Selasa, 26 Januari 2016

Setelah Acara Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu

Selasa, 26 Januari 2016

Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu, 16 & 17 Januari 2016. Dokumentasi oleh Gilang Anggriawan

Teman-teman yang baik, usai sudah acara yang kita gelar bersama-sama; Pameran Foto Kalisat tempo Dulu. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ia terlaksana tanpa ada sistem kepanitiaan, melainkan diwujudkan secara partisipatif. Misalnya, jika ada yang merasa mampu urus masalah parkir, maka ia berinisiatif (lalu mengajukan dirinya sendiri) untuk pegang bidang itu. Begitu juga dengan bidang-bidang lain; konsumsi, sound sistem, urus masalah daftar hadir, dokumentasi, penerima tamu, dll.

Perihal dokumentasi dan pemberitaan, telah disepakati di awal bahwa kita akan memproduksi berita sendiri. Maka dari itu kita tidak sediakan Press Release. Kecuali jika ada yang tertarik dan berinisiatif untuk meliput acara kita, maka dipersilahkan.

Mengenai undangan, tak sedikit usulan yang bilang jika sebaiknya kita mengundang MUSPIKA Kalisat. Terima kasih atas usulannya. Namun sedari awal, Pameran Foto ini dicita-citakan untuk semua kalangan dari segala umur, dengan model undangan terbuka. Tutur tinular alias dari mulut ke mulut. Barangkali di lain waktu kita bisa mewujudkan usulan tersebut, di acara yang sama atau yang lain.

Adapun mengenai lokasi acara, mengapa harus di Kedai Doeloe? Pertama, Kedai Doeloe dekat dengan stasiun Kalisat dan lokasi-lokasi arsitektur bersejarah --yang masih ada-- di Kalisat. Kedua, jika acaranya di kedai, ia akan menjadi bagian acara Kedai Doeloe. Tak perlu kita ribet memikirkan perizinan, asal ada estimasi waktu yang jelas. Misal, tak lebih dari 22.30 malam.

KINI MASALAH DANA

Mulanya urusan dana untuk acara 'Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu' hendak dipikul bersama-sama. Kita mau adopsi sistem jimpitan, alias urunan. Sifatnya tidak memaksa. Jika uang Anda adanya seribu rupiah, ya itu yang disumbangkan. Jika mau menyumbangkan yang lain selain uang, sangat dipersilahkan, apapun itu.

Namun ternyata acara kita ini mendapatkan respon yang hangat, baik di dunia nyata maupun maya. Alhasil, ada banyak tangan-tangan yang membantu kita. Syukurlah.

Mula-mula, seorang teman bernama Edwindy menyisihkan sedikit rezekinya untuk 'support' acara kita. Seratus ribu rupiah. Kemudian dari keluarga Om Liang (Njoo Studio). Mereka memberi kita banyak hal; foto-foto, nasi kotak, kue, dll, serta amplop berisi seratus ribu rupiah. Lalu dari seorang teman di tamasya band, namanya Mas Bebeh, dua ratus ribu rupiah.

Rekan baik saya, seorang sejarawan bernama Dukut Imam Widodo (penulis buku Djember Tempo Doeloe, dll) juga mendengar rencana acara ini dari Facebook. Ia sengaja transfer uang via rekening Zuhana sebesar lima ratus ribu rupiah.

Total sejumlah 900.000,-

Karena sudah ada sumber daya uang, kita tentu tak jadi urunan. Uang itulah yang kita gunakan untuk biaya konsumsi, sound system, dll (catatan rinci ada pada kami). Total menghabiskan dana sejumlah 798.500 rupiah.

Kini uang kolektif tersebut tersisa 101.500 rupiah.

Saya pribadi telah meminta pendapat beberapa rekan-rekan Kalisat secara langsung, bagaimana sebaiknya menggunakan sisa uang tersebut hingga menjadi nol rupiah. Lalu disepakati, kita akan bikin acara kecil (diskusi santai) di Kedai Doeloe. Uang tersebut digunakan sebagai penunjang acara. Tanggal masih belum diketahui.

