Kamis, 25 Desember 2014

Markas KNIL di Kalisat

Kamis, 25 Desember 2014
Oleh: RZ Hakim


Markas KNIL di Kalisat

Foto di atas dijepret pada 14 Juni 2014. Tampak dalam foto, Lukman, salah satu pegiat seni dan sejarah di komunitas kari Kecingkul, ia sedang berdiri di depan pelataran sebuah rumah ber-arsitektur Eropa. Rumah ini berjarak sekitar 300 meter dari Stasiun Kalisat. Dulu, areal ini digunakan sebagai Markas Koninklijik Nederlands Indische Leger.

Seminggu sebelum berkunjung ke rumah ini, ketika berbincang dengan Ibu Sulasmini, saya mendapat gambaran lebih dekat mengenai wajah Kalisat saat masih ada Markas KNIL.

"Dulu di dekat sini ada markas KNIL. Tidak semuanya tidur di markas tersebut. Banyak dari mereka yang sengaja disuruh bergabung di rumah-rumah rakyat. Satu rumah dua KNIL.

Lalu Ibu Sulasmini bercerita tentang dua KNIL yang menumpang di rumah orang tuanya. Mereka adalah Tuan Tapik dan Tuan Welong. Selain dua orang itu, ada dua KNIL yang meskipun tidak turut tinggal, namun suka berkunjung. Mereka adalah Tuan Sataria dan Tuan Tendes.

"Tuan Tapik berasal dari Deli, sedangkan Tuan Welong dari Atambua. Mereka beristrikan orang Jember. Istri Tuan Tapik namanya Aminah, dari Jenggawah. Sedangkan istri Tuan Welong namanya Siti Munawaroh, dari Ambulu. Istri-istri KNIL kebanyakan memang dari daerah selatan, Nak."

Kisah yang keren, tak mungkin saya dapatkan di buku sejarah. Terima kasih Ibu Sulasmini.


Suasana di sudut rumah

Kata Ibu sepuh yang kini menjadi penghuni rumah tersebut, dulu rumah yang tampak dalam foto di atas adalah dapur. Sedangkan rumah aslinya ada di bagian depan. Itu rumah Komandan KNIL wilayah Kalisat.

Senin, 22 Desember 2014

Lokalisasi di Dekat Markas KNIL di Kalisat

Senin, 22 Desember 2014
Pada 13 Juli lalu, saya mendapat sebuah dongeng dari Ibu Sulasmini. Ia bercerita tentang keberadaan lokalisasi di Kalisat di masa kependudukan Belanda, tepatnya di dusun Ajung Oloh, Desa Ajung.

Kisah Bu Dulamin

Adalah seorang perempuan bernama Bu Dulamin, ia seorang pendatang yang menjadi germo di Kalisat. Losmen yang ia dirikan dimulai sejak zaman Jepang hingga Militer Belanda datang lagi, 1947 - 1949. Lokalisasi tersebut letaknya di tanah miring. Para pelanggan utamanya --di era Agresi Militer-- adalah para pasukan KNIL dan pasukan Cakra Madura.


Ilustrasi gambar dari npogeschiedenis

Jarak lokalisasi dengan markas KNIL hanya terpaut sekitar 300 meter saja. Di areal lokalisasi terdapat juga tempat perjudian. Paling marak adalah adu ayam.

"Saya kalau cari kayu bakar hingga mendekati rumah Bu Dulamin. Di sana banyak saya lihat perempuan-perempuan cantik. Ketika itu saya masih kecil sekali, sangat sulit mengingatnya."

Saat mengatakan itu, sepasang mata Ibu Sulasmini menerawang, mengingat-ingat masa kecilnya.

Setelah pihak Belanda tak lagi ada di Indonesia, losmen Bu Dulamin masih membuka praktek. Pelanggannya adalah orang-orang dusun. Tak lama kemudian, losmen ini hanya tinggal cerita.

Satu bulan sebelumnya, tepatnya pada 15 Juni 2014, ketika mengantar Marjolein jalan-jalan ke Rambipuji, saya mendapat kisah dari penduduk setempat. Namanya Mas Slamet. Dia bilang, "Dulu sebelum ada lokalisasi Besini di Puger, tempat prostitusi ya di sini ini, di Kaliputih-Rambipuji."

Di masa penjajahan Belanda, antara markas KNIL dengan lokalisasi memang seperti satu paket saja. Dimana-mana seperti itu.

Bagaimanapun, pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang, terlebih di masa seperti itu. Ketika ketidak-adilan sosial terjadi dimana-mana. Ia tak pernah selesai dikupas, tak bisa dihapuskan dari lembar sejarah. Ia adalah juga sisi gelap kehidupan manusia.

Jumat, 19 Desember 2014

Singgah Sejenak di Stasiun Sukosari

Jumat, 19 Desember 2014

Stasiun Sukosari. Dokumentasi Kari Kecingkul

Tadi sore kami berempat --Hana, Ivan, Deny, RZ Hakim-- singgah sejenak di stasiun Sukosari. Ia adalah sebuah stasiun kecil, lebih tepat dikatakan halte, yang lokasinya ada diantara stasiun Ajung dan stasiun Sukowono. Sukosari masuk kecamatan Sukowono kabupaten Jember. Stasiun dengan ketinggian 321 MDPL ini dulu mempunyai dua jalur kereta api. Dibangun pada tahun 1900, lalu tak lagi aktif sejak sebelas tahun yang lalu.

Mengapa jalur kereta api Kalisat-Panarukan tak lagi digunakan dan dibiarkan menjadi jalur mati? Hanya ada sebuah alasan klise, bahwa prasarana sudah mulai sangat tua, sedangkan biaya perbaikan terhitung tinggi sekali. Tentu ada ketidak-seimbangan dengan pendapatan yang dihasilkan dari penumpang di jalur ini.

Dibandingkan dengan stasiun Ajung yang rata dengan tanah, stasiun Sukosari masih bisa dibilang bernasib baik. Kondisinya memang memprihatinkan. Beberapa genting sudah jatuh. Namun secara keseluruhan, stasiun ini masih sangat memungkinkan untuk diselamatkan. Barangkali ini dikarenakan partisipasi warga sekitar. Mereka sering memanfaatkan stasiun Sukosari untuk menyimpan hasil panen. Jadi secara tidak langsung mereka juga turut menjaga keberadaan stasiun ini.

Selain dimanfaatkan oleh warga sekitar, digunakan untuk tempat nongkrong pemuda, stasiun ini juga tempat yang nyaman bagi kambing-kambing di siang hari, saat mereka butuh tempat berteduh dari terik mentari.

Selasa, 16 Desember 2014

Kalisat, Fashion dan Tata Boga

Selasa, 16 Desember 2014

Dokumentasi oleh Mohamat Solihin. SMAN 1 Kalisat, 16 Desember 2014

Dalam rangka Dies Natalis Pencinta Alam EXPA SMAN 1 Kalisat, mereka mengadakan lomba fashion di sekolahnya.

Ada dua hal yang paling sering saya jumpai di Kalisat, yaitu tata boga dan fashion. Di sini ada sebuah kampung yang rata-rata penduduknya tidak menyukai makanan pedas, berbanding terbalik dengan kampung di sebelahnya. Ada pula nama-nama makanan yang hanya dimengerti oleh warga Kalisat, misalnya pentol bolak-balik, nasi kuning yang hanya dijual pada hari minggu, warna jenang sapar yang berbeda (kaya warna-warna cerah, tidak menggunakan pewarna dari gula jawa saja, serta menggunakan air enjet yang dididihkan kemudian dijernihkan untuk nguleni adonan), dan lain-lain. Biasanya tata boga yang disajikan dipengaruhi oleh filosofi dan sejarah keluarga penyajinya.

Adapun fashion, mereka bergerak dan menyebar dengan cepat, tidak hanya di bulan Agustus, dan tak perlu menanti datangnya JFC. Ia berkembang dalam berbagai varian, berbagai model, tanpa mengindahkan batas-batas teritorial. Di sinilah lahirnya fashion tembakau.

Selasa, 09 Desember 2014

Mengapa di Sini Dilalui Jalur Kereta Api

Selasa, 09 Desember 2014
Oleh: RZ Hakim


Stasiun Sukowono sekitar tahun 1910

Foto di atas saya pinjamkan dari situs KITLV dengan keterangan, Groepsfoto op de halte Soekoewono in de residentie Besoeki. Di sana tertera jika waktu pemotretan sekitar tahun 1910. Sejarah perkereta-apian di Indonesia sendiri dimulai sejak zaman Belanda, tepatnya sejak hari Jum'at tanggal 17 Juni 1864. Saya pernah menuliskannya di sini.

Mengapa Kalisat dan Sukowono dilalui oleh jalur kereta api?

Kereta api adalah transportasi massal yang bisa memanjakan manusia dalam bidang pengangkutan. Jika kita rangkum, tentu hanya ada dua motif dari pihak penjajah. Pertama adalah motif ekonomi, yang kedua motif militer. Jalur Sukowono menuju Pelabuhan Panarukan. Sedangkan jalur dari Kalisat yang kini masih aktif, menuju Banyuwangi. Saya kira mereka hanya sedang memikirkan bagaimana cara termudah untuk memboyong sumber daya alam sebanyak-banyaknya ke negeri Eropa, juga tentang kemudahan dalam distribusi pasukan jika sewaktu-waktu terjadi konflik.

Menyediakan transportasi massal yang nyaman untuk penduduk Bumiputera adalah motif paling cok-koncok. Situasi dan kondisinya tentu berbeda dengan kereta api di hari ini.

Di penghabisan tahun 1901, bagian-bagian rel kereta api di Jawa sebagian besar sudah beroperasi. Garis timur berjumlah 812 km dan garis barat 841, terbanding dengan tahun 1894 garis timur 485,5 km dan garis barat 604 km.

Untuk garis Probolinggo - Klakah - Kalisat - Panarukan membentang sepanjang 185 km.

Pada tahun 1903 garis simpangan Kalisat - Banyuwangi sudah selesai pembikinannya. Kini kereta api telah bisa melintas di atas tanah yang teramat makmur. Proses pengangkutan hasil bumi menjadi semakin mudah.

Sebelum dibangunnya jalur kereta api dari Kalisat menuju Sukowono hingga Panarukan, pengiriman produk perkebunan dikirim ke pelabuhan Kalbut dengan menggunakan gerobak sapi sehingga membutuhkan waktu 2 hari dan daya angkutnya terbatas yakni 8 pak. Namun dengan dibukanya jalur kereta api tersebut hanya membutuhkan 3 jam perjalanan dengan daya angkut yang jauh lebih besar.

