Kamis, 26 Desember 2013

Makam Buyut Madin di Dusun Grugul

Kamis, 26 Desember 2013
Oleh RZ Hakim

Tinggal di desa dan tua bersama rupanya tak hanya ada di karya sastra belaka. Banyak orang-orang yang telah melakoninya, diantaranya adalah pasangan Kakek Kamsih dan Nenek Buana. Oleh masyarakat lingkungan sekitar, mereka berdua dikenal dengan nama Mbah Wa. Mereka dipanggil Wa, sebab putri sulung mereka bernama Seniwati, dengan panggilan Wa.


Bersama Kakek Kamsih - Dokumentasi 25 Desember 2013

Kakek Kamsih dilahirkan pada tahun 1936. Ia pernah mengabdi sebagai Hansip pada 1957 hingga 1970, melewati 5 petinggi desa. Di tahun 1970, Kakek memutuskan untuk berhenti sebagai Hansip, dan membuka warung di atas tanah milik saudaranya, hingga saat ini. Warung mereka kecil saja, menyatu dengan rumah. Tepat di belakang rumah mereka, menjulang sebuah gumuk atau bukit kecil. Pantas jika sumur dan sungai kecil di sana airnya terasa segar, jauh lebih segar dibanding air kemasan.

Lokasi kediaman mereka ada di Dusun Grugul, dusun yang berbatasan langsung dengan desa Patempuran dan desa Sumber Kalong, Kalisat.


Nenek Buana

Berbeda dengan Kakek Kamsih, Nenek Buana tidak mengerti tahun berapakah ia dilahirkan. Namun dari perempuan berparas bijak ini, saya mendapati sebuah cerita, bahwa di puncak gumuk di belakang rumah mereka, ada terdapat sebuah makam kuno.

"Itu makamnya Buyut Madin Nak, yang mbabat Dusun Grugul dan sekitarnya."

Makam Buyut Madin atau Mahin kini sudah diberi cungkup, semacam rumah kecil. Makam itu biasanya ramai dikunjungi dan dibersihkan oleh warga ketika menjelang Idul Fitri. Sembari menyiapkan kopi dan makanan untuk kami, Nenek aktif bercerita tentang gumuk di belakang warungnya.

“Boleh saya naik ke atas gumuk, Nek?”

Demi mendengar kata-kata yang saya lontarkan, perempuan sepuh itu tersenyum mengiyakan. Begitulah selanjutnya. Seusai makan, saya melangkahkan kaki menuju makam Buyut Madin --sebagian ada yang menyebutnya gumuk Madrin. Saya tidak sendirian melainkan ditemani oleh dua rekan muda, Leker dan Nendes. Sesampainya di sana, tampak sebuah cungkup yang dikelilingi oleh habitat bambu. Rimbun sekali. Entah bagaimana suasananya jika di malam hari.


Makan Buyut Madin di Dusun Grugul - Dokumentasi 25 Desember 2013

Tadinya makam Buyut Madin hanya dihiasi oleh pondok dari bambu saja. Tidak ada dinding di keempat sisinya. Barulah kemudian masyarakat di sekitar gumuk saling bahu membahu membuatkan cungkup untuk makam ini. Biaya materialnya didapat dari iuran seikhlasnya, sedang pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Direncanakan juga jika jalan menuju makam juga hendak dipaving, tapi urung. Biayanya terlalu mahal.

Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling cungkup. Di sana ada saya lihat Al Quran, dua batang rokok kretek filter yang sudah berwarna putih mangkak, nisan yang ditutupi kain berwarna putih, kelambu di dalam cungkup untuk menutupi makam, dan tumpukan piring seng yang belum dicuci. Tebakan saya, tumpukan piring tersebut sekitar 40 - 50 biji. Entah, mungkin baru-baru ini habis ada semacam doa bersama. Hal ini lupa saya tanyakan.

Lalu saya turun menuju ke warung, nyruput kopi, dan kembali ngobrol bersama mereka, Kakek Kamsih dan Nenek Buana.

Pasangan sepuh ini dikaruniai dua buah hati. Yang nomor satu putri, bernama Seniwati, panggilannya Wa. Itulah kenapa mereka juga biasa dipanggil Mbah Wa. Yang bungsu laki-laki, bernama Kusminardi. Dari keduanya, mereka mendapatkan cucu-cucu tersayang yang sekali waktu mengunjunginya.

Mereka menua bersama, saling menjadi teman bicara, menghabiskan sisa usia di kaki gumuk yang tak seberapa tinggi, yang di atasnya terdapat makam Buyut Madin, di sebuah dusun bernama Grugul, Desa Sukoreno, Kecamatan Kalisat, Jember.

Menua bersama di kaki Gumuk, alangkah indahnya.

Sedikit Tambahan

Catatan ini sebenarnya adalah lanjutan dari catatan sebelumnya yang berjudul; Kalisat Punya Banyak Puncak Gumuk.

Rabu, 25 Desember 2013

Kalisat Punya Banyak Puncak Gumuk

Rabu, 25 Desember 2013
Oleh RZ Hakim

Tadi sore saya mengajak Prit jalan-jalan ke Kalisat, Jember Utara. Di sini kami mengunjungi beberapa gumuk, dua diantaranya sempat terdaki. Salah satu dari gumuk itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman sedulur Chinese Indonesian. Jalan menuju ke puncak tertata rapi dan berpaving.

Dulu semua orang bebas masuk dan mendaki hingga ke puncak gumuk. Hanya zona-zona makamnya saja yang dipagari. Namun suatu hari ada terjadi kecelakaan. Saya dengar kabar dari warga sekitar gumuk, dulu ada dua orang anak usia pelajar yang turun ke bawah naik motor. Tak disangka rem motornya nge-slong. Lalu mereka terjatuh. Kisah naas itu menyebabkan pengurus gumuk membuat portal pintu masuk. Orang semakin sulit untuk mendaki ke puncak gumuk.


Suasana makam overseas Chinese di puncak gumuk di Kalisat

Dari puncak, kita bisa memandang Taman Makam Pahlawan Kalisat yang berada tepat di bawah gumuk, anak-anak kecil yang bermain bola di samping TMP, dan juga Argopuro di kejauhan sana.


Dokumentasi 25 Desember 2013

"Indah ya Mas," ujar Prit.

Iya, indah sekali. Hawanya segar. Yang lebih terasa indah, fungsi gumuk sebagai pemecah angin, serapan air, ruang hidup keanekaragaman hayati, dan sebagainya, masih terjaga.

Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan, ada kereta api lewat, jurusan Banyuwangi. Saya sibuk merogoh hape di saku, ingin lekas-lekas memotretnya. Sayangnya saya kalah cepat.

Ingat kereta api, ingat pula kisah Cak Har. Ia pernah bercerita tentang Gumuk Marada di Sumber Jeruk yang dulu pernah direncanakan oleh Belanda akan dibuatkan terowongan tembus, membelah gumuk. Untuk jalur jurusan Sumber Jeruk - Kalisat. Rencana itu tidak jadi dieksekusi.

Foto di bawah ini diambil lima bulan yang lalu, ketika saya dan istri, serta Cak Har dan putrinya, satu lagi seorang kawan bernama Nan, kami mendaki Puncak Marada.


Di Puncak Marada bersama Cak Har - Dokumentasi 14 Juli 2013

Kata Cak Har, setelah Belanda mencoba membuat galian di sana, tidak berhasil. Entah apa penyebabnya, saya sendiri tidak tahu. Cak Har lebih banyak menceritakan sesuatu yang di luar logika. Kisah itu dia dapat dari Bapaknya, Bapaknya menerima kisah itu dari Kakek Cak Har. Saya kurang percaya, tapi tetap mencatat semua itu di sebuah notes kecil.

Kini jalur kereta api bergerak memutari Gumuk Marada. Saya pernah mendaki Marada dan menanti datangnya kereta. Benar, ketika kereta api lewat, saya terpukau. Indah sekali menatap kereta yang bergerak meliuk dari ketinggian.

