Oleh RZ Hakim
Saat Aku Tersesat di Negeri Orang
Ibuku penggemar Shahid Afridi, seorang pemain cricket kelahiran 1 Maret 1980. Ia adalah kebanggaan kami orang-orang Pakistan. Itulah mengapa Ibu memberiku nama Shahida, terinspirasi oleh Sahibzada Mohammad Shahid Khan Afridi, atau lebih dikenal dengan Shahid Afridi saja.
Aku lahir di desa Sultanpur Pathanan, di wilayah Azad Kashmir. Itu adalah sebuah desa berbukit-bukit yang menjadi bagian dari negara Pakistan. Meski aku masih berusia enam tahun, namun aku mengerti, aku mencintai Sultanpur.
Suatu hari aku terjatuh ke sebuah jurang, bergulung-gulung, namun masih bisa terselamatkan. Sejak saat itu, aku tak lagi bisa bicara. Aku sangat ingin bersuara, tapi sayangnya aku tak bisa. Kenyataan ini membuat orang tuaku sedih. Ya aku tahu. Kadang, saat Ibuku baru saja salat dan masih mengenakan mukena, saat mata kami bertatapan, ia memandangku begitu dalam. Aku tahu, ada kesedihan yang besar di mata Ibu.
Di hari yang lain, salah seorang sesepuh di desa kami menyarankan pada Ayah dan Ibuku, agar aku dibawa saja ke Delhi. Dia bilang, Delhi adalah tempat dimana doa-doa bertaburan. Jelas sekali jika saran itu berdampak kepada Ibuku, seorang perempuan desa yang berhijab. Ia berunding dengan Ayah. Mulanya tentu saja Ayah keberatan. Bagi orang Pakistan, lebih mudah bepergian ke Amerika atau kemana pun, asal jangan ke India.
Secara letak, negeri kami bergandengan, namun tidak dengan orang-orangnya. Jika di negerimu, ibaratnya seperti teritorial Indonesia dengan Malaysia. Negara tetangga.
Kata Ayah, sejak pemisahan India pada Agustus 1947, sejak saat itulah kami sering bertikai. Orang bilang, pemecahan India setelah Perang Dunia II itu disebabkan karena Britania Raya dan Kemaharajaan Britania berhadapan dengan tekanan ekonomi akibat perang dan demobilisasinya. Namun yang tampak di mata bocah kecil seperti aku adalah tentang Agama, pertikaian antara Islam dan Hindu. Mengapa mereka bertikai? Bukankah mereka telah dewasa? Apakah di dunia ini, Tuhan menjadi begitu banyak? Kata Ayah, Tuhan hanya ada satu, namun kita menyebutnya dengan berbagai nama, dan mendekatinya dengan berbagai cara.
India dan orang-orang dewasa yang menjadi penyelenggara di negeriku, mereka sama-sama menaruh klaim atas Kashmir. Ini membuatku sedih, sebab aku dilahirkan di desa Sultanpur Pathanan, di wilayah Azad Kashmir, Pakistan. Semisal di dunia ini tidak ada negara, bisa jadi ceritanya akan berbeda. Entahlah, aku hanya seorang gadis belia.
AYAH seorang muslim yang baik, sekaligus seorang peternak kambing yang ulet. Akhirnya dia mengizinkan Ibu untuk membawaku ke Delhi. Dijualnya kambing-kambing yang banyak itu, kecuali satu. Cara Ayah menunjukkan cintanya padaku adalah dengan tidak menjual seekor kambing yang aku sayangi. Terima kasih Ayah.
Lalu perjalanan itu pun dimulai. Aku dan Ibu di atas kereta api, bersama para penumpang yang lain. Kami bergerak menuju Delhi di negeri India, tempat dimana doa-doa dipersembahkan.
Jika kau naik kereta api dari Pakistan menuju India, sesampainya di perbatasan, akan kau jumpai gerbang dari besi dan kawat berduri yang dijaga ketat oleh tentara dari kedua belah pihak. Gerbang itu hanya akan dibuka bila kereta api lewat, menghubungkan tanah Khokrapar di Provinsi Sindh, Pakistan, dengan Munabao di Negara Bagian Rajashtan, India. Misalnya engkau tak mampu menunjukkan surat-surat resmi --karcis misalnya-- ketika kereta api melintasi perbatasan itu, maka nasib sial akan segera menjumpaimu. Sangat sial!
