Senin, 29 Februari 2016

Sebuah Grup Akustik Bernama IKL

Senin, 29 Februari 2016
Adakah di antara Anda yang pernah menjumpai sebuah grup akustik di stasiun Jember pada era 1990an? Mereka adalah IKL, kumpulan musisi Jember asal Kalisat. Di masa itu, pihak Daop IX Jember mengizinkan IKL untuk bermusik setiap Sabtu sore.

IKL adalah singkatan dari Ikatan Keluarga Lorskal. Sedangkan Lorskal sendiri adalah singkatan dari Lor Stasiun Kalisat, dengan penulisan memakai huruf T ditengahnya. LORSTKAL. Jadi, Lorstkal adalah nama tempat/pemukiman di utara stasiun Kalisat. Mulanya sebelum dikenal dengan Lorstkal, wilayah ini lebih dahulu dikenal dengan nama Lorban untuk menunjukkan posisi, di utara (lor) banspoor.

Di tempat itulah IKL lahir dan bertumbuh, di 'kampung' Lorstkal. IKL ada sejak 1988. Para musisinya kadang berganti, lintas generasi.

Seiring berlalunya waktu, ketika anggota IKL banyak yang berpindah tempat dan tak lagi fokus di lor stasiun, kepanjangan Lorstkal berubah menjadi Lingkungan Orang Seni Kalisat, dan tanpa huruf T di tengahnya. Lorstkal menjadi Lorskal.

Begitulah IKL, di dalam singkatan ada singkatan.


Ketika IKL bermain di acara kolektif Sanskerta Ethnic Fusion, menyambut 4 tahun proses kreatifnya. Sanskerta menamai acara ini dengan, Catur Warsa: Tunggal Jati Swara Hartati

Kemarin malam --27 Februari 2016-- ketika sedulur Sanskerta Ethnic Fusion bikin acara kolektif untuk mengingat empat tahun proses bermusiknya, IKL diberi kesempatan untuk turut bernyanyi. Mereka mempersembahkan lima lagu. Dimulai dengan lagu pertama berjudul Keraben Sape Medureh, lalu disusul menyanyikan lagu milik Leo Kristie, Catur Paramita.

Mereka bernyanyi dengan gembira, hingga lagu terakhir. Mbois!

Minggu, 21 Februari 2016

Perihal Nasi Bungkus

Minggu, 21 Februari 2016
Cafe datang dan pergi, begitu juga dengan gerai makanan di areal kampus Bumi Tegalboto Jember. Mati urip mati urip, berganti pengelola, berganti nama, berganti pula resep makanannya. Tapi Nasi Bungkus Bu' Bongkar masih tetap bertahan, masih tetap memberi yang terbaik pada generasi bangsa yang kelaparan. Ia ada sejak 1993.

Terima kasih Bu' Bongkar. Bongkar kebiasaan lama. Orang Indonesia suka nasi bungkus.

Catatan pendek di atas adalah sebagai komentar balasan saya --di Facebook-- untuk seorang rekan bernama Wisnu Psylockee. kami saling berkomentar sehat di sebuah catatan yang saya tulis sendiri, berjudul; Nasi Bungkus.

NASI BUNGKUS

Mula-mula ia adalah nasi putih yang diberi kering tempe, tahu, mie, dendeng sapi yang diiris tipis sekali, dan telur 'godog' bumbu merah. Lalu ia dibalut dengan daun pisang. Kemudian masih dilapisi lagi dengan koran bekas. Jika lapar, siapapun boleh membelinya dengan harga kelas rakyat. Ia bahkan boleh diminta oleh mereka yang lapar namun tak punya alat tukar.

Sederhana. Tak jarang, dari sesobek koran bekas itu kita bisa memperoleh pengetahuan.

Saya beruntung mengenal dengan baik perempuan di balik pembuatan nasi bungkus di atas, meski kini ia telah tiada. Bersamanya, saya jadi mengerti bagaimana caranya memperlakukan makanan.

Ketika memasak, memilah-milah, hingga proses membungkus, ia ibarat Sura'i yang sedang mempersembahkan sekuntum cinta untuk Sulami. Telaten, kata orang Jawa.

