Kamis, 25 Desember 2014

Markas KNIL di Kalisat

Kamis, 25 Desember 2014
Oleh: RZ Hakim


Markas KNIL di Kalisat

Foto di atas dijepret pada 14 Juni 2014. Tampak dalam foto, Lukman, salah satu pegiat seni dan sejarah di komunitas kari Kecingkul, ia sedang berdiri di depan pelataran sebuah rumah ber-arsitektur Eropa. Rumah ini berjarak sekitar 300 meter dari Stasiun Kalisat. Dulu, areal ini digunakan sebagai Markas Koninklijik Nederlands Indische Leger.

Seminggu sebelum berkunjung ke rumah ini, ketika berbincang dengan Ibu Sulasmini, saya mendapat gambaran lebih dekat mengenai wajah Kalisat saat masih ada Markas KNIL.

"Dulu di dekat sini ada markas KNIL. Tidak semuanya tidur di markas tersebut. Banyak dari mereka yang sengaja disuruh bergabung di rumah-rumah rakyat. Satu rumah dua KNIL.

Lalu Ibu Sulasmini bercerita tentang dua KNIL yang menumpang di rumah orang tuanya. Mereka adalah Tuan Tapik dan Tuan Welong. Selain dua orang itu, ada dua KNIL yang meskipun tidak turut tinggal, namun suka berkunjung. Mereka adalah Tuan Sataria dan Tuan Tendes.

"Tuan Tapik berasal dari Deli, sedangkan Tuan Welong dari Atambua. Mereka beristrikan orang Jember. Istri Tuan Tapik namanya Aminah, dari Jenggawah. Sedangkan istri Tuan Welong namanya Siti Munawaroh, dari Ambulu. Istri-istri KNIL kebanyakan memang dari daerah selatan, Nak."

Kisah yang keren, tak mungkin saya dapatkan di buku sejarah. Terima kasih Ibu Sulasmini.


Suasana di sudut rumah

Kata Ibu sepuh yang kini menjadi penghuni rumah tersebut, dulu rumah yang tampak dalam foto di atas adalah dapur. Sedangkan rumah aslinya ada di bagian depan. Itu rumah Komandan KNIL wilayah Kalisat.

Senin, 22 Desember 2014

Lokalisasi di Dekat Markas KNIL di Kalisat

Senin, 22 Desember 2014
Pada 13 Juli lalu, saya mendapat sebuah dongeng dari Ibu Sulasmini. Ia bercerita tentang keberadaan lokalisasi di Kalisat di masa kependudukan Belanda, tepatnya di dusun Ajung Oloh, Desa Ajung.

Kisah Bu Dulamin

Adalah seorang perempuan bernama Bu Dulamin, ia seorang pendatang yang menjadi germo di Kalisat. Losmen yang ia dirikan dimulai sejak zaman Jepang hingga Militer Belanda datang lagi, 1947 - 1949. Lokalisasi tersebut letaknya di tanah miring. Para pelanggan utamanya --di era Agresi Militer-- adalah para pasukan KNIL dan pasukan Cakra Madura.


Ilustrasi gambar dari npogeschiedenis

Jarak lokalisasi dengan markas KNIL hanya terpaut sekitar 300 meter saja. Di areal lokalisasi terdapat juga tempat perjudian. Paling marak adalah adu ayam.

"Saya kalau cari kayu bakar hingga mendekati rumah Bu Dulamin. Di sana banyak saya lihat perempuan-perempuan cantik. Ketika itu saya masih kecil sekali, sangat sulit mengingatnya."

Saat mengatakan itu, sepasang mata Ibu Sulasmini menerawang, mengingat-ingat masa kecilnya.

Setelah pihak Belanda tak lagi ada di Indonesia, losmen Bu Dulamin masih membuka praktek. Pelanggannya adalah orang-orang dusun. Tak lama kemudian, losmen ini hanya tinggal cerita.

