Kamis, 26 Desember 2013

Makam Buyut Madin di Dusun Grugul

Kamis, 26 Desember 2013
Oleh RZ Hakim

Tinggal di desa dan tua bersama rupanya tak hanya ada di karya sastra belaka. Banyak orang-orang yang telah melakoninya, diantaranya adalah pasangan Kakek Kamsih dan Nenek Buana. Oleh masyarakat lingkungan sekitar, mereka berdua dikenal dengan nama Mbah Wa. Mereka dipanggil Wa, sebab putri sulung mereka bernama Seniwati, dengan panggilan Wa.


Bersama Kakek Kamsih - Dokumentasi 25 Desember 2013

Kakek Kamsih dilahirkan pada tahun 1936. Ia pernah mengabdi sebagai Hansip pada 1957 hingga 1970, melewati 5 petinggi desa. Di tahun 1970, Kakek memutuskan untuk berhenti sebagai Hansip, dan membuka warung di atas tanah milik saudaranya, hingga saat ini. Warung mereka kecil saja, menyatu dengan rumah. Tepat di belakang rumah mereka, menjulang sebuah gumuk atau bukit kecil. Pantas jika sumur dan sungai kecil di sana airnya terasa segar, jauh lebih segar dibanding air kemasan.

Lokasi kediaman mereka ada di Dusun Grugul, dusun yang berbatasan langsung dengan desa Patempuran dan desa Sumber Kalong, Kalisat.


Nenek Buana

Berbeda dengan Kakek Kamsih, Nenek Buana tidak mengerti tahun berapakah ia dilahirkan. Namun dari perempuan berparas bijak ini, saya mendapati sebuah cerita, bahwa di puncak gumuk di belakang rumah mereka, ada terdapat sebuah makam kuno.

"Itu makamnya Buyut Madin Nak, yang mbabat Dusun Grugul dan sekitarnya."

Makam Buyut Madin atau Mahin kini sudah diberi cungkup, semacam rumah kecil. Makam itu biasanya ramai dikunjungi dan dibersihkan oleh warga ketika menjelang Idul Fitri. Sembari menyiapkan kopi dan makanan untuk kami, Nenek aktif bercerita tentang gumuk di belakang warungnya.

“Boleh saya naik ke atas gumuk, Nek?”

Demi mendengar kata-kata yang saya lontarkan, perempuan sepuh itu tersenyum mengiyakan. Begitulah selanjutnya. Seusai makan, saya melangkahkan kaki menuju makam Buyut Madin --sebagian ada yang menyebutnya gumuk Madrin. Saya tidak sendirian melainkan ditemani oleh dua rekan muda, Leker dan Nendes. Sesampainya di sana, tampak sebuah cungkup yang dikelilingi oleh habitat bambu. Rimbun sekali. Entah bagaimana suasananya jika di malam hari.


Makan Buyut Madin di Dusun Grugul - Dokumentasi 25 Desember 2013

Tadinya makam Buyut Madin hanya dihiasi oleh pondok dari bambu saja. Tidak ada dinding di keempat sisinya. Barulah kemudian masyarakat di sekitar gumuk saling bahu membahu membuatkan cungkup untuk makam ini. Biaya materialnya didapat dari iuran seikhlasnya, sedang pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Direncanakan juga jika jalan menuju makam juga hendak dipaving, tapi urung. Biayanya terlalu mahal.

Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling cungkup. Di sana ada saya lihat Al Quran, dua batang rokok kretek filter yang sudah berwarna putih mangkak, nisan yang ditutupi kain berwarna putih, kelambu di dalam cungkup untuk menutupi makam, dan tumpukan piring seng yang belum dicuci. Tebakan saya, tumpukan piring tersebut sekitar 40 - 50 biji. Entah, mungkin baru-baru ini habis ada semacam doa bersama. Hal ini lupa saya tanyakan.

Lalu saya turun menuju ke warung, nyruput kopi, dan kembali ngobrol bersama mereka, Kakek Kamsih dan Nenek Buana.

Pasangan sepuh ini dikaruniai dua buah hati. Yang nomor satu putri, bernama Seniwati, panggilannya Wa. Itulah kenapa mereka juga biasa dipanggil Mbah Wa. Yang bungsu laki-laki, bernama Kusminardi. Dari keduanya, mereka mendapatkan cucu-cucu tersayang yang sekali waktu mengunjunginya.

Mereka menua bersama, saling menjadi teman bicara, menghabiskan sisa usia di kaki gumuk yang tak seberapa tinggi, yang di atasnya terdapat makam Buyut Madin, di sebuah dusun bernama Grugul, Desa Sukoreno, Kecamatan Kalisat, Jember.

Menua bersama di kaki Gumuk, alangkah indahnya.

Sedikit Tambahan

Catatan ini sebenarnya adalah lanjutan dari catatan sebelumnya yang berjudul; Kalisat Punya Banyak Puncak Gumuk.

Rabu, 25 Desember 2013

Kalisat Punya Banyak Puncak Gumuk

Rabu, 25 Desember 2013
Oleh RZ Hakim

Tadi sore saya mengajak Prit jalan-jalan ke Kalisat, Jember Utara. Di sini kami mengunjungi beberapa gumuk, dua diantaranya sempat terdaki. Salah satu dari gumuk itu dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman sedulur Chinese Indonesian. Jalan menuju ke puncak tertata rapi dan berpaving.

Dulu semua orang bebas masuk dan mendaki hingga ke puncak gumuk. Hanya zona-zona makamnya saja yang dipagari. Namun suatu hari ada terjadi kecelakaan. Saya dengar kabar dari warga sekitar gumuk, dulu ada dua orang anak usia pelajar yang turun ke bawah naik motor. Tak disangka rem motornya nge-slong. Lalu mereka terjatuh. Kisah naas itu menyebabkan pengurus gumuk membuat portal pintu masuk. Orang semakin sulit untuk mendaki ke puncak gumuk.


Suasana makam overseas Chinese di puncak gumuk di Kalisat

Dari puncak, kita bisa memandang Taman Makam Pahlawan Kalisat yang berada tepat di bawah gumuk, anak-anak kecil yang bermain bola di samping TMP, dan juga Argopuro di kejauhan sana.


Dokumentasi 25 Desember 2013

"Indah ya Mas," ujar Prit.

Iya, indah sekali. Hawanya segar. Yang lebih terasa indah, fungsi gumuk sebagai pemecah angin, serapan air, ruang hidup keanekaragaman hayati, dan sebagainya, masih terjaga.

Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan, ada kereta api lewat, jurusan Banyuwangi. Saya sibuk merogoh hape di saku, ingin lekas-lekas memotretnya. Sayangnya saya kalah cepat.

Ingat kereta api, ingat pula kisah Cak Har. Ia pernah bercerita tentang Gumuk Marada di Sumber Jeruk yang dulu pernah direncanakan oleh Belanda akan dibuatkan terowongan tembus, membelah gumuk. Untuk jalur jurusan Sumber Jeruk - Kalisat. Rencana itu tidak jadi dieksekusi.

Foto di bawah ini diambil lima bulan yang lalu, ketika saya dan istri, serta Cak Har dan putrinya, satu lagi seorang kawan bernama Nan, kami mendaki Puncak Marada.


Di Puncak Marada bersama Cak Har - Dokumentasi 14 Juli 2013

Kata Cak Har, setelah Belanda mencoba membuat galian di sana, tidak berhasil. Entah apa penyebabnya, saya sendiri tidak tahu. Cak Har lebih banyak menceritakan sesuatu yang di luar logika. Kisah itu dia dapat dari Bapaknya, Bapaknya menerima kisah itu dari Kakek Cak Har. Saya kurang percaya, tapi tetap mencatat semua itu di sebuah notes kecil.

Kini jalur kereta api bergerak memutari Gumuk Marada. Saya pernah mendaki Marada dan menanti datangnya kereta. Benar, ketika kereta api lewat, saya terpukau. Indah sekali menatap kereta yang bergerak meliuk dari ketinggian.

"Di awal 1900an, Belanda menggunakan dinamit untuk meledakkan lereng-lereng gumuk untuk dijadikan jalur kereta api."

Itu kata Nendes, adik saya di pencinta alam yang sedang melakukan riset observasi gumuk di Jember. Dia menemukan data-data itu dari koran jaman Hindia Belanda. Tadi sore Nendes juga ikut saya jalan-jalan, bersama Leker dan FranQie.


Laba-laba di Puncak Gumuk

Di puncak gumuk ini juga saya dapati laba-laba. Rata-rata gumuk di Jember ada predator laba-laba yang mengendalikan jumlah serangga lain, termasuk capung.

Pukul empat sore, perut saya dangdutan. Lapar. Kemudian kami turun, menuju warung Mbah Wa, yang berada tepat di kaki gumuk yang tidak ada namanya. Lokasinya ada di dusun Grugul, berbatasan langsung dengan Dusun Patempuran dan Dusun Sumber Kalong, Kalisat. Di atas gumuk ini, ada makam Buyut Madin (atau Buyut Madrin). Ia dipercaya sebagai pembabat dusun Grugul desa Sukoreno, Kalisat. Saya sempatkan juga untuk ke makam Buyut Madin, ditemani Leker dan Nendes.

Untuk kisah Buyut Madin, bisa Anda baca di sini.

Terima kasih.

Sudut Kalisat © 2014