Kamis, 17 September 2015

Ketika Orang-orang Sidoarjo Hijrah ke Kalisat

Kamis, 17 September 2015
Tulisan di bawah ini merupakan hasil wawancara saya dengan Ibu Sulasmini, perempuan Kalisat kelahiran Agustus 1938. Wawancara dilaksanakan di rumah Ibu Sulasmini --Kalisat kabupaten Jember-- pada 16 September 2015. Kisah berlatar sebelum/sesudah (belum pasti) bulan Nopember 1945, di detik-detik antara meletusnya perang besar di Surabaya yang kelak dikenang dengan Peristiwa 10 November.

Ketika itu saya masih kecil. Mungkin masih kelas satu atau kelas dua SD. Saya masih ingat, banyak orang datang ke Kalisat. Kata Bapak saya, mereka rata-rata datang dari Sidoarjo dengan memanfaatkan moda transportasi kereta api. Konon kabarnya, ada juga yang berjalan kaki. Mereka bergerombol, lebih dari seribu orang. Banyak sekali.

Oleh perangkat desa Kalisat, mereka semua ditampung di gudang seng De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjoeng --kini bernama Perkebunan Nusantara X PT Persero Kalisat. Ada tiga gudang seng yang digunakan untuk menampung mereka. Sisanya diinapkan di rumah-rumah penduduk.

Waktu itu Indonesia baru saja merdeka, belum lagi seratus hari. Satu bulan kemudian terdengar kabar jika di Surabaya sedang pecah perang besar. Kelak ia dikenal dengan kejadian 10 November.

Orang-orang itu, yang hidupnya ada di gudang seng Kalisat, mereka kelaparan. Oleh perangkat desa, anak-anak sekolah dimintai tolong untuk membawa nasi bungkus. Per-siswa satu bungkus, setiap hari. Hal itu berjalan hingga 3-4 bulan lamanya. Semakin lama mereka di Kalisat, semakin saya mengerti jika mereka tak hanya dari Sidoarjo, ada juga yang datang dari wilayah-wilayah dekat Sidoarjo. Kebanyakan manula, perempuan, dan bocah-bocah kecil.

Beberapa dari mereka, yang masih memiliki tenaga prima, bekerja serabutan membantu orang-orang Kalisat. Tiga orang yang masih saya ingat betul, mereka adalah Pak Sladri, Glenter, dan Yuk Ya.

Ketika Sidoarjo dan sekitarnya dinyatakan aman, mereka dikoordinir untuk kembali pulang, dengan naik kereta api. Kebetulan tepat di belakang gudang seng desa Ajung-Kalisat terdapat halte kereta api, halte Ajung. Waktu itu banyak orang menangis, baik warga Kalisat maupun orang-orang yang dipulangkan.

Saya heran, mengapa peristiwa itu tidak masuk buku sejarah?



ESOK harinya, catatan di atas dimuat di fun page Sudut Kalisat dan mendapatkan apresiasi dari Ibu Moersihsasi Soeratman.

"Sampai ribuan ya pengungsi dari Sidoarjo? Pengungsi yang hijrah di Jember dari Surabaya dan Sidoarjo saya kenal, termasuk keluarga saya banyak yang kerja di pemerintahan. Kebetulan Bupati Jember waktu itu adalah Bapak Soedarman --orang Sidoarjo. Memang pengungsi-pengungsi ditampung famili masing-masing. Keluarga kami ngungsi ke Jember pakai KA Trutuk."

Moersihsasi Soeratman adalah sahabat saya di dunia maya --Facebook-- yang kerab memberikan informasi penting mengenai Jember Tempo Dulu. Perempuan kelahiran 31 Mei 1936 ini kini tinggal di Jakarta. Dulu Ayahnya --R. P. Mochammad Ali Djojokoesoemo-- pernah menjabat sebagai Administrateur Jemberse Kliniek antara tahun 1955-1968.

Kepada Ibu Moersihsasi Soeratman saya mengucapkan terima kasih.

Adapun mengenai jumlah orang-orang Sidoarjo --dan sekitarnya-- yang hijrah ke Kalisat kabupaten Jember, di atas seribu orang. Versi lain namun masih tahap data lisan, mereka berjumlah antara 5000 hingga 7000 orang. Saya belum menjumpai data tertulis mengenai ini. Barangkali teman-teman ada yang mengerti tentang kisah ini, ketika orang-orang Sidoarjo hijrah ke Kalisat di detik-detik sebelum/setelah pecahnya perang 10 November 1945, saya akan senang sekali jika Anda bersedia menyempurnakannya. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014