Satu bulan sebelumnya, tepatnya pada 15 Juni 2014, ketika mengantar Marjolein jalan-jalan ke Rambipuji, saya mendapat kisah dari penduduk setempat. Namanya Mas Slamet. Dia bilang, "Dulu sebelum ada lokalisasi Besini di Puger, tempat prostitusi ya di sini ini, di Kaliputih-Rambipuji."

Di masa penjajahan Belanda, antara markas KNIL dengan lokalisasi memang seperti satu paket saja. Dimana-mana seperti itu.

Bagaimanapun, pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang, terlebih di masa seperti itu. Ketika ketidak-adilan sosial terjadi dimana-mana. Ia tak pernah selesai dikupas, tak bisa dihapuskan dari lembar sejarah. Ia adalah juga sisi gelap kehidupan manusia.

Jumat, 19 Desember 2014

Singgah Sejenak di Stasiun Sukosari

Jumat, 19 Desember 2014

Stasiun Sukosari. Dokumentasi Kari Kecingkul

Tadi sore kami berempat --Hana, Ivan, Deny, RZ Hakim-- singgah sejenak di stasiun Sukosari. Ia adalah sebuah stasiun kecil, lebih tepat dikatakan halte, yang lokasinya ada diantara stasiun Ajung dan stasiun Sukowono. Sukosari masuk kecamatan Sukowono kabupaten Jember. Stasiun dengan ketinggian 321 MDPL ini dulu mempunyai dua jalur kereta api. Dibangun pada tahun 1900, lalu tak lagi aktif sejak sebelas tahun yang lalu.

Mengapa jalur kereta api Kalisat-Panarukan tak lagi digunakan dan dibiarkan menjadi jalur mati? Hanya ada sebuah alasan klise, bahwa prasarana sudah mulai sangat tua, sedangkan biaya perbaikan terhitung tinggi sekali. Tentu ada ketidak-seimbangan dengan pendapatan yang dihasilkan dari penumpang di jalur ini.

Dibandingkan dengan stasiun Ajung yang rata dengan tanah, stasiun Sukosari masih bisa dibilang bernasib baik. Kondisinya memang memprihatinkan. Beberapa genting sudah jatuh. Namun secara keseluruhan, stasiun ini masih sangat memungkinkan untuk diselamatkan. Barangkali ini dikarenakan partisipasi warga sekitar. Mereka sering memanfaatkan stasiun Sukosari untuk menyimpan hasil panen. Jadi secara tidak langsung mereka juga turut menjaga keberadaan stasiun ini.

Selain dimanfaatkan oleh warga sekitar, digunakan untuk tempat nongkrong pemuda, stasiun ini juga tempat yang nyaman bagi kambing-kambing di siang hari, saat mereka butuh tempat berteduh dari terik mentari.

Selasa, 16 Desember 2014

Kalisat, Fashion dan Tata Boga

Selasa, 16 Desember 2014

Dokumentasi oleh Mohamat Solihin. SMAN 1 Kalisat, 16 Desember 2014

Dalam rangka Dies Natalis Pencinta Alam EXPA SMAN 1 Kalisat, mereka mengadakan lomba fashion di sekolahnya.

Ada dua hal yang paling sering saya jumpai di Kalisat, yaitu tata boga dan fashion. Di sini ada sebuah kampung yang rata-rata penduduknya tidak menyukai makanan pedas, berbanding terbalik dengan kampung di sebelahnya. Ada pula nama-nama makanan yang hanya dimengerti oleh warga Kalisat, misalnya pentol bolak-balik, nasi kuning yang hanya dijual pada hari minggu, warna jenang sapar yang berbeda (kaya warna-warna cerah, tidak menggunakan pewarna dari gula jawa saja, serta menggunakan air enjet yang dididihkan kemudian dijernihkan untuk nguleni adonan), dan lain-lain. Biasanya tata boga yang disajikan dipengaruhi oleh filosofi dan sejarah keluarga penyajinya.

Adapun fashion, mereka bergerak dan menyebar dengan cepat, tidak hanya di bulan Agustus, dan tak perlu menanti datangnya JFC. Ia berkembang dalam berbagai varian, berbagai model, tanpa mengindahkan batas-batas teritorial. Di sinilah lahirnya fashion tembakau.