*Disarikan dari Buku Peringatan Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch Indie 1875 - 1925

Sabtu, 06 Desember 2014

Laba-laba Langka di Jember Utara

Sabtu, 06 Desember 2014
Kemarin, dua rekan dari Komunitas Kari Kecingkul mengajak kami menjelajahi Kalijejer, sebuah tempat di Dusun Dawuhan Kembar. Ia bukan tempat yang asing. Di sana, kami sering belajar bersama; memperhatikan keanekaragaman hayati, mulai dari semak belukar hingga hewan-hewan kecil.

Mas Ivan dan Deny S Ferdiyansyah, mereka berdua tampak senang sebab bisa berfotografi makro ria.

Saat gerimis turun dan semakin menderas, kami bernaung di gubug dekat kolam. Istirahat sejenak. Ketika itu, saya dan istri melewati waktu dengan menikmati karya-karya fotografi makro yang telah dihasilkan Deny. Luar biasa. Kiranya Deny sangat mengerti bagaimana caranya mendapatkan detail yang tinggi dengan jarak jepret yang sangat dekat.

Bagi saya, dunia fotografi makro adalah kabar baik bagi ilmu pengetahuan.

Deny juga berhasil mengabadikan si laba-laba mungil berwarna kuning, dengan nama ilmiah Platythomisus Octomaculatus. Ia adalah genus laba-laba kepiting, masuk dalam keluarga Thomisidae. Keberadaannya tak hanya di Afrika dan Asia Selatan saja, di Kalisat juga ada.


Dokumentasi oleh Deny S Ferdiyansyah

Saya pernah menjumpai laba-laba sejenis ini di Pohon Lamtoro. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh Deny. Dia menemukan laba-laba ini saat si kuning sedang nongkrong di dahan lamtoro. Platythomisus Octomaculatus kadang juga bisa kita jumpai di areal Poho Waru a.k.a Hibiscus tiliaceus.

Ada saya baca di sebuah sumber, laba-laba Platythomisus Octomaculatus adalah spesies yang agak jarang. Ia terbilang langka.

Jika diperhatikan sekilas, laba-laba ini memang mirip mainan. Ia seperti terbuat dari plastik. Memang jika tidak menjumpainya sendiri, kita akan sulit percaya jika itu adalah laba-laba tulen.

Jumat, 05 Desember 2014

Fotografi Makro Yang Tak Semudah Itu

Jumat, 05 Desember 2014
Hari ini, selepas Jum'atan hingga menjelang senja, kami menikmati hari di Taman Kalijejer milik keluarga Redy. Di sana kami belajar memperhatikan keanekaragaman hayati, mulai dari semak belukar hingga hewan-hewan kecil.

Saat pertama kali datang di lokasi, belum lagi njagrak motor, kami sudah dikagetkan dengan keberadaan seekor monyet dengan sabuk warna hijau pipa yang melingkari perutnya. Kala Mas Allo, itu adalah monyet milik orang yang lepas dari rantainya. Dia sudah lumayan lama menikmati keliarannya. Kami tidak sempat memotretnya sebab monyet itu lekas sekali menghilang. Mungkin ia turun ke arah sungai.

Om Bajil dan Deny S Ferdiyansyah, mereka berdua tampak senang sebab bisa berfotografi makro ria. Gerimis yang turun lebih dari dua jam memang sukses membuat perut kami sedikit lapar, namun ia tak berhasil membuat kami bersedih. Masbro dan Mbak Prit bahkan sempat berfoto ria di bawah rintik gerimis.


Foto oleh Om Bajil

Kiranya Fotografi Makro itu tak semudah yang dibayangkan. Melihat cara Om Bajil dan Deny memotret obyek hingga nungging dan kadang harus ndlosor, tahulah kita bahwa teknik mendapatkan detail yang tinggi dengan jarak yang sangat dekat butuh cara dan seni tersendiri. Ia juga butuh teknik mengatur napas. Dan tentu saja butuh sabar, hehe. Ohya satu lagi, momen.

Lihatlah foto di bawah ini. Untuk mendapatkannya, Deny S Ferdiyansyah harus mencari posisi yang tepat, mengatur napas, lalu memperhatikan detail. Setelah insting mengatakan oke, barulah ia menjepretnya.


Foto oleh Deny S Ferdiyansyah

Sebagian besar hewan-hewan kecil yang dijadikan obyek fotografi makro belum kami ketahui namanya. Seperti hewan kecil yang dijepret oleh Om Bajil di atas daun Pohon Sengon. Warnanya gelap, ada semacam kumis memanjang di depan moncongnya.


Foto oleh Om Bajil

Tentu kami ingin mengerti apa nama lokal untuk fauna mini tersebut, dan apa pula nama ilmiahnya. Untuk apa? Agar kami mengerti. Siapa tahu kami bisa mempelajarinya lebih lanjut. Setidaknya, kami akan mudah mendatanya di Komunitas Kari Kecingkul. 

Sulit juga ya fotografi makro. Belum pengaturan kamera, belum memperhatikan waktu di saat njepret, belum memperhitungkan arah cahaya, belum tentang berpikir untuk sedapat mungkin tidak merusak habitat serangga, dan memperlakukan posisi kamera, gimana caranya agar tidak goyang. Wah, ribet. Salutlah buat mereka yang menyukai fotografi makro.

Salam!

Jumat, 28 November 2014

Tonggeret: Kami Menyebutnya Kalaruweh

Jumat, 28 November 2014
Pilkades serentak di beberapa Desa di Kalisat tak kuasa membendung hujan sore hari. Saya, Zuhana dan Mas Ivan berteduh di rumah Mas Oldiez. Setelahnya, langit terlihat cerah sekali. Saat yang tepat untuk jalan-jalan sambil mengamati tumbuhan semak.

Di desa Kalisat kecamatan Kalisat, ketika lagi asyik mengamati semak bernama ilmiah Euphorbia hirta di dekat jeruk purut, mata saya menatap sesuatu yang janggal. Warnanya cokelat muda, mirip sekali dengan warna kayu yang ditumpanginya. Lalu saya perhatikan lagi dengan seksama. Barulah kemudian saya mengerti, sesuatu yang mengusik mata itu adalah tonggeret alias garengpung. Kawan-kawan Jember biasa menyebutnya kalaruweh.

Tak seperti biasanya, tonggeret itu hinggap di dahan yang rendah sekali.


Kalaruweh

Ketika saya masih kecil, saat mendengar suara tonggeret yang nyaring, maka saya mengerti bahwa musim kemarau sudah di depan mata. Ketika besar, barulah saya mengerti jika hanya tonggeret jantan sajalah yang bisa menghasilkan suara.

Baru tiga hari lalu saya dan Mas Imron berdiskusi tentang serangga yang satu ini. Dia bilang, masa hidup tonggeret sebagian besar dihabiskannya dalam bentuk nimfa di dalam tanah.

Saat menjadi nimfa, tonggeret muda akan memenuhi kebutuhan nutrisinya --di dalam tanah-- dengan cara menghisap cairan dari akar pohon.

Siklus hidupnya panjang, berlangsung antara 2-5 tahun. Sedangkan setelah bermetamorfosis menjadi tonggeret dewasa, ia hanya dapat hidup selama beberapa minggu sampai beberapa bulan saja.

Ada juga jenis tonggeret yang berasal dari Amerika Utara. Ia mempunyai siklus hidup 13 hingga 17 tahun.

Menurut artikel yang baru saja saya baca, di dunia ada sekitar 3.000 spesies tonggeret, banyak sekali yang belum dideskripsikan.

*Dokumentasi Kari Kecingkul, 27 November 2014

Selasa, 18 November 2014

Kari Kecingkul di Puncak Rinjani

Selasa, 18 November 2014
Selasa sore, 4 November 2014. Lima orang teman dari Kalisat akan berangkat menuju Lombok. Oldiez, Ivan, Wiwit, Lukman, dan Nyek. Mereka hendak mendaki puncak Rinjani. Dari Kalisat menuju Banyuwangi, disepakati naik kereta api. Mereka berkumpul di gedung tua di seberang stasiun yang baru saja disewa oleh Frans. Gedung itu akan disulap menjadi sebuah kafe.

Langit Kalisat tampak mendung. Saya dan Hana menemani Frans yang sedang sibuk menata ruangan. Katanya, tak lama lagi kafe sudah siap dibuka. Frans bertanya, apakah saya sedang menunggu seseorang? Saya bilang, saya ingin mengantar kepergian teman-teman naik kereta api menuju Banyuwangi, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Lombok.

Sembari menanti datangnya teman-teman, iseng saya memotret beberapa bunga di pelataran stasiun Kalisat. Di taman pasif itu ada Sansevieria hyacinthoides alias lidah mertua, Bougenville, Hanjuang, ada juga bunga bakung seperti tampak dalam foto di bawah ini.


Bunga Bakung di pelataran Stasiun Kalisat, 4 November 2015

Satu persatu teman mulai berdatangan. Oldiez, Ivan, Nyek, dan Lukman. Mereka diantar oleh Ari Zona Rambi, keponakan Oldiez. Satu orang yang belum datang, Wiwit, atau biasa dipanggil Ajjih. Detik terus berjalan, langit semakin mendung, namun Wiwit tak juga datang. Syukurlah, di detik-detik terakhir keberangkatan kereta api, Wiwit datang juga. Mereka pun siap-siap hendak berangkat. Saya dan istri mengantarkan hingga ke pintu peron, batas antara calon penumpang dan pengantar.

Minggu, 9 November 2014. Teman-teman telah sampai di Jember dengan selamat. Di sebuah kolom komentar di Group Facebook Kari Kecingkul, Ivan mengabarkan, "Alhamdulillah pendakian Rinjani sukses. Kaos Kari Kecingkul dan Save Gumuk telah berkibar di puncak Rinjani." Senang mendengarnya.


Nyek dan Oldiez di puncak Rinjani

Foto di atas dikirim oleh Ivan melalui inbox pada tanggal 13 November 2014. Dua hari kemudian, 15 November 2014, Frans sedang grand opening kafe-nya yang terletak di seberang pelataran stasiun Kalisat. Saya dan Hana tentu bahagia bisa menghadiri pembukaan perdana kafe itu. Semoga sukses, Frans.

Kabarnya malam ini teman-teman sedang nongkrong di kafe. Ada Ivan dan teman-teman yang lain. Sayang sekali saya tidak bisa bergabung. Lagi pula, langit malam sedang mendung.