"Di awal 1900an, Belanda menggunakan dinamit untuk meledakkan lereng-lereng gumuk untuk dijadikan jalur kereta api."

Itu kata Nendes, adik saya di pencinta alam yang sedang melakukan riset observasi gumuk di Jember. Dia menemukan data-data itu dari koran jaman Hindia Belanda. Tadi sore Nendes juga ikut saya jalan-jalan, bersama Leker dan FranQie.


Laba-laba di Puncak Gumuk

Di puncak gumuk ini juga saya dapati laba-laba. Rata-rata gumuk di Jember ada predator laba-laba yang mengendalikan jumlah serangga lain, termasuk capung.

Pukul empat sore, perut saya dangdutan. Lapar. Kemudian kami turun, menuju warung Mbah Wa, yang berada tepat di kaki gumuk yang tidak ada namanya. Lokasinya ada di dusun Grugul, berbatasan langsung dengan Dusun Patempuran dan Dusun Sumber Kalong, Kalisat. Di atas gumuk ini, ada makam Buyut Madin (atau Buyut Madrin). Ia dipercaya sebagai pembabat dusun Grugul desa Sukoreno, Kalisat. Saya sempatkan juga untuk ke makam Buyut Madin, ditemani Leker dan Nendes.

Untuk kisah Buyut Madin, bisa Anda baca di sini.

Terima kasih.

Senin, 18 November 2013

Muhammadiyah Hadir di Kalisat Pada 1924

Senin, 18 November 2013
Di buku Marhaenis Muhammadiyah karangan Abdul Munir Mulkhan, disebutkan jika Muhammadiyah sudah masuk kawasan Jember, di Kalisat dan Sukowono tahun 1924 (HBM, Berita Tahoenan 1927, 1929), beberapa tahun kemudian ke Wuluhan. Muhammadiyah Wuluhan berkembang pesat, selama 1965 hingga 1969 dengan pertambahan anggota terdaftar sekitar 600 persen dari rata-rata nasional (Mulkhan 1990: 44, tabel 1).

Dalam konfigurasi sosial politik saat itu (baca Marhaenis Muhammadiyah Bagian keempat, dimulai dari halaman 141), perkembangan Muhammadiyah Wuluhan berbeda dari seluruh kawasan Jember dan sisi Timur Jawa Timur serta kawasan lain. Muhammadiyah telah masuk ke daerah ini sejak sebelum kemerdekaan, tidak lama sesudah berkembang di Sukowono dan Kalisat, di sekitar kota Jember, yang tahun 1924 sudah berstatus cabang. Tahun 1930an, telah didirikan sekolah modern yang kelak menentukan perkembangan Muhammadiyah di daerah ini.

Muhammadiyah sendiri didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912, oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan. Jadi ketika Muhammadiyah baru berusia 12 tahun, ia telah hadir di pelukan beberapa masyarakat Kalisat.

Selasa, 12 November 2013

Mari Berpikir Tentang Narasi Sejarah

Selasa, 12 November 2013
Berikut ini adalah catatan dari Funpage Surabaya Tempo Dulu, dengan judul asli Renungan Hari Pahlawan. Kami tampilkan kembali di sini dengan harapan bisa menambah wawasan bagi kita semua, serta bermanfaat. Sayang sekali, dalam catatan ini tidak ada nama penulis, jadi kari kecingkul hanya bisa menuliskan nama Funpage Facebook Surabaya Tempo Dulu. Semoga ada manfaatnya, bagi kita dan bagi penulis.

Renungan Hari Pahlawan

Hari Pahlawan mengingatkan pada kata penjajahan dan nasionalisme. Dua kata yang mencerminkan tema besar dalam sejarah (kita) dunia dan menjadi awal kehidupan berbangsa yang baru di era kemerdekaan. Sungguh jarang Hari Pahlawan mengingatkan kita pada aspek lain dari kemerdekaan, yaitu penghapusan kebodohan. Narasi Hari Pahlawan serasa tidak cocok dengan tema mencerdaskan kehidupan bangsa, kurang pas. Ada hari sendiri untuk pendidikan, dan harus kita akui peringatannya tidak seheboh Hari Pahlawan atau Hari Kemerdekaan.

Kata Pahlawan itu sendiri lebih mengingatkan pada para penjuang yang memegang senjata dan gugur. Aspek pahlawan yang lain sedikit terlupakan; mereka yang memulai gerakan, berjuang siang malam di balik meja, berunding, menekuni buku, menulis, mengajar dan mendidik. Lebih mudah mana mengorbankan nyawa dengan belajar? Lebih bernilai mana maju ke medan perang atau maju ke perundingan? Lebih gampang dipahami yang mana: mereka yang melakukan tindakan jelas (maju berperang) dengan mereka yang berupaya dengan diplomasi dibalik kantor?

Umat manusia ternyata memiliki insting untuk menyederhanakan sesuatu. Otak kita pun ternyata tersusun secara alami tanpa kemampuan abstraksi yang jauh.

Sampai zaman ini pun, masih ada suku di Amazon, di Australia dan Papua yang tidak mengenal angka lebih dari tiga. Kemampuan kolektif mereka hanya mengenal satu, dua, tiga, dan banyak. Jika kita analogikan, kita sendiri pun tidak begitu peduli membedakan angka 18 - 20 digit (besar maupun kecil). Angka sebesar (sekecil) itu bukan milik masyarakat awam tapi milik sekelompok ilmuwan yang berkutat dengan dunia superbesar (superkecil). Ironinya sebuah pusat riset di Jepang berhasil melatih simpanse untuk mengenal angka baik nilai maupun urutannya, bahkan mengenal angka nol. Penelitian menunjukkan kapasitas abstraksi numerikal alami manusia sebelum belajar berhitung (anak-anak) hanyalah sampai pada tiga. Ini menjelaskan mengapa angka 1, 2 dan 3 di banyak bahasa dilambangkan dengan garis. Lewat angka tiga dibutuhkan simbol yang berbeda untuk merangkum berikut memperlebar kapasitas numerikal mereka.

Kita dapat menduga bahwa mereka yang sehari-hari berkutat hanya dengan angka satu sampai tiga akan kalah bersaing dalam tuntutan dunia saat ini yang serba maju. Suku-suku yang masih primitif itu pasti memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih maju dari kita yang hidup di alam modern, kepandaian mereka berbeda namun tidak cocok untuk bersaing di dunia yang kita jalani. Boleh kita analogikan suku primitif itu adalah anak-anak yang belum belajar angka. Perjalanan mereka masih jauh untuk bisa bersaing dengan anak SD sekalipun.

Manusia pada awalnya sederhana. Untuk mencapai apa yang kita sanggupi (membaca, berhitung dan bernarasi - bersejarah) dibutuhkan perjuangan. Pembelajaran. Untuk menjadi pelaku maupun sebagai penonton masing-masing membutuhkan investasi waktu dan tenaga. Ketiga kemampuan tadi tidak bisa dicapai dengan cara menjalani hidup tanpa belajar.

Tanpa belajar seorang anak menjadi dewasa namun tidak dengan sendirinya sanggup melakukan perkalian dengan cepat.

Itu juga menjelaskan mengapa banyak manula yang masih buta huruf dan banyak generasi muda yang narasi sejarahnya masih berupa dongeng (salah satunya kepahlawanan). Secara awam kita ingin menyederhanakan narasi sejarah kita menjadi hal yang mudah ditangkap dan diingat.

Hari pahlawan adalah hari memperingati para pejuang yang gugur untuk merebut kemerdekaan. Mereka yang menjadi suri teladan bagi kita untuk memupuk rasa nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air. Sungguh sulit memperingati Hari Pahlawan dengan tema penghapusan kebodohan (kebodohan disini sebaiknya dibaca ketidaktahuan, bukan kebodohan dalam arti bodoh secara fisik yang dikonotasikan tidak tertolong dari bawaannya).

