Kamis, 13 Agustus 2015

Setelah Adam Menendang Bola

Kamis, 13 Agustus 2015
Sebelum Adam menendang bola, ada seseorang di pinggir lapangan yang sedang marah-marah pada salah satu panitia pertandingan sepakbola antar Sekolah Dasar di Kalisat. Di atas rumput lapangan Nusantara desa Ajung, emosinya terbakar. Pak Adi Wiyono tampak telaten menenangkan orang bertubuh agak gemuk dan yang sedang mengenakan hem warna merah hati itu. Jarinya mengacung ke orang yang dimaksud, mulutnya tak henti melontarkan simbol-simbol kemarahan.

Saya baru saja tiba di lapangan, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sorot mata saya hanya tertuju pada Adam Mahesa, lelaki kecil kelas enam SD --di SDN Ajung 1-- yang kerap menemani saya memetik gitar di kontrakan sebelah rumahnya.

Sebelum Adam menendang bola, orang-orang berkerumun mendekati mistar gawang tempat adu finalti berlangsung. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman SD, pendukung kesebelasan SD Ajung 1 dan SD Plalangan 3, juga beberapa guru. Ada juga pedagang asongan yang larut dalam suasana menentukan.

Sebelum Adam menendang bola, pihak lawan telah sukses menyarangkan bola yang tak bisa ditepis oleh penjaga gawang. Ini adalah saat dimana mental Adam diuji oleh keadaan.


Ketika Adam menendang bola, 13 Agustus 2015 Pukul 09.57

Kemudian tibalah saat yang saya nantikan, ketika lelaki kecil dengan nomor punggung 19 itu bersiap menendang bola. Ia tampak gagah, dengan kuda-kuda yang prima. Tendangannya pun berkelas. Namun, satu detik setelah Adam melayangkan tendangannya, saya tahu, ini sama seperti tragedi Roberto Baggio pada final Piala Dunia 1994 antara Brasil melawan Italia.

Baggio, pemain terbaik dunia tahun 1993, memiliki kisah duka di ajang adu finalti World Cup 1994. Tendangannya melambung, Brasil bersorak, namun negeri Italia menangis.

Adam menangis, hatinya hancur. Ia menundukkan wajah, seolah sedang menghindar dari tatapan dunia. Teman-temannya tak berhasil membuatnya tenang. Lalu, Babo kakak kandungnya, menghampiri Adam.


Setelah Adam Menendang Bola

Kiranya ada seseorang yang berhasil menenangkan hati Adam. Ia berambut panjang, mengenakan kostum olahraga warna merah putih. Kelak, ketika Adam telah dewasa, semoga momen ini saja yang teringat dalam memorinya.

Hari ini, Adam adalah Roberto Baggio pada 21 tahun yang lalu. Misalnya Adam bisa melewati detik-detik yang menyedihkan ini, lalu kembali tersenyum seperti layaknya para bocah seusianya, berarti Adam telah mengantongi sebuah ilmu yang mahal yang ia dapat dari lapangan Nusantara. Ilmu itu bernama hati yang luas, yang selalu menyiapkan dua mental; mental ketika menang dan mental ketika tersungkur. Jatuh satu kali berdiri dua kali, seperti itulah Adam Mahesa nanti.

Ada sebuah catatan berjudul; Roberto Baggio, Berlumur Dosa Namun Tetap Dicintai. Di sana dituliskan jika Baggio tetap dicintai, hingga ketika ia menutup kariernya pada 16 Mei 2004.

Saat Baggio akhirnya ditarik keluar lapangan pada menit ke-88, publik San Siro memberikan standing ovation. Tepuk tangan meriah itu diikuti oleh seruan-seruan dukungan pada Baggio. Pertandingan sempat terhenti sesaat untuk memberikan waktu bagi Baggio berpamitan pada publik sepak bola Italia. Meski tersenyum, ada air mata yang menggenang yang ikut mengiringi.

Saya kira, Adam Mahesa memiliki kisahnya sendiri. Ia merdeka untuk mengukirnya menjadi seperti apa yang dia inginkan. Adam, tersenyumlah teman, ini hanya anak tangga mungil yang harus kamu hadapi dan lewati, untuk menuju fase kehidupan selanjutnya. Doa terbaik untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014