Senin, 15 Agustus 2016

Pandalungan Versus Pedalungan

Senin, 15 Agustus 2016
Catatan berjudul; Kalisat: Dari Bakers hingga Pabrik Kecap, ia tayang di grup Sudut Kalisat Dokumenter pada 14 Agustus 2016. Di hari yang sama, terjadi diskusi di kolom komentar terkait budaya Jemberan. Saya menyebutnya, Pandalungan Versus Pedalungan. Silakan disimak obrolan-obrolan ini bila tertarik. Terima kasih.

Ikwan Setiawan: Kesalahan pertama adalah mengatakan pandalungan hanya sekedar campuran Jawa dan Madura. Terlepas setuju atau tidak setuju, kalau kemudian pandalungan difahami sebagai Periuk besar, ya di situ ada banyak entitas etnis dan budaya. Jawa, Madura, China, Arab, Using, dll. Pola pikir seperti itu yang akan menjadikan kita membuka mata bahwa banyak kontribusi dari etnis-etnis lain selain Jawa dan Madura dalam membentuk Jember sebagai wilayah banyak-budaya.

RZ Hakim: Nah, mari kita perbaiki dahulu kesalahan pertama itu. Sebab kita hidup di sebuah negeri yang mengusung gagasan demokrasi. Ia seharusnya, meski dalam angan-angan, tak mengenal kata dominan/dominasi.

Jadi, kapan nongkrong di di Kalisat, prof muda?

Ikwan Setiawan: Wekekekekek prof jareeeee..... Aku sekali lewat Kalisat sama keluarga, Brooo. Nyari-nyari rumahmu kagak ketemu, soale dapat info dari Brade Adit kurang lengkap. Pasti akan saya cari waktu untuk ke sono.

RZ Hakim: prof bal-balan. Arah menuju SMA Negeri Kalisat, rumahnya masih berasitektur Belanda, aset kereta api, hehe.. Oke, setia menanti.

RZ Hakim: Tiba-tiba teringat perbincangan dengan Yongky Gigih Prasisko tepat tiga minggu lalu. Waktu itu iseng-iseng menampilkan foto dokter Faida, Yongky teringat sesuatu.

"...Btw teringat pas saya liat pidato Bu Faida, dia dari BWI Krikilan, berwajah Arab, berlogat Madura, berbahasa Indonesia."

Obrolan berlanjut. Kebanyakan bercandanya. Lalu gantian saya yang nulis, "Hingga pemula 1930an, Tjamboek Berdoeri tetap menyebut OSING pada turunan Jawa dan Madura di Jember."

"Jember mana Pak Bro?"

"Hotel Mars dan sekitarnya."

"Oo.. Pasar Johar dan sekitarnya kayaknya pernah jadi perkampungan etnis Tionghoa, mungkin bisa jadi ada eksklusifitas kaum Tionghoa meng-osing-kan masyarakat lokal. Tjambuk kalo gak salah juga dari Tionghoa. Ini hanya opini."

"Ati-ati kepleset lho Yong, mengko malah rasis hehe.. Tapi kamu benar untuk urusan lokasi."

Duh, Yongky.. Yang bukunya dibedah 10 Agustus 2016 wingi kae, bareng Bayu Dedie Lukito, sopo dosene sing nang Jember? Haha.. guyon. Buat Yongky, selamat atas bukumu. Iku keren sarah!

Ikwan Setiawan: He he he ...

Yongky Gigih Prasisko: Pandalungan yang berasal dari kata dhalung yang merujuk pada periuk besar itu ahistoris. Jika dilacak, konvensi makna ini berasal dari makalah Alm. Prof. Ayu Sutarto pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7–10 Agustus 2006. Di makalah itu Prof. Ayu Sutarto secara ahistoris menyebut pandalungan dengan langsung merujuk pada kata dhalung dari kamus Bausastra Jawa Prawiroatmodjo. Konvensi makna ini terus direproduksi secara tidak kritis, sehingga membenarkan sikap untuk tidak melihatnya kembali dalam konteks sejarah kemunculan istilah itu. Istilah itu muncul bukan makbdunduk terucap, tetapi ada alasan-alasan historis yang menyebabkan istilah itu disematkan untuk orang-orang khususnya di pesisir utara Jawa Timur.

Sampean wingi gak teko Pak Bro RZ Hakim, aku wes menjelaskan panjang lebar tentang iki wingi.

RZ Hakim: Ahaha.. Sepurane Yongky aku lali. Sukses ya buat bukumu. Aku termasuk pembeli istimewa, tuku bukune langsung marani awakmu nang Jogja, se lambek ruah.

Hal-hal terjadi di Jember, dari Puger hingga Kalisat-Sumberjambe. Orang-orang membuatkan sesuatu, diproduksi oleh rahim kuasa. Dari suwar-suwir, labako, dan kini ada roda besar yang digelindingkan untuk mempropagandakan sesuatu. Kami menjadi obyek, bukan subyek. Jika tak setuju ia akan tetap pula digilas roda besar. Yongky memilih untuk bikin buku sebab dia gelisah.

Ikwan Setiawan: Yo kamu salah juga kalau ngomong istilah itu berasal dari Prof Ayu... Lha orang-orang di Tegalboto sudah bilang pandalungan, jauh sebelum prof Ayu nyebut itu dalam tulisan itu. Hi hi hi... Jawaban mereka adalah keturunan orang Madura kawin sama orang Jawa itu pandalungan. Bahkan orang Madura di asalnya sana juga sering menyebut mereka yang tinggal di Jember sebagai Madura pandalungan. Bolehlah itu berasal dari stigma karena proses politik, tapi ketika itu sudah mendapat makna baru, itu yang kudu dipahami juga. Ada proses dinamis yang menjadikan istilah itu menjadi biasa. Itu yang kudu dikaji lebih lanjut.

Ikwan Setiawan: Akibatnya hal yang awalnya menjadi kepentingan politik menjadi lentur bahkan pada hal hal tertentu dipahami sebagai keunikan. Bahkan banyak kepentingan yang bermain main di situ.

RZ Hakim: Aku pernah tanya ke Prof. Ayu Sutarto. "Pak, apa benar Anda yang bikin istilah Pandalungan?" Almarhum menjawab begini, "Mas Hakim, biarlah masyarakat yang menilai sendiri tentang Pandalungan."

Dan aku orang pertama yang mengantar Doktor Ikwan ke rumah bercat biru di Jalan Sumatra, rumah Pak Ayu, suatu hari ketika dirimu hendak lanjut kuliah S2. Yey, aku bakal mlebu biografi profesor muda.

Yongky Gigih Prasisko: Pandalungan bukan berasal dari Pak Ayu, tetapi sumber makna yang merujuk pada periuk besar itu dari versi Pak Ayu. Kenapa saya bilang tidak kritis, karena sampai sekarang konvensi makna versi Pak Ayu itu terus direproduksi tanpa menimbang pertimbangan lain (scara historis), kalau begitu jadi tidak ada dinamika. Hanya reproduksi.

Ikwan Setiawan: Saya lebih suka melihat bagaimana proses yang terjadi secara historis, meskipun itu stigmatik, sebagai dinamika yang kadang penuh kepentingan, tegangan, percampuran, bahkan konflik yang tiada akhir. Tidak berhenti pada makna negatif itu. Makanya, saya memaknai Periuk besar itu sebagai sebuah kompleksitas yang kagak bisa disederhanakan hanya dengan Jawa dan Madura.

Ikwan Setiawan: Bahkan di situ pengaruh Eropa juga harus kita akui.

Yongky Gigih Prasisko: Persoalannya lebih mendasar, persoalan makna periuk besar yang ahistoris ini tidak ada pembanding makna yang historis. Kalau tentang proses percampuran aku setuju, cuma periuk besar iku sing mengganjal.

RZ Hakim: Jadi sebenarnya esensinya sama. Tentang keterbukaan pada proses percampuran budaya, tak melulu Madura dan Jawa. Di Kalisat ada Kampung Banjar, misalnya.

Masalahnya ada pada kata Pandalungan itu sendiri. Dalung=Periuk Besar atau piring raksasa. Kita harus melacaknya lagi, bersama-sama. Apa sudah benar? Darimana ia berasal?

Jika jauh sebelum Pak Ayu, orang-orang Tegalboto sudah pakai istilah Pandalungan/Pendalungan/Pedalungan, itu jauhnya terlacak hingga tahun berapa? Bagaimana pula dengan tempat-tempat lain, apakah memakai Pandalungan dengan maksud yang sama?

Baik untuk diperbincangkan di Kalisat. Silakan singgah.

Yongky Gigih Prasisko: Saya kadang membayangkan realitas cenderung kelihatan simplistik jika dibaca secara teoritis an sich. Tegangan relasi kultural memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang tidak terlihat secara teoritis, dan kerap proses dinamika itu akhirnya menjurus pada klaim bahwa Jember hanya mereproduksi budaya-budaya daerah lain. Atau budaya Jember yang tak/belum berbentuk. Daripada menggarap yang belum jelas bentuknya mending melihat Banyuwangi. *warning banyuwanginisasi Jember

Yongky Gigih Prasisko: Saya lebih cenderung menggunakan kata pedalungan.

Ikwan Setiawan: Kalau soal kamu pakai istilah pedalungan , it's oke. Tentu ini akan menjadi terma yang merujuk pada proses "lungo" yang sangat kaya makna dan proses. Yang juga memungkinkan berlangsungnya tegangan dan percampuran. Soalnya percampuran itu juga perlu dipetakan lebih jelih lagi.

Yongky Gigih Prasisko: Dan itu butuh dana riset Mas Ikwan Setiawan :D

Yongky Gigih Prasisko: Mari melihat Jember.

Ikwan Setiawan: Karena pada tataran tertentu itu tidak berlangsung dengan asyik, dan pada tataran yang lain asyik-asyik aja. Ada sebagian Orang Jawa Mataraman di Semboro yang sampai sekarang enggan bermenantu Madura, tapi mereka oke-oke aja ketika meniru cara membangun musholla di depan rumah layaknya orang Madura.

Ikwan Setiawan: Aku dulu pernah ditawari dana riset oleh Pemkab, tapi kagak mau soale potongannya 50%... he he he

Ikwan Setiawan: Bahkan ada di pasar Semboro ada pedagang China yang menjadi koordinator arisan multietnis.

Ikwan Setiawan: Saranku Yongky Gigih Prasisko, kalau kamu ingin benar-benar memahami Jember, mulailah dari perkebunan.

Ikwan Setiawan: Atau wilayah-wilayah bekas perkebunan.

RZ Hakim: Brade Ikwan Setiawan, ke depan, semoga kita tidak lupa dengan satu hal, kuasa media. jadi, mau tidak mau, setuju atau tidak, kita memang harus pandai membaca berita di balik berita.

Untuk Yongky, ngene lho Yong. Entah kamu pakai istilah medal lungo atau periuk besar/dalam, penelitian itu penting. Nek perlu live in dengan biaya mandiri. Koen kan akeh duite teko buku :) Dua minggu saja itu tidak cukup, jenderal. Kene wae, nang kalisat, enek kamar kosong iki lho.

Aku wae sing lahir nang njember, bapak berbahasa ibu bahasa madura, ibu berbahasa jawa, aku tidak grusa-grusu menyebut diriku sebagai manusia hasil karya pendalungan/pedalungan. Alon-alon bleh :D Semangat!

Ikwan Setiawan: Aku ada novel ETNOGRAFI bagus tentang perkebunan Jember, dalam bahasa Inggris ditulis Prof. Vredenberg tentang kompleksitas relasi dalam perkebunan. Meskipun kita kudu ati-ati terkait stereotip yang muncul, tapi paling tidak kita bisa tahu bagaimana awalnya para pekebun Belanda mengkonstruksi Jember.

Ikwan Setiawan: Brade RZ Hakim kalau soal media, supakat... Makanya kan kita kudu membuat pemahaman-pemahaman baru terkait berita-berita tertentu. Termasuk rencana menjadikan Jember kota Pandalungan... he he he

RZ Hakim: Menarik! Bagaimana cara mendapatkan buku yang sama? Terro ngenjemah, takok tak olle. Aku cari KOELI.

Nama itu kadang-kadang penting, kadang-kadang tidak penting. Nama yang penting, misalnya nama sebuah desa, kami harus melacaknya.

Kalau untuk urusan Jember, apapun namanya, entah kota Pandalungan atau Pedalungan, atau pakai kata Jember Kota Salbut, asal tak bicara mayoritas-minoritas, pribumi-pendatang, lemah-dominan, aku oke-oke saja. Itu lebih Pancasila.

Yongky Gigih Prasisko: Aku wingi mulai dari hutan Mas, sebelum perkebunan. Perkebunan msih pelan-pelan. Data-data perkebunan masih sensitif diambil, aku pernah minta padahal gae surat sik ruwet. Punya Pak Chandra dan pak Edy Burhan wes khatam.

Ikwan Setiawan: Masih dibawa sama istrinya Man Ebhi Brade. Koeli itu istilah yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Inggris. Itu memang lahir dari istilah perkebunan. Aku pernah punya buku yang khusus bahas itu, jadi bukan hanya orang pribumi pekerja, tapi juga China pekerja juga dilabeli koeli. Sayangnya, buku itu dipinjam kawan dan seperti biasa musnah dan kawan itu juga pergi entah ke mana. Bicara tentang Koeli di Sumatra...

Yongky Gigih Prasisko: Pak Bayu Dedie Lukito ayoo ndang ngomong tentang Jember budaya kuli.

Ikwan Setiawan: Iya Yongky Gigih Prasisko karena struktur masyarakat Jember ini awalnya memang dibentuk dari pusat perkebunan. Misalnya, kenapa kyai-kyai itu kaya dan punya lahan luas, karena mereka mendapatkan konsesi dari pekebun agar ngedhem-ngedhem para buruh Madura di wilayah perkebunan. Penguasa kebun juga berhutang banyak ke kyai, karena ketika ada urusan tertentu mereka akan minta tolong kyai. Persis sekarang ini, ketika ada urusan-urusan politik banyak orang ke kyai.

Ikwan Setiawan: Itu yang saya katakan sebagai kompleksitas

Yongky Gigih Prasisko: Kalau dari sudut pandang tata kelola hutan, pada mulanya formasi masyarakat Jember dibentuk dari kerja mblandong.

RZ Hakim: Zaman lambek, antara 1400-1700an, di rentang sejarah Indonesia, perbudakan pernah menjadi sistem kerja yang absah dan baik-baik saja. Praktik ini berlangsung pada masa kurun niaga. Kala itu terdapat sejumlah orang yang menyerahkan dirinya secara sukarela kepada penguasa untuk jadi budak. Antara lain tersebab utang, ketidakmampuan membayar mas kawin, kegagalan panen, atau malapetaka lain.

Lalu muncul zaman perkebunan di Jember. Pas!

Ikwan Setiawan: Dan kalau kamu tinggal agak lama di perkebunan, kamu akan mendapatkan kemiripan dengan struktur masa kolonial, di mana para buruh itu masih harus begitu menghormati sinder seperti Raja. Padahal sinder itu juga berasal dari etnis Madura. Repetisi sistem kolonial masih berlangsung ketika JFC sudah menjadi biasa di pusat kota.

Zuhana Anibuddin Zuhro: Bangun dalam keadaan tidak enak badan. Demam dan sakit tenggorokan. Tapi merasa sudah ingin sehat ketika membaca diskusi yang menarik antara Mas Doktor Ikwan Setiawan dan Dek Calon Doktor Yongky Gigih Prasisko. Membayangkan membuatkan kopi mereka ketika berdiskusi di Kalisat. Tentu saya bisa sambil sesekali mencuri dengar obrolan tibgkat dewa ini.

Yongky Gigih Prasisko: Ya semoga bisa masuk perkebunan, soalnya terakhir saya ngobrol dengan orang LT (lembaga tembakau), Disnaker pun bahkan tidak punya data tentang jumlah buruh PT. Perkebunan. Saya tidak tahu apa Ketajek sudah selesai kasusnya dengan PT. Perkebunan. Sekarang yang paling baru kasus di Mulyorejo.

Ikwan Setiawan: Aduhai adinda Zuhana Anibuddin Zuhro sungguh sangat mulia hatimu. Brade RZ Hakim dilarang ngambek... wekekekek

RZ Hakim: Dikejar dengan bergelas-gelas anggur (kata Meggy Z), dibalas dengan secangkir kopi. Kukut bandare.

Singgahlah ke Kalisat, Kali itu zaman/waktu/ketika, Sata itu tembakau.

Zuhana Anibuddin Zuhro: Apakah yang terbujur dari ujung selatan Jember sampai bagian timur itu hanya hutan semua Yongky Gigih Prasisko? Lalu, apakah semua masyarakatnya Mbladong hingga bisa disebut mewakili keseluruhan Jember? *ojok dijawab : sampeyan gak moco bukuku Mbak? 😂

Ikwan Setiawan: Itu masuk akal Brade... he he he.. Kan salah satu pusat perkebunan tembakau. Yang menarik adalah seperti Brade omongkan kalau kedatangan orang-orang China itu selalu didukung kepentingan untuk meramaikan sebuah wilayah dengan perdagangannya. Jadi mereka memang terhormat di masa kolonial.

Ikwan Setiawan: Tapi mereka juga bisa berinteraksi dengan warga Madura Jawa dan yang lain. Itulah mengapa konflik berdarah antara mereka aku belum pernah baca di Jember (mungkin aku salah). Khususnya di masa kolonial dan era Sukarno. Meskipun Sukarno mulai melakukan pembatasan... tapi di wilayah Jember belum pernah dengar kasus China dengan warga etnis lain.

RZ Hakim: Brade Ikwan, luka budaya pernah terjadi di Kalisat pada 1967. Itu saja, satu-satunya, hasil rentetan dengan wilayah lain juga. Misal, Banyuwangi.

Ikwan Setiawan: Nah, informasi yang menarik Brade. Tapi apa itu ada hubungannya dengan komunisme 65???

RZ Hakim: Kalau secara nyata, berbagai proses penangkapan warga PKI di wilayah Kalisat, Jember bagian Utara terjadi pada tanggal 22 Oktober 1965. Serem di sini.

Nah, setelah itu kan kondisi politik negeri ini kacau. Mudah untuk menyulut kekacauan, apalagi jika yang disentil adalah sara dan kecemburuan ekonomi --ketika ekonomi sedang sulit-sulitnya-- di wilayah tapalkuda. Orang-orangnya bersumbu pendek, mudah meledak.

Hanya sekali itu saja di Kalisat. Namun sekali tempo, di sini masih menyisakan candaan agak-agak nyrempet rasis gitu, hehe.. Terlepas dari semuanya, Kalisat indah! ia punya modal sosial untuk membangun dirinya sendiri.

Ikwan Setiawan: Sepertinya kita kudu berbincang sambil menikmati Kalisat Brade. He he he aku tak nyari waktu lah..

Yongky Gigih Prasisko: Aku kate nambahi komen bingung sing endi sing kate tak respon. Gak sido wez. Telat 5 menit, komene okeh.

Yongky Gigih Prasisko: Komennya Cak Iwan Ndut ini menurutku menarik, tentang Jember sebagai budaya pekerja.


Screenshot dikirim Yongky pada 14 Agustus pukul 17:22

Ikwan Setiawan: Makane Yongky Gigih Prasisko, aku dulu kan pakai konsep diaspora lokal untuk kajian awal. Ada kerinduan terhadap Jawa terhadap Madura terhadap China dan lain lain. Itu menjadi wajar. Tapi juga ada pertemuan kultural. Itu yang pada akhirnya menghasilkan dinamika dan kompleksitas. Nah, makanya kudune diperkuat dengan mengurai dulu sistem perkebunan sampai perluasannya menuju wilayah pinggir kebun, desa, hingga kota. Memang butuh dana besar, tapi kata Brade RZ Hakim itu benar kita tetap butuh live in lah. Aku juga masih terus mengumpulkan data soal ini Semboro. Kalau soal dana riset, aku juga nggak punya untuk kajian Jember, biasanya sih teman-teman LEMLIT. Dan aku bukan bagian dari rezim LEMLIT itu. Poinnya mari terus membaca Jember, sepakat denganmu.

Beny Noenk: Hallo-hallo Mas Ikwan Setiawan salam kenal dan terima kasih telah berbagi ilmunya.

Ikwan Setiawan: Waduh Mas Beny Noenk saya cuma menyauti Brade RZ Hakim. Saya yang harus meguru banyak. Insya Allah kapan-kapan bisa berdiskusi.

Minggu, 14 Agustus 2016

Kalisat: Dari Bakers hingga Pabrik Kecap

Minggu, 14 Agustus 2016
Saya terlibat pembicaraan menarik dengan Mas Andi Kurniawan di sebuah kolom komentar Facebook. Kami bicara tentang pemilik Depot 32 Kalisat --Tan Kok Ren, tentang Rumah Roti Soponyono yang legendaris di Kalisat pada 1970-1980an, yang berlokasi di sebelahnya Pak Soekarlan depan Kawedanan Kalisat, dan tentang nama-nama Hoakiao di Kalisat.

"Saya lebih dekat dengan keluarga Bakers Soponyono mas. Kebetulan Tan Kok Fi adalah temen satu angkatan SMPN Kalisat. Tapi kami saling mengenal dari kecil, karena Ayahku kerja dekat dengan tempat mereka. Ayahku bekerja di Perum Telekomunikasi, sebelum menjadi PT. TELKOM."
Bagi saya, toko roti selalu menarik. Dimana ada orang Eropa, di sana terdapat pula toko roti. Kiranya, sebelum Bakers Soponyono berdiri, di Kalisat telah ada toko roti lain, setidaknya di era 1920an.

Kisah yang dituliskan Mas Andi mengingatkan saya pada catatan Om Liang pada 19 Oktober 2015 lalu, dengan tiga foto penyerta, satu di antaranya adalah foto berikut ini.


Berikut yang Om Liang tuliskan;

"Foto-foto dari album lama ini berusia kurang lebih 85 tahun. Ada foto toko milik Kakek kami yang menjual kecap produksinya, Guci-guci tempat fermentasi kedelai, Kakak ipar Ayah kami dengan kebaya encim bersama putra putrinya."

Enam hari sebelumnya, Om Liang bikin catatan Facebook berjudul, KAKEK SAYA JUALAN KECAP.

"Kakek saya datang dari Tiongkok ke desa Kalisat di sekitar pergantian abad ke 19. Dia mendirikan pabrik kecap yang cukup maju.Tapi jangan dibayangkan pabrik kecap di rumah kakek saya itu seperti pabrik kecap di masa kini. Rumah kakek hanyalah berdinding papan dan bambu dengan banyak guci/gentong besar untuk fermentasi kedelai. Biarpun demikian banyak juga pabrik kecap lain yang memalsukan cap/merk dagang milik kakek saya. Hal itu terjadi berkali-kali hingga akhirnya kakek saya memasang foto dirinya yang di tempel di setiap leher botol kecap produksinya. Nampaknya taktik ini berhasil membuat pemalsuan itu berakhir. Sayangnya pabrik kecap ini hanya berjalan satu generasi saja."

Tujuh bulan lalu, ketika warga Kalisat bikin acara kolektif Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu, logo kecap NJOO THIOE HIEN Kalisat juga turut kami tampilkan. Meski berukuran kecil, ia menjadi daya tarik pameran foto.

"Dulu ada 2 pabrik kecap di Kalisat. Kecap nomor satu milik kakek saya, Kecap nomor berikutnya milik keluarga Kwee (Toko Cemara) sebelah depot 32." Tulis Om Liang pada Aunurrahman Wibisono di kolom komentar, 1 November 2015.

Pada 1898, satu tahun setelah diresmikannya stasiun Kalisat, telah ada tiga kelontong di Kalisat. Mereka sengaja diundang oleh penyelenggara wilayah, untuk membantu roda ekonomi di Kalisat. Di masa-masa itulah Njoo Thioe Hien hadir di Kalisat, lalu mencoba bikin usaha pabrik kecap.
Kalisat memiliki coraknya sendiri. Kurang patut rasanya jika kita grusa-grusu mengolomkan Kalisat dengan sebutan Pendalungan. Di sini saya lebih sering mendengar istilah 'Kalisatan' dibanding pendalungan.
Sudut Kalisat © 2014