Senin, 17 November 2014

Menghabiskan Setengah Hari di Kalisat

Senin, 17 November 2014
Oleh Zuhana Anibuddin Zuhro

Hari kedua di tiga tahun usia pernikahan kami adalah 16 November 2014. Ya, sedari siang sampai selepas Isya' kami menikmatinya di sebuah tempat yang selalu penuh kenangan. Kalisat, A Place to Remember.

Sebelum berangkat, ada informasi dari Bang Faisal Korep bahwa sebagian besar anak-anak SWAPENKA ada di Kalisat untuk membicarakan seputar usaha jamur dengan Frans. Sekitar pukul 12.00 WIB, kami meluncur dari Panaongan menuju Kari Kecingkul. Di daerah Glagahwero, kami berpapasan dengan Arus dan Sodung. Mereka berdua adalah anggota SWAPENKA. Saya hanya melihat mereka berdua saja dari arah yang berlawanan. Kemungkinan, rombongan yang lain masih ada di Kalisat dan hanya mereka berdua yang berpencar pulang.

Sepertinya, mendung membuat suasana hati manusia tak lagi bisa ditebak.

Saat itu juga, persis di belakang sepeda motor kami sudah ada Frans. Katanya dia baru dari rembangan, mengambil susu segar untuk kebutuhan cafe barunya. Frans mengajak kami untuk singgah ke cafe yang baru saja dibuka tepat pada tanggal 15 November 2014. Tepat di usia pernikahan kami yang ketiga, dan pas juga malamnya ada acara penggabungan donasi dari save gumuk ke donasi yang dimotori oleh Mas Giri.


Acara Tamasya Band bekerja sama dengan teman-teman dari PSTF Universitas Jember, sekaligus dijadikan momentum malam penggabungan donasi save gumuk, 15 November 2015. Teman-teman dari Kari Kecingkul turut hadir di acara itu. Odong bahkan turut bernyanyi. Terima kasih.

Frans membuka pagar yang bahannya adalah kulit kayu. Kemudian bersegera membuka pintu besar bangunan tua yg kini disulapnya menjadi cafe. Saya sendiri memilih duduk di kursi kayu depan rumah tua yang telah dinaungi atap dari daun coklat. Hujan mulai turun. Frans menyuruh saya untuk bersegera masuk ke dalam karena sebentar lagi tampias hujan akan membasahi. Dia menjelaskan bahwa, daun coklat yang telah dikeringkannya itu tak cukup kuat menaungi. Tak berapa lama saya melihat dari jendela, sudah bocor disana sini. Kali ini keputusan saya untuk masuk ke dalam adalah sesuatu yang tepat.


Suasana depan cafe saat hujan, 16 November 2014

Jauh sebelum bangunan ini disulap menjadi sebuah cafe dengan konsep klasik, saya memang enggan untuk masuk ke dalamnya. Beberapa kawan Kari Kecingkul pada medio Juni lalu pernah mengantar Marjolein Van Pagee masuk ke dalam bangunan ini untuk melihat-lihat kemungkinan adanya data-data sejarah yang pernah didapatkannya. Ketika itu saya memang memilih untuk tidak masuk, tapi menunggu di sebuah warung yang letaknya tak jauh di depan rumah itu. Kalau ditanya kenapa, saya sendiri bingung hendak mendeskripsikannya dalam bentuk tulisan. Yang jelas, saya memilih menunggu diluar.

Ruangan dalam cafe itu sudah disulap sedemikian rupa oleh Frans. Ada meja bar dengan ornamen-ornamen kulit kayu. Begitu pun dengan meja dan kursi dengan desaign yang simple, namun mampu membawa karakter cafe ini seperti yang diimpikan oleh si empunya. Klasik. Sama klasiknya dengan lagu yang diputarkan disini. Semakin memperkuat karakternya. Beberapa desaign interiornya dipenuhi dengan galeri foto aneka rupa. Mulai dari model, landscape, humaniora, bahkan yang abstrak sekalipun ada. Ya, sangat mudah ditebak karena pemiliknya adalah juga seorang fotografer.


a café

Kami mencoba sms Mas Ivan Production dan mengajaknya bergabung menikmati hujan di cafe sambil ngobrol-ngobrol. Ternyata Mas Ivan sedang ada di Sumber Jambe bersama kawan-kawan SWAPENKA.

Frans membuatkan kami menu andalan dari cafe ini. Olahan susu segar --yang diambil khusus dari rembangan-- dengan dicampur sirup abc squash mangga. Kami memilih yang hangat, meskipun Frans menyarankan penyajian yang dingin. Hangat maupun dingin, semuanya tetap enak dinikmati. Kalau tebakan saya, karena pilihan bahannya segar dan kualitas sirup yang bukan main-main (pengalaman mantan penjual es buah :p).


Susu Segar, menu andalan a café

Perpaduan susu panas kental kemudian diberi sirup dingin yang baru keluar dari kulkas membentuk beberapa gumpalan yang meskipun sudah dikocok sekuat apapun tetap saja menyisakan butiran kasar. Meskipun begitu, rasanya tetap enak. Mungkin lain kali jika mampir kesana lagi kami akan memilih susu segar yang tanpa ditambahi sirup apapun. Selain susu segar, Frans juga mentraktir kami makan bakwan yang kebetulan lewat dikala gerimis sedang membuncah.

Tak lama berselang, datanglah Jukok, Bintarum, Adiyatma dan Lek Griduh. Sebenarnya mereka mau langsung meluncur tapi masih terhalang hujan. Kepada mereka, Frans menghidangkan minuman yang sama namun disajikan dingin. Dari Jukok saya mendengar bahwa rombongan SWAPENKA pecah menjadi tiga. Satu rombongan bersama Mas Ivan jalan-jalan ke Sumber Jambe (Pasir, Yess, Buter, Bang Korep), rombongan kedua adalah yang ada bersama kami, dan rombongan ketiga (Arus dan Sodung) memilih kembali pulang ke Jember.


Ini foto teman-teman yang menjelajah di Sumberjambe

Hujan deras lagi, setelah sesaat gerimis. Kami ngobrol-ngobrol seputar kemungkinan usaha jamur yang akan dikelola Jukok dan kawan-kawan. Tak hanya itu, tema obrolan semakin beragam. Mulai dari dunia pencinta alam, sejarah hingga membahas Frans yang jomblo.

Satu lagi yang menarik dari tempat ini adalah kisahnya di masa lampau. Dan tempatnya tentu saja sangat nyaman bagi para pencinta to-fotoan. Semua spot disana menarik sekali. Kami sampai berfoto beberapa kali di berbagai sudut. Setelah puas, kami pamit untuk meneruskan perjalanan ke rumah Mas Ivan. Jukok dan rombongannya menuju ke Jember.

Mas Ivan belum pulang. Kami ngobrol-ngobrol bersama Ibuk sambil menikmati kopi buatan beliau. Sampai Arifin Nyek KOnyeg datang, kemudian berpindah tempat menuju rumah Yonica Putra. Di sana kami ngonrol tentang banyak hal bersama Bapaknya Putra. Mulai dari sejarah Kalisat, taman kota, gumuk, rupa bumi dan seputar desa.

Sayang sekali waktu mepet dan kami harus segera kembali ke rumah mas Ivan untuk menunaikan sholat maghrib. Saat kami tiba di pekarangan rumah Putra, sudah ada Fg FransnAta. Akhirnya kami langsung mengajaknya juga.


Akhirnya kangennya sama Fanggi terobati

Sesampainya di sana kami ngobrol-ngobrol. Lumayan lama tidak jumpa dengan adek satu ini. Ya, karena Fanggi memutuskan untuk bekerja di Bali setelah melakukan perjalanan menuntaskan mimpi untuk pergi ke Jogja. Dia bercerita banyak hal tentang kesibukannya selama di Bali. Juga bercerita tentang Febri yang tak lama ini memutuskan untuk ke Bali juga. Fanggi juga sempat bercerita tentang isu-isu lingkungan di seputaran Bali seperti reklamasi teluk benoa. Dalam satu kesempatan, dia mengabarkan niatnya untuk kembali lagi ke Kalisat dan memulai usaha kreatif disini. Terus terang saya sedikit terkejut. Di saat beberapa kawannya punya mimpi untuk ke Bali, dia malah sebaliknya. Ingin kembali ke Kalisat. Fanggi memberi batasan 6 bulan lagi dia mantap akan pulang.

Ketika asyik ngobrol ngalor ngidul, datanglah beberapa anggota aktif EXPA dengan maksud mencari Mas Ivan. Karena yang dicari masih dalam perjalanan dari Cumedak menuju ke Kalisat, maka kita lanjutkan tema obrolan. Mereka ikut nimbrung. Mulai dari sejarah Pencinta Alam, kepanduan, salam komando, sistem diklatsar, sampai obrolan mengenai gelaran dies natalis yang sekiranya akan mengusung tema illegal loging.


Sore yang ramai di rumah Mas Ivan

Asyik ngobrol, sampai Mas Ivan dan rombongan dari Sumber Jambe datang kemudian meneruskan obrolan lagi seputar rally foto yang sedianya akan digelar sebagai rangkaian dies natalis expa. Karena waktu yang mepet dengan jam CLBK On Air, kami memutuskan untuk segera meluncur ke Panaongan dan kemudian ke RRI.

Setengah hari yang cukup menarik kami lewati untuk mengisi hari kedua di pernikahan kami yang ketiga. Dan saya menuliskan semua itu pada dini hari, di usia pernikahan kami 3 tahun 3 hari. Terima kasih hari-harinya. Terima kasih untuk selalu berdoa untuk kami. Terima kasih sudah ada untuk kami.

Salam lestari..

Jumat, 24 Oktober 2014

Ulang Tahun Nyek dan Pawai Obor di Kalisat

Jumat, 24 Oktober 2014

Di Kaki Gumuk Lopez

Ini hari yang ceria, kami menikmati sore di sebuah irigasi peninggalan Belanda. Lokasinya tepat di kaki Gumuk Lopez. Jaraknya dari kediaman Om Bajil hanya sepelemparan batu saja. Lebih menceriakan lagi, hari ini Nyek sedang merayakan hari lahirnya. Selamaaat :)

Kata Om Bajil, sungai irigasi di sini adalah tempat favorit para bocah untuk mandi dan bermain air.

Menjelang maghrib, kami merapat di rumah Om Bajil. Saat hari tampak semakin menggelap, anak-anak yang berkumpul semakin bertambah. Beberapa dari mereka sedang menanti dimulainya perayaan obor, sebuah tradisi tahunan di Kalisat. Pawai obor tersebut dilaksanakan untuk memperingati tahun baru Islam 1436 Hijriyah.


