Senin, 28 Desember 2015

Perihal Memelihara Hewan di Kalisat

Senin, 28 Desember 2015
Oleh RZ Hakim

Dalam kebudayaan masyarakat Kalisat telah dikenal budaya memelihara hewan yaitu hewan ternak. Macam-macam hewan ternak yang dipelihara, mulai dari sapi, kambing, hingga ayam kampung. Jika dilihat dari foto Kalisat tempo dulu, di tahun 1930an di sini telah ada peternakan sapi perah. Ia adalah sebuah peternakan besar, jauh sebelum di Rembangan ada peternakan yang sama. Hingga hari ini, setiap hari Rabu di Kalisat digelar sebuah pasar rakyat yaitu pasar sapi --bukan sapi perah. Selain sapi, di sana juga ada hewan-hewan lain seperti kambing.

Mengenai memelihara ternak ayam kampung, setidaknya dalam satu RT terdapat satu keluarga yang memeliharanya. Kebiasaan ini didukung oleh kondisi lingkungan. Tak ada masyarakat yang keberatan jika ada tetangganya memelihara ayam kampung. Alasan lain, karena rata-rata hunian masyarakat Kalisat memiliki halaman yang cukup untuk dijadikan ruang bermain ayam kampung. Kecuali tentu saja bagi mereka yang tinggal di sebuah perumahan dan cluster. Untuk dapat memelihara ayam kampung, mereka tentu perlu memikirkan space kandang serta bagaimana sebaiknya memelihara aroma agar tidak mengganggu tetangga kiri kanan.

Warga Kalisat memiliki sejarah yang panjang dengan ayam kampung.

Di Kalisat, agama paling dominan --menurut pengamatan secara acak-- adalah agama Islam. Ia adalah sebuah agama samawi yang dalam kitab sucinya ada beberapa kali ayat yang menyebutkan tentang binatang ternak. Dihalalkan bagi umat Islam memelihara hewan ternak untuk diperlakukan dengan baik serta diambil manfaatnya. Perihal keyakinan ini, tentu juga menjadi pengaruh mengapa di Kalisat mudah dijumpai orang-orang yang memelihara hewan ternak.

Gara-gara Ada Anjing Tak Diundang, Mas Supri Membeli Bedil

Tetangga terdekat saya adalah keluarga Mas Supri. Ia memiliki sebuah kandang yang besar di belakang rumah kontrakan kami. Itu digunakan untuk memelihara ayam potong. Usaha Mas Supri ini bukan usaha mandiri, melainkan kemitraan. Suatu malam, ayam-ayam potong peliharaannya gelisah. Usut punya usut, di hari yang lain ditemukan jawaban mengapa ayam-ayamnya gelisah. Ternyata ada anjing melintas. Entah anjing siapakah itu. Asumsi yang berkembang, bisa jadi anjing itu adalah anjing peliharaan maling yang sengaja lewat sana untuk mengamati situasi. Tak menunggu waktu lama, kurang dari satu bulan kemudian, Mas Supri merogoh kocek sebesar dua juta rupiah untuk membeli sebuah senapan angin rakitan sendiri. Malam-malam selanjutnya, Mas Supri selalu siaga dengan senapan angin tersebut, berharap ada anjing lewat dan ia bisa menembaknya.

Mas Supri bukan tanpa alasan mengambil langkah tersebut. Di masa yang lalu, jauh sebelum saya kontrak rumah di Kalisat, ia pernah disamperin oleh maling (lebih dari satu orang) yang membawa anjing. Mas Supri hanya ingin keluarganya terlindungi. Juga, tentu saja ayam-ayam peliharaannya.

Di hari yang lain, iseng-iseng saya meminjam senapan angin milik Mas Supri dan bergaya di depan rumah kontrakan, pada bulan September 2015. Ini hasilnya.


Pada Bulan September 2015

Membaca kisah di atas, tahulah kita bahwa kalisat tak memiliki budaya memelihara anjing.

