Minggu, 20 September 2015

Tentang Becak di Surabaya Tahun 1984

Minggu, 20 September 2015

Karangan Khusus Becak

Saya menjumpai karangan khusus becak Surabaya ini di majalah Liberty --Majalah Mingguan Jawa Timur-- No. 1603 Tanggal 23 Juni 1984. Karangan khusus becak ini berjudul; Tak Lagi Ada Putih dan Biru. Berikut akan saya tuliskan kembali untuk Anda, semoga bermanfaat. RZ Hakim.

Sesungguhnya kalau tak banyak pertimbangan, dua hari pun beres membersihkan becak dari jalan-jalan raya. Tapi masalahnya bukan hanya membersihkan becak untuk sekedar menghapus keruwetan lalu lintas. Dikemanakan sekian puluh ribu orang pengemudi becak itu bila digusur dari tempat mencari kehidupannya, sedang lapangan kerja lain belum tersedia sebagai penggantinya. Berikut ini liputan team Liberty tentang becak di Surabaya.

Sampai November 1983, becak resmi, berdasarkan STNK becak berlaku tiga tahun itu, di Surabaya tercatat 42.775 buah. Terdiri dari 29.875 becak siang dan 12.900 becak malam. Susut sebanyak 7.379 becak dibanding tahun sebelumnya. Kemerosotan itu antara lain disebabkan, para pengemudi becak pindah profesi.

Susutnya jumlah becak itu memang tak hanya sang pengemudi sudah pindah profesi, tapi juga karena tidak didaftarkan lagi oleh pemiliknya. Yang tak didaftarkan lagi ini dinyatakan becak mati. Kalau pun masih dioperasikan, termasuk becak liar, yang bisa jadi sasaran operasi pihak Polantas. "Tak kurang dari 3.600 becak terjaring dalam operasi tahun 1977/1978," kata Moesrin. Sejak itu sampai sekarang memang belum diadakan operasi becak lagi. "Sementara ini kami hanya bertindak selektif," lanjut Moesrin. Artinya, bagi becak yang tak dilengkapi surat-suratnya, tak bisa diambil jika kena operasi. Sedang bagi pengemudi becak yang tak punya SIM atau karena melakukan pelanggaran lalu lintas diajukan ke pengadilan untuk perkara sumir.


SIANG MALAM. Sebelum ini ditetapkan ada becak siang dan malam. Seperti biasa diawali dengan kegelisahan sementara di kalangan pengemudi becak. Lalu peraturannya berjalan sesuai rencana. Hingga kemudian beberapa bulan terakhir ini, muncul akal baru. Mengecat becak dengan warna biru dan putih, hingga seakan syah untuk beroperasi siang dan malam. Toh tak ada sangsi.

MENYUSUTKAN jumlah becak itu memang sudah diprogramkan oleh Pemda Surabaya. Pada tahun 1973 Walikotamadya Surabaya mengeluarkan larangan untuk memproduksi becak baru yang berlaku sampai sekarang. Sementara pihak Polantas juga tidak mengeluarkan lagi STNK becak baru sejak tahun 1979. "Hanya melayani perpanjangan saja," tutur Moesrin. Dengan bekerjasama antara Pemda dengan Polantas terbentuklah Paguyuban Pengemudi Becak Surabaya, yang bertujuan membina pengemudi becak dalam hal bertertib lalu lintas, disamping memacu mereka untuk beralih profesi, misalnya menjadi pengemudi kendaraan bermotor atau yang lain, bagi peningkatan hidup mereka sendiri.

Dipermasalahkan bertertib lalu lintas di kalangan para pengemudi becak karena minimnya kesadaran mereka akan hal ini. "Tak jarang mereka hanya menurut maunya sendiri, sekalipun punya SIM," kata KASI becak Polantas itu. Di samping mangkal seenaknya, mereka tak segan-segan nyasak, melawan arus, sambung Moesrin lagi. "Kami gugah mereka untuk ikut menjaga kewibawaan hukum," katanya.

Pengemudi becak musiman boleh dikata cenderung tak patuh pada peraturan dibanding pengemudi becak permanen. Menurut kasi becak Polantas itu, kebanyakan yang musiman itu adalah para petani yang mengisi kekosongan sementara waktu dan mencari pekerjaan yang mudah diperolehnya dengan menjadi tukang becak di Surabaya. SIM bagi mereka ini hanya berlaku satu tahun mengingat tak tetapnya mereka tinggal di Surabaya. Diakui oleh Moesrin, memang belum ada ketentuan yang mempersyaratkan 'umur becak' sebagai salah satu cara menyusutkan jumlah becak, misalnya 'sesudah sekian tahun' umur becak tak boleh dioperasikan sebagai kendaraan umum. Tak kurang harapan Polantas kepada para pemilik becak, dalam kaitan ketertiban lalu lintas tak hanya percaya begitu saja tanpa menilai sang pengemudi yang menyewa becaknya itu.

Setidaknya mengetahui apakah mereka yang menyewa becaknya itu telah memiliki SIM atau belum. Dan becak jangan boleh dilepaskan jika yang menyewa tak punya SIM. Juga bagi becak yang beroperasi malam, jangan sampai tak dilengkapi dengan lampu, yang selama ini sering diabaikan. Begitu harapan Letda Pol. J Moesrin.

Bercampur baurnya warna becak, yang mengaburkan ketentuan becak siang dan becak malam, diakui Moesrin pula, sementara ini ada yang lolos dari pengamatan pihaknya. "Bukan tak ada sangsi untuk mereka," tegasnya. Mencegah membludaknya becak menyesaki jalan-jalan raya tak hanya membaginya menjadi becak siang dan becak malam, juga perlu menciptakan kawasan 'daerah bebas becak' di Surabaya. Jalan-jalan yang dinyatakan bebas becak adalah Tunjungan, Embong Malang, Blauran, Pahlawan, Gemblongan, Yos Sudarso, Panglima Sudirman, Raya Darmo, dan Raya Wonokromo.


KELUARGA. Tak saja untuk angkutan penumpang. Becak juga merupakan alat angkut barang yang sangat dirasakan peranannya dalam hal yang tak bisa dipenuhi oleh kendaraan angkutan lainnya. Bila perlu jadi angkutan keluarga.

Munculnya becak di Surabaya sejak tahun 1942 itu, pada masa pendudukan Jepang, kehadirannya tak pernah terputus hingga sekarang. Jenis kendaraan umum terkenal dengan olokan 'berbensin nasi' itu merupakan indikator salah satu wujud kemiskinan masyarakat kita. Memang tak bisa dihapus begitu saja hanya demi tertib lalu lintas dan gengsi serta martabat bangsa, karena secara riel becak masih dibutuhkan pengemudinya untuk mempertahankan hidup. Sampai dengan 22 Mei 1978 lalu, saat didirikannya Paguyuban Pengemudi Becak Surabaya tak kurang dari 100 ribu becak yang mencatatkan diri sebagai anggotanya. "Sekarang tinggal 60 ribu orang anggota," kata ketua paguyuban, Soegiran. Menurut Soegiran, di antara yang beralih profesi itu ada yang menjadi sopir helicak, sopir bemo, sopir bus, dan buka usaha apa saja yang meningkatkan taraf kehidupannya. Tapi tak kurang yang menjadi tukang tambal ban atau sejenis itu. Walaupun pekerjaan terakhir ini dari segi martabat lebih manusiawi, tapi tak jarang di antaranya justru berpenghasilan lebih rendah ketimbang menggenjot becak dulu. (A. Muis, A. Kariem, Dicky).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudut Kalisat © 2014