Mbak Prit diantara Pawai Obor

Panjang sekali jajaran Pawai Obor di Kalisat. Barangkali ia serupa dengan iring-iringan perjalanan Hayam Wuruk beserta para prajuritnya ketika mereka mengunjungi Panarukan di tahun 1359 Masehi. Ah, entahlah.

Lokasi kami menonton adalah di di JL. Dokter Wahidin Kalisat. Ramai sekali jalan itu. Selain pawai, para pengguna jalan sibuk mencari celah dan menerobos rute yang dilalui oleh peserta pawai. Meski demikian, masyarakat dan kawan-kawan Pramuka Kalisat tak lelah-lelahnya mengatur kenyamanan peserta pawai dan publik yang sedang menikmati perayaan.


Musik Patrol diantara Pawai Obor

Perayaan semakin terlihat menarik manakala penonton disuguhi atraksi Musik Tradisional Patrol oleh salah satu tim peserta pawai. Rancak sekali irama yang mereka mainkan.

Jika Anda ingin menyaksikan Pawai Obor di Kalisat, berkunjunglah pada malam tahun baru Islam.

Sudah. Selamat ulang tahun Nyek.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Nonton Tipe-X Bersama Agil dan Kawan-kawan

Sabtu, 11 Oktober 2014
Oleh RZ Hakim

Malam ini saya mengantarkan istri nonton Festclusive Music Concert di Lapangan Hitam Scaba Jember. Dia ingin sekali melihat perform tipe-X, sebuah band ska yang berdiri sejak 1995. Sebenarnya di rumah sedang ada Mas Bajil. Kami terpaksa meninggalkan Mas Bajil di rumah sebab ia sedang tidak ingin bergabung untuk turut nonton. Sementara, istri saya merengek. Katanya, atas nama kenangan.

Sesampainya di scaba, parkiran penuh. Oleh salah seorang petugas TNI AD, kami dianjurkan parkir di seberang. Syaratnya, menunjukkan STNK dan membayar uang sejumlah 2000 rupiah.

Memasuki areal panggung, ada satu syarat lagi khusus pria. Sabuk harus dilepaskan dan tidak boleh dibawa. Palang! Saya memakai celana pendek dan harus diberi ikat pinggang biar tidak melorot. Alhasil, selama nonton tipe-X menyanyikan sebelas lagu, saya sering membetulkan celana yang melorot.

Kabar baiknya, di lokasi konser kami berjumpa dengan Febri, Lukman, Nyek, Agil, Niko, dan beberapa teman lagi. Mereka memang janjian dari Kalisat untuk nonton konser bersama-sama. Saat berjalan mendekati panggung, saya dapat rejeki. Nemu selembar uang 20.000 rupiah. Lumayan, bisa buat ngopi Agil dan teman-teman Kalisat.

Seusai tipe-X bernyanyi, saya dan istri segera pulang. Kawan-kawan yang lain tetap di lapangan scaba untuk menonton band pamungkas, d'Masiv.

Sesampainya di rumah, saya segera membuka laptop lalu online. Lewat jejaring sosial twitter, saya ceritakan kejadian ini pada Tresno vokalis tipe-x. Dia membalasnya begini, "Ahaha Maaf mas, itu emang aturan dari panitia, salam hormat buat istrinya."

Di Facebook, Agil berkomentar begini. "Bukan punya sampean saja yang lorge, tapi celanaku juga melorot." Haha, depadeh tompes!

Kapok nonton konser kalau masih ada acara setor sabuk!

Minggu, 21 September 2014

Mempertanyakan Save Gumuk

Minggu, 21 September 2014
Oleh Aditya 'Dodo' Priandaru

Tidak ada yang bisa mencegah pemilik gumuk-gumuk itu untuk tidak menjual tanahnya, karena si pemilik gumuk punya surat tanah (sertifikat). Siapa yang bisa melarang? Mungkin tidak ada yang bisa melarang.

Jika kita bertanya, "Kenapa gumuk itu di ratakan?" Kemungkinan besar pemilik tanah menjawab begini, "Jika tidak menjual material yang ada di gumuk mau makan apa anak dan istri?" Manusia tidak memang pernah lepas dari urusan perut, itu pasti.


Desa Sukowiryo kecamatan Jelbuk, 18 September 2014. Dokumentasi pribadi

Setahu saya, di desa Sumber Wringin dan kecamatan Jelbuk, masyarakatnya bergantung pada material yang ada di dalam gumuk, khususnya batu piring. Bahkan katanya, batu piring desa Sumber Wringin kualitas ekspor. Jadi setiap hari batu-batu piring yang ada di dalam gumuk di eksploitasi besar-besaran. Tidak akan ada lagi gumuk-gumuk di desa Sumber Wringin.

Memang itu adalah hak mereka untuk menjual gumuk miliknya. Tetapi di lain sisi, gumuk adalah penyeimbang ekosistem mahkluk hidup. Jika sedikit demi sedikit gumuk habis pasti ada salah satu hewan akan ikut punah.

Satu hal yang belum bisa terjawab dalam diskusi saat buka bersama di Kalijejer pada 12 Juli 2014 yang lalu. Bagaimana caranya kita bisa mempertahankan gumuk agar tidak rata dengan tanah?

Jumat, 19 September 2014

Tak Ada Kereta Api di Bali

Jumat, 19 September 2014
Sangat menarik membaca pertanyaan Fanggi di grup Kari Kecingkul pada 25 Juli 2014. Ia menuliskannya saat sedang berada di Bali, dengan menggunakan BlackBerry Smartphones App. Karena di Bali tidak ada kereta api, apakah di sana tidak pernah ada penjajahan?

Di Bali g̲̮̲̅͡åк̲̮̅ ada kereta api ??
Berarti penjajahan g̲̮̲̅͡åк̲̮̅ sampek ke Bali?
Tapi knapa banyak orang yang mirip penjajah menetap di Bali??
Sebenernya Bali masi di jajah!
Sama kebudayaan asing !!
Ni manusia sudah jarang g̲̮̲̅͡åк̲̮̅ manusiawi lagi!!
Semua terbuka !,telihat,pengaruh kebiasaan pendatang,!!!
terus' kereta apinya mana??
Yang ada cuma pesawat.
Perahu di dermaga.
Becak g̲̮̲̅͡åк̲̮̅ ada jugak!

Di waktu yang lain, saya mencoba menjawab pertanyaan Fanggi. Jawaban yang sederhana, namun semoga bisa mewakili keresahan Fanggi.

Fanggi..

Bali itu menarik. Ia memiliki kekuatan budaya. Bangsa Belanda mulai tertarik pada Bali pada tahun 1601, namun mereka baru bisa 'menaklukkan' Bali pada Abad 20. Mengapa begitu lama?

Bali adalah sebuah wilayah yang sulit ditaklukkan. Sebabnya ya itu tadi, mereka memiliki keluhuran budaya. Kekuatan ini didasari oleh sadar sejarah dan lingkungan.

Kini, Bali dikepung oleh banyak kepentingan pasar. Marhaban Ya Kapitalisme, begitu kira-kira kata orang pintar. Maka diperhebatlah aksesbilitas. Jalan-jalan, bandara, hingga isue lingkungan terkini seputar Reklamasi Teluk Benoa yang berbau adanya ketidakadilan di bidang lingkungan.

Kabar baik buatmu, Fanggi. Sejak empat bulan yang lalu sebenarnya Pemerintah Provinsi Bali sedang giat-giatnya mengundang investor yang berani mengongkosi uji kelayakan dan pembuatan jalur kereta api untuk pariwisata keliling pulau. Kamu bisa membacanya di situs antaranews dotkom.

Sebenarnya wacana pembuatan jalur kereta api di Bali mengemuka sejak 2010. Adapun panjang rel kereta api Bali diperkirakan mencapai 560 km. Itu masih rencana awal. Ia bisa lebih panjang lagi. Atau lebih pendek, mengingat topografi tanah di Bali Utara berupa pegunungan. Ini tentu menyulitkan. Kecuali pihak pembuat menyanggupi membuat jembatan-jembatan yang layak, seperti ketika Belanda membikin rel kereta api di masa kependudukannya.

Fanggi, penjajahan itu bukan hanya tentang ada dan tiadanya rel kereta. Meski demikian, aksesbilitas tetaplah menjadi media penting dalam 'penjajahan.'

Sekarang kamu masbro kasih PR ya. Mau kan? Hehe.. Menurut Fanggi, kemerdekaan itu apa?

Kamis, 18 September 2014

Kenapa Ada Batu Balast di Sepanjang Rel Kereta Api

Kamis, 18 September 2014

Tumpukan Batu Balast di Stasiun Kalisat. Dokumentasi Ivan Bajil, 10 September 2014.

Ketika kita masih kecil, biasanya sering main tebak-tebakan begini. "Kenapa di sepanjang rel kereta api diberi batu?" Lalu yang diberi tebakan akan menjawab, "Soalnya kalau dikasih onde-onde pasti diambil orang."

Tahukah kita apa nama batu di sepanjang rel kereta api? Ia bernama batu balas. Disebut juga dengan balast, dengan huruf 'T' di belakangnya.

Menurut wiki, Balast adalah bagian dari badan jalan kereta api dimana bantalan rel ditempatkan. Batu ini diitempatkan di antara, dibawah, dan disekitar balast. Material balast biasanya adalah batu kericak dengan dimensi dan ukuran seragam.

"Nek istilahe wong sepuran, ngecer balas iku jenenge ngericak," kata Windi.

Batu balast dibutuhkan untuk ditempatkan di sekitar rel kereta api setidaknya agar tanaman tidak tumbuh di badan jalan kereta api. Bayangkan jika tidak diberi batu dan ada pohon beringin yang tumbuh di samping rel kereta api.

Fungsi utama dari batuan-batuan ini adalah sebagai drainase alias untuk menahan dan memperlancar aliran air di saat hujan. Fungsi ini berperan untuk mencegah terjadinya pengikisan tanah atau erosi pada tanah di sekitar rel kereta api.

"Rel nek nggak nang nduwure balas, iso putung wesi rel'e. Gampang retak. Soale tanah kan adem, sedangkan permukaane panas. Adem ketemu panas dadine korosi. Kropos. Nek onok krecak'e suhu bajane iso stabil."

Benar kata Windi di atas. Batuan balas juga berfungsi sebagai bantalan pemberat. Dengan adanya lapisan batu kerikil ini rel dapat tetap berdiri dengan stabil.

