Abdurrachman Baswedan
Abdurrachman Baswedan Sembilan Windu
NAMA Abdurrachman Baswedan tidak dapat dipisahkan dengan Partai Arab Indonesia, sebagaimana nama PAI juga tidak dapat dipisahkan dari namanya.
Keistimewaan dari PAI ialah, bahwa jauh sebelumnya ada apa yang kini disebut gerakan asimilasi, PAI sudah terlebih dahulu mengemukakan pendiriannya; membaurkan diri dengan rakyat dan bangsa Indonesia.
Mereka sudah menegaskan pendiriannya: lahir di bumi Indonesia; hidup di tanah air Indonesia dan akan dikuburkan pula insya' Allah di persada Indonesia.
Sebagai anak kelahiran Ampel Surabaya, 72 tahun yang lampau Abdurrachman sejak mudanya sudah menyadari bahwa di bumi Indonesialah tempatnya berpijak, dan justru karenanya dia serta sesama kaumnya harus menetapkan pendirian, lepas bebas dari tanah leluhur, dan mengakui bahwa mereka adalah senasib dan sepenanggungan dengan rakyat Indonesia.
Justru karena itu pula, dia sejak muda meninggalkan faham yang eksklusif, dan bergaul dengan bebasnya dengan tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan seperti Kyai Haji Mas Mansjur dan Dokter Soetomo. Dia bahkan sengaja menjadi muballigh (juru propaganda) Muhammadiyah, dan sikap serta pendiriannya yang tegas demikian itu, merupakan hal yang langka pada zamannya.
Pada masa-masa itu, sebagian besar keturunan asing baik keturunan Belanda, Cina maupun Arab, masih merasa 'superior' ketimbang bangsa Indonesia sendiri, dan justru karenanya merasa menurunkan harkat dan derajat apabila mereka ikut-ikutan atau bergaul dengan rakyat Indonesia. Tetapi tidak demikianlah pendirian Abdurrachman Baswedan.
Mendirikan PAI
Dalam tahun 1934 didirikanlah Partai Arab Indonesia, yang oleh Ki Hajar Dewantara dalam pertemuan peringatan Kesadaran Nasional Kaum Turunan Arab di Yogya 9 Oktober 1945 dikemukakan sebagai "suatu peristiwa yang sangat penting dan sepatutnya dapat perhatian secukupnya. Peristiwa tersebut tidak saja penting bagi saudara-saudara kita yang berketurunan Arab, namun amat penting pula untuk kita semua yang bercita-cita kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat." Bukankah nyata dan positif keikhlasan saudara-saudara keturunan Arab tersebut untuk tidak mengasingkan diri dari pergaulan kebangsaan kita, dan tidak mendirikan partai sendiri, melainkan menganjurkan sekalian dari golongan turunan Arab, untuk memasuki partai-partai yang ada di kalangan rakyat!
"Maka salahlah samasekali apabila mereka dikelompokkan pada golongan yang kini disebut 'golongan minoriteit.' Mereka itu tidak mengasingkan diri dari golongan kebangsaan umum, mereka sudah ajur-ajer yakni zich oplossen dalam masyarakat kebangsaan kita. (...) Saudara-saudara kita yang berketurunan Arab tidak merasa mempunyai dan tidak mengakui adanya bangsa atau negara di luar Indonesia yang mengikat mereka!
"Kami ulangi lagi: keikhlasan saudara-saudara kita keturunan Arab tadi tidak saja menguntungkan diri mereka sendiri, namun menguntungkan negara kita pula." (baca: Merdeka, 11 Mei 1956).
Sedangkan A.R. Baswedan sendiri sewaktu ada Kongres Bahasa Indonesia I yang diadakan di Sala 1933, juga sudah ikut hadir, dan menyokong segenap keputusan Kongres sekaligus ikut mempropagandakannya di kalangan keturunan Arab sendiri.
Sedangkan Partai Arab Indonesia pada masa pra-perang secara keseluruhan juga menjadi anggouta GAPI, Gabungan Politik Indonesia yang bersama MIAI, Majelis Islam Ala Indonesia, menggabung menjadi kongres rakyat Indonesia, menuntut adanya Indonesia berparlemen.