Hewan-hewan peliharaan selain ternak (untuk kesenangan semata) yang paling sering saya jumpai adalah burung berkicau. Aneka ragam burung peliharaan yang mereka rawat dalam sangkar. Yang paling mudah dijumpai adalah jenis Punglor, Cicak Ijo, Trucuk, Kacer, dan Cendet atau Das.

Kucing Peliharaan

Fenomena naik daunnya kucing sebagai peliharaan juga menjangkiti Kalisat. Di sini dikenal pula kucing anggora, siam, dan kucing hasil persilangan. Kucing lokal yang dipelihara dengan baik juga menjadi tren. Ia diberi makan dengan makanan yang baik --biasanya beli makanan kucing yang sudah dalam kemasan, kesehatan mereka diperhatikan, dan disediakan tempat tinggal yang layak. Tidak seperti anjing yang mengalami nasib buruk --tidak pernah dipeluk atau dibiarkan masuk ke dalam rumah, nasib kucing yang dipelihara di kalisat rata-rata jauh lebih mulia. Ia lagi-lagi perkara kultur dan agama. Dalam agama Islam sering dikisahkan jika Nabi Muhammad SAW menyayangi kucing. Dikisahkan juga bahwa kucing bukan jenis hewan yang najis.

Hewan-hewan lain yang menjadi tren untuk dipelihara (di Kalisat) adalah iguana, musang, semut jepang, kadal non endemik, elang, ular, dan lain-lain.

Para Pemilik Hewan Peliharaan

Jika kita lacak, di masa yang lalu orang-orang yang memelihara hewan untuk kesenangan (bukan hewan ternak) hanyalah mereka yang memiliki waktu luang, memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata, punya pengaruh di tengah-tengah masyarakat, dan seringkali adalah orang-orang yang dihinggapi rasa kesepian.

Memelihara hewan peliharaan menunjukkan pemiliknya mempunyai sumber daya yang cukup untuk hewan kesayangannya, selain untuk dirinya sendiri. Misalnya Anda memelihara kucing, maka Anda butuh mengeluarkan uang secara berkala. Uang itu digunakan untuk biaya yang paling pokok yaitu membeli makan. Meskipun Anda tidak membeli makanan kucing buatan pabrik, Anda tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan dari jenis yang lain. Ikan laut seperti tongkol, misalnya. Tentu ada biaya insidental yang juga harus dipersiapkan. Katakanlah ketika kucing peliharaan kita jatuh sakit, kita harus membawanya ke dokter hewan dan membelikannya obat. Ini belum perhitungan yang lain-lain seperti biaya pembuatan (dan perbaikan) kandang.

Jadi, ketika saya melihat ada orang Kalisat memiliki hewan peliharaan untuk kesenangan, secara naluriah saya akan memperkirakan bahwa si empunya hewan peliharaan tersebut adalah pribadi yang mandiri, yang telah selesai dengan urusan perutnya. Namun sayang sekali, yang saya jumpai di sini lebih banyak kepada mereka yang sama sekali belum mandiri secara ekonomi.

Peran Budaya dan Pengaruh Media

Dalam urusan dinamika sosial semakin banyaknya orang Kalisat yang memelihara hewan untuk kesenangan, budaya tentu memiliki peran. Ia berperan pula dalam masalah mana hewan yang sebaiknya dipelihara dan mana yang sebaiknya dihindari. Sebagai contoh kasus, seperti kisah anjing dan kucing di atas. Lebih mudah memelihara kucing, apapun jenisnya, sebab masyarakat kalisat telah memiliki modal sosial. Jauh-jauh hari, sebelum ada tren memelihara kucing dengan model perawatan seperti yang kita kenal sekarang, orang-orang Kalisat telah sering melihat kucing kampung di sekitar rumahnya. Terlebih, ketika sedang berada di pasar tradisional atau di sebuah rumah sakit.

Anjing tentu juga dipelihara dengan baik di Kalisat, namun jumlahnya sangat sedikit. Biasanya dipelihara oleh warga GKJW, warga pendatang, atau WNI keturunan Tionghoa. Masyarakat penganut agama lain yang hidup berdampingan dengan mereka tentu tak ada masalah, sebab mereka telah terbiasa.