"Pondasi iku menyerap getaran. Tapi material ketika kenek perbedaan suhu, iku akan mempercepat proses keretakan. Jenenge Krek. Mangkane gabin pesawat iku kan mesti onok celah-celahe. Nah, podo karo iku bro. Semua prinsip logam koyok ngono iku. Ketika sebuah benda keras atau logam mengalami perbedaan suhu pada masing-masing lapisan, itu akan mempercepat terjadinya retakan. Nah, biar tidak terjadi keretakan maka harus ada ruang. Contohnya apa? Yo termos iku. Antara logam dan kaca onok sekat udarane. Fungsine menstabilkan suhu di luar dan suhu yang di baliknya. Nek mepet, termose mletek. Pecah."

Windi menjelaskan teori fisika kuantum secara gamblang sekali, sehingga saya mudah mengimajinasikannya.

"Menungso wae nek onok nang suhu dingin, sedangkan suhu kita panas, kulite iso mletek-mletek. Misale pas awak dewe enek nang gunung. Opo maneh koen seneng ngombe wedang sing panas. Lak kulitmu mengko pecah-pecah."

Kini saya semakin mengerti, selain sebagai pengatur suhu, batu balas juga berfungsi untuk menyerap getaran --shock absorber-- yang terjadi ketika kereta api tengah lewat. Ketika kereta api melintas, goncangan pun dapat dikurangi.

Itulah kenapa di sepanjang rel kereta api tak diberi onde-onde atau deng guring, tapi batu-batu balas.

Senin, 15 September 2014

Fashion Tanpa Filosofi Adalah Kering

Senin, 15 September 2014
Oleh RZ Hakim


Model: Hana. Make up and painting: Febri. Fotografer: Ivan Bajil. Sabtu, 13 September 2014

Saat bocah, saya punya sahabat imajiner. Dialah Hiawata, karakter Indian bikinan Walt Disney. Gara-gara Hiawata, saya pernah berburu bulu ayam kalkun di Gudang Pandu. Dia juga menyebabkan saya dimarahi Ibu, sebab bedaknya yang hanya bisa dibeli eceran di toko pracangan --dengan merk Viva Nomor 4, saya habiskan untuk membuat painting pada wajah.

Itu dulu, ketika saya masih baru bisa calistung.

Ketika besar, saya berkenalan dengan novel karya Karl May yang berjudul Winnetou. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia novel ini berjudul Winnetou: Kepala Suku Apache. Ia membuat saya ingin memiliki sepasang Moccasin, sepatu khas Indian Apache.

Bilamana terdengar kata Indian, selalu terbayang juga tentang Dayak dan Mentawai. Mereka para pemburu yang handal.

Kini kostum Indian banyak digunakan sebagai mode fashion, mulai dari fashion tingkat Internasional hingga kadisa atau perayaan di tingkat desa. Saya kira, sudah waktunya berkenalan dengan filosofi yang menyertainya. Jika tidak, itu hanya akan membuat Hiawata dan Winnetou sedih.

Senin, 08 September 2014

Mozaik di Kalisat

Senin, 08 September 2014
Oleh RZ Hakim

Kota Kalisat memiliki karakter Bhineka yang dipengaruhi oleh budaya Using, Jawa, Cina dan Madura. Ketika ada pesta tahunan GERTAK atau Gerak Jalan Tradisional Kalisat, aneka keberagaman itu ditampakkan dengan kostum para peserta.

Saat ini kita lebih mudah menjumpai karakter budaya Madura di Kalisat. Sebab sebagian besar masyarakatnya tumbuh dewasa dengan Ibu yang Berbahasa Madura.


Nuansa Madura

Sejarah telah mencatat, pada 155 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 21 Oktober 1859, ketika George Birnie (bersama Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep) mendirikan usaha NV. Landbouw Maatsccappij Oud Djember, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan. Tentu Birnie akan melirik Kota seperti Kalisat dan Sukowono, tempat dimana tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Produk andalan perdana dari NV. LMOD adalah tembakau jenis Na Oogst.

Tentu Birnie dan rekan-rekannya membutuhkan tenaga kerja yang ulet. Berawal dari hasrat pemenuhan tenaga kerja di bidang perkebunan, didatangkan juga para bakal buruh dari Pulau Madura. Dari sini, dimulailah proses akulturasi di segala bidang, termasuk mengenai Bahasa.

Kalisat dekat sekali dengan Kabupaten Bondowoso. Untuk menuju ke sana, hanya tinggal melewati satu Kecamatan lagi yaitu Sukowono. Ketika itu status Kabupaten Jember masih sebagai salah satu distrik dari Regentschap Bondowoso. Hingga pada 1883 Jember mengalami perubahan status. Dari yang tadinya Distrik --bagian dari Bondowoso-- menjadi regentschap sendiri dan terpisah dari Bondowoso.

Dari sini dimulailah pembangunan infrastruktur di segala bidang, terutama pada pembukaan akses yang bisa menghubungkan Jember dengan daerah-daerah di sekitarnya. Selain akses jalan, infrastruktur dititikberatkan pada pembangunan irigasi modern. Kalisat - Sukowono masih menyisakan beberapa herritage tentang irigasi buatan Belanda.

Dalam GERTAK, Anda juga mudah menemukan sentuhan-sentuhan tradisi Pulau Dewata. Barangkali ini ada hubungannya dengan mereka warga Kalisat yang mencari penghasilan di sana, kemudian pulang dan membawa serta secuil adat istiadat dari Bali.


Nuansa Bali

Gerak Jalan Tradisional Kalisat kemarin --6 September 2014-- juga ditandai dengan gerbang finish di dekat Polsek Kalisat yang dihiasi dengan dua janur kiri kanan bermotif Bali.

Bagaimana dengan nuansa Jawa? Tentu saja ada dan banyak dijumpai di Gertak Fashion Carnival 2014.

Di Kalisat, corak Banyuwangian juga sesekali kita temui. Mereka tidak buta pada tradisi Janger maupun Gandrung. Kadang beberapa pemuda Kalisat bersenda gurau --dalam dialek Madura-- bahwa sayap-sayap JFC dimulai dari selendang gandrung, namun orang-orang malas untuk mengakuinya.


Nuansa Banyuwangi

Hingga pada tahun 1930, menurut catatan Memories van Overgave van den Residentie Besoeki 1931, komposisi penduduk Kalisat adalah seperti berikut ini;

Pribumi, 131.856
China, 957
Arab, 81
Eropa, 211

Total, 133.105

Kalisat adalah wilayah yang menarik. Ia ada di wilayah bagian Utara Kota Jember. Kini orang-orang lebih mengenal Kalisat yang bernuansa Madura. Namun sebelum era Birnie pada 155 tahun yang lalu, sesungguhnya Kalisat lebih dekat dengan karakter Using. Kini Using secara teritorial sudah dianggap hanya ada di Kabupaten Banyuwangi.


Bergoyang bersama lagu Using Banyuwangi-an

Di Kalisat, ketika ada salah satu warga yang sedang punya hajad, biasanya mereka akan menyewa sound system dan memperdengarkan lagu-lagu pada masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan acara kolektif seperti Karnaval Umum dan GERTAK Fashion Carnival. Ia dipenuhi oleh sound dan lagu-lagu. Sering saya dengar, mereka memutar lagu-lagu Using serta lagu Banyuwangian yang sedang trend seperti yang didendangkan oleh Demi dan Suliyana.

Di mata saya, ini semacam kerinduan pada masa lalu. Sayang saya tidak pandai di bidang Semiotika, khususnya yang mempelajari bidang interteks.

Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini.

Kejadian yang terjadi sekarang, adalah kepingan mozaik yang pernah terjadi di masa lampau.

Manakala kita menyediakan waktu untuk menengok ke belakang, sesungguhnya inisiatif George Birnie untuk mendirikan usaha perkebunan di Jember hanyalah karena ia melihat bagaimana pintarnya warga lokal --Jember-- ketika mereka menanam, merajang, dan memperlakukan tembakau. Jadi, siapakah warga lokal yang dimaksud George Birnie?

*Foto-foto oleh Faisal Korep

Minggu, 07 September 2014

Cerita Pembuka Tentang GERTAK

Minggu, 07 September 2014
Oleh RZ Hakim

Saya menepati janji kepada kawan-kawan Kari Kecingkul untuk turut menyemarakkan acara GERTAK, Gerak Jalan Tradisional Kalisat. Dengan pick up warna merah yang disewa oleh Mas Bajil, kami berangkat --dari Panaongan-- menuju Kalisat. Sepeda BMX milik kawan-kawan InfiniTeam Jember Bike dan Nuclear Naked kami tumpuk-tumpuk di atas pick up merah.


Persiapan meramaikan GERTAK - Foto oleh Oki

Sampai tiga hari sebelum acara, Mas Bajil sibuk menghubungi saya. Ia menanyakan perihal MC. Kata Mas Bajil, komunitas Kari Kecingkul akan menyemarakkan acara GERTAK. Mereka ikut beregu, disertai dengan truk yang mengangkut Sound System. Nah, tim Kari Kecingkul butuh MC untuk membacakan narasi acara. Mereka didudukkan di atas truk yang sudah dihias.

Mendekati acara, saya mendapati dua orang --keluarga tamasya-- yang bersedia menjadi MC untuk regu Kari Kecingkul. Keduanya adalah Varina Oktavia dan Indana Putri Ramadhani. Ditambah satu lagi, istri saya sendiri, Zuhana Anibuddin Zuhro.


Sesampainya di IGA Production - Kalisat

Tentang awal keberadaan GERTAK, dua narasumber yang saya temui menyebutkan angka tahun yang berbeda. 1984 dan 1986. Barangkali kepanitiaan GERTAK tidak mempersiapkan bidang pengarsipan.


Salah satu peserta GERTAK 2014. Foto oleh Faisal Korep

Di dalam GERTAK --Gerak Jalan Tradisional Kalisat-- Anda akan menjumpai kegembiraan. Di sini tak hanya bicara tentang gerak jalan. Ia juga tentang nyanyian, warna-warni fashion, tarian, serta aneka sound system yang ditata di atas kendaraan hias. Tentu, GERTAK juga tentang ekspresi mereka yang menjalani peran sebagai penonton.

Cerita yang lain. Di sudut yang berbeda, kota kecil ini sedang punya gawe. Jember Open Marching Band Competition. Digelar pada 5 - 7 September 2014.

Sementara itu dulu cerita pembuka tentang GERTAK 2014. Akan saya sambung di lain waktu.

Salam Kari Kecingkul!

Rabu, 03 September 2014

GERTAK Fashion Carnivals

Rabu, 03 September 2014

GERTAK --Gerak Jalan Tradisional Kalisat-- akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 6 September 2014. Start dari Lapangan Sukowono, finish di depan Polsek Kalisat.

