Selasa, 03 September 2013

Sekeping Sejarah Desa Sumber Jeruk

Selasa, 03 September 2013
Oleh RZ Hakim

Jadi ceritanya, pada malam 31 Agustus 2013 saya berkesempatan ngobrol dengan Bapak Husen, seorang Kepala Kampung di desa Glagahwero, Kalisat. Ngobrolnya di rumah keluarga Cak Har di Desa Sumber Jeruk, dekat dengan Glagahwero.

Pak Kampung mengawali obrolan dengan kalimat, "Saya ini penggemar ludruk Mas. Sayang sekarang di Kalisat sudah tidak ada ludruk."

Dari ludruk, berpindah tema ke sejarah Sumber Jeruk tempo dulu. Pak Kampung membenarkan asal usul Sumber Jeruk yang dimulai dengan kata Sumber Jeru, selaras dengan nama wilayah Kalisat atau Kali Sat. Tapi beliau sedikit mengoreksi.


Saya dan Bapak Husen, Dokumentasi 31 Agustus 2013

"Begini Mas Hakim, jadi dulu yang tinggal di daerah ini adalah orang-orang berbahasa Osing. Mereka menyebut tempat ini dengan nama Sumber Jerau. Seiring berlalunya waktu dan datangnya orang Eropa ke wilayah Sumber Jerau, perubahan pun tak terelakkan. Apalagi saat mereka membangun usaha mbako yang mula-mula didirikan di Sukowono. Mereka membawa serta orang-orang Madura sebagai tenaga kerja. Terjadilah gesekan. Lidah Madura sulit untuk mengucapkan Sumber Jerau, jadinya ya seperti sekarang ini. Sumber Jeruk."

"Apakah di sini masih tertinggal orang-orang Osing Pak?"

Lalu Pak Kampung menggeleng pelan. "Sepertinya tidak ada Mas. Kecuali di desa Biting."

"Oh ya Pak, bicara tentang Biting, apa benar nama itu dimulai dengan Benteng? Mengingat dulu di sana pernah ditemukan barang-barang era Majapahit."

"Tidak Mas, kami punya versi yang lain," kata Pak Kampung. Ternyata nama Biting diambil dari arti harfiah biting . Dalam Bahasa Jawa artinya lidi. Dari apa yang dituturkan Pak Kampung, saya jadi tahu bahwa di sana dulu tempatnya orang-orang yang pandai membuat ranjau dari lidi.

"Meskipun hanya terbuat dari lidi, tetap saja mematikan Mas. Setidaknya bisa memperlambat laju pergerakan musuh." Kemudian Pak kampung coba menggambarkan proses pembuatan ranjau lidi, hingga cara meletakkannya di tanah. Beliau mewarisi kisah itu dari Mbahnya.

Sambil mendengarkan cerita dari Pak kampung, sebentar-sebentar saya menyeruput kopi buatan istri Cak Har. Hmmm, nikmat sekali.

Berbeda dengan apa yang saya lakukan, Pak kampung sebentar-sebentar memutus ceritanya. Tangannya sibuk meraih hape, menerima telepon, atau sekedar membaca sms.

"Sibuk ya Pak?"

"Iya Mas, sejak tadi sore. Tadi kan ada karnaval rakyat --Kalisat, 31 Agustus 2013. Hiburan itu dilanjut malam ini, ada pementasan jaranan di dekat Pom bensin Mayang."

"Apa di Kalisat sudah sejak lama mengenal kesenian jaranan?

"Tidak juga. Ini trend baru Mas, tapi masyarakat antusias untuk menikmatinya," ujar Pak Kampung Glagahwero.

Lalu kami kembali tenggelam dalam kisah desa Sumber Jerau tempo dulu. Pak Kampung menyebutkan banyak nama-nama, mulai Tresno Pati hingga Ki Udan Panas. Kedua tokoh lokal ini namanya diabadikan menjadi nama jalan di Desa Sumber Jeruk.

Melihat latar kisah yang dipaparkan, tebakan saya, kedua tokoh di atas hidup di era Majapahit ketika mendekati kehancurannya.

Tresno Pati hingga Ki Udan Panas

Catatan ini berlanjut pada kisah Tresno Pati hingga Ki Udan Panas, dari data lapang yang saya peroleh pada 2 September 2013.