Sekali waktu tentu ia lelah. Namun kebiasaan itu dilakukannya setiap hari, terus menerus. Ajeg. Istiqomah. Setia kepada proses. Ini bukan tentang bagaimana menjadi kaya. Sebab jika itu judulnya, ia tak akan menitipkan sejumlah nasi bungkus itu di tempat-tempat tak strategis seperti di dekat sekumpulan abang becak. Tentu dia akan menitipkannya di tempat yang ideal, strategis, menjanjikan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh ilmu ekonomi modern.

*Kelak, Tuhan memberikan kekayaan kepada perempuan pembuat nasi bungkus itu dari pintu yang lain.

Nasi bungkus adalah tentang menempa diri, tentang hidup dan kehidupan, dan tentang rasa cinta. Mari menghargai makanan, setidaknya dengan tidak menghardiknya.

Jember, 13 Februari 2016



Nasi Bungkus di Kedai Doeloe Kalisat

Kabar baiknya, sejak 18 Februari 2016, Anda bisa kembali menjumpai nasi bungkus di Kedai Doeloe Kalisat. Kiranya, nasi bungkus itu disajikan dengan cinta. Hanya lima bungkus saja per-hari, dan hanya bagi yang lapar. Jika Anda sedang punya alat tukar, silahkan membayar sejumlah 4000 rupiah. Jika sedang tak punya, sangat boleh diminta.

Teringat pendapat Wisnu tentang nasi bungkus.

"Di Jogja ada sego kucing, di Surabaya ada sego sambel, di Bali ada nasi jenggo. Nasi bungkus selalu lekat dengan para aktivis, turun ke jalan menyuarakan haknya. Tak hanya di Indonesia, nasi bungkus juga bisa kita jumpai di Malaysia, India, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya. Ia ibarat raja jalanan. Dijual, dimakan, dan dibuang di jalan dengan terhormat."

Kemarin malam, Om Aziz warga Kalisat asal Gresik, ia bercerita kepada saya tentang nasi bungkus bernama sego saduk'an. Adanya di kabupaten Gresik.

"Bayangkan, di Gresik itu ada penjual sego saduk'an yang setiap harinya menyediakan satu box (mobil) nasi bungkus, dan selalu habis. Harganya terjangkau, ia sangat membantu orang-orang pinggiran yang lapar."

Jika sudah begini, saya teringat nasi bungkus hasil racikan Bu' Bongkar di areal kampus Jember. Dialah perempuan yang setia kepada proses dan dengan caranya yang sederhana, membantu orang-orang lapar dengan alat tukar terbatas. Terima kasih Bu' Bongkar, terima kasih nasi bungkus.

Kamis, 18 Februari 2016

Nasi Bungkus Titipan Rima di Kedai Doeloe Kalisat

Kamis, 18 Februari 2016

Nasi Bungkus Titipan Rima di Kedai Doeloe Kalisat

Pada 5 Februari 2016 lalu, Rima bikin lima bungkus nasi bakar jamur dan lima bungkus lagi nasi bungkus biasa. Dia menyebutnya nasi kucing. Di hari yang sama, di jejaring sosial Twitter saya menulis seperti ini, disertai foto.

"Ini hari pertama Rima berjualan nasi bungkus yang ia titipkan di Kedai Doeloe Kalisat. Semoga barokah ya Rim."

"Rima bikin 5 bungkus nasi bakar jamur dan 5 bungkus nasi kucing. Rima adalah putri tetangga kami di Kalisat."

"Hingga pukul sepuluh malam, dagangan si rima sudah laku tiga bungkus, sisa tujuh. Alhamdulillah."

Pada keesokan harinya, di jejaring sosial yang sama, saya menulis seperti ini.

"Rima hanya berjualan nasi bungkus satu kali saja. Esoknya ia tak berjualan lagi, disebabkan beberapa hal.

Tiga belas hari kemudian, tepatnya pada hari ini, Kedai Doeloe kembali dijumpai nasi bungkus. Bukan titipan Rima, namun hanya melanjutkan usaha yang pernah dicoba oleh Rima.

Tetap semangat, Rima!




Sudut Kalisat © 2014