Semoga di acara tersebut, dapat kita rembug juga mengenai usulan-usulan yang bertebaran selama acara pameran foto berlangsung. Di antaranya tentang pembuatan buku kecil berisi foto-foto Kalisat Tempo Dulu, untuk teman-teman Kalisat yang kemarin tidak sempat menghadiri acara. Juga usulan, bagaimana jika acara tersebut dilaksanakan secara rutin menjadi acara tahunan.

Teman-teman, diperbincangkannya masalah 'uang' di sini bukan berarti mengecilkan sumbangan-sumbangan lain yang tak berupa uang. Tentu kami sangat berterima kasih atas segala sumbangsih untuk mewujudkan acara secara bersama-sama. Namun masalah uang memang agak ribet. Saya juga takut. Maka sebaiknya dikomunikasikan secara terbuka agar bisa dirembug bersama. Begitu.

Terima kasih untuk semuanya. Mator Sakalangkong.

Jumat, 15 Januari 2016

Mewujudkan Pameran Foto Bersama-sama

Jumat, 15 Januari 2016

Dokumentasi oleh Sudut Kalisat, 15 Januari 2016

DOKUMENTASI FOTO yang hendak kami tampilkan di acara 'Kalisat Tempo Dulu' adalah milik warga Kalisat sendiri. Foto-foto tersebut akan kami kembalikan setelah acara usai. Ia berisi dokumentasi seputar moda transportasi di Kalisat, mode, arsitektur bangunan, bentang alam, tokoh, serta dinamika sosial masyarakat kalisat, sedari era 1920 hingga 1970an.

Hingga detik ini kami banyak dibantu oleh ahli waris Njoo Studio, sebuah studio foto di Kalisat yang produktif sejak 1940an. Juga, oleh keluarga (Almarhum) Bapak Madiroso --ejaan dalam KTP adalah Mardiroso.

Beberapa yang lain adalah milik warga Kalisat yang memberi kepercayaan kepada kami untuk meminjamkan foto-foto lama milik keluarga.

Selama acara berlangsung, tidak menutup kemungkinan jumlah foto yang ditampilkan akan terus bertambah. Kami tentu dengan senang hati akan menampilkan foto-foto tersebut, dengan syarat, kami harus mencatatnya terlebih dahulu agar mudah pengembaliannya.

Mengenai dana, kami mengumpulkannya secara kolektif. Siapa yang sedang ada rezeki, boleh menyisihkan uangnya untuk mendukung acara Kalisat Tempo Dulu. Sumbangan tak terkira adalah doa, menyisihkan waktu, ide-ide segar, tenaga, diberi ruang oleh Kedai Doeloe Kalisat, serta cinta.

Tentang dana kolektif yang kami miliki memang tidak banyak. Namun hingga detik ini, kami rasa dana kolektif tersebut telah mencukupi; untuk print beberapa foto --yang tidak ada lembar aslinya, konsumsi, dll. Terima kasih.

Sedari awal, acara kecil ini sengaja dibuat secara partisipasi dan bukan mobilisasi. Bukan berarti lebih mudah, namun kami hanya ingin mencobanya.

Teman-teman, mohon sambung doanya. Doakan acara sederhana ini ada manfaatnya meskipun mungkin hanya sedikit.

Terima kasih.

Kamis, 14 Januari 2016

Jadwal Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu

Kamis, 14 Januari 2016

Desain oleh Kriss Kurniawan

Teman-teman, setelah mempertimbangkan urun rembug ide dan gagasan dari Anda, maka jadwal acara pameran foto Kalisat Tempo Dulu kami perpanjang durasi waktunya --dari yang semula hari pertama hanya dibuka satu setengah jam saja. Namun, acara tetap diselenggarakan dua hari pada 16 & 17 Januari 2016. Lokasi masih sama, di Kedai Doeloe, seberang stasiun Kalisat.

Berikut jadwal sederhana tentang Pameran Foto Kalisat tempo Dulu:

1. Di hari pertama, 16 Januari 2016, foto-foto sudah bisa dinikmati sedari pukul 12.00 siang hingga malam hari pukul 22.00. Sore hari direncanakan akan ada semacam diskusi. Tampil untuk menghibur teman-teman, BORJIGUN Band --dimotori oleh Mas Asep-- serta lagu-lagu akustik dari Fanggi.