Mari kita telusuri jalan sulit mengkaitkan hari pahlawan dengan penghapusan kebodohan.

Penjajahan tidak lebih dari ekploitasi sekelompok manusia oleh kelompok lain. Disederhanakan: yang pintar mengeksploitasi yang kurang pintar. Yang maju menguasai yang kurang maju, yang kuat "memakan" yang lemah. Ya, hukum rimba versi umat manusia.

Dongeng sejarah kita tentang penjajahan diawali dengan datangnya kapal orang Eropa di kepulauan Nusantara kita (tidak terlalu dijelaskan kemakmuran, keadilan, kemajuan maupun nasionalisme-nya). Melalui perjalanan waktu yang kurang begitu kita ingat (silakan baca di buku sejarah - yang mungkin kurang akurat juga) tiba-tiba kita ditindasi para pendatang itu dan semua kekayaan, tenaga dan nyawa rakyat kita disedot mereka. Tiga ratus lima puluh tahun sudah cukup, para pahlawan kita memulai gerakan nasional dan berjuang hingga kita berhasil mengusir penjajah dan merdeka. Dalam perjalanan perjuangan banyak pahlawan yang gugur dan patut kita dikenang jasa-jasanya.

Dongeng sejarah ini tampil jelas dari ekspresi kebencian pada atribut penjajah kita dan ekspresi ini kita wariskan ke generasi berikutnya. Jika perlu semua peninggalan penjajah kita dihancurkan dan jejaknya dihapus dari sejarah kita yang kelam.

Ekspresi sebaliknya ada dalam kata nasionalisme. Jika penjajahan menimbulkan respon anti maka nasionalisme memiliki narasi berbunga-bunga. Mencontoh para pahlawan kita yang cinta tanah air, berkorban dan dikenang harum namanya dalam sejarah. Narasi sejarah yang 'positif' ini mudah dicerna dan mudah diajarkan. Pertanyaan yang sulit tentang nasionalisme bisa diredam dengan segera dalam bentuk pengucilan atau penghukuman. Mempertanyakan nasionalisme memiliki ancaman yang cukup menakutkan.

Sampai kapan kita berkutat terus dengan angka tiga? Sampai kapan kita terus meyakini narasi sejarah kita tanpa berani mempertanyakan?

Jika kita begitu benci dengan penjajah kita yang sudah angkat kaki, sebaiknya kita mulai sadar bahwa eksploitasi masih berlangsung dan akan terus berlangsung jika kita masih ada dalam kelompok yang 'bodoh.'

Ilustrasinya:

Mereka yang kurang begitu pintar dalam berhitung dan (otomatis) malas berhitung akan menjadi obyek eksploitasi bagi mereka yang lebih pintar berhitung. Membeli barang secara kredit adalah contoh abadi. Bagaimana seseorang (kisah umum) terlilit dalam hutang kredit dan kartu kredit yang kelihatannya ringan ternyata membuat kehidupan finansial yang bersangkutan tidak berdaya. Ketika tagihan jatuh tempo mereka malas untuk menghitung angka-angka dan secara gegabah melihat angka-angka yang dikiranya masih sanggup diatasinya. Ilustrasi inilah yang membuat secara kolektif kelompok satu dikuasai kelompok lain. Penduduk asli dikalahkan para pendatang dalam perdagangan. Ujungnya, perdagangan yang menguntungkan harus diamankan dari ancaman, dari manapun. Para pedagang asing baik Tionghoa, Eropa, Arab maupun India akan mengambil langkah apapun untuk melindungi perdagangan yang telah mereka rintis bertahun-tahun. Di sisi lain para penduduk asli yang kalah, yang mewakili mayoritas harus memiliki narasi yang menggugah untuk membuat mereka bergerak. Narasi ini harus diciptakan, siapa yang menuliskannya? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang berstrategi siapa yang maju menumpahkan darah? Ilustrasi ini menggambarkan proses lahirnya penjajahan dan nasionalisme.

Penjajahan dalam bentuk lain masih terus berlangsung kawan, dalam skala individual maupun dalam skala kolektif. Negara maju menguasai perekonomian negara kurang maju. Kepentingan negara bisa jadi dikalahkan kepentingan negara lain yang menanamkan investasi besar di negeri kita. Kesempatan terlewatkan dan jatuh ketangan mereka yang siap. Dalam skala individual kita bekerja siang malam secara literal tanpa sempat menyadari bahwa kita melakukan kesalahan fatal dalam menjalani pilihan hidup kita dan tidak sempat mendidik anak kita untuk belajar dengan benar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tidak ada waktu; besok bangun pagi untuk berangkat kerja dan pulang malam ketika anak kita sudah terlelap. Kita membiarkan anak kita menjalani proses trial and error nya sendiri khususnya dalam bernarasi sejarah (berhitung dan menulis syukurlah sudah ditangani sekolah). Bagaimana dengan membaca? Apakah perpustakaan menyuplai buku yang bermutu?

Penjajahan hanyalah fenomena perekonomian.

Kesadaran (oleh yang terjajah) akan penjajahan yang berlangsung di muka bumi hanya muncul ketika tabir kebodohan disingkapkan dari mata mereka. Para penjajah sendiri yang menyingkapkan tabir itu untuk para penduduk terjajah. Para tokoh nasionalis yang mengawali gerakan nasionalime dan berujung pada kemerdekaan adalah para pelajar yang sempat mencicipi pendidikan di Eropa dan sempat membaca buku-buku asing.

Hal di atas sering kita lupakan. Otak kita senang membuat sesuatu menjadi sederhana. Kita membayangkan para pahlawan nasionalisme tiba-tiba secara brilian mendapatkan inspirasi untuk melakukan gerakan untuk mengangkat harkat hidup rakyat yang tertindas. Kita tidak pernah membayangkan para pahlawan itu setiap malam tidur hanya 3 - 5 jam dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membaca buku dan mempelajarinya. Kita tidak pernah membayangkan pahlawan yang kesepian dan begitu sedih melihat situasi yang diluar kapasitas mereka untuk merobahnya, yang di tengah malam ketika semua orang pada tidur menangis sendiri membayangkan betapa jauhnya mereka tertinggal dan betapa beratnya membagikan pengetahuan ini kepada yang lain, yang tidak memiliki kemewahan untuk membaca (sibuk bekerja) dan tidak memiliki modal untuk sekolah. Lebih pahit lagi membayangkan selera masyarakat yang belum tentu suka dengan ide-ide yang ditangkapnya. Membayangakan mereka yang meskipun tertindas namun merasa nyaman dengan kondisi itu. Membayangkan betapa beratnya membuat mereka menyadari apa yang disadarinya.

Lebih mudah maju ke medan laga dan gugur di sana daripada melihat beban moral yang begitu berat.

Pada akhirnya semua orang akan mati, namun tidak semua yang mati melihat beban mental yang ditanggung para pahlawan jenis yang satu ini. Satu-satunya harapan yang mereka lihat adalah pendidikan, lubang yang diberikan para penjajah itu sendiri. Menggerakkan pendidikan ibaratnya merubah otak kita yang cenderung menggampangkan dan aman dengan angka tiga untuk mau berubah dan mulai bersusah payah maju melewati angka tiga. Sejarah yang dongeng harus ditutup dan maju ke sejarah yang pahit getir dan lebih susah dicerna. Buku yang tebal harus dibaca halaman demi halaman. Kesepian harus dilewati, malam-malam harus terjaga dan semua kerja keras harus dibagikan seluas mungkin. Inspirasi disebarkan agar mereka yang lebih berbakat dan lebih brilian mau menanamkan waktu dan tenaganya di area yang sama. Agar tidak semua memilih gampang maju berperang dan gugur bersama-sama (paling tidak ada temannya). Agar yang terlilit hutang mulai berubah dan tidak mengambil langkah pintas dengan amuk masa.