Adapun pengaruh media (terutama media televisi sebab masyarakat Kalisat secara umum lebih suka menonton/mendengar daripada membaca) selama lima tahun terakhir sangat mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Kalisat. Belum lagi tentang mudahnya akses informasi yang cepat lewat jejaring sosial di dunia maya.

Pengaruh lain yang juga tak kalah dahsyatnya adalah lingkungan. Jadi, misalnya ada satu orang memelihara musang (meskipun pada kenyataannya orang Kalisat telah terbiasa melihat musang) maka yang lain juga ingin memelihara hewan yang sama. Ini dinamakan penularan sosial.

Mereka yang menjadi inisiator penularan sosial adalah para pemuda kelahiran tahun 1990an yang memiliki pengalaman hijrah; baik karena alasan kuliah/sekolah maupun hijrah karena unsur ekonomi. Dari merekalah seringkali penularan sosial 'memelihara binatang' ini dimulai dan menyebar.


Galeri Satwa di Kedai Lecang Kalisat, 28 Desember 2015. Foto oleh Lukman

Setelah membaca runtutan catatan di atas, tahulah kita mengapa pada malam ini di Kedai Lecang Kalisat teman-teman muda menyelenggarakan pertemuan antar sesama kawan pencinta hewan peliharaan untuk kesenangan. Mereka menamainya Galeri Satwa.

Separuh dari mereka yang berkumpul di Kedai Lecang adalah teman-teman yang kini masih tercatat sebagai mahasiswa di kampus luar Kalisat --sebab di Kalisat masih belum ada Universitas/Institut/Sekolah Tinggi. Ketika mereka pulang ke Kalisat (rata-rata kos atau kontrak, sebab jarak antara Kalisat-wilayah kampus terbilang tanggung, 16 kilometer) maka mereka mulai mengenalkan kebiasaan baru tersebut kepada teman-teman masa kecilnya yang memilih untuk tinggal saja di Kalisat, setamat SMA. Itu contoh kasus jika model 'penularan sosial' bukan dari media, melainkan antar teman.

Begitulah, teman-teman muda di Kalisat sedang membentuk kembali kebudayaannya; dengan cara mengumpulkan puing-puing budaya dan segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat Kalisat --dan sekitarnya, serta denyut budaya Indonesia dan dunia. Ia tentu dipengaruhi pula oleh tingkat pengetahuan --meliputi sistem ide atau gagasan-- mereka di hari ini.

Rabu, 23 Desember 2015

Mengenal Mas Krisna

Rabu, 23 Desember 2015
Oleh RZ Hakim

KRISNA KURNIAWAN. Namanya sudah saya dengar pada akhir bulan Maret 2015, satu bulan sebelum saya dan Hana memutuskan untuk kontrak rumah di Kalisat. Saat itu kami diantarkan oleh Mas Mustafa ke rumah Pakde Sugeng Sugiarto, untuk mendengar dongeng tentang Kalisat tempo dulu. Di waktu itulah kami dengar selentingan dari Mas Mustafa, "Sebenarnya lebih enak menjumpai Krisna, mungkin dia tahu tentang silsilah keluarga, dimulai dari Kakeknya dari pihak Bapak."

Di waktu yang lain, tepatnya pada 4 April 2015, ada kabar baik dari Mas Bajil. Ia bilang jika baru saja memotret ulang selembar foto keluarga Karjodimoeljo --Kakek Krisna Kurniawan-- atas izin ahli waris. Hari itu juga saya menunggangi motor dari Patrang ke Kalisat.

Kabar lain yang cukup mencengangkan, bahwa keluarga Krisna Kurniawan masih menyimpan selembar foto keluarga dengan latar belakang seekor harimau jawa yang ada di dalam kandang kerangkeng. Ia semakin membuat saya penasaran. Kata Frans Sandi, "Biasanya Mas Sap sering mampir ke Kedai." Orang yang Frans maksud adalah kakak kandung Krisna Kurniawan. Namun hingga saya memutuskan untuk kontrak rumah --pada 20 April 2015-- saya belum mengenal Krisna Kurniawan maupun kakak kandungnya.

Hari berlalu. Memasuki bulan keenam masa kontrak rumah, barulah kami berjumpa.

Saat itu malam hari, 8 Oktober 2015. Kami baru pulang dari Lombok, dalam rangka mengikuti acara Jelajah Negeri Tembakau. Di rumah kontrakan kami telah ada Fanggi dan Mas Bajil. Mereka sibuk sekali membuat kostum, sayap-sayap, dan pernik-pernik lainnya. Maklum, Agustus hingga Oktober adalah musim karnaval. Ketika ada rombongan orang-orang menuju rumah kontrakan kami, saya kira mereka sedang ada perlu dengan Mas Bajil. Jadi, saya lanjutkan nongkrong di teras rumah tetangga sebelah, bersama Mas Supri selaku tuan rumah, Pak Adi Wiyono, dan Mas Mustapa. Kami bahkan mengabadikannya dalam sebuah foto meskipun hasilnya tidak maksimal.


Sepulang dari Lombok, 8 Oktober 2015

Sekitar dua puluh menit kemudian, Mas Bajil keluar dan bilang pada saya, "Mas, ini ditunggu sama teman-teman." Barulah saya sadar, ternyata mereka bukan ada perlu ke Mas Bajil, melainkan ke saya.

Mas Krisna tidak datang sendirian, melainkan berempat. Tiga lainnya adalah Mas Roni, Mas Imron Rosidi, serta Mas Imam. Tentu saya senang bisa berkenalan dengan mereka, terlebih Mas Krisna. Namanya telah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya. Di perjumpaan pertama tersebut, kami banyak berdiskusi segala hal mengenai Kalisat. Perihal catatan di blog ini, ada beberapa poin koreksi dari Mas Krisna. Syukurlah.

Krisna Kurniawan adalah bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan (Almarhum) Madiroso (ejaan di KTP Mardiroso, kelahiran 1923) dan Dwi Setiati (1942). Ibunya --Dwi Setiati-- adalah seorang perempuan anggun asal Mojoagung. Pertama kali berjumpa, beliau dalam keadaan sakit. Tujuh belas hari kemudian, ketika saya dan istri sedang ada di Surabaya, ada kabar dari Mas Imron Rosidi bahwa Ibunda Mas Krisna meninggal dunia. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun.

Hari-hari selanjutnya, kami kerap ngopi bersama sambil mendiskusikan hal-hal ringan yang berhubungan dengan Kalisat. Di luar bidang sejarah dan dinamika sosial, Mas Krisna dan teman-temannya menyukai musik. Menyenangkan ketika menikmati saat mereka bikin konser mini di dapur rumah Mas Krisna.

Tentu bahagia sebab bertambah lagi saudara saya di Jember Utara. Terima kasih.

Senin, 21 Desember 2015

Dusun Junggrang

Senin, 21 Desember 2015
Oleh RZ Hakim

Di desa Patempuran kecamatan Kalisat, ada sebuah dusun bernama dusun Junggrang. Di sini tinggal seorang fotografer asal desa Ajung-Kalisat bernama Hendro. Ia mencari penghasilan dengan cara menjadi tukang potret pernikahan, dan atau acara-acara lain.

"Istri saya orang sini. Jadi, di sinilah saya sekarang," kata Hendro dengan bahasa Jawa.
Menurut Hendro, hingga hari ini kearifan masyarakat masih kental terasa. Misal, budaya gotong royong, saling menyapa jika berpapasan, dan masih banyak lagi.

"Di sini, orang-orang terbiasa mandi di sumber. Laki-laki dan perempuan tidak risih jika harus mandi berdekatan. Malah saya yang risih," ujar Hendro sambil terkekeh.

Televisi menjadi hiburan favorit warga dusun Junggrang (baca: junggreng). Pukul delapan malam ke atas, jalanan sudah sepi. Lampu jalan yang dipasang sejak zaman bupati Djalal tidak masuk di dusun ini. Beberapa titik jalan memang sudah terpasang lampu, tapi atas inisiatif masyarakat sendiri.