2. Di hari kedua/terakhir, 17 Januari 2016, acara kami mulai sedari pukul 12.00 siang hingga malam hari pukul 22.00. Akan ada Tamasya Band, The Penkor's, dan IKL --Ikatan Keluarga Lorskal Kalisat, untuk menemani teman-teman menikmati foto-foto lama Kalisat era 1920 hingga 1970an.


Mulanya terlalu banyak ide tentang acara ini. Misal; bikin perbandingan foto lama dan foto terbaru, lalu ditampilkan sejajar masing-masing dalam satu pigura. Ada juga ide lain untuk mengenakan 'dress code' lawas. Namun kami sadar, kami hanya sedang mencoba untuk memulainya.

Barangkali untuk selanjutnya, teman-teman bisa melanjutkan acara ini dengan ide yang lebih luas lagi.

Acara ini digagas secara kolektif, dana adalah hasil iuran antar teman. Meski demikian, akan kami usahakan untuk menghadirkan camilan ala kadar. Untuk lain-lain, mohon maaf, jika tidak keberatan, Anda bisa memesannya sendiri di Kedai Doeloe dengan membayarnya secara mandiri.

Sekian informasi dari kami. Mohon maaf dan terima kasih.

Tambahan

Mari kita berduka dan berdoa atas musibah yang terjadi di Jakarta hari ini --tentang kejadian di Sarinah, sambil tak lupa mengawal isyu lain yang tak kalah pentingnya yang juga terjadi pada hari ini.

Rabu, 13 Januari 2016

Jack Lesmana Menyelamatkan Lagu Soetedja

Rabu, 13 Januari 2016
Oleh RZ Hakim


Dokumentasi milik Garasiopa

Saya menjumpai secuil kisah tentang Jack Lesmana di sebuah catatan yang menceritakan tentang seorang pencipta lagu bernama R. Soetedja Purwodibroto. Catatan lain mengeja namanya dengan ejaan Sutedja, atau Sutedjo. Dalam catatan berikut, saya akan menggunakan catatan Sutedjo, seperti ilustrasi gambar di atas.

Diceritakan oleh Sugeng Wijono, bahwa serampung SMA Negeri Purwokerto pada tahun 1960, ia melanjutkan studi di Jakarta. Di sana Sugeng Wijono in de kost di rumah kakak kandung Ibunya di Kepu Dalam, tak jauh dari Kemayoran. Kakak kandung Ibunya itu tak lain adalah Sutedjo, lelaki kelahiran Purwokerto, 15 Oktober 1909, putra dari Asisten Werdana di Kebumen Baturaden, Banyumas.

Berikut suasana yang dikenang oleh Sugeng Wijono selama tinggal di kediaman Sutedjo.

"Semasa saya menjalani liburan SMA di rumah Pak De saya --Sutedjo-- di Jakarta, masih terekam jelas di benak saya, rumah beliau menjadi markas seniman Senen yang pada waktu itu masih junior. Di antaranya, pelukis Soedjojono, pemusik Syaiful Bahri, Bing Slamet yang pada waktu itu masih remaja, penyanyi seriosa Pranajaya, penyanyi Sam Saimun, si Gembala Sapi Norma Sanger, pemilik perusahaan rekaman piringan hitam Mas Yos, gitaris jazz Jack Lamers yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jack Lesmana dan ayahanda pemusik jazz Indra Lesmana, Mang Udel alias Drs. Purnomo yang ke mana-mana selalu membawa ukulele, dan masih banyak lagi seniman Senen yang berkumpul setiap malam Minggu."

Pada tahun 1957, Sutedjo berkapasitas sebagai pimpinan korp musik Angkatan Udara yang selalu mengisi acara musik pada event resepsi kenegaraan. Sebelumnya, Sutedjo dikenal sebagai pendiri Orkes Studio Jakarta, yang merupakan orkes simphony pertama di Indonesia.