Penjajahan adalah fenomena perekonomian. Perekonomian adalah produk samping kepandaian, pengetahuan, dan ketrampilan.

Pengetahuan, ketrampilan dan kepandaian adalah pembelajaran yang butuh waktu, tenaga dan pengorbanan. Jika kita terjajah berarti kita kalah dalam hal-hal inti ini. Penjajahan bukanlah fenomena emosional dimana orang jahat berbuat jahat kepada kita. Tapi kita membiarkan diri kita menjadi kalah pintar dan dieksploitasi tanpa sadar. Oleh karena itu Hari Pahlawan sebaiknya bertemakan pendidikan, bukan lagi tema senapan. Pahlawan bukan hanya yang gugur di medan laga. Kaitan ini memang sungguh sulit ditampilkan di parade Hari Pahlawan. Sulit membayangkan Pembukaan UUD 1945 kita bukan berbunyi ".... maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan..." melainkan berbunyi "...maka kebodohan diatas dunia harus dihapuskan..."

Adanya penjajahan melahirkan nasionalisme. Kata nasionalisme ini pun tidak seheboh kesan yang kita tangkap selama ini. Bagaimana jika nasionalisme ini hanyalah konsep. Konsep yang mungkin saja salah kita tangkap dan salah disajikan para pendiri negara kita? Bagaimana jika nasionalisme hanyalah narasi yang dicekokan pada kita di masa sekolah demi agenda politik tertentu?

Sejauh nasionalisme berkaitan dengan perjuangan untuk merdeka, mungkin konsep ini cocok dan menggugah. Ketika kemerdekaan sudah tercapai apakah nasionalisme masih relevan? Bagaimana jika nasionalisme justru menimbulkan kegetiran di provinsi-provinsi seperti Aceh, eks Timor dan Papua? Apakah benar kemerdekaan itu hak segala bangsa? Atau lebih tepatnya hak setiap individu seperti di deklarasi kemerdakaan negara-negara lain? Apakah itu bangsa, apakah identik dengan Jawa? Kata Nasionalisme ini mengundang uraian yang dalam, biarlah kita sisakan untuk Renungan Hari Kemerdekaan.

Sebuah Komentar dari Nikki Putrayana

Ada teori peradaban manusia yang penting untuk kita sadari bersama. Awalnya manusia mendengar, lalu melihat, lantas ia belajar membaca, dan yang paling tinggi adalah menulis. Disana terkandung kapasitas intelektual manusia. Mendengar tidak membutuhkan konsentrasi, seperti kita mendengarkan radio di mobil sambil menyetir. Lantas kita berubah melihat, di sana kita harus fokus kepada gambar atau citra yang ada di depan mata, kita menonton tv tidak bisa sambil menyetir mobil bukan?

Kemudian manusia berkembang menjadi membaca, fokus pada apa yang dilihat, mengingat dan merangkai kata2 dan memahami maknanya. Mulai saat inilah manusia dibedakan dengan mahluk hidup lainnya. Mungkin simpanse dapat mengenal huruf dan merangkai kata tapi belum tentu ia memahami kalimat yang panjang apalagi makna dari sebuah buku.

Yang paling tinggi dari peradaban manusia adalah menulis.

Ketika menulis, kita diharuskan mengeluarkan kembali apa yang ada didalam pikiran kita dan merangkainya dalam satu kalimat yang dapat dipahami orang lain. Kata dipahami sangat penting, banyak orang gila dapat menulis, tapi belum tentu isinya kita pahami maknanya. Inilah tingkatan tertinggi dimana manusia dapat diukur seberapa besar timgkat intelektualnya dari tulisannya, karena tulisan menggambarkan isi pikirannya, itulah mengapa kita sarjana diharuskan membuat skripsi.

Dari sana kita bisa mengukur diri kita sendiri. Sampai mana tingkat peradaban kita.

Apakah kita adalah bangsa yang suka mendengar dongeng? Menerima begitu saja apa yg kita dengar.
Apakah kita adalah bangsa yang suka menonton tv tanpa pernah mau membaca sumber2 bacaan?
Ataukah kita hanya bangsa yang membaca saja namun tidak pernah mau menulis?

Saya rasa gerakan gemar membaca negara kita masih begitu lemah. Tapi mulailah menulis dari saat ini, dan percayalah tidak mungkin tidak ada yang membaca tulisan kita walau hanya satu orang.

Kalau kita tidak pernah mau melakukan loncatan peradaban seperti diatas, lantas kapan?

Minggu, 10 November 2013

Dari Catatan Ady Setyawan: Joop Hueting dan Kisah Yang Tertinggal di Stasiun Kalisat

Minggu, 10 November 2013

Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee ketika mengunjungi kediaman Joop Hueting di sebuah apartemen di Castricum, Belanda bagian utara, pada 19 September 2013. Lalu Ady Setyawan mengunggahnya di Facebook pada 5 Oktober 2013.

Joop Hueting, tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia

Di akhir tahun 1960, tepatnya 17 Januari 1969, beliau berbicara di media Belanda tentang kekejaman tentara Belanda terhadap penduduk Indonesia. Sebelum itu keadaan Belanda tenang-tenang saja. Lalu meledaklah negeri itu. Media Belanda, Jerman, hingga Amerika ingin mewawancarai Hueting. Dampaknya adalah semua veteran memburu Hueting. Keluarga hingga media yang mewawancarai Hueting menerima ancaman pembunuhan. Dari keributan inilah akhirnya muncul de Exessennota.

19 September 2013

Dari Rotterdam saya dan Marjolein Van Pagee menuju rumah Joop Hueting di sebuah apartemen. Disana kami disambut dengan ramah.

Apa kabarmu tuan? Kawan saya membuka pembicaraan, dan Hueting menjawab, "Tidak begitu baik, istriku baru saja meninggal, dia adalah orang terhebat dalam hidup saya." Dan kami dipersilahkan masuk.

"Kau... siapa namamu? Kau keturunan seorang freedom fighter juga kah?"

"Nama saya Ady Pak. Ya, Kakek saya dulu ikut dalam perang kemerdekaan." Marjo tidak ditanya karena sudah kenal.

"Apakah dia masih hidup?"

"Kakek saya sudah meninggal."

"Kau menang dalam perang itu, kami yang harus angkat kaki dan memang itulah yang seharusnya terjadi."

Tak lama kemudian Meneer Hueting berjalan, langkahnya sangat pelan.

"Bantu aku mengambil beberapa barang, aku akan ceritakan beberapa hal padamu Nak."

Dan kami pun mengikutinya mengambil beberapa benda, diantaranya sepucuk pistol, sepotong lantai tegel, bayonet arisaka Jepang dan sebuah triplek bertuliskan 50 Th Indonesia Merdeka.

Dan mulailah beliau bercerita.

"Semua ini adalah barang kenanganku dengan leluhurmu. Akhir September 1947 adalah awal kedatangan saya ke Indonesia. Pertama kali saya ditugaskan adalah di Jawa Timur. Pangkat saya saat itu adalah first class soldier. Di tahun 1948 saya ikut menyerbu Jogja dalam gelombang pertama. Saya adalah pasukan STOOTTROEPEN bagian intelijen. Saya ingat ketika pertama kali masuk kota Jogja, ada sebuah poster yang sangat besar dipasang oleh para pejuang, poster itu bertuliskan WILHELMINA LONTE."

"Kawan-kawan prajurit saya menanggapi itu dengan sangat marah, tetapi saya hanya tertawa terbahak-bahak. Sempat-sempatnya mereka membuat poster ejekan seperti ini."

Kemudian beliau menyerahkan pistol itu di tangan saya. Saya tak mengenali jenisnya, pistol itu kecil, saya keluarkan magasen, mengokang untuk memastikan chamber kosong dan juga mencoba tuas penguncinya.

