Oleh RZ Hakim
GELOMBANG PASANG DANCE sedang melanda desa-desa di Jember, tak terkecuali di Kalisat. Salah satu atlet dance Kalisat yang saya kenal adalah Ibra Febian El Haq, lelaki muda kelahiran 14 Maret 2002. Ia biasa dipanggil Bian. Meski telah banyak lomba dance di Jember yang diikuti, namun Bian tetap melakukan latihan secara sembunyi-sembunyi. Ini tentu tak semata urusan malu, melainkan lebih kepada bagaimana cara pandang orang-orang dewasa di sekitar Bian.
Kesukaan Bian segera diikuti oleh saudara sepupunya, dua tahun lebih muda dari Bian, yaitu Darvesy Azhar Billah atau lebih akrab dipanggil Bojes.
Bian dan Bojes segenerasi, mereka terbilang beruntung sebab dilahirkan dari generasi yang masa remajanya pernah melewati demam breakdance di era 1980an.
Bian membaca puisi di Pentas Seni Kampong Lima, 12 September 2015
Saat gelombang pasang dance menerpa negeri ini di tahun 1985, seorang Kokok Supriyadi masih berusia 13 tahun. Dia tentu mengerti jika di kalender sebelumnya, di Jakarta sana sedang booming breakdance, sebuah gerakan rancak perpaduan antara tari disko, gerak bela diri, akrobat dan pantomim, dengan musik hip-hop sebagai latar belakangnya. Lalu terdengar kabar jika breakdance --dengan segala cemoohan yang dilontarkan orang-orang dewasa-- telah naik festival. Setelah Jakarta, di Bandung digelar Festival Breakdance pada 22 Desember 1984, lalu disusul Jogjakarta pada 5 Januari 1985. Tak menunggu waktu lama, demam Breakdance segera menjangkiti kota-kota lain, tak terkecuali Jember.
Kokok Supriyadi tentu mengerti itu. Maka di kemudian hari, saat gelombang itu datang lagi dan menerpa putranya --Ibra Febian El Haq-- ia mengerti harus bagaimana menghadapinya.
Demam breakdance di era 1980an bernasib buruk. Sebelum sukses diangkat dalam festival, pada 30 September 1984 Semarang gagal mewujudkan rencana pentas breakdance sebab dilarang oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu, Ismail. Menurut Ismail, rencana pentas tersebut bertepatan dengan malam tirakatan memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Bulan berikutnya, Oktober 1984, Surabaya berhasil menggelar festival breakdance, namun tak lama setelah itu segera ada surat edaran Muspida --diketahui oleh Walikota-- bahwa kegiatan breakdance dilarang.
Selain ketakutan tingkat tinggi sebab breakdance berasal dari budaya luar negeri, alasan yang paling sering diungkapkan adalah tentang para breaker --pelaku breakdance-- yang seringkali bermain di pinggir jalan raya hingga menyebabkan kemacetan. Mereka membawa compo --tape recorder dengan suara stereo, atau memutar musik melalui tape mobil bagi anak berpunya, menggelar alas di tepi jalan raya, kemudian meliuk-liuk meluapkan ekspresinya. Sepatu yang paling disukai oleh para breaker adalah sepatu kets merk NIKE. Mereka memakai kaos ala rocker, berikat kepala, kadang juga mengenakan sarung tangan dan pengaman lutut.
Ketika ketakutan akan breakdance sedang melanda generasi tua --Menurut catatan Bondan Winarno di Tempo No. 45, mereka adalah generasi yang mencuri lagu Beatles dari Radio Malaysia yang ketika itu diharamkan untuk didengar-- di luar sana pemerintah kota-kota besar belum selesai dengan masalah klasik yaitu penertiban BECAK. Rasionalnya pun mungkin sama, jalan raya adalah DBB, daerah bebas becak sekaligus bebas breakdance. Antara becak dan breakdance, keduanya hanya bisa ditertibkan, sebab dua-duanya sulit dipunahkan.
BREAKDANCE adalah hal baru. Bukan hanya Jakarta, masyarakat Jember juga ingin melihatnya. Namun apa daya, ketika itu teknologi informasi tak semudah hari ini. Dulu hanya ada radio, TVRI, film bioskop, sewa kaset video bagi yang punya alat pemutarnya, dan mengandalkan media macam Tempo atau majalah perempuan. Tak ada jejaring sosial, televisi tak sesemarak sekarang, tak ada ponsel, alat komunikasi macam pager pun belum nongol.
Bagaimana Breakdance bermula?
Di masa yang lalu, demam breakdance dimulai ketika TVRI --Dunia Dalam Berita-- menyiarkan fenomena breakdance di luar negeri. Muda-mudi Indonesia yang menonton acara tersebut, mereka penasaran. Minimnya media tak membuat mereka patah arang. Mereka, dimulai dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mulai mencari dan memperbanyak informasi tentang breakdance. Anehnya, meski berawal dari media pemerintah, banyak pejabat negeri ini yang bersungut-sungut, tak suka terhadap perkembangan tersebut. Jika hanya alasan, ada berbagai alasan yang bisa digunakan untuk meredam gelombang pasang breakdance.