Lagu hasil gubahan Sutedjo cukup banyak. Namun sebagian besar repertoir karya beliau yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta musnah, karena dilanda musibah kebakaran pada tahun 1950-an. Maka, banyak gubahan beliau dalam bentuk partitur note balok ikut musnah terbakar.

"Beruntung, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lammers sempat meminjam beberapa partitur lagu-lagu gubahan beliau untuk direkam. Berkat Jack Lesmana, sekitar 70 lagu sempat terselamatkan. Tapi, ratusan lagu lainnya binasa. Na'asnya, justru partitur lagu-lagu lagendaris itulah yang ikut binasa," tulis Sugeng Wijono.

Als d'Orchide Bluijen, Ketika Anggrek Berbunga

Di antara lagu-lagu ciptaan Sutedjo yang populer di Eropa, salah satunya berjudul, Als d'Orchide Bluijen. Diterjemahkan menjadi, Ketika Anggrek Berbunga. Namun kini di banyak orang lebih mengerti jika lagu itu berjudul Bunga Anggrek. Lagu tersebut diciptakan di negeri Belanda ketika beliau berjalan-jalan dengan pacar Noni Belandanya ke Pasar Lelang Bunga.

Konon, menurut penuturan keluarga Letkol Moch. Sroedji --pejuang Jember, ia adalah lagu kesukaan Moch. Sroedji.

Ada juga lagu lain dari Sutedjo yang banyak disukai. Judulnya, Waarom Huil Je tot Nona Manies. Mengapa Kau Menangis. Lagu ini diciptakan ketika beliau harus berpisah dengan pacarnya. Beliau harus pulang ke Indonesia karena telah menyelesaikan studi di konservatori musik Roma Italia.

R. Soetedja Purwodibroto. Komponis legendaris putra Banyumas itu wafat pada usia yang ke 51 tahun pada tanggal 12 April 1960, dimakamkan di pemakaman Karet Jakarta.

Mengenai album Mengenang Sutedjo, hanya tertulis sedikit keterangan saja. Sedangkan instrumen musik bisa dinikmati di sini.

Jack Lemmers (known as Jack Lesmana) and Suyoso Karsono (known as Mas Yos) made a jazz band in early 60s and made a record from Irama Record's Suyoso Karsono. They are from Indonesia. They made an album, "Mengenang Sutedjo."

Pertemanan Antara Jack Lesmana, Mang Udel, dan Njoto

Seperti yang telah diceritakan oleh Sugeng Wijono di atas, bahwa ketika ia liburan SMA ke rumah Pamannya --Sutedjo-- di Jakarta, Sugeng kerap menjumpai bahwa rumah Pamannya dijadikan markas oleh para seniman Senen, diantaranya Bing Slamet, Jack Lesmana, serta Mang Udel. Bagi saya ini menarik!

Mang Udel dilahirkan dengan nama Raden Panji Poernomo. Ia bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Raden Panji Tedjokoesoemo. Ayah Mang Udel ini adalah bekas Wedono di Kalisat, sebuah wilayah di kabupaten Jember, Jawa Timur. Sedangkan Jack Lesmana, ia menghabiskan masa kecil di Jember. Bisa jadi dulu mereka telah berteman sedari kecil, lalu ketika besar berjumpa lagi di Jakarta dan sama-sama menyukai bidang seni. Jika benar, ia serupa dengan pertemanan antara Jack Lesmana dan Njoto.


Dalam Catatan Julius Pour, halaman 448

NJOTO. Saat bersekolah di HIS, ia tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean Gang Tiga, Jember. Kini di sekitaran Jalan Samanhudi, Pasar Tanjung Jember. Mulanya Njoto menikmati udara Bondowoso, kabupaten di sebelah Jember. Adiknya juga turut serta ke Jember, Sri Windarti namanya. Ayahnya --Raden Sosro-- ingin agar anak-anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang dianggapnya jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Setamat dari HIS, Njoto melanjutkan studinya di MULO Jember, namun tidak sampai selesai. Ketika Jepang masuk Jember, sekolah itu ditutup. Sejak saat itu ia melanjutkan studinya di Solo.