"Pistol ini dalam kondisi sangat bagus tuan."

"Ya, saya selalu merawatnya."

"Bagaimana anda mendapatkan pistol ini?"

"Jogjakarta, 1948, perang kota. Saat itu saya mendadak berhadapan dengan seorang anggota TNI. Masing-masing dari kami saling menodongkan pistol, dan.... Kamu bisa melihat, siapa diantara kami yang lebih cepat menarik pelatuk. Dia gugur. Dia seorang Letnan. Namun bagaimana pun dia adalah prajurit dan saya juga prajurit. Tak ada pilihan lain, inilah dunia kami. Dia meninggal dengan terhormat."

"Bagaimana dengan pecahan lantai ini?"

Ketika saya menanyakan pecahan lantai tersebut, Tuan Hueting sejenak terdiam. Ada raut kesedihan yang muncul....

"Itu bukan hanya sekedar pecahan lantai. Itu adalah pecahan hati saya. Sebuah stasiun kecil di Kalisat, mereka menyiksa seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, sangat gigih. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah, disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah."

Dan kami melihat mata Tuan Hueting yang mulai berkaca-kaca.

"Aku berteriak-teriak, aku menangis memohon agar mereka berhenti melakukannya. Dan detik itu aku menyadari, bahwa leluhurmu berjuang untuk sebuah keinginan mulia. Nyawa sekalipun akan mereka korbankan untuk itu...KEMERDEKAAN..."

Inilah sebagian kecil dari hasil wawancara dengan Tuan Hueting, begitu banyak kisah yang cukup menyentuh yang beliau sampaikan pada kami, mulai kelucuan, tentang kengerian perang, tentang kemanusiaan.

"Terima kasih telah mengunjungiku. Puluhan tahun telah berlalu. Melihatmu dan berbicara denganmu sangat menyenangkan. Kau... Sungguh mengingatkanku pada mereka. Tinggimu, warna kulitmu, gaya bicaramu. Seandainya saja saya bertemu mereka di waktu yang tepat, tentu kita semua bisa menjadi sahabat."

*Dari catatan Ady Setyawan.

Mulanya catatan ini berjudul; Joop Hueting, tokoh dibalik terkuaknya kekejaman Belanda di Indonesia. Masuk dalam album jeraring sosial Facebook milik Ady Setyawan, di album berjudul; no Sir...Im not historian.....Im a treasure hunter *sigh

Dalam catatan ini, judul berubah menjadi; Dari Catatan Ady Setyawan: Joop Hueting dan Kisah Yang Tertinggal di Stasiun Kalisat.

Untuk Mas Ady Setyawan dan Marjolein van Pagee, terima kasih. Sekali lagi terima kasih.

Kamis, 24 Oktober 2013

Di Pelawangan Spoor Kalisat

Kamis, 24 Oktober 2013
Oleh Zuhana AZ


Kalisat sedang beraroma tanah basah setelah hujan.Kata orang, bau debu setelah hujan adalah petrikor. Oktober yang indah di tahun ini, 2013. Saya diajak suami sedang cuci mata dan hati memandangi keindahan Kalisat. Lalu kami merapat di sebuah cafe mungil tepat di balik pos pangkal pintu kereta api atau pelawangan spoor, di dekat SDN Ajung 5 Kalisat. Kami janjian berjumpa dengan Frans, putra bungsu Pak Kacung. Sudah lama kami tidak menikmati kopi hitam bersama-sama.

Terima kasih Kalisat, soremu yang indah kubawa pulang sebagai kenangan.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Diskusi Save Gumuk: Cangkruk Bareng Arek-arek EXPA

Sabtu, 12 Oktober 2013

Diskusi Save Gumuk di Kalisat. Foto oleh VJ Lie

Ini benar-benar menjadi malam yang keren di Dawuhan Kembar --Kalijejer Kalisat. Diskusi Save Gumuk, Cangkruk bareng arek-arek EXPA SMAN 1 Kalisat Jember. Di sini bertabur obor, kanan kiri dirangkul sungai, diskusi di bawah kerlip bintang dan bulan separuh, menikmati Jember Fashion Tembakau, akustik, hingga makan bersama beralas daun pisang.

Acara di Kalisat memiliki corak senada dengan acara Save Gumuk sebelumnya, yang digelar di Gumuk Gunung Batu Jember pada 28 September 2013. Suasana terasa hangat, senyum bertebaran, diskusi berjalan seperti yang diharapkan.


Mbak Prit

Komentar Mbak Prit tertulis di update status di Jejaring Sosial Facebook miliknya, seperti ini.

Surprise banget dengan acara yang dibuat oleh dulur-dulur Sispala EXPA SMA 1 Kalisat. Meriah, tulus, syahdu, tapi tetap mandiri. Semua acara digarap oleh dulur-dulur muda. Keren dan mengesankan. Semoga semua ini akan tetap kita ingat dan semoga bermanfaat bagi semua. Salam #SaveGumuk

Teman-teman, terima kasih dan salam lestari!

Selasa, 03 September 2013

Sekeping Sejarah Desa Sumber Jeruk

Selasa, 03 September 2013
Oleh RZ Hakim

Jadi ceritanya, pada malam 31 Agustus 2013 saya berkesempatan ngobrol dengan Bapak Husen, seorang Kepala Kampung di desa Glagahwero, Kalisat. Ngobrolnya di rumah keluarga Cak Har di Desa Sumber Jeruk, dekat dengan Glagahwero.

Pak Kampung mengawali obrolan dengan kalimat, "Saya ini penggemar ludruk Mas. Sayang sekarang di Kalisat sudah tidak ada ludruk."

Dari ludruk, berpindah tema ke sejarah Sumber Jeruk tempo dulu. Pak Kampung membenarkan asal usul Sumber Jeruk yang dimulai dengan kata Sumber Jeru, selaras dengan nama wilayah Kalisat atau Kali Sat. Tapi beliau sedikit mengoreksi.


Saya dan Bapak Husen, Dokumentasi 31 Agustus 2013

"Begini Mas Hakim, jadi dulu yang tinggal di daerah ini adalah orang-orang berbahasa Osing. Mereka menyebut tempat ini dengan nama Sumber Jerau. Seiring berlalunya waktu dan datangnya orang Eropa ke wilayah Sumber Jerau, perubahan pun tak terelakkan. Apalagi saat mereka membangun usaha mbako yang mula-mula didirikan di Sukowono. Mereka membawa serta orang-orang Madura sebagai tenaga kerja. Terjadilah gesekan. Lidah Madura sulit untuk mengucapkan Sumber Jerau, jadinya ya seperti sekarang ini. Sumber Jeruk."

"Apakah di sini masih tertinggal orang-orang Osing Pak?"

Lalu Pak Kampung menggeleng pelan. "Sepertinya tidak ada Mas. Kecuali di desa Biting."

"Oh ya Pak, bicara tentang Biting, apa benar nama itu dimulai dengan Benteng? Mengingat dulu di sana pernah ditemukan barang-barang era Majapahit."

"Tidak Mas, kami punya versi yang lain," kata Pak Kampung. Ternyata nama Biting diambil dari arti harfiah biting . Dalam Bahasa Jawa artinya lidi. Dari apa yang dituturkan Pak Kampung, saya jadi tahu bahwa di sana dulu tempatnya orang-orang yang pandai membuat ranjau dari lidi.

"Meskipun hanya terbuat dari lidi, tetap saja mematikan Mas. Setidaknya bisa memperlambat laju pergerakan musuh." Kemudian Pak kampung coba menggambarkan proses pembuatan ranjau lidi, hingga cara meletakkannya di tanah. Beliau mewarisi kisah itu dari Mbahnya.

Sambil mendengarkan cerita dari Pak kampung, sebentar-sebentar saya menyeruput kopi buatan istri Cak Har. Hmmm, nikmat sekali.