BREAKDANCE bermula dari Afrika. Iya benar, dari sanalah dimulainya gerak patah-patah dan terlihat aneh tersebut. Akan tetapi ia mengalami masa penggodokan di South Bronx, daerah miskin dan semrawut di New York. Breakdance sudah mengisi jalan-jalan New York awal 1970an. Bila dilacak lagi ke belakang, sampailah pada pangkalnya 1968, ketika banyak penari Afrika bermigrasi ke Amerika. Mereka tinggal di Bronx, yang sebagian besar penduduknya berkulit hitam. Di sana mereka membuka kursus tari serta membuat pentas. Itulah mengapa, gerak-gerak breakdance sangat mirip dengan tarian suku Fula di Afrika Barat.
Tak lama kemudian, seorang MC dan disco-jockey di Bronx bernama Afrika Bambaataa, ia lebih mengukuhkan breakdance di Bronx. Bambaataa yang seorang muslim dan pemimpin sebuah gang, tampaknya menangkap sebuah gejala baru yang sedang mencari peluang. Ia pun kelompok Zulu Nation, beranggotakan sekitar 10.000 anak-anak muda Bronx dan Manhattan. Dengan disiplin tinggi mereka berlatih keras berjam-jam tiap hari, mempelajari tari-tari Afrika, mempelajari mimik pantomim dan sebagainya --pokoknya yang cocok dengan selera meledak-ledak.
Dari si Bambaataa ini pula perkelahian antar gang di Bronx diganti dengan perkelahian dalam tari. Tanpa saling menyentuh, yang bertanding melakukan berbagai gerak sulit, dan lawannya harus bisa menirukan atau menyainginya dengan gerak yang lebih sulit. Napas panjang pun diuji. Yang sudah merasa kalah akan mundur dengan sendirinya --tanpa babak belur maupun merah darah, cuma napas ngos-ngosan dan berkeringat. Itu makanya breakdance pun mengandung gerak bela diri.
Bagaimana dengan nama Breakdance?
Menjelang pertengahan 1970an, kata BREAK di Bronx punya arti khas: ledakan kemarahan atau luapan perasaan. Maka, ketika anak buah si Afrika Bambaataa sering mendemonstrasikan tari barunya di jalan dan di dalam pesta, mereka dikatakan sedang melakukan breaking. Dan nama breakdance mulai lebih melembaga setelah televisi, film, dan video menyebutnya dengan istilah itu --bahkan sebuah film tentang tari ini terang-terangan berjudul BREAKDANCE.
Ketika para produser yang peka rasa dagangnya mengangkat breakdance lewat berbagai media itulah, tari ini naik pangkat --bukan lagi tari jalanan. Kemudian breakdance difestivalkan, dilombakan, dan mendatangkan uang bagi para penyelenggaranya. Dari kegiatan ekspresi dan rekreasi, ia jadi sebuah komoditi bisnis. Lewat media elektronik itulah breakdance menyebar ke banyak dunia. Termasuk di kalangan kita.
TEMPO Edisi 5 Januari 1985
Joko Purnomo, lelaki berusia setengah abad yang tak lain adalah kakak kandung Kokok Supriyadi, ia mungkin bisa lebih rinci mengingat kepopuleran breakdance 1984-1985. Sebab ketika itu --1985-- ia telah berusia 20 tahun. JP, begitu kadang ia dipanggil, bisa jadi ia masih mengingat bagaimana orang-orang dewasa yang saat itu berusia 45 tahun ke atas, memberi label macam-macam pada anak muda yang suka breakdance. Ada yang bilang breakdance tak lebih dari tarian cacing kepanasan sebab memang gerakannya meliuk-liuk dan cepat, ada label tari kejang, tari robot, dansa kesurupan, bahkan ada yang menganggapnya tarian para pemabuk. Ini tentu memberi dampak psikologis yang tidak baik pada para pencinta breakdance di tanah air.
Saya kira, JP akan sependapat jika saya katakan breakdance --sekarang lebih populer bernama dance saja-- masuk kolom olahraga berat. Setidaknya napas harus prima. Gerakan gemetar yang cepat sesuai dengan ritme musik, itu bukan karena efek ganja atau minum-minuman keras, melainkan karena ketegangan yang terkonsentrasi.
Para breaker --sebutan bagi pemain breakdance-- kelas tinggi bakal tidak mengikat tali sepatunya, namun ia tetap bisa berkonsentrasi.
Kini rupanya si bungsu Darvesy Azhar Billah terinspirasi oleh saudara sepupunya --Bian-- yang menyukai bidang dance. Bagaimana tanggapan JP sebagai seorang Ayah yang pernah melewati era breakdance 1980an? Saya yakin JP punya cara terbaik untuk mendukung talenta putranya, Darvesy Azhar Billah. Tak ada yang perlu dirisaukan.
Di setiap zaman, seringkali kita jumpai, remaja selalu menemukan ekspresi dan bentuk tamasya-nya sendiri, yang cenderung memberontak terhadap kemapanan orangtua. Namun kita pun tahu, yang namanya gelombang pasang selalu memiliki rentang waktu. Akan tiba saatnya gelombang itu surut.
coooool ,om
BalasHapus