Njoto lebih tua tiga tahun dari Jack Lesmana. Jack sendiri dilahirkan pada 18 Oktober 1930. Masa kecilnya ia habiskan di jantung kota Jember, kini jalan Trunojoyo. Jaraknya tentu tak jauh dari kediaman kakek dan nenenk Njoto di Tempean. Dari sinilah pertemanan mereka dimulai. Kelak ketika berjumpa kembali di Jakarta, mereka sering berkumpul sambil bermain musik.

Senin, 11 Januari 2016

Melacak Jejak Jack Lesmana, Tersesat di Blog Milik Marcoo Lammers

Senin, 11 Januari 2016
Oleh RZ Hakim

Rasa penasaran saya pada sosok legendaris Jack Lesmana membawa saya pada sebuah blog milik Marcoo. Ia bukan blog baru bagi saya, sebab di waktu yang lalu saya pernah berlama-lama di blog-nya. Mungkin empat atau lima tahun lalu, saya lupa.

Seperti yang kita tahu, mulanya nama Jack Lesmana adalah Jack Lemmers. Dampak revolusi menciptakan proses Indonesianisasi. Atas saran Presiden Soekarno, Lemmers berganti menjadi Lesmana. Nasibnya serupa Batavia yang berubah menjadi Jakarta, atau seperti penyanyi tempo dulu kesukaan Ibu saya, Marjolien 'Lientje' Tambajong yang berganti menjadi Rima Melati.

Pengetahuan saya tentang Jack Lesmana sangat terbatas. Di banyak catatan, disebutkan bahwa Jack dilahirkan di Jember pada 18 Oktober 1930, dengan nama Jack Lemmers. Jack menggunakan nama Lemmers, mengikuti nama ayahnya. Ayah Jack sebenarnya berdarah Madura. Ia diadopsi oleh seorang Belanda. Barangkali dari sana muncul nama 'Lammers' serta jawaban mengapa Ayah Jack pandai memainkan biola.

Jack Lesmana:

Berikut adalah status saya di Facebook pada 10 Januari 2016

JACK LESMANA. Pengetahuan saya tentang Jack Lesmana sangat terbatas. Di banyak catatan, disebutkan bahwa Jack dilahirkan di Jember pada 18 Oktober 1930, dengan nama Jack Lemmers. Jack menggunakan nama Lemmers, mengikuti nama ayahnya. Ayah Jack sebenarnya berdarah Madura. Ia diadopsi oleh seorang Belanda. Barangkali dari sana muncul nama 'Lemmers' serta jawaban mengapa Ayah Jack pandai memainkan biola.

Jack dilahirkan dari rahim seorang perempuan blasteran Jawa Belanda. Ibunya juga memiliki pengalaman sebagai seorang penyanyi --dan penari-- dalam Stamboel Miss Riboet. Ia adalah sebuah 'Toneel Melajoe' yang eksistensinya dikukuhkan pada 1925.

Dalam catatan Matthew Isaac Cohen dijelaskan jika Opera Miss Riboet membawa napas baru dalam tontonan panggung di Hindia Belanda pada periode 1920an hingga 1930an, sebab dalam proses 'drama melayu' mereka menitikberatkan pada jalan cerita dengan selingan musik di antara adegan.
Tumbuh bersama orangtua yang menyukai bidang seni, tak heran jika di usia 10 tahun Jack 'Lammers' Lesmana telah bisa memetik gitar.

Dua tahun kemudian, Jack direkrut menjadi gitaris kecil di kelompok musik jazz bernama Dixieland --Jember. Proses bermusik Jack semakin matang ketika tiga tahun kemudian ia berada di Surabaya.

Nama belakang Jack berganti dari Lammers menjadi Lesmana, ketika di negeri ini terjadi dinamika Indonesianisasi. Saat itu semua serba di'Indonesia'kan. Nama Lesmana disematkan oleh Presiden Sukarno, sebab hubungan mereka kala itu terbilang dekat. Ketika itu Bung Karno ingin mengangkat Irama Lenso sebagai irama yang mewakili budaya Timur.

Saya tertarik mengetahui siapa sebenarnya Ibu dari Jack Lesmana, serta bagaimana kiprahnya ketika berproses di Opera Miss Riboet.