Berbeda dengan apa yang saya lakukan, Pak kampung sebentar-sebentar memutus ceritanya. Tangannya sibuk meraih hape, menerima telepon, atau sekedar membaca sms.

"Sibuk ya Pak?"

"Iya Mas, sejak tadi sore. Tadi kan ada karnaval rakyat --Kalisat, 31 Agustus 2013. Hiburan itu dilanjut malam ini, ada pementasan jaranan di dekat Pom bensin Mayang."

"Apa di Kalisat sudah sejak lama mengenal kesenian jaranan?

"Tidak juga. Ini trend baru Mas, tapi masyarakat antusias untuk menikmatinya," ujar Pak Kampung Glagahwero.

Lalu kami kembali tenggelam dalam kisah desa Sumber Jerau tempo dulu. Pak Kampung menyebutkan banyak nama-nama, mulai Tresno Pati hingga Ki Udan Panas. Kedua tokoh lokal ini namanya diabadikan menjadi nama jalan di Desa Sumber Jeruk.

Melihat latar kisah yang dipaparkan, tebakan saya, kedua tokoh di atas hidup di era Majapahit ketika mendekati kehancurannya.

Tresno Pati hingga Ki Udan Panas

Catatan ini berlanjut pada kisah Tresno Pati hingga Ki Udan Panas, dari data lapang yang saya peroleh pada 2 September 2013.

Hari sudah sore ketika saya dan Prit meluncur ke desa Sumber Jeruk - Kalisat (2 September 2013). Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit, maka sampailah di tujuan. Sesampainya di sana, Cak Har menunggu kami di tepi jalan. Tangannya penuh dengan noda oli tap-tapan. Oh, ternyata dia sedang service vespa. Pantesan..

Tak menunggu waktu lama, setelah parkir sepeda dan makan krupuk opak, kami segera aderek menuju makam Tresnopati dan Ki Udan Panas.


Makam Tresnopati dan Ki Udan Panas - Dokumentasi 2 September 2013

Letaknya yang tepat di balik gumuk besar, membuat lokasi pemakaman ini terlihat rimbun. Hamparan nisan dimana-mana.

"Letaknya dimana Cak?"

"Itu, yang di atas."

Cak Har mengatakan itu sambil jari telunjuk tangan kanannya menunjuk ke sebuah cungkup di atas gundukan tanah yang lumayan tinggi. Ada terlihat tangga menuju ke sana. Tepat di tangga yang pertama, ada sebuah gerbang bertuliskan Assalamualaikum Ya Ahli Kubur. Keren, tempat itu mengingatkan saya pada gerbang shaolin.

Akhirnya sampai juga kami di depan cungkup. Ada ruangan beratap genting dengan ukuran kira-kira 3 x 4 meter. Di dalamnya terdapat dua nisan. Kata Cak Har, yang di dalam itu adalah pesarean Tresnopati dan iistri. Istri Tresnopati sendiri bernama Nyi Sadima.

Aha, nama Nyi Sadima mengingatkan saya pada tokoh novel karya G. Francis yang muncul tahun 1898, Nyi Dasima. Tapi mereka jelas berbeda. Dikisahkan dalam novel, Nyi Dasima berlatar keluarga Jawa. Sedangkan istri Tresnopati, yaitu Nyi Sadima, adalah Putri dari seorang tokoh asal Batu Ampar sebelah barat. Dan itu letaknya ada di Madura. Setidaknya, itu yang saya dengar dari Bapak Husen, kepala kampung Glagahwero Kalisat.

Ohya hampir lupa. Kata Pak Kampung, Nyi Sadima masih sanak famili dari Bujuk Lattong. Entah siapa dan darimana asal Bujuk Lattong tersebut, saya lupa menanyakannya.


Dokumentasi 2 September 2013

Keterangan foto:

Tepat di samping cungkup ada bangunan yang hampir serupa dengan cungkup. Di sana sudah tersedia tikar dari daun pandan. Tempat itu dimanfaatkan untuk berteduh dari udan dan panas, juga untuk tempatnya orang mengaji di malam Jum'at Manis. Itu kata Cak Har. Saya sendiri belum pernah ke sana malam-malam, apalagi malam Jum'at.

Oke, saya lanjutkan.

Di luar cungkup, ada empat nisan besar. Orang-orang desa Sumber Jeruk meyakini bahwa itu adalah makam Ki Udan Panas beserta istri, dan makam Singojoyo beserta istri. Singojoyo sendiri adalah menantu dari Tresnopati. Sayang, tidak ada yang tahu siapakah nama putri Tresnopati yang dipersunting Singojoyo. Begitu juga dengan nama istri Ki Udan Panas, tidak ada yang mengerti.

Berbeda dengan anak turun dari Ki Udan Panas, saya masih bisa melacaknya. Dikabarkan pada saya --oleh Pak Kampung-- bahwa Ki Udan Panas adalah utusan dari Kerajaan Blambangan yang ditempatkan di Sumber Jeruk (dan sekitarnya?).

Masih menurut Bapak Husen. Ki Udan Panas memiliki tiga orang keturunan yang masing-masing bernama Raden Setiban, Raden Gede Isa, dan Raden Senisa.

Jika melihat posisi nisan Tresnopati yang ada di dalam cungkup sementara nisan Ki Udan Panas ada tepat di sisi luar bagian depan cungkup, jelas Tresnopati adalah atasan Ki Udan Panas. Ibaratnya, Tresnopati adalah kades, sementara Ki Udan Panas adalah cariknya.

Setelah puas berlama-lama di sekitar cungkup, akhirnya kami melangkah pulang. Hari sudah semakin menuju gelap.

Minggu, 26 Mei 2013

De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong

Minggu, 26 Mei 2013

De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong

Masyarakat Pertanian Soekokerto-Adjong didirikan pada tanggal 26 Mei 1897. Direktur adalah Mr. C. Vermeer. Para komisaris adalah JD Douw van der Krap, K. Douw van der Krap, J. Hoboken Az., Dr. S. Birnie dan A. Bosman, dengan modal saham sebesar NLG 500.000 -. (dibagi menjadi 500 saham f 1,000.00).

Di beberapa sumber yang lain, disebutkan jika De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong adalah milik keluarga Baud.

Deskripsi Perusahaan itu:

Mengendalikan pertanian di pulau Jawa di perusahaan hak kepemilikan, penyewaan, atau bangunan toebehoorende atau tanah yang disewakan, opkoopen oleh orang lain menghasilkan pertumbuhan di sana, mempersiapkan untuk pasar dan pengolahan, dikatakan oleh perusahaan untuk account sendiri atau produk tumbuh dibeli dari orang lain, zoomede penjualan produk-produk dan barang-barang manufaktur yang diproduksi darinya. Pasar untuk pembuatan produk dalam nama Jawa pihak ketiga dan menjual produk yang dibuat di komisi dalam kantor perusahaan.

Artikel dalam bahasa Belanda bisa dilihat di sini.

Catatan

1. Terdapat empat investor partikelir perintis yang menanamkan modalnya guna membuka lahan perkebunan di Jember dan yang terbesar adalah LMOD --De Landbouw Maatschappij Oud Djember-- milik George Biernie, berdiri sejak 1859. Tiga lainnya terletak di Jelbuk, Sukowono, dan Soekokerto-Adjoeng.

Perkebunan di Jember berkembang pesat. Lalu pada paruh awal 1920an, keadaan ini mengundang pengusaha lain untuk menanamkan modalnya di Jember. Mereka mendirikan beberapa perusahaan perkebunan partikelir antara lain; Maatschappij Goemelar (MG), Maatschappij Soember Djoeruk (MSD), NV Cuultur Maatschappij Zuid Djember (CMZD), NV Besoeki Tabaks Maatschappij (BTM), NV Tabaks Onderneming Soember Baroe (TOSB), NV Tabaks Cultuur Maatscappij Soember Sarie (CMSS), NV Landbouw Soekasari (LS), HG Grevers (Onderneming Magisan). Itu semua untuk memenuhi kebutuhan pasar Internasional.