Hari sudah sore ketika saya dan Prit meluncur ke desa Sumber Jeruk - Kalisat (2 September 2013). Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit, maka sampailah di tujuan. Sesampainya di sana, Cak Har menunggu kami di tepi jalan. Tangannya penuh dengan noda oli tap-tapan. Oh, ternyata dia sedang service vespa. Pantesan..

Tak menunggu waktu lama, setelah parkir sepeda dan makan krupuk opak, kami segera aderek menuju makam Tresnopati dan Ki Udan Panas.


Makam Tresnopati dan Ki Udan Panas - Dokumentasi 2 September 2013

Letaknya yang tepat di balik gumuk besar, membuat lokasi pemakaman ini terlihat rimbun. Hamparan nisan dimana-mana.

"Letaknya dimana Cak?"

"Itu, yang di atas."

Cak Har mengatakan itu sambil jari telunjuk tangan kanannya menunjuk ke sebuah cungkup di atas gundukan tanah yang lumayan tinggi. Ada terlihat tangga menuju ke sana. Tepat di tangga yang pertama, ada sebuah gerbang bertuliskan Assalamualaikum Ya Ahli Kubur. Keren, tempat itu mengingatkan saya pada gerbang shaolin.

Akhirnya sampai juga kami di depan cungkup. Ada ruangan beratap genting dengan ukuran kira-kira 3 x 4 meter. Di dalamnya terdapat dua nisan. Kata Cak Har, yang di dalam itu adalah pesarean Tresnopati dan iistri. Istri Tresnopati sendiri bernama Nyi Sadima.

Aha, nama Nyi Sadima mengingatkan saya pada tokoh novel karya G. Francis yang muncul tahun 1898, Nyi Dasima. Tapi mereka jelas berbeda. Dikisahkan dalam novel, Nyi Dasima berlatar keluarga Jawa. Sedangkan istri Tresnopati, yaitu Nyi Sadima, adalah Putri dari seorang tokoh asal Batu Ampar sebelah barat. Dan itu letaknya ada di Madura. Setidaknya, itu yang saya dengar dari Bapak Husen, kepala kampung Glagahwero Kalisat.

Ohya hampir lupa. Kata Pak Kampung, Nyi Sadima masih sanak famili dari Bujuk Lattong. Entah siapa dan darimana asal Bujuk Lattong tersebut, saya lupa menanyakannya.


Dokumentasi 2 September 2013

Keterangan foto:

Tepat di samping cungkup ada bangunan yang hampir serupa dengan cungkup. Di sana sudah tersedia tikar dari daun pandan. Tempat itu dimanfaatkan untuk berteduh dari udan dan panas, juga untuk tempatnya orang mengaji di malam Jum'at Manis. Itu kata Cak Har. Saya sendiri belum pernah ke sana malam-malam, apalagi malam Jum'at.

Oke, saya lanjutkan.

Di luar cungkup, ada empat nisan besar. Orang-orang desa Sumber Jeruk meyakini bahwa itu adalah makam Ki Udan Panas beserta istri, dan makam Singojoyo beserta istri. Singojoyo sendiri adalah menantu dari Tresnopati. Sayang, tidak ada yang tahu siapakah nama putri Tresnopati yang dipersunting Singojoyo. Begitu juga dengan nama istri Ki Udan Panas, tidak ada yang mengerti.

Berbeda dengan anak turun dari Ki Udan Panas, saya masih bisa melacaknya. Dikabarkan pada saya --oleh Pak Kampung-- bahwa Ki Udan Panas adalah utusan dari Kerajaan Blambangan yang ditempatkan di Sumber Jeruk (dan sekitarnya?).

Masih menurut Bapak Husen. Ki Udan Panas memiliki tiga orang keturunan yang masing-masing bernama Raden Setiban, Raden Gede Isa, dan Raden Senisa.

Jika melihat posisi nisan Tresnopati yang ada di dalam cungkup sementara nisan Ki Udan Panas ada tepat di sisi luar bagian depan cungkup, jelas Tresnopati adalah atasan Ki Udan Panas. Ibaratnya, Tresnopati adalah kades, sementara Ki Udan Panas adalah cariknya.

Setelah puas berlama-lama di sekitar cungkup, akhirnya kami melangkah pulang. Hari sudah semakin menuju gelap.

Sudut Kalisat © 2014