Seperti dalam catatan saya yang lain, setahun setelah Miss Riboet berdiri, ada Opera lain yang berdiri di Jawa Timur yang kelak mencuri perhatian dunia. Ia bernama Opera Dardanella. Menurut penelusuran komunitas Sudut Kalisat, sebelum resmi berdiri di Sidoarjo pada 1926, Opera Dardanella telah terlebih dahulu diketahui proses berkeseniannya di Kalisat, sebuah wilayah di Jember Utara, sebelum tahun 1926.

Kita tahu, Dardanella menjadi babak penting munculnya teater moderen Indonesia, sebab dalam setiap penampilannya ia menggunakan bahasa Melayu.
Jika Dardanella pernah tampil di Kalisat, mungkinkah Opera Miss Riboet juga pernah melakukan pertunjukan di Jember-Banyuwangi?

Barangkali ada di antara Anda yang mengerti lebih banyak tentang kiprah orangtua Jack Lesmana, saya akan sangat senang sekali jika Anda bersedia menambahkan informasi. Terima kasih.



Lalu pertanyaan yang muncul, siapakah keluarga Lemmers? Dari pertanyaan sederhana ini, saya tersesat (lagi) di blog milik Marcoo.

Di catatannya tertanggal 26 November 2009, tampak sekali jika Marcoo ingin datang ke Jember. Ia sedang mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Jember. Marcoo membuka google map, serta melahap segala situs tentang Jember. Mengapa? Dia bilang, "Mama werd op 10 Februari 1941 geboren in Djember, Oost-Java."

Benar. Mamanya lahir di Jember, satu tahun sebelum Jepang datang. "En mama, ik hoop dat ik de Hospitaalstraat kan vinden." Marcoo sungguh berharap, saat nanti benar-benar bisa menginjakkan kaki di atas tanah tumpah darah Mamanya, ia ingin segera menemukan alamat yang dimaksud, JL. Rumah Sakit di Jember.

Kakek Marcoo Bernama Roelof Lammers

Roelof Lammers namanya (bukan LEMMERS). Ia menikahi perempuan bernama Anneke. Mereka biasa memanggil putrinya, Mamanya Marcoo, dengan panggilan Ottie. Roelof Lammers dan Anneke datang ke Indiƫ pada akhir 1930an. Ia datang ke Indonesiƫ dan bekerja sebagai 'Wagenings Landbouw Ingenieur te werken in de rubber- en tabaksveredeling.' Pengolahan karet dan tembakau.

"Ketika saya tiba di Jember, saya akan merokok cerutu untuk Kakek," tulis Marcoo dalam bahasa Belanda.

Sebenarnya tak hanya Jember yang menjadi tujuan Marcoo. Ia juga berhasrat ke beberapa kota, di antaranya Bogor. Ketika balita, sang Ayah pernah bermain-main hingga terjebak oleh Jepang dan itu bertempat di Bogor.

Pada akhirnya, di penghujung tahun 2009 Marcoo benar-benar tiba di negeri penuh kenangan, Indonesia. Ia berhasil menemukan rumah tua di Bogor, rumah masa kecil Ayahnya. Marcoo juga berhasil menginjakkan kakinya di Jember, tempat dimana dulu Kakek Neneknya bekerja di bidang pengolahan karet dan tembakau. Marcoo juga menuju ke Malang, tepatnya di danau Rawa pening, dekat Banjoebiroe 10, tempat dimana Kakek Neneknya juga pernah tinggal di sana. Marcoo bilang, travelling sendirian adalah pilihan yang sempurna. Jakarta, Bali, Jogja, Ambarawa, Merapi, Bromo, adalah tempat-tempat lain yang juga ia kunjungi. Beberapa foto-fotonya ia tampilkan di sini.

Menurut Marcoo, ketika tiba di Jember ia segera mencari dimana 'Hospitaalweg in Djember.'

"Om half vijf de stad ingegaan met een taxi. Op weg naar het ziekenhuis. Mijn eerste ijkpunt, want mijn grootouders woonden op de Hospitaalweg. Eerst verkeerd, het nieuwe ziekenhuis. Tweede keer raak, de oude kliniek. Ik zag het meteen, keek toevallig de goede kant op. Het oude huis, Draaierspark 10. Nu nummer 11 en Jalan Sudirman. Alles is anders."