2. Ondernemer adalah pengusaha partikelir yang menjalankan usahanya melalui dengan beberapa tahap, mulai menyewa tanah milik penduduk dan mencari tenaga kerja, kemudian memberikan bibit dan peralatannya, dan seterusnya.

Mengenai istilah ondernemer dapat dilihat pada majalah De Indische Gids, Jrg. 16 tahun 1894 hlm. 266-274.

3. Opkooper adalah pengusaha yang kerjanya tanpa melalui proses proses pembudidayaan sebagaimana yang dilakukan oleh ondernemer. Pengusaha ini hanya melakukan pembelian tanaman perkebunan secara bebas yang ditanam masyarakat. Mereka hanya berbekal menyewa sebidang tanah untuk membuat gudang penyimpanan sebelum dibawa pasar internasional.

Lihat pada majalah De Indische Gids, Jrg. 16 tahun 1894 hlm. 266-274.

4. Pembangunan rel yang menghubungkan Pelabuhan Panarukan dengan jalur kereta api Jember-Bondowoso-Panarukan (150 km) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1897.

Ini merupakan kelanjutan dari proses pembangunan rel kereta api di Jawa Timur. Di awali pembangunan rel Surabaya-Pasuruan yang sebagai penghasil Gula --16 Mei 1878. Selanjutnya diperpanjang dari Pasuruan-Probolinggo tahun 1884, hingga akhirnya mencapai Klakah pada 1895.

Dalam catatan yang lain, Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch-Indie 1875-1925, pada 15 Juli 1899, konstruksi dari garis Probolinggo - Jember - Panarukan dengan simpangan ke Pasirian sedang dikerjakan. Sedangkan konstruksi dari garis Kalisat - Banyuwangi lagi digambar.

5. Kalisat di tahun 1930 memiliki komposisi penduduk; Bumiputera 131.856, lalu 57 warga Cina, 81 warga Arab, serta 211 warga Eropa.

Di masa sebelumnya, tahun 1789, warga Jember secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk berkisar 8.000 jiwa saja. Di masa tersebut, diyakini bahwa Jember merupakan daerah berpopulasi rendah. Jika pendapat para akademis itu benar, tentu komposisi penduduk di Kalisat dan sekitarnya juga sangat rendah. Jember di tahun 1789 masih merupakan wilayah pedalaman --jauh dari laut-- dengan basis usaha pertanian subsistensi.

Pertanian subsistensi adalah pertanian swasembada atau self-sufficiency, di mana petani hanya fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarganya.

Catatan Lain

1. Soekokerto dan Adjoeng telah ada di catatan Birnie tanggal 21 Oktober 1859.

2. Pada 1916-1922 Frederik Hendrik van Persijn bekerja sebagai karyawan di Besoeki Tobacco Company di Kalisat Jember, dan pada 1923-1926 ia bekerja di perusahaan Soemberdjeroek di Kalisat.

Tahun 1929 adalah zaman malaise --depresi besar-- di seluruh dunia. Ia adalah krisis kapitalisme global bagi masyarakat perkebunan.

Dampak depresi global pada masyarakat pertanian di Jember:

Untuk perkebunan tembakau Jember masih mampu mengekspor sebanyak 302.900 bal pada tahun 1931. Pada tahun berikutnya mengalami penurunan hanya mampu mengekspor sebanyak 138.139 bal tembakau. Untuk tahun-tahun berikutnya sudah harus menghentikan pengiriman dan hanya konsentrasi di pasar domestik saja.

Ketika Indonesia merdeka, ada kebijakan nasionalisasi perusahaan perkebunan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan itu diambil alih oleh pemerintahan Indonesia, berdasarkan UU Nomor 86 Tahun 1958. Selanjutnya berdasarkan PP No. 4 Tahun 1959 ditentukan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi meliputi:

1. NV. Landbouw Maatschappij Oud Djember di Adjong, Gambirono, Kertosari, West Djember, Oost Djember, Nangkaan
2. Besoeki Tabaks Maatschappij di Mojo, Sumber Jeruk dan Tamanan
3. NV. Cultuur Maatschappij Djelboek di Jelbuk dan Soekokerto Jember
4. NV. Landbouw Maatschappij Soekowono di Sukowono.

Perusahaan-perusahaan tersebut yang dahulu milik pihak Belanda kini berubah menjadi Perusahaan Perkebunan Negara. Beberapa tahun kemudian perusahaan mengalami pembenahan hingga tahun 1972 menjadi PTP XXVII, dan pada tahun 1996 menjadi PT Perkebunan Nusantara X --PTPN X-- hingga kini.

Selasa, 12 Februari 2013

Penemuan Harta Karun di Ledokombo

Selasa, 12 Februari 2013
Berita tentang penemuan harta karun di Ledokombo. Dari koran lawas Borneo Simboen (Balikpapan), 12 Februari 1944.

Berikut isi beritanya, dengan sedikit edit ejaan;

Namanya Soeta, ia penduduk Ledokombo Desa Dukuh Mencek, Jember. Ia melaporkan bahwa Pak Noer, dari Pedukuhan tersebut telah menemui barang-barang kuno berupa:

10 saron, 1 paidon tembaga berisi 1400 uang koin bolong yang bertulis aksara Tionghoa, 1 sobekan tembaga, 1 sendok tembaga, 1 arit, 1 golek Tionghoa dari beling dan 1 tjepoek dari beling. Barang tersebut telah diserahkan kepada yang berwajib.

Selasa, 01 Januari 2013

Sejarah Kalisat

Selasa, 01 Januari 2013
Oleh RZ Hakim

Saya selalu senang bila berjalan-jalan di Kalisat, sebuah kecamatan di kabupaten Jember. Ia memiliki luas wilayah 53,48 kilometer persegi dengan ketinggian rata-rata 281 MDPL. Jarak kecamatan Kalisat dengan rumah saya sekitar 20 menit dengan mengendarai motor. Sedangkan jarak Kalisat dengan pusat kota Jember adalah 16 kilometer.

Kalisat terdiri dari 12 desa; Gumuksari, Sumberjeruk, Glagahwero, desa Kalisat kecamatan Kalisat, Ajung, Plalangan, Sebanen, Sumberketempa, Sumberkalong, Sukoreno, Patempuran, serta Gambiran.

Jika melihat komposisi penduduk di Afdeling Jember pada tahun 1930, di era itu Kalisat adalah sebuah wilayah yang cukup ramai. Penduduk Bumiputera 131.856, sedangkan Jember wilayah kota penduduk pribuminya sejumlah 139.955. Di Kalisat tahun 1930 terdapat 957 warga Cina, 81 warga Arab, serta 211 warga Eropa.


Sumber: Memories van Overgave van den Residentie Besoeki 1931

Saya kira itu komposisi yang menandakan suasana Kalisat saat itu, lima belas tahun sebelum kemerdekaan. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, pada tahun 1845 daerah Jember hanya terdiri dari 36 desa, namun pada tahun 1874 berkembang menjadi 46 desa (Regering Almanak, 1874). Lalu pada tahun 1883 berkembang lagi menjadi 117 desa. Saya menebak, tentu Kalisat di tahun 1845 hanya terdiri dari sedikit desa, atau hanya ada satu desa yang luas, dengan sistem pemerintahan yang serba sederhana.

Di pemula tahun 1883, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Besluit Residen Besuki tertanggal 18 Januari 1883 nomer 9/42 --sumber dari ANRI Besoeki, 1884-- untuk pembentukan desa baru. Besluit itu juga menandai lepasnya Jember dari Bondowoso dan menjadi Afdeling tersendiri, Afdeling Jember.

