mereka miliki. Dalam masyarakat pemukiman yang saling terjalin erat, gagasan tentang nenek moyang bersama akan mengikat anggota-anggota kelompok masyarakat yang bersangkutan. Sekalipun memang terdapat seorang kepala desa, secara tradisional kelompok-kelompok masyarakat mengambil keputusan atas dasar musyawarah. Dalam sistem feodal, kaum priyayi Jawa memerintah di atas tingkat desa. Sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berurat akar, sebagian berdasar pada konsep-konsep Hindu Buddha, anggota-anggota keluarga ningrat biasa diperlakukan penuh hormat oleh rakyat biasa. Mereka diaanggap bersifat supranatural atau setengah dewa. Kekuasaan dianggap berpusat dalam diri sang penguasa, asal dekat saja dengan orang seperti itu, berarti orang yang dekat tadi ikut berkuasa. Lebih-lebih lagi, orang Jawa cenderung membayangkan struktur kekerabatan melalui garis vertikal. Tetap terdapat rasa pengabdian dan kepatuhan terhadap atasan (Koentjaraningrat 1985: 459). Berkenaan dengan hubungan antara orang-orang berlainan jenis, perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum perempuan memegang peranan penting dalam pembudidayaan padi serta tanam-tanaman lain.

Seperti sudah disebut di atas, kaum ningrat tergabung dalam sistem pemerintahan Belanda sejak abad ke-18 dan seterusnya, dan secara politik menjadi tidak berdaya.

Halaman 25 dan 26 tidak ditampilkan.

...dari 250 tahun daerah jajahan tersebut mencapai titik pemantapan supremasi kulit putih. Suatu golongan bangsawan kolonial telah dicetuskan, dan anggota-anggotanya menduduki bagian terbesar posisi pengendali dan pengambilan keputusan, jika tidak semuanya. Mereka memandang diri mereka sebagai jauh lebih tinggi daripada seluruh pendudik lain di Hindia dan mengambil sikap patriarkhal. Orang Eropa di Hindia tampil sebagai golongan elit kelas menengah khas. Hanya yang menjadi militer tidak masuk kategori ini.

Golongan Indo merupakan kelompok khusus. Dilahirkan dari lelaki Belanda dan perempuan pribumi, kedudukan hukum mereka berjenis atau Eropa atau Inlander (pribumi). Perbedaan ini bergantung pada masalah apakah mereka dilahirkan dalam ikatan perkawinan orang tua mereka atau di luar ikatan perkawinan, namun diakui oleh ayah mereka, sehingga mereka berkebangsaan Eropa; atau jika mereka lahir dari ikatan di luar perkawinan, sebagai anak tidak sah, maka mereka menjadi inlander. Tetapi, apapun keadaannya, kesetaraan sosial antara golongan kulit putih dan golongan Indo mustahil terjadi. Berbeda dari orang Tionghoa, orang Indo terkena rasisme dan mereka sangat sadar akan warna kulit mereka, yaitu kriteria penentu utama bagi kedudukan dan gengsi mereka. Kemahiran berbahasa Belanda dan jenis pakaian mereka juga jadi kriteria dalam menilai apakah seseorang lebih bersifat 'kulit putih' atau ''inlander.' Pada awalnya istilah Indo digunakan untuk menyatakan orang berdarah campuran. Namun ia juga menjadi istilah bagi orang yang merupakan bagian dari dua kebudayaan. Keturunan dari dua orang tua berkebangsaan Eropa misalnya, yang dilahirkan dan dibesarkan di Hindia, secara psikologi dapat mengidentifikasi diri sebagai Indo, atau dinilai sebagai Indo oleh orang-orang lain. Umumnya istilah Indo berkonotasi negatif, tetapi kadang-kadang bisa juga positif, tergantung pada konteksnya.

Penduduk Hindia berkebangsaan Eropa memiliki identitas budaya tersendiri. Orang Belanda totok yang baru tiba di Hindia menganggap penduduk Eropa di Hindia Belanda sebagai 'orang daerah pedalaman'', yang tak berbudaya, sekalipun punya akses terhadap peradaban Barat. Suatu sifat menyolok yang dikaitkan dengan mereka adalah materialisme yang tamak. Persepsi ini sebagian disebabkan oleh cara-cara penuh penghinaan yang digunakan untuk menggambarkan sifat khas orang-orang Indo. Bayangan tentang mereka ialah sebagai orang yang lamban, tidak dapat diandalkan, terlalu bersikap tunduk, atau sebaliknya, tanpa rasa takut sedikitpun, dan mereka berbahasa Belanda buruk sekali, dengan aksen berat. Kaum perempuannya dikenal sebagai sensual, genit, dan suka merayu kaum laki-laki. Namun para Indo merupakan penduduk tetap (blijvers) yang begitu dibutuhkan pada abad-abad permulaan VOC. Bagian terbesar orang Eropa totok hanya tinggal sementara saja di Hindia (sebagai trekkers=pengembara), dan tidak mengadakan kontak yang tetap dengan penduduk pribumi, karena mereka terlalu berpindah-pindah dan secara sosial terlalu jauh jaraknya dengan orang-orang pribumi.

Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda secara sosial dan budaya di Eropanisasi berkat alat transportasi yang menjadi lebih baik serta perhubungan yang lebih cepat. Lambat-laun tatanan kolonial lama menghilang dan diganti dengan cara kehidupan yang jauh lebih mendekati cara kehidupan Barat. Kelihatannya tersedia dua alternatif bagi Hindia, yaitu Eropanisasi yang akan menemukan realisasi dalam apa yang dinamakan 'Negeri Belanda di Wilayah Khatulistiwa', atau suatu sintesis dari berbagai kelompok yang berlainan tanpa penguasaan komponen Belanda maupun komponen pribumi. Akan tetapi, tak satu pun dari kedua pilihan ini yang akan terealisasi, karena masa depan Kepulauan Nusantara ini adalah Republik Indonesia.