Kiranya yang dimaksud 'Jalan Rumah Sakit' oleh Marcoo adalah Jember Klinik. Kini alamat rumah yang ia cari berubah menjadi, JL. Sudirman Nomor 11 Jember.


Anneke, Nenek Marcoo, ketika duduk di mobil dengan Nopol P. Saat itu Anneke masih berusia 26 tahun. Lokasi di dekat Jember.

Melihat rentang waktu antara kedatangan Kakek Nenek Marcoo di akhir tahun 1930an, saya tidak yakin jika merekalah yang mengadopsi Ayah dari Jack Lesmana. Apalagi terdapat perbedaan ejaan antara Lemmers dan Lammers. Namun tentu saya tidak menyesal tersesat di catatan Marcoo. Setidaknya saya bisa belajar satu hal dari Marcoo, yaitu cara ia memperlakukan masa lalu. Hal kedua adalah tentang foto di atas. Indah sekali. Saya menebak, jika tidak di ketinggian Rembangan --Jember, lokasi foto di atas ada di salah satu puncak GUMUK di Jember. Mungkin di Kalisat.

Marcoo, terima kasih.

Jumat, 01 Januari 2016

IKL dan Pameran Foto Yang Tertunda

Jumat, 01 Januari 2016
Sejak muncul ide pembuatan pameran foto Kalisat tempo Dulu, kami semakin sering berkumpul. Sekali tempo, saya dan istri datang berkunjung ke rumah Mas Krisna Kurniawan untuk mendengar para musisi IKL --Ikatan Keluarga Lorstkal-- latihan. Senang bisa mendengar mereka bernyanyi. Mereka tidak sedang latihan di studio musik, melainkan di dapur rumah Mas Krisna. Mbak Niken, istri Mas Krisna, ia selalu membuatkan kami kopi.


Konser mini di dapur rumah Mas Krisna, 7 Desember 2015

Jadi begini. Kami akan membuat acara mini, pameran foto Kalisat Tempo Dulu, bertempat di sebuah kedai di seberang stasiun Kalisat. Ia bernama Kedai Doeloe. Pameran tersebut, selain menampilkan foto-foto Kalisat jadul tentunya, ia juga hendak diiringi oleh musik akustik sebagai soundtrack acara. IKL dengan senang hati mendukung acara sederhana dan patungan ini. Mereka akan tampil. Band lain yang bersedia adalah BORJIGUN, digawangi oleh Mas Asep, warga Kalisat.

Acara tersebut sedianya hendak dilaksanakan pada 26-27 Desember 2015. Jadi di hari-hari sebelum hari H, dua band tersebut --IKL dan BORJIGUN-- sering sekali berlatih di dapur rumah Mas Krisna. Namun sayang sekali, karena beberapa pertimbangan, kami lebih memilih untuk menunda acara tersebut dan menggantinya di waktu yang lain, yaitu pada 16-17 Januari 2016. Adapun mengenai konsep dan lokasinya masih sama.

Tawaran dari CV. Jawa Dwipa

Mendekati malam pergantian kalender masehi, tepatnya pada 21 Desember 2015, teman-teman IKL dan BORJIGUN ada tawaran dari Mas Bajil atas nama CV. Jawa Dwipa. Mereka dimintai tolong untuk tampil di acara malam tahun baru, di desa Cumedak kecamatan Sumber Jambe, Jember. Jadi, si empunya CV. Jawa Dwipa ingin bikin acara pada 31 Desember 2015 hingga malam pergantian tahun. Perusahaan yang bergerak di bidang beras, dengan merek dagang andalannya Padi Mas dan Padi Udang ini ingin menghibur para buruh beserta keluarganya dengan mengadakan serangkaian acara. Dimulai sore hari, lomba-lomba. Lalu acara di malam hari adalah ramah tamah dan hiburan.