Oleh sejarawan Edi Burhan Arifin, Januari 1883 pernah diajukan sebagai Hari Jadi Kota Jember. Ini berdasarkan dokumen tentang Splitsing de afdeeling Bondowoso in twee assisten-residentien, tercatat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indiƫ 1883.

Pemecahan desa seperti di atas, berdasarkan Besluit Residen Besuki, juga terjadi di Kalisat.

Pemecahan desa-desa di Kalisat terjadi lagi di era 1890an, setelah George Birnie dan rekan-rekannya sesama pengusaha, mereka berhasil menyulap Jember menjadi wilayah metropolitan di bidang perkebunan. Kerlap-kerlip kemakmuran ekonomi di Jember saat itu mengundang datangnya para migran. Mereka ingin merubah nasibnya di sini. Kalisat semakin ramai oleh pendatang.

Secara teritorial, migran asal Madura lebih senang tinggal di wilayah Jember bagian utara, sedangkan migran asal Jawa lebih memilih tinggal di wilayah Jember selatan. Suku yang lain lebih terpusat di wilayah kota, sekitar alun-alun. Jadi, para migran yang ada di wilayah Kalisat rata-rata memang dari Madura. Hingga hari ini, bahasa Ibu dari warga Kalisat didominasi oleh bahasa Madura.

Wajah Kalisat Sebelum Tahun 1845

Jika menengok Regering Almanak tahun 1874, jangkauan terjauhnya adalah 1845. Wajar jika kemudian kita bertanya-tanya, bagaimana wajah Kalisat sebelum masa itu?

Menurut penuturan Musthofa, seorang warga desa Ajung kecamatan Kalisat, di akhir tahun 1980an hingga di pemula 1990an, saat itu banyak orang yang melakukan penggalian di lapangan Kotok dekat stasiun. Mereka sedang mencari manik-manik peninggalan zaman kerajaan. Kotok masuk desa Gumuksari kecamatan Kalisat, Jember.

"Lapangan itu dulu berlubang-lubang. Banyak yang melakukan penggalian dan tidak menutup kembali lubang yang terlanjur menganga."

Dalam perjumpaan yang berbeda, Har, warga desa Sumberjeruk kecamatan Kalisat juga membenarkan apa yang dituturkan Musthafa. Dikatakannya, banyak yang menemukan anting-anting lalu mereka menjualnya.

Berbeda dengan yang diinformasikan oleh Musthofa dan Har, Durahem mengatakan pernah membawa sebuah tameng sisa-sisa dari prajurit kerajaan. Beberapa hari kemudian ia terpaksa memberikan tameng kuno tersebut kepada tokoh masyarakat Kotok, atas saran Ayahnya.

Kisah di atas tentu membuat kita berpikir, ada cerita tempo dulu di tlatah Kalisat.

Jika kita tarik lebih jauh lagi, di zaman megalitikum, Jarak antara Kalisat dengan desa Kamal kecamatan Arjasa adalah dekat sekali. Seperti yang kita tahu, desa Kamal dikenal karena di sini dijumpai banyak sekali batu kenong dan situs yang lain, sisa zaman megalitikum. Bagaimana dengan Kalisat?

Pada tahun 2007 lalu, saya dan dua orang teman yang lebih mengenal Kalisat --Revo serta Har, kami pernah mendiskusikaa ini di balai desa Sumberjeruk kecamatan Kalisat. Saya tentu terkejut jika ternyata tak jauh dari balai desa Sumberjeruk terdapat makam-makam kuno. Di waktu yang lain, saya dan Har ke sana. Iya benar, di sini nisan yang digunakan memakai batuan lawas.

"Jek ender takerjet, bedhe pole e desa Plalangan."

Har tidak berbohong, di tanah Kalisat ada begitu banyak kisah yang belum terdokumentasikan. Bagaimana wajah Kalisat di masa sebelum 1845? Kita sendiri yang harus mencari tahu jawabannya. Setidaknya kelak generasi muda di Kalisat bisa menjadikannya bahan untuk belajar.

Dimulainya Pemerintahan Desa di Kecamatan Kalisat

Pada tahun 1883, sehubungan dengan berubahnya status kota Jember yang menjadi Afdeling sendiri berpisah dari Bondowoso, maka pemerintah pusat Hindia Belanda mengadakan perombakan struktur pemerintahan. Jember tidak lagi dikepalai oleh seorang Wedana pribumi yang dibantu oleh seorang asisten controleur yang berkebangsaan Belanda, melainkan langsung dikepalai oleh Asisten Residen. C.H Blanken adalah Asisten Residen pertama di Jember yang menjabat sejak tahun hingga 1885.

Asisten Residen bertugas mengepalai Afdeling. Dalam menjalankan roda pemerintahan bekerjasama dengan Bupati yang menjadi kepala pemerintahan pribumi. Untuk itu pemerintah pusat juga mengangkat seorang Bupati. Adapun Bupati Jember yang pertama menurut Regering Almanak tahun 1891 ialah R. Panji Kusumonegoro. Ia menjabat dari tahun 1883 sampai 1891, setelah itu diganti oleh R. Tumenggung Kerto Subroto.

Selain dua pejabat yang memimpin afdeling Jember, pemerintah pusat juga mengangkat pejabat sekretaris, komis, dan seorang controleur, yang diangkat berdasarkan Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Pejabat-pejabat itu fungsinya membantu melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.

Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan atau landraad, dengan berdasarkan besluit pemerintah nomor 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883). Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat Kepala Jaksa Jember yang semula bertugas di landraad Situbondo dengan jabatan sebagai Adjunct Jaksa.

Selain jabatan-jabatan seperti diatas, pemerintah mengangkat seorang patih yang fungsinya sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik.

Di masa itu di Jember hanya terdapat empat Wedana yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul. Jadi wilayah Kalisat dan sekitarnya dirangkum dalam satu kesatuan distrik, di bawah tanggung jawab Wedana Sukokerto.

Antara tahun 1869 hingga tahun 1900, Jember mengalami pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan ini melahirkan adanya pemekaran wilayah, ditandai dengan dikeluarkannya besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913. Mayang yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto, akhirnya menjadi distrik sendiri yaitu distrik Mayang.
,
Hingga 1 Januari 1929, Jember terbagi atas tujuh distrik, yaitu; Distrik Jember, Kalisat, Mayang, Rambipuji, Tanggul, Puger dan Wuluhan.

Pada tahun 1941, satu tahun sebelum Belanda menyerah kepada Jepang, mereka memberlakukan Staatsblad No. 46/1941 tanggal 1 Maret 1941. Staatsblad itu mengharuskan Wilayah Distrik dipecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu:

1. Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi, dan Arjasa.
2. Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe, dan Sukowono.
3. Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli, dan Jenggawah.
4. Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari, dan Tempurejo.
5. Distrik Tanggul meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru, dan Bangsalsari.
6. Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong Gumukmas, dan Umbulsari.
7. Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu, dan Balung.

Sistem pemerintahan desa di Kalisat (Kades pertama) dimulai pada era antara 1913 hingga 1941, mengikuti catatan di atas. Kades pertama biasanya dimakamkan di ketinggian, dengan sebutan Mbah atau Bujuk. Namun tidak semua pesarean bujuk adalah mantan kepala desa.


Makam Mbah Genduk. Dokumentasi Kari Kecingkul

Di desa Kalisat kecamatan Kalisat ada sebuah makam yang terletak di puncak gumuk. Semua warga sekitar mengerti jika itu adalah makam Mbah Genduk, Kades pertama di desa Kalisat kecamatan Kalisat. Kepala desa setelah Mbah Genduk bernama Truno.Kepala desa nomor tiga, setelah Truno, ia bernama Srika. Kades Srika menjabat selama sepuluh tahun, sejak 1942 hingga 1952.

Itulah gambaran umum tentang sistem pemerintahan desa di Kalisat.

*Catatan ini masih belum selesai dan akan disempurnakan di lain waktu.
Sudut Kalisat © 2014