"Kalau malam, ya selain nonton tivi, kami biasa bertetangga. Nonggo nyeritakno tonggo. Meski orang-orangnya baik, selalu siap sedia dengan suguhan kopi jika ada tetangga berkunjung, namun budaya rasan-rasan masih kental."

Jika tentang kopi, tak ada masalah. Anda bertetangga tujuh kali dalam semalam, maka harus siap pula ngopi tujuh cangkir.

Masih menurut Hendro. Rata-rata penduduk dusun Junggrang dibesarkan dengan bahasa Ibu, bahasa Madura. Bahasa Indonesia dikenalkan lewat pendatang, media, dan sekolah. Orang-orangnya punya karakter keras, termasuk suka bekerja keras. Mereka menghitung pekerjaan dari keringat yang dikeluarkan. Misal, jika harus mencangkul sawah orang dari pagi hingga siang, bayarannya 12.500 rupiah.

"Jadi ketika saya mengajak salah satu dari mereka untuk menemani sesi pemotretan di sebuah pernikahan, mereka heran. Kok saya diberi upah 50.000? Padahal sudah dapat nasi kotak, makan prasmanan dengan lauk yang enak, kerjanya pun cuma duduk-duduk. Keringat tak semengucur ketika alanduk."

Masalah makan, mereka tidak menghitungnya dari gizi. Apapun lauknya, yang penting nasinya banyak.
"Mulanya saya hendak buka toko pracangan di sini. Untuk hasil sampingan. Namun kalau mau buka toko pracangan, modal kita harus berlipat. Soalnya masyarakat di sini terbiasa hutang dulu, bayar ketika mereka telah panen. Atau jika mereka kerja di gudang perkebunan, ya bayarnya saat gajian. Saya tak jadi buka pracangan, modal pas-pasan."

Di dusun Junggrang, masih lestari budaya barter. Beli sesuatu ditukar dengan gabah. "Itu sudah umum di sini, bukan sesuatu yang asing," tambah Hendro.

Para perempuan di dusun Junggrang, sekali tempo mereka suka memperlihatkan keberhasilan suaminya dengan cara memakai perhiasan emas berjubel. kadang di tangannya ada empat gelang emas besar-besar. Itu sering terjadi ketika musim tembakau sukses. Jika beras tidak untuk dijual, mereka menyimpannya sendiri. Bagi yang tak punya sawah, membantu yang punya sawah. Atau portal terakhir adalah 'ngasaq' alias memungut butir-butir padi sisa panen.

"Jika Anda tinggal di sini, niat baik Anda tak selalu berbuah baik. Misal, Anda bagi-bagi beras ke orang-orang Junggrang, atau barang dalam bentuk lain. Bisa jadi Anda dianggap menghina. Barang ada yang dikembalikan, ada pula yang tidak, namun mereka nggrundel di belakang Anda. Itu karena masalah harga diri. Mereka menghargai dirinya sendiri sangat tinggi. Bahkan secara logika, harga diri mereka terlampau tinggi. Itulah budaya yang terbentuk. Hanya 'ilmu pengetahuan' satu-satunya harapan untuk membuka cakrawala kehidupan, hanya agar mereka kuat dalam menghadapi perubahan dan kejutan teknologi."

Namun gempuran televisi (terutama pada generasi muda) sangat dahsyat. Mereka seolah-olah ingin menjadi seperti anak Jakarta. Sementara tradisi dan budaya di lingkungannya berjalan statis. Semuanya menjadi rancu, kabur.

Misalnya ada putra-putri terbaik yang lahir dari desa ini, yang memiliki nilai baik di sekolahnya, yang berprestasi, ketika tamat sekolah mereka lebih memilih untuk hidup di tempat lain. Jakarta misalnya. Mungkin mereka berpikir tentang relasi, kesempatan, dan perputaran mata uang. Kecerdasannya menjadi tak berdampak banyak pada tempat kelahirannya.

Jika ditengok dari sisi sejarah, tentu ada kisah mengapa dusun ini bernama Junggrang, dengan desa bernama Patempuran.
Sudut Kalisat © 2014