Mulanya teman-teman IKL yang diwakili Mas Krisna sangsi, apakah lagu-lagu yang dibawakan IKL akan bisa diterima di sana? Bukan masalah apa, Mas Krisna mungkin menghitungnya dari sisi kebiasaan warga di sana dalam melahap lagu-lagu kesukaan. "Nah, nek misale dangdut, baru cocok Mas!" Namun saat itu Mas Bajil bilang, tidak apa-apa. Setelahnya, IKL dan Mas Asep mulai bikin konsep lagu untuk dinyanyikan di depan keluarga buruh beras di desa Cumedak.


Ketika IKL latihan di dapur, 30 Desember 2015

Kabar mengejutkan datang pada 30 Desember 2015, ketika Mas Beni Satria (gitaris Flash Band) juga turut bergabung di konser mini --sebutan kami ketika IKL latihan di dapur rumah Mas Krisna. Dia juga mengabarkan jika akan turut bermain di Cumedak.

Singkat cerita, mereka pun tampil di acara CV. Jawa Dwipa, di desa Cumedak. Saya turut hadir bersama mereka. Di Fun Page SUDUT KALISAT, saya menulis seperti ini.


Saya tentu senang bisa menikmati alunan nada dari para musisi IKL --Ikatan Keluarga Lorskal-- di sebuah gudang beras di kecamatan Sumber Jambe, tepatnya di CV. Jawa Dwipa. Mereka memainkan lagu-lagu yang berbeda, di sebuah komunitas yang jauh dari kultur lagu itu.

Tanpa 'sound man' dan dengan kondisi sound system tidak prima, toh mereka tetap bernyanyi. Tetap riang.

"Mulanya kami sangsi, apakah musik yang kami bawakan cocok dengan kondisi di sana? Namun kata Mas Bajil selaku penanggungjawab acara, tidak ada masalah. Maka kami berdendang," ujar Mas Krisna.

Menikmati pergantian kalender bersama IKL adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya dan istri, meski tubuh saya sedang kurang fit.

Terima kasih. Selamat menyambut 2016




Selamat Tahun Baru. Dokumentasi, 1 Januari 2016


Ketika IKL bermain di panggung (di dalam gudang beras CV. Jawa Dwipa, di lapangan yang biasa digunakan untuk menjemur gabah) meskipun dengan sound system seadanya dan trouble di sana-sini, namun dapat saya rasakan jika mereka tampil dengan riang. Tampilan selanjutnya, Borjigun, yang hanya tampil dua lagu, dapat pula saya rasakan hal yang sama. Bahkan meskipun beberapa penonton telah berteriak memanggil-manggil nama DJ yang hendak tampil di penghujung acara, Mas Asep tetap bernyanyi. Semakin salut dengan mereka.

***

Teman-teman, jika Anda datang ke Kalisat dari arah Jember Kota, ketika memasuki lingkaran atau alun-alun mini, Anda akan disambut dengan lagu-lagu yang diputar oleh kios penjual kaset. Mereka senang sekali memutar lagu dangdut, India, serta Banyuwangi-an. Ini wajar, sebab Kalisat adalah wilayah agraria. Ia tumbuh seiring pesatnya kemajuan kapital perkebunan, di akhir abad XIX masehi.

Sebagaimana wilayah agraris pada umumnya, masyarakat yang ada di dalamnya menyukai nada-nada rancak. Musik Patrol/Kentongan misalnya. Lagu lain yang disukai adalah irama lembut dengan lirik kerinduan. Ia berbeda dengan rancak dan lembutnya musik pesisiran, yang kiranya lebih berani dan lebih terbuka pada aliran musik baru.

Namun Kalisat tak hanya tentang musik rancak dan atau irama yang mendayu. Ia juga menyukai genre underground rock, yang oleh banyak pengamat musik, dikolomkan secara membabi buta sebagai musik 'Barat.' Tentu ada kaidah sejarah yang bisa menjelaskan mengenai kenapa Kalisat (yang berlatar agraris) kaya akan aliran musik, serta bertaburan musisi, meskipun mereka lebih memilih untuk 'bersembunyi' dan tak terdeteksi oleh massa, kecuali hanya beberapa orang saja.
Sudut Kalisat © 2014