Akar nasionalisme yang menjurus ke proklamasi kemerdekaan Indonesia, dapat diruntut ke berbagai faktor dalam kurun waktu yang kita bicarakan. Yang paling penting ialah pendidikan dan peristiwa-peristiwa politik internasional. Telah disebut di atas, bahwa 'pendidikan Barat memberi peluang kepada orang2 pribumi untuk mengisi jabatan yang dahulu khusus dicadangkan untuk 'kasta' Eropa. Dengan demikian fondasi2 sistem status kolonial rubuh. Di sini, sebagaimana juga di tempat-tempat lain, pendidikan berdampak dinamit pada sistem kasta kolonial (Wertheim 1964: 147). Pendidikan bagi orang2 pribumi dimulai secara terbatas sekali pada dasawarsa 1860-an berkat tekanan para misionaris, kaum liberal, dan pejabat serta kepala-kepala perkebunan yang menyadari adanya kebutuhan akan tenaga kerja berpendidikan. Sementara pada tahun 1864 diangkat seorang Inspektur Pendidikan Pribumi yang pertama, namun Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri baru didirikan pada tahun 1867.

Sekolah-sekolah Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, terpisah sama sekali dari sekolah-sekolah pribumi (Inlandse Scholen). Pelajar-pelajar pribumi secara resmi tidak diizinkan masuk sekolah Eropa. Selain itu, beberapa gelintir pelajar yang diterima masuk dikenakan syarat menguasai bahasa Belanda. Orang-orang pribumi tidak didorong belajar bahasa Belanda, karena bunyinya tidak cocok untuk bibir pribumi (Furnivalll 1944: 221). Walau bagaimana pun, arus permintaan untuk pendidikan tak terbendung, dan jumlah pelajar non-Eropa di sekolah-sekolah Eropa meningkat dari 266 orang pada tahun 1870 menjadi hampir 2000 orang pada tahun 1900. Pada tahun 1893 sekolah-sekolah dasar bagi orang-orang pribumi terbagi dalam sekolah2 kelas satu dan kelas dua, masing2 untuk golongan atas dan masyarakat umum. Lembaga-lembaga pendidikan yang memberikan pelatihan khusus untuk pejabat-pejabat pribumi atau para calon dokter membuka kesempatan untuk pendidikan lanjutan. Khususnya di kalangan orang Jawa, timbul golongan cendekiawan, kaum priyayi baru. Status mereka diraih berkat hasil karya serta bakat mereka sendiri, ijasah yang mereka capai, serta kemahiran mereka berbahasa Belanda. Pekerjaan di kantor sangat diperebutkan dan pekerjaan yang bersifat lebih tradisional, dalam sektor pertanian, dipandang rendah. Sementara itu, banyak orang Indo bersekolah dasar dan menengah yang menyebabkan mereka diterima sebagai karyawan administratif.

Pada kurun waktu ini, latar belakang pendidikan membantu meningkatkan kesadaran orang pribumi, seorang perempuan pribumi istimewa yang hidup di Pulau Jawa dan mulai membela hak-hak perempuan untuk pendidikan, ialah Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara dari selirnya, Ngasirah. Kartini (1879-1904) dan kedua adik perempuannya diizinkan oleh bapak mereka bersekolah di sekolah Eropa. Pada masa itu, merupakan hal istimewa sekali jika anak perempuan priyayi Jawa bergaul secara luwes dengan anak-anak Belanda dan Indo. Setelah mencapai umur akil balig, dua belas tahun, Kartini meninggalkan bangku sekolah karena harus dipingit. Ia merasa tertekan karena kebebasannya mendadak berakhir. Akan tetapi, bapaknya mendorongnya untuk terus membaca buku-buku berbahasa Belanda, majalah dan koran. Dengan cara demikian, Kartini berhasil meresap gagasan-gagasan serta kebudayaan Barat. Melalui kontaknya dengan istri pegawai-pegawai Belanda, serta surat menyurat dengan seorang teman korespondensinya di Amsterdam, ia mulai berkenalan dengan masalah-masalah gerakan perempuan. Surat-suratnya mengungkapkan betapa susah hatinya karena perbedaan perlakuan terhadap lelaki dan perempuan Jawa, ketidakadilan terhadap kaum perempuan, langkanya kesempatan bersekolah bagi kaumnya, perjodohan yang diatur, serta poligami.

Sekalipun ia bercita-cita serta melakukan 'perang salib' demi memajukan kehidupan sesama perempuan Jawa, namun suatu ketika Kartini memutuskan untuk tidak melanjutkan studi. Pada tahun 1903 Kartini menyetujui untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang yang jauh lebih tua dari.....

Halaman 32 dan 33 tidak ditampilkan.

Akhir abad ke-19 menyaksikan tenaga-tenaga sentrifugal berkecamuk di masyarakat Hindia. Berbagai partai mulai mencari identitas dan budaya masing-masing. Dan kesadaran diri lebih kuat daripada kepentingan politik dan ekonomi bersama mana pun. Pada masa ini, dengan berbagai kekuatan yang saling berlawanan berkecamuk, kelompok yang berada di lapisan tengah masyarakat diserang dan bernasib paling buruk.

Selanjutnya bisa ditengok di sini: Citra kaum perempuan di Hindia Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014