Selasa, 09 Desember 2014

Mengapa di Sini Dilalui Jalur Kereta Api

Selasa, 09 Desember 2014
Oleh: RZ Hakim


Stasiun Sukowono sekitar tahun 1910

Foto di atas saya pinjamkan dari situs KITLV dengan keterangan, Groepsfoto op de halte Soekoewono in de residentie Besoeki. Di sana tertera jika waktu pemotretan sekitar tahun 1910. Sejarah perkereta-apian di Indonesia sendiri dimulai sejak zaman Belanda, tepatnya sejak hari Jum'at tanggal 17 Juni 1864. Saya pernah menuliskannya di sini.

Mengapa Kalisat dan Sukowono dilalui oleh jalur kereta api?

Kereta api adalah transportasi massal yang bisa memanjakan manusia dalam bidang pengangkutan. Jika kita rangkum, tentu hanya ada dua motif dari pihak penjajah. Pertama adalah motif ekonomi, yang kedua motif militer. Jalur Sukowono menuju Pelabuhan Panarukan. Sedangkan jalur dari Kalisat yang kini masih aktif, menuju Banyuwangi. Saya kira mereka hanya sedang memikirkan bagaimana cara termudah untuk memboyong sumber daya alam sebanyak-banyaknya ke negeri Eropa, juga tentang kemudahan dalam distribusi pasukan jika sewaktu-waktu terjadi konflik.

Menyediakan transportasi massal yang nyaman untuk penduduk Bumiputera adalah motif paling cok-koncok. Situasi dan kondisinya tentu berbeda dengan kereta api di hari ini.

Di penghabisan tahun 1901, bagian-bagian rel kereta api di Jawa sebagian besar sudah beroperasi. Garis timur berjumlah 812 km dan garis barat 841, terbanding dengan tahun 1894 garis timur 485,5 km dan garis barat 604 km.

Untuk garis Probolinggo - Klakah - Kalisat - Panarukan membentang sepanjang 185 km.

Pada tahun 1903 garis simpangan Kalisat - Banyuwangi sudah selesai pembikinannya. Kini kereta api telah bisa melintas di atas tanah yang teramat makmur. Proses pengangkutan hasil bumi menjadi semakin mudah.

Sebelum dibangunnya jalur kereta api dari Kalisat menuju Sukowono hingga Panarukan, pengiriman produk perkebunan dikirim ke pelabuhan Kalbut dengan menggunakan gerobak sapi sehingga membutuhkan waktu 2 hari dan daya angkutnya terbatas yakni 8 pak. Namun dengan dibukanya jalur kereta api tersebut hanya membutuhkan 3 jam perjalanan dengan daya angkut yang jauh lebih besar.

*Disarikan dari Buku Peringatan Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch Indie 1875 - 1925

Sabtu, 06 Desember 2014

Laba-laba Langka di Jember Utara

Sabtu, 06 Desember 2014
Kemarin, dua rekan dari Komunitas Kari Kecingkul mengajak kami menjelajahi Kalijejer, sebuah tempat di Dusun Dawuhan Kembar. Ia bukan tempat yang asing. Di sana, kami sering belajar bersama; memperhatikan keanekaragaman hayati, mulai dari semak belukar hingga hewan-hewan kecil.

Mas Ivan dan Deny S Ferdiyansyah, mereka berdua tampak senang sebab bisa berfotografi makro ria.

Saat gerimis turun dan semakin menderas, kami bernaung di gubug dekat kolam. Istirahat sejenak. Ketika itu, saya dan istri melewati waktu dengan menikmati karya-karya fotografi makro yang telah dihasilkan Deny. Luar biasa. Kiranya Deny sangat mengerti bagaimana caranya mendapatkan detail yang tinggi dengan jarak jepret yang sangat dekat.

Bagi saya, dunia fotografi makro adalah kabar baik bagi ilmu pengetahuan.