Aku dan Ibu, beserta para penumpang yang lain, kami akhirnya merasa lega sebab kereta api telah melintasi gerbang perbatasan. Seperti dalam mimpi saja. Kata Ibu, jalur kereta api dari negeriku menuju India, ia baru saja dibuka kembali. Jalur ini pernah mengalami rusak berat sejak tahun 1965, ketika Pakistan-India ribut mempersoalkan wilayah Kashmir. Adalah Shaukat Aziz, seorang Perdana Menteri di negeriku yang memiliki gagasan untuk berdamai dengan India, ketika Perdana Menteri India telah dipimpin oleh Manmohan Singh. Teman, itu adalah gagasan yang baru, tercetus pada akhir tahun 2014 lalu. Kemudian gagasan ini mengalami kemajuan yang terus menerus, hingga kini aku bisa naik kereta api dari Pakistan menuju India. Indah sekali.
Kami baru saja memasuki wilayah India ketika kereta api yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Jaraknya dari gerbang perbatasan hanya lima menit naik kereta api. Kata salah satu petugas berkuda, sedang ada perbaikan 'mendadak' pada mesin kereta.
Manakala kereta api berhenti, langit telah begitu gelap. Orang-orang dewasa memilih untuk menunggu perbaikan itu dengan cara tidur. Ibuku, ia juga tertidur lelap. Di saat yang sunyi itu, aku dengar suara anak kambing. Ia membuatku merindukan kambing yang aku tinggalkan di Sultanpur. Dapat aku lihat dari jendela kereta, ada seekor anak kambing yang terjebak dalam kubangan dan terpisah dari induknya. Kereta masih berhenti, masih ada waktu untuk menolongnya, pikirku.
Kau mungkin telah bisa menebaknya. Iya benar, aku turun dari kereta, membantu anak kambing itu lepas merdeka dari kubangan hingga bisa menjumpai induknya. Dan kau tahu? Di saat itulah tiba-tiba terdengar mesin kereta api dihidupkan. Ia segera menderap maju, tak peduli dengan aku yang berlari tersaruk-saruk mengejarnya. Aku masih kecil, langkah-langkah kakiku pun terbatas. Terlebih, aku tidak bisa berteriak memanggil Ibuku.
Teman, aku tersesat di negeri orang. Tanpa paspor, tanpa visa, tanpa perlindungan, tana bekal, tanpa uang, tanpa ada satu saja orang yang aku kenal, tanpa apa-apa. Sedangkan orang India belum semuanya simpati kepada orang-orang dari negeriku.
Tiba-tiba aku merindukan Ibu, lalu menangis.
Kau sungguh ingin tahu bagaimana kisahku selanjutnya di negeri orang? Cobalah untuk menonton film berjudul Bajrangi Bhaijaan. Ia disutradarai oleh Kabir Khan, dan telah dirilis di seluruh dunia pada 17 Juli 2015 lalu.
Percayalah, itu adalah film yang sederhana saja. Bukan film yang kaku, ada populer-populernya juga. Sepanjang film itu, aku hanya harus menghafalkan skenario pendek sekali, "Ma..maaan.. Jai Sri Ram!" Namun aku mengajakmu merenungkan kembali apa itu berkehidupan.
Tentu aku tak bisa menolak gagasan yang telah mapan; nasionalisme. Kau bisa melihat bagaimana ekspresiku ketika tim cricket Pakistan berhasil mengalahkan tim dari India. Lihat, aku bersorak tanpa suara, tepat di tengah-tengah warga India. Mungkinkah itu nasionalisme? Atau hanya keriangan perempuan kecil saja? Teman, nasionalisme adalah adalah sebuah ideologi modern. Sedangkan berkehidupan, ia ada sejak permulaan keberadaan kehidupan itu sendiri.
Agama kami mengajarkan bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Aku kira, seorang penganut agama Hindu yang taat seperti Bajrangi Bhaijaan pun, ia akan mengamininya.
Di sanalah aku akhirnya, berdiri di atas tanah Delhi, tempat dimana doa-doa bertaburan. Kata orang Hindu, niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, tak peduli seperti apa sulitnya rintangan yang harus kau hadapi. Jika menurut Islam, ini namanya Nawaitu Lillahi Ta'ala.
Hindustan, Pakistan, aku mencintai kalian sebab aku warga dunia.
Salam dari aku, Shahida, atau Munni, atau kau bisa memanggil namaku yang sebenarnya, Harshaali Malhotra.
Jai Sri Ram!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar