Kamis, 30 Juli 2015

Bertanya Tentang Raden Salekan dan Pak Mujahir

Kamis, 30 Juli 2015
RZ Hakim

Pada 18 April 2015 lalu Mbak Lucia Sisworini dari Gresik bertanya pada saya. Ini yang Mbak Lucia tanyakan:

"Kim, tau R. Salekan/Salikan di JL. Kartini Kalisat? Itu masih kerabatku dari pihak Bapak. Beliau masih kerabat langsung Adipati/Bupati Jember pas zaman rekiplik. Ada banyak kenangan masa kecilku dulu pas berlibur. Kalau pisowanan, semua laku ndodok mulai halaman hingga masuk ndalem/rumah.

Hingga saat ini saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Lalu pada 15 Juli lalu, Ibu Moersihsasi Soeratman juga menanyakan nama seseorang, warga Kalisat.

"Mas RZ Hakim, saya di Kalisat punya teman namanya Mujahir. Kenal apa tidak?"

Teman-teman, para penanya itu tentu akan sangat berterima-kasih jika ada yang mengerti dan sudi memberikan informasi, tentang Raden Salekan dan tentang Pak Mujahir. Terima kasih.

Senin, 27 Juli 2015

Catatan Ringan Ketika Ronda

Senin, 27 Juli 2015
RONDA malam adalah saatnya bersenang-senang keliling kampung, lalu duduk bersama dan saling berbincang. Semalam adalah jadwal saya untuk ronda. Orang-orang berkumpul dan berbagi cerita. Tema yang dibicarakan seputar isi dompet. "Habis berapapun tidak apa, yang penting anak-anak harus sekolah. Mereka harus lebih pandai dari saya," ujar Pak Adi Wiyono saat kami bicara tentang mahalnya biaya sekolah.

Kemarin, 26 Juli 2015, toko-toko buku di Jember memang mengalami lonjakan pembeli. Dua toko buku yang saya masuki adalah Senyum Media di areal kampus, serta toko Cemerlang di Kalisat. Suasana berdesak-desakan itu berlangsung hingga malam hari. Para kasir terlihat lelah.

Orang-orang juga bercerita tentang gempa bumi kemarin, dan tentang suasana mercon di Kalisat selama lebaran. Kata Ari, lebaran kali ini terbilang sepi. "Mungkin mahalnya biaya sekolah berpengaruh pada pembelian mercon dan kembang api."

Tentu saja, obrolan favorit masih seputar Pilkada di Jember.

Tema lain adalah tentang suasana menjelang karnaval. Kalisat --dan sekitarnya-- memang dikenal gandrung dalam urusan karnaval.

Ingat karnaval, teringat pula kata-kata Arizona Rambi (ketua OSIS SMAN 1 Kalisat) pada 25 Juli lalu. Ia bilang, "Inilah Kalisat. Mon e soro majer buku se regenah satos ebuh, tak lekas e bejer. Tapi kalau untuk urusan karnaval, make la lema ratos ebuh, hari itu juga langsung diusahakan uang."

Kini, setiap kali ronda, kami harus melengkapi diri dengan masker, dan kalau perlu kaca mata, agar terhindar dari abu vulkanik Raung.

Rabu, 22 Juli 2015

Kisah di Balik Tegel Stasiun Kalisat

Rabu, 22 Juli 2015
Oleh RZ Hakim

TEGEL stasiun Kalisat kini telah berganti keramik. Sebelumnya, dulu di sini terdapat tegel/ubin lantai warna kuning muda. Hanya tegel biasa saja. Orang-orang menyebutnya 'tehel tahu' sebab bentuknya seperti tahu. Bisalah dikatakan, empat tahu dalam satu tegel.

Cerita menjadi berbeda ketika pada 5 Oktober 2013 seorang teman dari Roodebrug Soerabaia, Ady Setyawan, ia berkisah tentang kunjungannya --bersama Marjolein-- di kediaman Joop Hueting di sebuah apartemen di Castricum. Di balik tegel kuning muda itu ada kisah yang tertinggal, tentang bagaimana seorang pejuang mempertahankan semangat juangnya. Anda bisa membacanya di artikel kari kecingkul di bawah ini.

Dari Catatan Ady Setyawan: Joop Hueting dan Kisah Yang Tertinggal di Stasiun Kalisat

Mulanya saya heran melihat sedikit teman di Kalisat begitu bersemangat memburu dan mengumpulkan tegel jenis ini. Atas bantuan Rast Idur, kini mereka memiliki 14 tegel untuk dikoleksi. Mereka menelusuri ubin yang dimaksud, dan mendapati tiga macam merek; Holland, DvK, dan FPABST. Lalu kami mengumpulkan data tentang pabrik tegel di Ceteco dan keramik Delft. Hingga akhirnya kami menjumpai data jika tegel ini diproduksi oleh perusahaan tegel Alfred Regout, dari Maastricht, Belanda. Kini saya mengerti apa yang mereka --kari kecingkul-- maksud, yaitu tentang bagaimana memperlakukan masa lalu, sebagai cermin di hari ini.


Dokumentasi oleh IGA Art Kalisat

Tegel-tegel kuno mirip tahu ini adalah saksi bisu kejayaan ekonomi khususnya bidang perkebunan, dan transportasi di Kalisat. Ia juga saksi yang tak mampu bicara atas kekejaman tentara Belanda terhadap penduduk Indonesia di masa Agresi Militer. Hingga pada 17 Januari 1969, Tuan Joop Hueting menguak kekejaman itu pada --terutama-- generasi muda di Belanda.

Hari ini 68 tahun yang lalu, pasukan Belanda berhasil menguasai wilayah Jember. Tak lama kemudian drama penyiksaan itu pun terjadi, seperti yang dituturkan Joop Hueting.

"Sebuah stasiun kecil di Kalisat, mereka menyiksa seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, sangat gigih. Mereka menggantungnya dalam keadaan terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah, disiksa sedemikian rupa, lalu dijatuhkan beberapa kali dari ketinggian hingga kepalanya pecah."

Tegel penuh cerita. Tak heran jika tahun lalu Erasmus Huis --pusat kebudayaan Belanda di Jakarta-- memberi tantangan kepada Vinora Ng dan Toton untuk membangkitkan kembali memori budaya Belanda lewat Revival of Tegel Belanda. Mereka menghadirkan kembali kecantikan tegel-tegel itu lewat rancangan busana. Ide unik, saya suka.

Kini tegel kuning muda yang berbentuk mirip tahu itu telah tak ada lagi di stasiun Kalisat. Namun segelintir pemudanya mencoba menyimpan itu dalam sebuah ruang, mirip museum mini. Mereka belajar sejarah sambil berupaya menyelamatkan kepingan saksi bisu. Salut untuk teman-teman Kalisat.

Selasa, 21 Juli 2015

Stasiun Sempolan

Selasa, 21 Juli 2015

Stasiun Sempolan. Dokumentasi pada 21 Juli 2015

Tadi sore kami berjalan-jalan ke stasiun Sempolan. Ia adalah sebuah stasiun kecil kelas III, dengan ketinggian +469 MDPL, memiliki dua jalur dengan jalur dua sebagai sepur lurus, dan berada di Daerah Operasi IX Jember.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore saat kami tiba di sana. Sepi. Hanya ada seorang penjaga muda berseragam pegawai PT. KAI yang ditemani oleh tiga pemuda setempat yang berpakaian santai. Kami tidak bercakap-cakap, hanya saling melempar senyum ramah saja.

Tepat di seberang stasiun Sempolan (kami masuk lewat dalam, seperti tampak dalam foto) terdapat hamparan tanah yang ditutupi oleh jaring besar. Kata warga setempat, itu adalah tempat pembibitan kopi milik CV. Lazer.


Pembibitan Kopi di dekat stasiun Sempolan

Di sini masyarakatnya memang banyak yang menjadi peladang. Beberapa dari mereka menanam kopi. Di sini juga ada pembenihan pinus, tepatnya di KBS Sempolan, masuk wilayah RPH Sumberjati BKPH Sempolan KPH Jember Divisi Regional II Jawa Timur.

Tidak seperti stasiun di dekatnya yaitu stasiun Garahan yang legendaris karena kuliner pecelnya, stasiun Sempolan terbilang sepi. Jika tidak ada perbaikan, barangkali ia mudah dilupakan.

Stasiun lain yang juga terbilang tidak jauh dari stasiun Sempolan adalah stasiun Mrawan, sebuah stasiun kereta api paling timur di Kabupaten Jember. Posisinya ada di desa Sidomulyo kecamatan Silo. Stasiun ini diapit oleh Terowongan Mrawan sepanjang 690 meter dan Terowongan Garahan sepanjang 113 meter. Nama Mrawan diambil dari sungai yang melintas dekat stasiun ini.

Kondisi jalur antara stasiun Kalisat-stasiun Sempolan adalah R54; dengan batas kecepatan atau taspat 30 sampai dengan 70 km/jam.

Berita buruk untuk stasiun Sempolan, sebab sejak 1 Juni 2014, tidak ada kereta api yang berhenti di stasiun ini, kecuali jika terjadi persilangan antarkereta api. Namun tentu nasibnya jauh lebih baik dibanding stasiun Ajung di kecamatan Kalisat kabupaten Jember yang kini rata dengan tanah.

Jika menengok sejarah, pada tahun 1903 garis simpangan Kalisat-Banyuwangi sudah selesai pembikinannya. Kiranya pembikinan stasiun Sempolan juga dimulai di waktu itu, di pemula Abad ke-20 Masehi. Bagaimana nasib stasiun ini di kemudian hari? Semoga akan ada peningkatan pemanfaatan, sebab bagaimanapun semakin hari masyarakat semakin butuh transportasi publik yang nyaman lagi terjangkau.

Sabtu, 18 Juli 2015

Ketika Rombongan Hayam Wuruk Melintasi Kalisat

Sabtu, 18 Juli 2015
Diceritakan dalam Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Prapanca, bahwa pada tahun 1359 Masehi Hayam Wuruk melakukan perjalanan dari pusat kerajaan Majapahit hingga ke Patukangan (Situbondo). Rute perjalanan tersebut melalui daerah-daerah yang sekarang berada dalam wilayah delapan Kabupaten; Mojokerto, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo.

Perjalanan itu dilakukan oleh Hayam Wuruk saat ia berusia kira-kira 26 atau 27 tahun, dengan melibatkan jumlah personil yang sangat besar, dan ditempuh dalam tempo dua hingga tiga bulan lamanya. Pantaslah jika Prapanca bisa menuliskan lebih dari 200 nama-nama desa yang dilalui.

Prapanca lumayan detail menceritakan perjalanan rombongan besar itu. Ketika mereka telah meninggalkan daerah Lumajang dan memasuki wilayah Jember, desa yang mula-mula tercatat adalah Rabut Lawang, di sekitaran muara sungai Bondoyudo. Ia lalu menuliskan saat Hayam Wuruk berburu di Pulumbwan, sekitar desa Wotgalih-Yosowilangun, sebelah Barat pantai Paseban.

Catatan berikutnya dari Prapanca:

"Pada pagi berikutnya ia melalui Kunir dan Besini sebentar lagi memasuki Sadheng dan tinggal di sana selama beberapa hari, sambil bersantai dan menikmati pemandangan alam di Sarampwan."

Selanjutnya yang dituju adalah Kutha Bacok, sebuah tempat di tepian pantai Selatan. Kini masih dikenal nama Gunung Bacok di desa Sumberrejo kecamatan Ambulu, Jember. Beberapa orang menyimpulkan jika yang dimaksud Kutha Bacok adalah Watu Ulo.

Kemudian perjalan menuju Patukangan pun kembali dilanjutkan.

Bilamana Rombongan Hayam Wuruk melintas di Kalisat?

Nama Kalisat memang tidak dijumpai di Negarakretagama. Bisa jadi karena nama-nama daerah yang ditulis oleh Prapanca kini sudah berganti nama disebabkan oleh berbagai hal; diantaranya gelombang migrasi orang madura ke Jember, atau dikarenakan adanya pemberontakan raja-raja kecil terhadap Majapahit. Namun kiranya, jika kita baca lagi kitab tersebut, Prapanca memang tidak menulis secara detail ketika ia melintas di daerah Jember wilayah Utara.

Adalah Nigel Bullough, seorang arkeolog kelahiran Inggris pada tahun 1952 yang senang mengganti namanya dengan Hadi Sidomulyo ini, ia membuat jalur sederhana perjalanan Hayam Wuruk.

Setelah melewati Balung, kemudian Renes (Wirowongso Ajung), perjalanan dilanjutkan menuju Pakis Haji. Disinyalir, yang dimaksud Pakis Haji adalah Pakusari. Dari Pakusari menuju Mayang, menyusuri Kali Mayang hingga menuju Kalisat, lalu Sukowono. Barulah kemudian perjalanan dilanjut ke Tamanan. Dari sini, perjalanan berlanjut hingga ke Pakambangan atau Gambang, desa Tlogosari kabupaten Bondowoso, sampai akhirnya menuju ke Patukangan atau Panarukan.

Menurut Nigel Bullough, daerah yang dilewati merupakan 'jalan pintas' dengan mengikuti aliran Kali Mayang hingga melintas di atas tanah Kalisat. Seperti itulah gambaran sederhana tentang perjalanan rombongan besar Majapahit beserta rajanya, Hayam Wuruk, pada 656 tahun yang lalu.

Disarikan dari kitab Negarakretagama atau Desawarnana, serta dari catatan-catatan Nigel Bullough.

Kamis, 16 Juli 2015

Joyce Köhler Menggenjot Sepeda ke Kalisat

Kamis, 16 Juli 2015

Di stasiun Kalisat tahun 1963

Kemarin, di jejaring sosial facebook, saya menampilkan foto ini. Tentu saja seizin pemilik foto, Joyce Köhler. Di keterangan foto, saya menambahkan catatan seperti berikut.

Salah satu koleksi foto Bunda Joyce Köhler ini berlatar belakang stasiun Kalisat tahun 1963, ketika lantainya berubin kuning dan belum berganti keramik. Saat itu ia masih bersekolah di SMAK Santo Paulus Jember, kelas satu.

Hobi Joyce kalau hari libur dulu bersama teman-temannya melakukan perjalanan menggenjot sepeda dari Jember ke Kalisat pulang pergi. “Sangunya cuma sayur ketimun. Tapi kok kuat ya waktu itu,” ujarnya, ketika diwawancarai Asita DK.

Tentang Joyce Köhler

Ia dilahirkan dengan nama Joyce Theresia Pamela Köhler, lahir pada 29 Agustus 1946. Ayahnya bernama Freddy Rudi Paul Köhler, lahir tahun 1914 di rumah Tegalsari, Surabaya. Kakeknya --Ayah dari Ayahnya-- bernama Jan Pieter Frederich Köhler, lahir di Hindia Belanda pada tahun 1883.

Pernikahannya dengan Eddy Abdul Manaf bin Rusta Sastra Atmadja melahirkan tiga buah hati. Anak pertama mereka laki-laki, bernama Dhani Ahmad Prasetyo, atau lebih akrab dipanggil Ahmad Dhani.

Joyce Köhler berada di Jember sejak 1949 hingga 1968, dan bersekolah di SD dan SMP Maria Fatima, lalu di SMAK Santo Paulus Jember. Ia bahkan sempat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Jember tahun 1965, meski tidak sampai selesai.

"Aku tidak lahir di Jember tapi masa kecil dan remaja ada di Jember . Tahun 1949 s/d 1959 tinggal di JL. Kamar Bola/JL. Bondowoso/PB.Sudirman 56, depan DKT. Di Raung tahun 1959 s/d 1968, di JL. Irian 3 depan Jember Klinik. Jadi dari TK sampai Unej di Jember." Komentarnya di grup Nostalgia Kampung Jember, 9 Februari 2014.

Bunda Ahmad Dhani ini menyukai musik. Saat muda ia pernah membuat band bersama teman-teman perempuannya. Band itu bernama Muda Ria. Ada juga yang namanya Vicsa Dara. Band yang disebutkan terakhir itu --Vicsa Dara-- eksis antara tahun 1965-1968, di SOSPOL UNED --kini Fisip Universitas Jember.

"Saya sempat berkiprah dalam band di Jember sampai tahun 1968. Terakhir mau diberi beasiswa oleh Pak Soebarkah, dekan Falkutas SosPol Unej, karena pemainnya adalah mahasiswi Unej semua. Tapi saya keburu pindah ke Bandung mengikuti keluarga," ujar Joyce Köhler di sebuah komentar di grup Nostalgia Kampung Jember pada 16 Februari 2014.

Itulah sekelumit kisah tentang Bunda Joyce Köhler.

Salam saya, RZ Hakim

Rabu, 15 Juli 2015

Perihal Selembar Foto Itu

Rabu, 15 Juli 2015
Teman-teman, pada 8 April 2015 lalu saya menghubungi seorang kenalan lewat jejaring sosial twitter. Arman Dhani namanya. Tujuan saya adalah hendak meminjam potret Masjid Jamiek Lama di Jember yang ia tampilkan di blog personal, di artikelnya yang berjudul, Jember Pada Suatu Masa. Foto itu direncanakan akan dicetak dan disandingkan dengan beberapa foto lain, lalu kita mendiskusikannya. Ini yang saya tuliskan di twitter.

Nyelang foto Masjid Jamiek Lawas Jember yo @arman_dhani gawe konco-konco Kalisat. Suwon.

Hari itu juga tweet itu ia balas, singkat saja. "@rzhakim_ ada yg punya itu mas. Kontak langsung. Ada namanya bukan?"

Tak lama berselang, saya pun menjawabnya kembali, sekedar menyampaikan ucapan terima kasih.

"Oke suwon. Piye carane menghubungi Frans Yughananta? Adakah email, jejaring sosial, utowo alamat omahe?"

Setelah menuliskan itu dan tekan enter, saya melakukan aktivitas yang lain. Jadi saya tidak tau apakah Dhani membalasnya atau tidak. Lama kemudian --namun masih di hari yang sama-- barulah saya tahu jika ia memberikan balasan.

"@rzhakim_ mas heru dulu ada kontak. Kirang baik jika pake tanpa ijin beliau. Berbahayan."


Setelah membaca balasannya, beberapa menit kemudian saya pun membalasnya.

"@arman_dhani jawaban sing terakhir iki tas tak woco. nek awakmu dewe gak ngerti kontak pemilik foto sing nang blogmu iku, gpp, gak tak gawe."

Jadi begitu kisah singkatnya. Mengenai diskusi kari kecingkul di bulan April tetap dilanjutkan namun dengan menggunakan foto-foto yang lain milik warga Kalisat, urung menggunakan foto Masjid Jamiek Lama sebagai peraga. Mohon maaf sebab saya tidak berhasil menemukan kontak Frans Yughananta.

Tentang hubungan saya dengan rekan tersebut, kami baik-baik saja. Karena selama ini memang tidak terjadi apa-apa. Dia mungkin memiliki gaya bahasa yang 'blak-blakan' namun selama saya mengenalnya, ia baik.

Salam saya, RZ Hakim.

Senin, 13 Juli 2015

Fanggi, dari Bali Pulang ke Kalisat

Senin, 13 Juli 2015
FANGGI pulang. Pada 7 Juli 2015, kami habiskan waktu dengan menyanyikan lagu-lagu Iwan dan lagu ciptaan sendiri. Saya yang memetik gitar sambil bernyanyi, ia yang memainkan harmonika. Di waktu yang lain, ia yang memetik gitar, memainkan harmonika, dan bernyanyi. Saya dan Hana suka sekali mendengar saat Fanggi melantunkan lagu Belum Ada Judul.

Fanggi masih muda, kelahiran Kalisat, 13 Agustus 1995. Setamat SMA dua tahun lalu, saya mengajaknya ke Jogja, tempat Fanggi menggantungkan cita-cita. Di pemula tahun 2014, Fanggi memilih untuk berproses di Pulau Dewata. Cari bekal untuk ke Jogja, begitu katanya. Kini dia telah pulang ke Kalisat, dan berencana untuk membuat semacam kedai karya di sini. "Jika waktunya telah tiba, saya akan ke Jogja," ujar Fanggi.

Masih teringat sms balasan saya ke Fg FransnAta pada 13 Januari 2014 lalu. "Oke Fanggi ati-ati dan sukses ya. Masbro masih di Jkt."


Fanggi & sahabatnya, Anief. Gang lecang, 12 Juli 2015

Senang mengenal Fanggi, lelaki muda yang suka bernyanyi, pandai melukis, dan menguasai body painting. Entah mengapa sedari kecil ia ingin tinggal dan berproses di Jogja, meski mulanya tak pernah tahu seperti apakah wajah Jogja.

Sedikit Tambahan


Kisah tentang Fanggi saat ia di Jogja pernah saya tulis di catatan berjudul; Fanggi hanya ingin ke Jogja.

Selain Fanggi, teman-teman muda Kalisat yang juga bekerja di Bali, mereka pulang ke Kalisat dan tidak ada niatan untuk kembali. Mereka adalah Verdi, Gunawan, dan Febri.
Sudut Kalisat © 2014