Tema GERTAK bebas. Adapun unsur penilaian mencakup beberapa hal, diantaranya adalah keunikan, keindahan dan kreatifitas.

Tempat Pendaftaran:

- Kantor UPT Pendidikan Kalisat
- Kantor Kecamatan Kalisat
- Base Camp Badut Community

Biaya pendaftaran untuk perorangan adalah 15 ribu, peregu 50 ribu, sedangkan untuk sound system 50 ribu. Sound juga turut dilombakan.

Support by ETOS & Badoet Community

Sabtu, 30 Agustus 2014

Karnaval Umum di Kalisat

Sabtu, 30 Agustus 2014
Oleh RZ Hakim

Jember wilayah Utara selalu punya cara-cara indah untuk merayakan HUT RI, tidak terkecuali Kecamatan Kalisat. Pada 30 Agustus yang lalu, ia merayakan Hari Kemerdekaan dengan menggelar karnaval umum. Ini semacam etalase kreasi milik rakyat. Semua bisa mengambil peran, entah sebagai penyemarak karnaval entah sebagai penonton.


Foto oleh Lukman, 30 Agustus 2014

Tidak mau ketinggalan, siswa-siswi SMAN 1 Kalisat turut memeriahkan karnaval umum tersebut. Saya kira, mereka tampil optimal. Produk karnaval yang ditampilkan bukan hanya dari ekstra kurikuler PMR dan KIR, Paskibra, artistik dan teater, ekstra kurikuler tari, serta ekstra kurikuler PRAMUKA saja. Mereka juga menghadirkan devile badut, sesuatu yang bisa dibilang marak di Kalisat.

Ketika ada barisan pakaian adat Nusantara, publik menyambutnya dengan antusias. Kreasi mereka sungguh mencuri perhatian. Pada spanduk yang mereka rentangkan, ada tertulis kalimat, "Aku cinta warisan budayaku."

Keren.


Penampilan SMAN 1 Kalisat

Siswa-siswi yang tak berperan sebagai talent, mereka tampak sibuk mengatur jalannya lalu lintas. Terutama kawan-kawan dari Praja Muda Karana. Namun tetap saja, di penghujung senja, macet tak bisa dihindarkan.

Pihak SMAN 1 Kalisat sepertinya antusias dengan seremonial seperti ini. Sebelumnya, saat ada event JFC pada 24 Agustus 2014, mereka menyediakan dana 10 juta untuk lima siswinya yang berpartisipasi di acara tersebut. Masing-masing talent mendapat dana 2 juta rupiah.

Atraksi rakyat dari can-macanan kadduk hingga musik patrol hadir di sini. Sayang saya terlambat untuk melihat arak-arakan ogo-ogo atau ta' buta'an yang sengaja dipersiapkan oleh komunitas Kari Kecingkul, khusus untuk memeriahkan karnaval umum di Kalisat.


Can-macanan kadduk di Kalisat

Untuk can-macanan kadduk, pada malam harinya mereka kembali beratraksi di acara Jaranan yang digelar di dekat Koramil Kalisat.

Ada juga gaya 'oli tap-tapan' khas pesta rakyat. Mereka tampil dengan corak dominan warna hitam.

Tidak ketinggalan atraksi pencak silat. Menjadi menarik ketika salah satu talent pencak mengenakan pakaian Gatot Kaca lengkap dengan sayap di punggungnya.


Kari Kecingkul

Di atas adalah foto keluarga Kari Kecingkul. Mereka juga turut berperan aktif menyemarakkan Karnaval Umum, baik sebagai desainer kostum, talent, maupun sebagai penonton.

Ohya, hampir lupa. Anda ingat atraksi sembur api? Atraksi ini ada di karnaval umum Kalisat. Selain atraksi sembur api, ada kawan-kawan pencinta fitnes. Ada pula seorang putri yang naik kereta kencana. Kereta itu ditarik oleh kuda warna coklat muda. Sedangkan juru kemudi kuda, ia menggunakan pakaian adat Madura.

Bagaimana dengan sampah? Kiranya sampah yang dihasilkan even karnaval bukan monopoli JFC. Di sini juga saya temui banyak sampah.

Budaya-budaya Nusantara tampil memikat, berpadu dengan budaya pop yang hadir melesak hingga ke sudut-sudut kota. Selain kreasi seni dari rakyat dan dari para pelajar Kalisat, karnaval hari ini masih tentang sayap dan bulu-bulu unggas.

Tambahan

Selain Kecamatan Kalisat, Kecamatan lain juga menggelar even yang kurang lebih sama. Untuk Kalisat, puncak acara adalah GERTAK --Gerak Jalan Tradisional Kalisat-- yang akan digelar pada 6 September 2014. Menurut Edi Topan Santoso, Ketua panitia GERTAK, acara akan dibuat lebih kolosal.

Senin, 25 Agustus 2014

Pusaka itu Bernama Batik: Dibalik Dua Motif Batik Taksaka

Senin, 25 Agustus 2014
Oleh Edwindy Corbezt

Ditengah hiruk pikuk dan hangatnya perbincangan tentaang event tahunan Jember Fashion Carnival ke-13, saya masih saja asyik dengan lembaran kain putih yang hendak saya gambari. Ia akan saya poles dengan motif batik serta imaji yang melintasi masa masa lalu Jember, masa dimana saya pun belum dilahirkan.

Saya menerawang jauh membayangkan tentang tren fashion di masa-masa awal kemerdekaan. Kemudian mundur di era Perkebunan kolonial, era pra kolonial, hingga pada masa Majapahitan. Ketika itu di Jember masih eksis yang namanya Kerajaan Sadeng.

Bukan tanpa alasan saya menerawang terlalu jauh pada masa-masa yang lampau yang mungkin sangat sulit di bayangkan. Hal ini dikarenakan keinginan saya menciptakan suatu desain batik yang mampu merepresentasikan kebudayaan lokal dan tradisional di Jember. Saya tidaklah hendak menciptakan sebuah icon, namun hanya sedang melakukan sebuah eksplorasi budaya berpakaian batik serta motifnya. Saya sangat membutuhkan sebuah gambaran tentang batik di era-era Jember tempo dulu. Keberadaan batik sebagai pusaka bangsa membuat saya melakukan pendalam tentang apa itu batik serta kenapa tren fashion itu terjadi.

Ajine Rogo Soko Busono.

Ia adalah penggalan pepatah Jawa yang terekam di ingatan  saya. Ajine Rogo Soko Busono ... Simbol penghargaan pada tubuh berasal dari pakaian yang dikenakan. Hal ini meyakinkan saya bahwa batik tak hanya menjadi sekedar tren fashion di masa itu, namun ia memiliki kedudukan sebagai uniform atau seragam identitas tentang siapa pemakainya dan kedudukan serta perannya dalam masyarakat.

Dalam sebuah staatsblad yang diterbitkan Keraton Jogja disebutkan bahwa motif batik selain sebagai busana juga merupakan penegasan fungsi serta identitas pemakainya. Ketika itu, seorang Raja hingga masyarakat diatur dalam sebuah tatanan busana dengan pola-pola motif tertentu untuk acara-acara tertentu pula, yang bersifat formal.

Baiklah, mungkin itu terdengar terlalu aristokrat dan feodal banget. Namun saya lebih memandangnya bahwa peraturan tata busana tersebut akan lebih memudahkan seseorang mengontrol prilakunya dalam masyarakat. Ya, saya berfikiran demikian. Sebab pastilah tidak ada seorang yang berani menggunakan motif ciptoning yang dipakai para pengadil serta menegak hukum dimasa itu, lalu seenaknya saja bertingkah di muka umum.

Batik akan menjadi semacam pengotrol perilaku, seperti halnya ketika Anda menggunakan seragam Polisi atau Lurah. Anda akan merasa sangat perlu menjaga perilaku dan selalu menjadi tauladan bagi masyarakat.

Di era itu manakala Anda diberikan tugas sebagai pengadil oleh Raja yang identitasnya dapat diketahui dari pakaian batik motif ciptoning yang Anda kenakan, pastiah Anda perlu menjaga ke-jaim-an. Anda tentunya juga takkan mau menggunakan motif slobog dimasa tersebut, terlebih jika Anda hanya masyarakat biasa dengan usia muda.

Motif Slobog Bagi Pinisepuh

Semua orang paham motif slobog merupakan motif yang diilhami pakaian para fakir dan biksu yang penuh tambalan. Motif ini diciptakan dimasa itu untuk orang-orang yang sudah tua, yang telah mapan dan tak lagi mengejar kehidupan duniawi. Dalam kultur Jawa disebut pinisepuh. Mereka yang menggunakan motif slobog haruslah orang yang mapan jasmani rohani, lahir maupun batinnya. Hal ini dikarenakan para pinisepuh merupakan rujukan atas semua masalah yang ada di masyarakat. Mereka orang yang penuh kemapanan hingga segala kenyamanan yang melekat pada dirinya dipersembahkan pada masyarakat, baik harta maupun segala bentuk keluhuran yang dimilikinya.

Ibaratnya, mereka pemakai moti slobog adalah tambalan bagi lubang-lubang kehidupan dan kefanaan masyarakat.

Kembali pada pola-pola lokal yang hendak saya kembangkan.

Selama ini pola-pola batik di Jember banyak berkutat pada motif tembakau. Keberadaan motif tembakau ini kemungkinan tidak lepas karena hasil sayembara desain motif batik khas Jember yang kemudian menjadi sebuah icon daerah. Atau mungkin pula disadur dari tarian khas Jember yang diciptakan berdasarkan penggalian tradisi menanam tembakau sebagai ciri masyarakat Jember.

Kenapa Jember Menjadi Tembakau?

Tentu itu menjadi sebuah pertanyaan yang sangat mengganggu manakala icon tembakau akhirnya menutupi kekhasan tradisi Jember yang telah ada sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa popularitas tembakau naik manakala George Birnie membawa dan mengenalkan tembakau jenis na oust untuk ditanam di tanah Jember di era 1800-an. Suburnya tanah Jember dan baiknya hasil panen tembakau di tanah Jember pada akhirnya turut mempengaruhi kebijakan pola tanam kolonial terhadap daerah jajahan.

Nah, dikarenakan Jember merupakan kota perkebunan bentukan kolonial, maka pada akhirnya tembakau dianggap sebagai cikal bakal keberadaan Jember sebagai kota pemerintahan. Disinilah mungkin awal mulanya budaya tembakau-isme menjadi budaya yang populer atau dipaksakan populer lewat lambang daerah, tarian, bahkan corak batik. Tembakau pada akhirnya sukses menggeser budaya Sadeng serta akar budaya pesisir selatan baik itu secara tradisi, tarian, maupun tren berbusana.

Karakteristik Jember yang begitu moderat terhadap hal baru cukup mendukung kesuksesan tembakau menjadi icon bagi Jember. Hal ini berbeda dengan kota-kota lainnya. Ambilah contoh Lumajang dengan icon pisang agungnya yang tak terjebak pada tren pisangnya namun tetap bertahan pada akar budaya Lamajang dengan tradisi jaran kencak. Atau mungkin Banyuwangi yang tetap setia dan teguh memegang budaya Usingnya meski ada produk bakiak.

Lumajang dan Banyuwangi, mereka tidak terjebak pada icon product namun pada icon budaya untuk melesatarikan identitas dan tradisi masyarakatnya.

Bagaimana bisa budaya lokal Jember yang berakar dari Sadeng bisa tak terlacak? Masalah pelestarian serta hilangnya --atau belum ditemukannya-- bukti budaya dan tradisi Sadeng memang menjadi sebuah kendala untuk menggalinya lebih jauh. Berangkat dari pemikiran tersebut maka saya meyakini; sebagai sebuah kerajaan, Sadeng pastilah memiliki tarian, tradisi, budaya serta aturan adat yang termasuk diantaranya adalah produk tata busana.

Sebagai kerajaan yang eksis di era Majapahitan, Sadeng pastilah memiliki busana kenegaraan seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya. Keberadaannya di pesisir Selatan yang kental akan mitos Penguasa Laut Selatan serta kisah Nyi Blorong menjadi sebuah referensi bagi saya untuk menciptakan sebuah pola yang bisa mewakili budaya yang pernah ada di Jember.

Beberapa poin yang saya jadikan pakem penciptaan motif batik tersebut diantaranya adalah; Legenda Watu Ulo yang dikisahkan terpotong tubuhnya --ekornya di Jember kepalanya di Banyuwangi, Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul dengan busananya yang anggun, budaya petik laut di pesisir selatan yang pastinya memiliki aturan pelaksanaan, tata busana, doa serta kelengkapan, serta pengaruh tren motif motif batik klasik yang eksis di masa itu yang umum digunakan di kerajaan kerajaan di Jawa.

Motif Taksaka


Berangkat dari pemikiran di atas maka terciptalah motif taksaka yang merangkum kesemuanya itu. Taksaka adalah nama ular dalam mitologi Jawa. Dalam pawayangan Taksaka adalah saudara dari Naga Basuki.

Taksaka adalah naga yang menuntaskan kutukan pada Raja Parikesit yang telah menghina seorang pertapa dengan mengalungkan ular di lehernya karena tak mau bangun dari pertapaannya untuk menjawab pertanyaan Prabu Parikesit. Mungkin penamaan Taksaka masihlah belum pas untuk batik yang akan merepresentasikan Jember. Tapi untuk sementara ini nama tersebutlah yang saya pandang cocok sampai saya menemukan nama yang lebih cocok lagi.


Motif Taksaka - Dokumentasi Pribadi

Untuk saat ini saya telah menyelesaikan dua motif yang mengambil dasar dari motif semen dan truntum. Pemakaian motif semen diinspirasi keberadaan Jember yang kaya serta memiliki banyak wilayah pegunungan, laut, serta hewan-hewan eksotis, termasuk lokasi Watu Ulo yang berada di kawasan Hutan Grintingan Wuluhan.

Adapun motif Truntum, ia didominasi bunga-bunga. Motif ini terilhami oleh busana para penari yang menurut saya dulu selalu dihadirkan dalam upacara petik laut di pesisir Selatan.

Berikutnya yang menjadi PR bagi saya adalah membuat motif yang mampu merepresentasikan budaya di Jember Utara. Budaya-budaya yang didominasi kultur Madura serta keberadaan Situs Rengganis.

Ach.... Sepertinya masih panjang proses kreatif yang harus saya lalui. Semoga nantinya bisa turut menyumbang atas apa yang telah ada sekaligus menjadi bahan pengingat bahwa Jember itu tak hanya tembakau dan George Birnie, bahwa budaya lokal serta tradisi masyarakat haruslah dipertahankan dan dikembangkan mengiringi budaya kontemporer seperti JFC yang beranjak besar dan mendunia.

Salam Budaya.

Minggu, 17 Agustus 2014

Tajemtra Tahun 1979

Minggu, 17 Agustus 2014

Piagam TAJEMTRA tahun 1979

Piagam di atas ditandatangani oleh Soepono, Bupati Jember saat itu. Ia baru saja menjabat sebagai Bupati Jember menggantikan Bupati sebelumnya, Letkol (Inf) Abdul Hadi, yang memimpin Jember sejak 1968 hingga 1979. Sedangkan Soepono sendiri meminpin Jember sejak 1979 hingga 1984. Sementara, ketua seksi lomba gerak jalan tradisional Tanggul-Jember adalah Soenitro Iroe.

Dalam piagam tersebut tertulis nama Ny. Usman alias Ibu Sulasmini, perempuan kelahiran tahun 1938 yang kini menjalani hari-harinya di desa Ajung kecamatan Kalisat. Menurut ingatan Ibu Sulasmini, sejak diadakan pada 1972, Tajemtra tahun 1979 telah bernama MAHMUDI CUP.

Sebelumnya, pada Tajemtra tahun 1975, siswa STM Negeri Jember bernama Mahmudi meninggal dunia dalam perjalanan saat mengikuti Tajemtra.

Ada beberapa momen yang ia ingat di Gerak Jalan Tanggul-Jember Tradisional tahun 1979, sebab saat itu Ibu Sulasmini menyabet juara satu untuk kelas perorangan. Atas kemenangannya, ia berhak mendapatkan uang tunai sebesar 250 ribu rupiah, langsung dari Bupati Jember, Soepono.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Stasiun Paling Utara di Kabupaten Jember

Sabtu, 09 Agustus 2014
Oleh Aditya 'Dodo' Priandaru


Stasiun Sukowono. Dokumentasi pribadi, 8 Agustus 2014

Kemarin sore, saya dan Zeni melintasi areal stasiun Sukowono dan menyempatkan mampir untuk memotret wajah stasiun yang semakin lama semakin tidak terawat ini. Stasiun Sukowono merupakan stasiun kereta api yang terletak di JL. PB. Sudirman Sukowono, Jember. Lokasinya ada di timur kecamatan Sukowono.

Sejak tahun 2004, stasiun dan jalur ini dinonaktifkan karena prasarananya sudah banyak yang rusak. Dulu stasiun Sukowono mempunyai dua jalur kereta api, tetapi sekarang rel dan bantalan kayu sudah banyak yang hilang.

Stasiun Sukowono, ia merupakan stasiun kelas III dan stasiun paling Utara di kabupaten Jember. Stasiun sebelumnya adalah stasiun Sukosari dan stasiun selanjutnya adalah stasiun Tamanan, masuk kabupaten Bondowoso.

Sabtu, 19 Juli 2014

Lonceng Kereta Api di Kalisat

Sabtu, 19 Juli 2014

Lonceng Kereta Api di Kalisat

Hari ini, 19 Juli 2014, saya melintas di sepanjang jalan Sukowono, lalu menyempatkan untuk memotret sebuah gardu kecil di lintasan rel kereta api yang membelah jalan beraspal. Ini rel kereta api jalur Kalisat - Panarukan yang sudah lama tak lagi aktif.

Orang-orang menyebutnya Bel Genta. Ia merupakan alat bantu komunikasi yang mengirimkan berita terkait perjalanan Kereta Api.

Garis besarnya kira-kira seperti ini;

Lonceng digunakan untuk memberitahu memberitahu Petugas Jaga Lintasan atau PJL, agar waspada karena akan ada kereta api yang akan lewat. Itu fungsinya secara umum.

Yang memberikan tanda melalui genta JPL yaitu PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) atau PAP alias Pengawas Peron, yang berada di stasiun, sehingga genta JPL dibunyikan tiap petak jalan.

Bentuk genta PJL seperti tampak dalam foto. Ia berupa tabung besar dengan caping diatasnya dan di samping kanan kirinya terdapat palu untuk memukul besi sehingga terjadi bunyi bel. Di dalam genta PJL ada bandul pemberat fungsinya ketika aliran yang diberikan PAP secara otomatis akan menggerakan bandul kebawah dan menarik bel sehingga berbunyi.

Ketika ada keadaan darurat, lonceng juga berfungsi sebagai pemberi tanda peringatan akan bahaya. Untuk menunjukkan tanda bahaya, Pemimpin Perjalanan Kereta Api dan atau Pengawas Peron yang berada di stasiun akan membunyikan lonceng sebanyak 8 kali rangkaian.

Kini kondisi Lonceng kereta api di Sukowono sudah berkarat.

*Admin Kari Kecingkul

Minggu, 13 Juli 2014

Buber dan Diskusi Sejarah

Minggu, 13 Juli 2014
Tanda-tanda gerimis memang telah nampak sejak sore, namun kawan-kawan masih berharap cuaca akan baik-baik saja. Terpal biru terhampar di pelataran Kalijejer, menutupi rerumputan. Benar kata para orang tua, kita hanya mampu berencana, sedang penentunya tetap Tuhan YME.

Sekira sepuluh menit sebelum adzan maghrib, rintik-rintik gerimis pun berjatuhan. Terpal biru segera kami amankan, lalu kita memutuskan untuk menggelar buka puasa bersama di bawah atap. Beberapa teman tampak sibuk mengurusi penerangan.


Buber dan Diskusi Kari Kecingkul, 12 Juli 2014

Alhamdulillah, pada akhirnya buber bisa dilaksanakan dengan lancar dan gembira.

Seusai buber, Cak Dainuri dan beberapa orang melaksanakan ibadah sholat maghrib. Mereka mengambil air wudhu di sungai. Banyak pula yang memilih untuk ngobrol atau menikmati rokok.

Salah satu dari kami berinisiatif untuk menyalakan sound system pinjaman dari Cak So - ETOS. Kebetulan Cak So hadir juga di acara ini. Ohya, datang pula Mas Anes, si empunya CV. Jawadwipa --bergerak di bidang usaha beras, ia selalu support acara muda-mudi Kalisat. Buber kali ini, Mas Anes menyumbang berasnya. Terima kasih Cak So, terima kasih Mas Anes, terima kasih semuanya.

Belum selesai.

Mas Revo dan Cak Har datang terlambat, saat makanan sudah ludes. Kami sepertinya juga lupa tidak memberinya stiker Kari Kecingkul. Maap.

Acara dilanjut dengan diskusi santai. Mas RZ Hakim yang memulainya, sebentar saja. Lalu obrolan itu dilanjutkan oleh Cak Dainuri. Ia banyak bicara tentang sejarah, serta hubungan sejarah dengan cinta tanah air, cinta lingkungan, budaya, adat istiadat, sampek ngomong tentang blettang.

Sudah, gitu dulu ceritanya. Salam saya, Arifin Nyek KOnyeg.

Jumat, 11 Juli 2014

Bikin Sticker di Pribumi Advertising

Jumat, 11 Juli 2014

Di Markas Pribumi Advertising

Malam ini kami singgah di markas Pribumi Advertising di Desa Sumberbulus, Ledokombo. Tampil sebagai penggerak Pribumi Advertising adalah Heru, ALB Pencinta Alam EXPA Kalisat.

Di sini, kawan-kawan Komunitas Kari Kecingkul sedang berkumpul. Rupanya mereka lagi membuat stiker untuk persiapan Buber nanti sore, 12 Juli 2014. Stiker yang mereka buat tidak banyak, tapi menarik.


Mbak Prit beraksi sambil memegang rakel sablon


Ini salah satu hasilnya

Yang ada waktu luang, yuk merapat di Dawuhan Kembar, Kalisat. Kita berbuka puasa rame-rame sambil menikmati masakan buatan Ibunya Om Bajil dan dendeng daging sapi hasil olahan si Fia. Kita juga akan bagi-bagi sticker buatan sendiri.

Ini undangan terbuka, kita nikmati apa yang ada. Mon tak percajeh, silahkan baca sendiri update status Ko Heru di group Kari Kecingkul.

Sedulur, jek keloppaen yeh. Kita punya gawe sederhana. Buber, doa bersama, diskusi kecil sekaligus syukuran. Buber ini dilaksanakan di Kalijejer, 12 Juli 2014. Mari merapat, kita nikmati kesederhanaan ini bersama-sama.

Salam Lestari!

Terima kasih.

Sabtu, 05 Juli 2014

Gumuk Baung: Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Sukoreno

Sabtu, 05 Juli 2014
Sebelumnya telah diceritakan tentang perjuangan Pak Rawi, seorang pejuang dari tanah Sukoreno kecamatan Kalisat. Bersama pejuang yang lain, ia melepaskan bantalan rel kereta api di jembatan Sukoreno. Pak Rawi melakukan itu dengan tujuan untuk menghambat pasukan Belanda yang hendak ke Kalisat dengan menaiki kereta api dari arah Bondowoso.

Seperti yang dituturkan oleh Gunawan Cahya di bawah ini.

"Ada seorang pembela tanah air, namanya Pak Rawi. Kini ia telah meninggal dunia. Almarhum melepaskan bantalan rel kereta bersama rakyat, kemudian menunggu di sungai bersama orang-orang desa. Mereka berada tepat di bawah rel, dimana pasukan Belanda yang ingin menuju daerah kalisat menggunakan transportasi kereta api. Pak Rawi dan orang desa mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan pelepah pinang dan bom nanas yang dicuri dari tentara Belanda. Pelepah pinang itu digunakan untuk mengecoh tntara Belanda. Cara kerja pelepah pinang; dipukulkan ke batu piring --batu hasil Gumuk-- sehingga menyerupai suara tembakan dari senapan.."

Selengkapnya bisa dibaca di artikel berjudul; Sabotase Rel Kereta Api di Jembatan Sukoreno.


Gumuk Baung Sukoreno. Dokumentasi oleh Pije, 1 Juli 2014

Di Sukoreno ada sebuah gumuk, oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Gumuk Baung. Ia adalah saksi bisu perjuangan Pak Rawi dan pejuang-pejuang Sukoreno yang lain, di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, 1947-1949.

Pada 1 Juli 2014 lalu, sore hari, saya dan teman-teman Kari Kecingkul melintas melintas di Desa Sukoreno Kecamatan Kalisat, lalu menyempatkan diri untuk singgah di kaki gumuk. Di sini ada sebuah monumen perjuangan. Kari Kecingkul pernah mencatatnya, di artikel berjudul; Monumen di Kaki Gumuk Baung.

Menurut Gunawan Cahya, di sinilah tempat dimana regu Gagak Hitam membela tanah Sukoreno melawan penjajahan Belanda.

Tentu ini adalah PR kita bersama, mencari tahu bagaimana kisah sebenarnya tentang perjuangan rakyat Sukoreno di masa yang lalu. Dari sana, semoga ada yang bisa kita jadikan pelajaran dan bahan renungan.

Kamis, 03 Juli 2014

Sabotase Rel Kereta Api di Jembatan Sukoreno

Kamis, 03 Juli 2014
Pada 2 Juli 2014 kemarin, Gunawan Cahya mengirimkan sebuah pertanyaan di Group Kari Kecingkul. Sangat menarik. Ini yang dia tanyakan. "Teman-teman, saya dengar kalau ada sejarah di jembatan kereta api yang mengarah ke Kotok dan Arjasa di desa Sukereno kecamatan Kalisat. Konon katanya, di sana terjadi runtuhnya kereta api yang mengangkut tentara Belanda."

Tentu yang dimaksud oleh Gunawan adalah masa konfrontasi fisik antara pejuang Republik dengan pihak Belanda di era Agresi Militer, 1947-1949. Komentator pertama di pertanyaan itu adalah Lingga Ferdiansyah. Dia bilang jika lokasi jembatan yang dimaksud, berada tak jauh di belakang rumahnya.

"Ini sangat menarik. Kira-kira kita harus menemui siapa agar mengerti kisahnya?"

Gunawan menjawab seperti ini, "Mohon maaf Mas. Kata Bapak saya, generasi yang mengerti cerita itu sudah meninggal dunia. Jika menunjuk salah satu orang, takut mengarang cerita."

Ditambahkan oleh Lingga, "Kalau dulu saya didongengi itu sama Nenek, tapi sekrang ia juga telah meninggal dunia. Kata Nenek, keretanya jatuh karena relnya dicopot sama penduduk dan beberapa anggota tentara. Hal tersebut dilakukan karena penduduk merasa kesal dengan sikap Belanda yang semena-mena. Penduduk bergotomg royong melepas rel pada jembatan tersebut sehingga saat kereta --sepur klotok-- lewat, keretanya jatuh. Kira-kira tingginya 20 meter."


Jembatan kereta api di Sukoreno. Foto kiriman dari Lingga Ferdiansyah

Di akhir perbincangan, Gunawan masih menyempatkan untuk menambah data tentang peristiwa di jembatan Sukoreno. Barangkali ia bertanya kepada Bapaknya.

"Ada seorang pembela tanah air, namanya Pak Rawi. Kini ia telah meninggal dunia. Almarhum melepaskan bantalan rel kereta bersama rakyat, kemudian menunggu di sungai bersama orang-orang desa. Mereka berada tepat di bawah rel, dimana pasukan Belanda yang ingin menuju daerah kalisat menggunakan transportasi kereta api. Pak Rawi dan orang desa mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan pelepah pinang dan bom nanas yang dicuri dari tentara Belanda. Pelepah pinang itu digunakan untuk mengecoh tntara Belanda. Cara kerja pelepah pinang; dipukulkan ke batu piring --batu hasil Gumuk-- sehingga menyerupai suara tembakan dari senapan. Kalau menurut cerita yang saya dengar seperti itu, semoga bisa dijadikan referensi. Untuk yang tau lebih banyak, mohon dikoreksi dan ditambahkan datanya."

Tidak ada catatan yang menyebutkan tanggal kejadian itu. Generasi kita hanya bisa memperkirakan tahun kejadian, antara 1947-1949, ketika Sukoreno masih dipinpin oleh seorang Kades bernama Kasbiran. Ia memimpin desa Sukoreno sejak 1941. Dulu sekali, nama desa Sukoreno adalah desa Gumuk Lengar.

Adapun Angkatan pada Djawatan Kereta Api di Djember tahun 1946, menurut Soeara Merdeka Edisi 12 Februari 1946, ia bernama R. Soehoed.

Rabu, 02 Juli 2014

Catatan dari tepi Rimba Bukit Duabelas

Rabu, 02 Juli 2014
Oleh Ananda Firman Jauhari


Luar biasa... Kawan-kawan Kari Kecingkul melakukan penelusuran sejarah dari para pelaku sejarah, dari bangunan-bangunan yang dibangun sedari zaman Ratu Belanda dan masih diagungkan di bumi nusantara, dan ketika kata Indonesia masih dianggap Subversif waktu itu sampai penelusuran ke monumen-monumen yang dibangun setelah kata Indonesia menjadi sebuah mimpi yang jadi kenyataan tapi penuh pertanyaan.

Apa yang kalian lakukan adalah perjuangan. Walaupun perjuangan adalah sikap yang aneh zaman sekarang, karena kemapanan pola pikir mayoritas bahwa kemapanan materi menentukan harkat dan martabat individu.

Kita yang belajar sejarah juga tahu dulu hanya kaum minoritas yang berjuang. Dan tetap percayalah nantinya ini akan menjadi besar karena ghirrah-nya terpancarkan.

Selamat merangkai keping demi keping.

Terimakasih Untuk Pancaran Semangatnya.

Salam dari tepi Rimba Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, 2 Juli 2014

Selasa, 01 Juli 2014

Monumen di Kaki Gumuk Baung

Selasa, 01 Juli 2014

Dokumentasi oleh Pije, 1 Juli 2014

Tadi sore ketika melintas di Desa Sukoreno Kecamatan Kalisat, kami mampir di Monumen ini. Menurut warga, mulanya di sini terdapat tiga tugu yang menjulang, kini hanya tersisa satu. Dua lainnya roboh dan terkesan dibiarkan begitu saja.

Monumen yang berada tepat di kaki Gumuk Baung ini diresmikan di masa kepemimpinan Soeryadi Setiawan, 14 Oktober 1986.

Melihat catatan di batu marmer, monumen ini sengaja dibangun untuk mengingat dua pertempuran, pada 1947 dan pada 1949, di masa revolusi.

Dikabarkan oleh Koran Pelita Rakjat tanggal 1 Februari 1949 bahwa perkebunan Sukoreno dan perkebunan Kalianget --semuanya di daerah Jember, telah dibakar habis. Juga perkebunan Jelbuk telah mendapat serangan hebat oleh pejuang-pejuang tanah air.

Melihat bekas lokasi pertempuran, saya jadi teringat kata-kata para sesepuh yang pernah turut berjuang. Mereka bilang, Gumuk adalah infrastruktur alami sebagai penunjang perang gerilya.

Kini Gumuk-Gumuk di Jember bernasib buruk, justru pada saat negeri ini telah merdeka.

Sudut Kalisat © 2014