Sabtu, 19 Juli 2014

Lonceng Kereta Api di Kalisat

Sabtu, 19 Juli 2014

Lonceng Kereta Api di Kalisat

Hari ini, 19 Juli 2014, saya melintas di sepanjang jalan Sukowono, lalu menyempatkan untuk memotret sebuah gardu kecil di lintasan rel kereta api yang membelah jalan beraspal. Ini rel kereta api jalur Kalisat - Panarukan yang sudah lama tak lagi aktif.

Orang-orang menyebutnya Bel Genta. Ia merupakan alat bantu komunikasi yang mengirimkan berita terkait perjalanan Kereta Api.

Garis besarnya kira-kira seperti ini;

Lonceng digunakan untuk memberitahu memberitahu Petugas Jaga Lintasan atau PJL, agar waspada karena akan ada kereta api yang akan lewat. Itu fungsinya secara umum.

Yang memberikan tanda melalui genta JPL yaitu PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) atau PAP alias Pengawas Peron, yang berada di stasiun, sehingga genta JPL dibunyikan tiap petak jalan.

Bentuk genta PJL seperti tampak dalam foto. Ia berupa tabung besar dengan caping diatasnya dan di samping kanan kirinya terdapat palu untuk memukul besi sehingga terjadi bunyi bel. Di dalam genta PJL ada bandul pemberat fungsinya ketika aliran yang diberikan PAP secara otomatis akan menggerakan bandul kebawah dan menarik bel sehingga berbunyi.

Ketika ada keadaan darurat, lonceng juga berfungsi sebagai pemberi tanda peringatan akan bahaya. Untuk menunjukkan tanda bahaya, Pemimpin Perjalanan Kereta Api dan atau Pengawas Peron yang berada di stasiun akan membunyikan lonceng sebanyak 8 kali rangkaian.

Kini kondisi Lonceng kereta api di Sukowono sudah berkarat.

*Admin Kari Kecingkul

Minggu, 13 Juli 2014

Buber dan Diskusi Sejarah

Minggu, 13 Juli 2014
Tanda-tanda gerimis memang telah nampak sejak sore, namun kawan-kawan masih berharap cuaca akan baik-baik saja. Terpal biru terhampar di pelataran Kalijejer, menutupi rerumputan. Benar kata para orang tua, kita hanya mampu berencana, sedang penentunya tetap Tuhan YME.

Sekira sepuluh menit sebelum adzan maghrib, rintik-rintik gerimis pun berjatuhan. Terpal biru segera kami amankan, lalu kita memutuskan untuk menggelar buka puasa bersama di bawah atap. Beberapa teman tampak sibuk mengurusi penerangan.


Buber dan Diskusi Kari Kecingkul, 12 Juli 2014

Alhamdulillah, pada akhirnya buber bisa dilaksanakan dengan lancar dan gembira.

Seusai buber, Cak Dainuri dan beberapa orang melaksanakan ibadah sholat maghrib. Mereka mengambil air wudhu di sungai. Banyak pula yang memilih untuk ngobrol atau menikmati rokok.

Salah satu dari kami berinisiatif untuk menyalakan sound system pinjaman dari Cak So - ETOS. Kebetulan Cak So hadir juga di acara ini. Ohya, datang pula Mas Anes, si empunya CV. Jawadwipa --bergerak di bidang usaha beras, ia selalu support acara muda-mudi Kalisat. Buber kali ini, Mas Anes menyumbang berasnya. Terima kasih Cak So, terima kasih Mas Anes, terima kasih semuanya.

Belum selesai.

Mas Revo dan Cak Har datang terlambat, saat makanan sudah ludes. Kami sepertinya juga lupa tidak memberinya stiker Kari Kecingkul. Maap.

Acara dilanjut dengan diskusi santai. Mas RZ Hakim yang memulainya, sebentar saja. Lalu obrolan itu dilanjutkan oleh Cak Dainuri. Ia banyak bicara tentang sejarah, serta hubungan sejarah dengan cinta tanah air, cinta lingkungan, budaya, adat istiadat, sampek ngomong tentang blettang.

Sudah, gitu dulu ceritanya. Salam saya, Arifin Nyek KOnyeg.

Jumat, 11 Juli 2014

Bikin Sticker di Pribumi Advertising

Jumat, 11 Juli 2014

Di Markas Pribumi Advertising

Malam ini kami singgah di markas Pribumi Advertising di Desa Sumberbulus, Ledokombo. Tampil sebagai penggerak Pribumi Advertising adalah Heru, ALB Pencinta Alam EXPA Kalisat.

Di sini, kawan-kawan Komunitas Kari Kecingkul sedang berkumpul. Rupanya mereka lagi membuat stiker untuk persiapan Buber nanti sore, 12 Juli 2014. Stiker yang mereka buat tidak banyak, tapi menarik.


Mbak Prit beraksi sambil memegang rakel sablon


Ini salah satu hasilnya

Yang ada waktu luang, yuk merapat di Dawuhan Kembar, Kalisat. Kita berbuka puasa rame-rame sambil menikmati masakan buatan Ibunya Om Bajil dan dendeng daging sapi hasil olahan si Fia. Kita juga akan bagi-bagi sticker buatan sendiri.

Ini undangan terbuka, kita nikmati apa yang ada. Mon tak percajeh, silahkan baca sendiri update status Ko Heru di group Kari Kecingkul.

Sedulur, jek keloppaen yeh. Kita punya gawe sederhana. Buber, doa bersama, diskusi kecil sekaligus syukuran. Buber ini dilaksanakan di Kalijejer, 12 Juli 2014. Mari merapat, kita nikmati kesederhanaan ini bersama-sama.

Salam Lestari!

Terima kasih.

Sabtu, 05 Juli 2014

Gumuk Baung: Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Sukoreno

Sabtu, 05 Juli 2014
Sebelumnya telah diceritakan tentang perjuangan Pak Rawi, seorang pejuang dari tanah Sukoreno kecamatan Kalisat. Bersama pejuang yang lain, ia melepaskan bantalan rel kereta api di jembatan Sukoreno. Pak Rawi melakukan itu dengan tujuan untuk menghambat pasukan Belanda yang hendak ke Kalisat dengan menaiki kereta api dari arah Bondowoso.

Seperti yang dituturkan oleh Gunawan Cahya di bawah ini.

"Ada seorang pembela tanah air, namanya Pak Rawi. Kini ia telah meninggal dunia. Almarhum melepaskan bantalan rel kereta bersama rakyat, kemudian menunggu di sungai bersama orang-orang desa. Mereka berada tepat di bawah rel, dimana pasukan Belanda yang ingin menuju daerah kalisat menggunakan transportasi kereta api. Pak Rawi dan orang desa mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan pelepah pinang dan bom nanas yang dicuri dari tentara Belanda. Pelepah pinang itu digunakan untuk mengecoh tntara Belanda. Cara kerja pelepah pinang; dipukulkan ke batu piring --batu hasil Gumuk-- sehingga menyerupai suara tembakan dari senapan.."

Selengkapnya bisa dibaca di artikel berjudul; Sabotase Rel Kereta Api di Jembatan Sukoreno.


Gumuk Baung Sukoreno. Dokumentasi oleh Pije, 1 Juli 2014

Di Sukoreno ada sebuah gumuk, oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Gumuk Baung. Ia adalah saksi bisu perjuangan Pak Rawi dan pejuang-pejuang Sukoreno yang lain, di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, 1947-1949.

Pada 1 Juli 2014 lalu, sore hari, saya dan teman-teman Kari Kecingkul melintas melintas di Desa Sukoreno Kecamatan Kalisat, lalu menyempatkan diri untuk singgah di kaki gumuk. Di sini ada sebuah monumen perjuangan. Kari Kecingkul pernah mencatatnya, di artikel berjudul; Monumen di Kaki Gumuk Baung.

Menurut Gunawan Cahya, di sinilah tempat dimana regu Gagak Hitam membela tanah Sukoreno melawan penjajahan Belanda.

Tentu ini adalah PR kita bersama, mencari tahu bagaimana kisah sebenarnya tentang perjuangan rakyat Sukoreno di masa yang lalu. Dari sana, semoga ada yang bisa kita jadikan pelajaran dan bahan renungan.

Kamis, 03 Juli 2014

Sabotase Rel Kereta Api di Jembatan Sukoreno

Kamis, 03 Juli 2014
Pada 2 Juli 2014 kemarin, Gunawan Cahya mengirimkan sebuah pertanyaan di Group Kari Kecingkul. Sangat menarik. Ini yang dia tanyakan. "Teman-teman, saya dengar kalau ada sejarah di jembatan kereta api yang mengarah ke Kotok dan Arjasa di desa Sukereno kecamatan Kalisat. Konon katanya, di sana terjadi runtuhnya kereta api yang mengangkut tentara Belanda."

Tentu yang dimaksud oleh Gunawan adalah masa konfrontasi fisik antara pejuang Republik dengan pihak Belanda di era Agresi Militer, 1947-1949. Komentator pertama di pertanyaan itu adalah Lingga Ferdiansyah. Dia bilang jika lokasi jembatan yang dimaksud, berada tak jauh di belakang rumahnya.

"Ini sangat menarik. Kira-kira kita harus menemui siapa agar mengerti kisahnya?"

Gunawan menjawab seperti ini, "Mohon maaf Mas. Kata Bapak saya, generasi yang mengerti cerita itu sudah meninggal dunia. Jika menunjuk salah satu orang, takut mengarang cerita."

Ditambahkan oleh Lingga, "Kalau dulu saya didongengi itu sama Nenek, tapi sekrang ia juga telah meninggal dunia. Kata Nenek, keretanya jatuh karena relnya dicopot sama penduduk dan beberapa anggota tentara. Hal tersebut dilakukan karena penduduk merasa kesal dengan sikap Belanda yang semena-mena. Penduduk bergotomg royong melepas rel pada jembatan tersebut sehingga saat kereta --sepur klotok-- lewat, keretanya jatuh. Kira-kira tingginya 20 meter."


Jembatan kereta api di Sukoreno. Foto kiriman dari Lingga Ferdiansyah

Di akhir perbincangan, Gunawan masih menyempatkan untuk menambah data tentang peristiwa di jembatan Sukoreno. Barangkali ia bertanya kepada Bapaknya.

"Ada seorang pembela tanah air, namanya Pak Rawi. Kini ia telah meninggal dunia. Almarhum melepaskan bantalan rel kereta bersama rakyat, kemudian menunggu di sungai bersama orang-orang desa. Mereka berada tepat di bawah rel, dimana pasukan Belanda yang ingin menuju daerah kalisat menggunakan transportasi kereta api. Pak Rawi dan orang desa mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan pelepah pinang dan bom nanas yang dicuri dari tentara Belanda. Pelepah pinang itu digunakan untuk mengecoh tntara Belanda. Cara kerja pelepah pinang; dipukulkan ke batu piring --batu hasil Gumuk-- sehingga menyerupai suara tembakan dari senapan. Kalau menurut cerita yang saya dengar seperti itu, semoga bisa dijadikan referensi. Untuk yang tau lebih banyak, mohon dikoreksi dan ditambahkan datanya."

Tidak ada catatan yang menyebutkan tanggal kejadian itu. Generasi kita hanya bisa memperkirakan tahun kejadian, antara 1947-1949, ketika Sukoreno masih dipinpin oleh seorang Kades bernama Kasbiran. Ia memimpin desa Sukoreno sejak 1941. Dulu sekali, nama desa Sukoreno adalah desa Gumuk Lengar.

Adapun Angkatan pada Djawatan Kereta Api di Djember tahun 1946, menurut Soeara Merdeka Edisi 12 Februari 1946, ia bernama R. Soehoed.

Rabu, 02 Juli 2014

Catatan dari tepi Rimba Bukit Duabelas

Rabu, 02 Juli 2014
Oleh Ananda Firman Jauhari


Luar biasa... Kawan-kawan Kari Kecingkul melakukan penelusuran sejarah dari para pelaku sejarah, dari bangunan-bangunan yang dibangun sedari zaman Ratu Belanda dan masih diagungkan di bumi nusantara, dan ketika kata Indonesia masih dianggap Subversif waktu itu sampai penelusuran ke monumen-monumen yang dibangun setelah kata Indonesia menjadi sebuah mimpi yang jadi kenyataan tapi penuh pertanyaan.

Apa yang kalian lakukan adalah perjuangan. Walaupun perjuangan adalah sikap yang aneh zaman sekarang, karena kemapanan pola pikir mayoritas bahwa kemapanan materi menentukan harkat dan martabat individu.

Kita yang belajar sejarah juga tahu dulu hanya kaum minoritas yang berjuang. Dan tetap percayalah nantinya ini akan menjadi besar karena ghirrah-nya terpancarkan.

Selamat merangkai keping demi keping.

Terimakasih Untuk Pancaran Semangatnya.

Salam dari tepi Rimba Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, 2 Juli 2014

Selasa, 01 Juli 2014

Monumen di Kaki Gumuk Baung

Selasa, 01 Juli 2014

Dokumentasi oleh Pije, 1 Juli 2014

Tadi sore ketika melintas di Desa Sukoreno Kecamatan Kalisat, kami mampir di Monumen ini. Menurut warga, mulanya di sini terdapat tiga tugu yang menjulang, kini hanya tersisa satu. Dua lainnya roboh dan terkesan dibiarkan begitu saja.

Monumen yang berada tepat di kaki Gumuk Baung ini diresmikan di masa kepemimpinan Soeryadi Setiawan, 14 Oktober 1986.

Melihat catatan di batu marmer, monumen ini sengaja dibangun untuk mengingat dua pertempuran, pada 1947 dan pada 1949, di masa revolusi.

Dikabarkan oleh Koran Pelita Rakjat tanggal 1 Februari 1949 bahwa perkebunan Sukoreno dan perkebunan Kalianget --semuanya di daerah Jember, telah dibakar habis. Juga perkebunan Jelbuk telah mendapat serangan hebat oleh pejuang-pejuang tanah air.

Melihat bekas lokasi pertempuran, saya jadi teringat kata-kata para sesepuh yang pernah turut berjuang. Mereka bilang, Gumuk adalah infrastruktur alami sebagai penunjang perang gerilya.

Kini Gumuk-Gumuk di Jember bernasib buruk, justru pada saat negeri ini telah merdeka.

Sudut Kalisat © 2014