Deny juga berhasil mengabadikan si laba-laba mungil berwarna kuning, dengan nama ilmiah Platythomisus Octomaculatus. Ia adalah genus laba-laba kepiting, masuk dalam keluarga Thomisidae. Keberadaannya tak hanya di Afrika dan Asia Selatan saja, di Kalisat juga ada.


Dokumentasi oleh Deny S Ferdiyansyah

Saya pernah menjumpai laba-laba sejenis ini di Pohon Lamtoro. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh Deny. Dia menemukan laba-laba ini saat si kuning sedang nongkrong di dahan lamtoro. Platythomisus Octomaculatus kadang juga bisa kita jumpai di areal Poho Waru a.k.a Hibiscus tiliaceus.

Ada saya baca di sebuah sumber, laba-laba Platythomisus Octomaculatus adalah spesies yang agak jarang. Ia terbilang langka.

Jika diperhatikan sekilas, laba-laba ini memang mirip mainan. Ia seperti terbuat dari plastik. Memang jika tidak menjumpainya sendiri, kita akan sulit percaya jika itu adalah laba-laba tulen.

Jumat, 05 Desember 2014

Fotografi Makro Yang Tak Semudah Itu

Jumat, 05 Desember 2014
Hari ini, selepas Jum'atan hingga menjelang senja, kami menikmati hari di Taman Kalijejer milik keluarga Redy. Di sana kami belajar memperhatikan keanekaragaman hayati, mulai dari semak belukar hingga hewan-hewan kecil.

Saat pertama kali datang di lokasi, belum lagi njagrak motor, kami sudah dikagetkan dengan keberadaan seekor monyet dengan sabuk warna hijau pipa yang melingkari perutnya. Kala Mas Allo, itu adalah monyet milik orang yang lepas dari rantainya. Dia sudah lumayan lama menikmati keliarannya. Kami tidak sempat memotretnya sebab monyet itu lekas sekali menghilang. Mungkin ia turun ke arah sungai.

Om Bajil dan Deny S Ferdiyansyah, mereka berdua tampak senang sebab bisa berfotografi makro ria. Gerimis yang turun lebih dari dua jam memang sukses membuat perut kami sedikit lapar, namun ia tak berhasil membuat kami bersedih. Masbro dan Mbak Prit bahkan sempat berfoto ria di bawah rintik gerimis.


Foto oleh Om Bajil

Kiranya Fotografi Makro itu tak semudah yang dibayangkan. Melihat cara Om Bajil dan Deny memotret obyek hingga nungging dan kadang harus ndlosor, tahulah kita bahwa teknik mendapatkan detail yang tinggi dengan jarak yang sangat dekat butuh cara dan seni tersendiri. Ia juga butuh teknik mengatur napas. Dan tentu saja butuh sabar, hehe. Ohya satu lagi, momen.

Lihatlah foto di bawah ini. Untuk mendapatkannya, Deny S Ferdiyansyah harus mencari posisi yang tepat, mengatur napas, lalu memperhatikan detail. Setelah insting mengatakan oke, barulah ia menjepretnya.


Foto oleh Deny S Ferdiyansyah

Sebagian besar hewan-hewan kecil yang dijadikan obyek fotografi makro belum kami ketahui namanya. Seperti hewan kecil yang dijepret oleh Om Bajil di atas daun Pohon Sengon. Warnanya gelap, ada semacam kumis memanjang di depan moncongnya.


Foto oleh Om Bajil

Tentu kami ingin mengerti apa nama lokal untuk fauna mini tersebut, dan apa pula nama ilmiahnya. Untuk apa? Agar kami mengerti. Siapa tahu kami bisa mempelajarinya lebih lanjut. Setidaknya, kami akan mudah mendatanya di Komunitas Kari Kecingkul. 

Sulit juga ya fotografi makro. Belum pengaturan kamera, belum memperhatikan waktu di saat njepret, belum memperhitungkan arah cahaya, belum tentang berpikir untuk sedapat mungkin tidak merusak habitat serangga, dan memperlakukan posisi kamera, gimana caranya agar tidak goyang. Wah, ribet. Salutlah buat mereka yang menyukai fotografi makro.

Salam!
Sudut Kalisat © 2014