Bidang Jurnalistik
A.R. Baswedan sebagai keturunan seorang pedagang, sedangkan kakeknya seorang ulama ahli tasawuf di lingkungan masjid Ampel, tidak segan-segan terjun dalam bidang jurnalistik. Dia masuki koran Sin Tit Po, pimpinan dokter Tjoa Sik Ien yang waktu itu juga dikenal sebagai pembawa udara baru di kalangan keturunan Cina.
Baru kemudian, setelah antara pihak Direksi dan Redaksi Sin Tit Po ada sengketa, A.R. Baswedan bersama Johannes Sirk Siyaranamual dan Tjoa Tjie Liang, keluar dari Sin Tit Po masuk ke dalam staf Redaksi Soeara Oemoem di Bubutan, Surabaya yang diasuh Dokter Soetomo.
Pihak Direksi Sin Tit Po mendapat tawaran iklan besar dari sebuah perusahaan Belanda, dengan syarat agar isi koran tadi jangan terlalu banyak memberitakan kegiatan gerakan kebangsaan. Direksi bersedia menerima syarat itu, tetapi ketiga orang redakturnya seperti tersebut di atas, yang memang kaum idealis dan masuk ke dalam jagad kewartawanan dengan mengemban sesuatu misi, lalu mundur pindah ke suratkabar yang mereka anggap sesuai dengan cita-cita mereka.
Karena kesehatannya, juga Baswedan kemudian dengan seluruh keluarga pindah ke Kudus, Jawa Tengah. Baru kemudian pindah lagi ke Semarang. Di situ dia pun lalu masuk menjadi redaktur suratkabar Mata Hari yang dipimpin oleh Liem Koen Hian, seorang tokoh yang oleh sebagian penganutnya disebut Bapak Asimilasi keturunan Tionghoa, dan ketua Partai Tionghoa-Indonesia.
Haluan Mata Hari tidak ubahnya dengan Sin Tit Po, juga lebih mengetengahkan berita-berita tentang gerakan kebangsaan, baik yang berlandaskan nasionalisme thok, maupun yang berdasarkan agamis. Selain itu Mata Hari juga dikenal sebagai suratkabar yang sangat anti-Jepang, dan tidak anehlah bahwa apabila pada zaman Jepang, Liem Koen Hian sekeluarga harus menyembunyikan diri.
Tidak tanggung-tanggung, orang yang menyediakan tempat untuk menyembunyikan keluarga Liem Koen Hian tadi adalah keluarga A.R. Baswedan yang kala itu bermukim di Sala. Perbuatan Baswedan yang demikian itu diketahui oleh sesama rekannya dan mengingatkan bahwa tindakannya itu sangatlah berbahaya, dan dapat saja membawa bencana bagi Baswedan sekeluarga, lebih-lebih bila mengingat kekejaman kenpeitai pada masa itu.
Tetapi Baswedan meriskir semua akibat, karena dia tahu bahwa Liem Koen Hian telah menolak tawaran dari sesama kaumnya yang menyediakan rumah besar baginya, tetapi dalam ketakutan yang sangat dalam masa itu.
Contoh
Tidak kurang dari Adam Malik sendiri, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada 22 Juli 1972 menulis: "Saudara A.R. Baswedan memberikan contoh yang patut ditiru oleh pemuda-pemuda Indonesia keturunan Arab, terutama yang dengan susah payah mengajak dan menghimpun pemuda-pemuda Arab agar ikut masuk di dalam PAI, Partai Arab Indonesia.
Sebagai seorang pejuang, seluruh hidupnya ia korbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia sebagai seorang penulis dan penyair, selalu melukiskan perjuangan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah, dan sebagai seorang islam, ia selalu memuja dan berdoa kepada Allah Yang Maha Besar (ESA).
Oleh karena itu anak-anak dan keluarganya pantas merasa bangga pada perjuangan Saudara Baswedan ini. (..) Biarpun Sdr. A.R. Baswedan tidak mencantumkan bintang-bintang di dadanya dan menyimpan surat-surat penghargaan, yang jelas dan menjadi saksi adalah rakyat Indonesia. Saya mengetahui dan bekerjasama dalam masa lampau dalam perjuangan yang saya sebutkan di atas."
Demikian antara-lain, tulis Adam Malik.
Dan agaknya sudah tidak diperlukan tambahan lagi. Pada tempatnyalah apabila pada kesempatan ini, kita juga menyampaikan selamat berulang-tahun, dan semoga berkah serta rahmat Tuhan senantiasa dilimpahkan kepadanya dan segenap anggouta keluarganya. (Soebagijo I.N.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar