Rabu, 20 Juli 2016

Cerita Rakyat Pringgondani dan Cumedak

Rabu, 20 Juli 2016
CUMEDAK. Pernah dengar nama desa ini? Ia adalah sebuah desa yang letaknya paling Selatan di kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember. Ketinggiannya kurang lebih 350 MDPL. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota, sekitar 35 Kilometer. Jika berangkat dari Kalisat menuju desa Cumedak, kita masih harus melintasi kecamatan Sukowono.

Sumberjambe tak dilewati kereta api. Ia juga bukan jalur antar kota. Letaknya yang terpencil membuat orang Jember kadang tak tahu dimana letak desa ini. Padahal dibanding desa lain di kecamatan Sumberjambe, Cumedak terbilang jauh lebih ramai, dan lebih mudah jangkauannya. Misalnya, jika kita bandingkan dengan desa Pringgondani, salah satu desa di kecamatan Sumberjambe, Jember.

Sedikit cerita tentang Pringgondani.

Masyarakat di sini percaya jika di masa yang lampau desanya digunakan sebagai tempat menempa diri para pendekar. Mereka juga bangga sebab nama desanya disebut-sebut dalam kisah pewayangan, meski di tempat lain --di negeri ini-- ada juga wilayah bernama Pringgondani.
"Pring itu artinya bambu, nggon adalah tempat atau wilayah, sedangkan dani adalah menempa diri. Jadi Pringgondani adalah sebuah wilayah yang ditumbuhi bambu, dijadikan sebagai sebaik-baik tempat untuk menempa diri."
Jika dilihat dari letaknya, sangat mendukung cerita rakyat di atas. Ia berdempetan dengan kabupaten Bondowoso, sedangkan di sebelah Timur terdapat Gunung Raung.

Cumedak juga punya cerita rakyat.

Dikisahkan secara tutur tinular, di masa yang lampau di desa ini tumbuh tanaman buah bernama Cempedak. Tak ada orang yang berani mencabutnya. Jangankan mencabut, mendekatinya saja maka orang itu akan mati. Maka tanaman itu tumbuh merdeka tanpa gangguan, hingga menjadi pohon yang besar sekali.

Suatu hari datanglah seorang lelaki tua. Tak diketahui siapa namanya dan darimana lelaki asing ini berasal. Lelaki inilah yang berinisiatif untuk menebang pohon cempedak tersebut, dengan tujuan agar penduduk desa tak lagi takut, dan tempat yang angker itu bisa menjadi lebih terang dan bermanfaat.

Ada dua versi yang tumbuh di masyarakat, tentang alat yang digunakan lelaki tua itu untuk merobohkan pohon tersebut. Pertama, ia menggunakan sebilah keris saja. Versi kedua, ia menebang pohon itu dengan menggunakan pecut cemeti.

Singkat cerita, pada akhirnya pohon itu berhasil ia tumbangkan. Orang-orang desa menaruh hormat pada lelaki tua itu.

Sang lelaki tua kemudian menetap di wilayah sekitar tumbangnya pohon cempedak. Suatu hari, ketika akan meninggal dunia, ia memberi pesan terakhir kepada orang-orang desa, agar mereka bersedia menamakan desanya dengan nama desa Cumedak. Masyarakat tentu bersedia. Hingga kini, nama desa tersebut masih belum berubah, masih bernama desa Cumedak.

Seperti itulah kurang lebihnya folklor atau cerita rakyat yang pernah kami dengar tentang desa Cumedak.

Di desa ini jugalah CV. Jawa Dwipa memulai prosesnya. Bertumbuh dan terus bertumbuh. Kami tak akan lelah untuk mencoba memberikan tawaran beras kualitas terbaik, dari lereng Gunung Raung.

Jumat, 15 Juli 2016

Mengenang Abu Vulkanik Raung Setahun Yang Lalu

Jumat, 15 Juli 2016
HUJAN abu vulkanik dari Raung mengguyur Jember, satu tahun yang lalu. Ia hinggap dan menempel pada apa saja, tak terkecuali pada batang dan daun tembakau. Pasar bicara. Kualitas tembakau dinyatakan menurun, harga kacau, pandangan para petani tembakau menerawang jauh.

Di Kalisat, Sumberjambe, hingga Tamanan, tiba-tiba dagangan kaca mata menjadi laris. Di perempatan jalan, ada sekumpulan pemuda sedang membagikan masker. Menurut para ahli, penggunaan kaca mata dan masker sangat disarankan.

Orang-orang Kalisat, mereka tetap menjalani hari dengan tenang dan tidak panik. Namun tidak demikian dengan para petani tembakau. Setidaknya hingga bulan Oktober 2015, harga tembakau di Kalisat dijual obral.

Pak Anis, seorang petani tembakau asal Sumberjeruk, ia menjual tembakau kasturi miliknya kepada tengkulak dengan harga bantingan. Padahal tembakau miliknya berkualitas lokal super, hasil petikan terakhir dan hanya diambil pucuk-pucuknya saja. Menurut orang Kalisat, panenan hasil unduhan seperti itu namanya pocotan atau koncok'an. Ia juga sudah dalam keadaan sunduk/sujen.

Oleh tengkulak, hasil panenan Pak Anis dihargai lima ribu rupiah saja per-kilo. Harga yang merana tapi terpaksa harus diterima.

Ketika itu, PTP Ajung-Kalisat juga telah melakukan terobosan. Ia membuka kerja musiman untuk Ibu-ibu setempat. Kerja siang pulang jam setengah sebelas malam. Mereka bertugas untuk membersihkan abu yang melekat di daun tembakau.

Pada 25 September 2015, terdengar kabar jika Bupati Jember MZA Djalal dan Wakil Bupati Jember Kusen Andalas secara resmi telah mengakhiri masa tugasnya sebagai Bupati dan Wakil Bupati. Selanjutnya, roda pemerintahan Jember ada di bawah Pj Bupati Supaat.

Lalu musim kampanye. Angin segar menerpa wajah-wajah petani tembakau di Kalisat, dan di mana saja di kabupaten Jember, terkait 22 Janji Kerja Fakta. Di sana, di janji nomor sebelas, ada tertulis seperti ini:

'Menata dan merevitalisasi industri tembakau dengan meningkatkan produktivitas sektor ini untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tembakau.'

Janji yang manis. Ia tentu dijaga oleh hati para petani tembakau.

Setahun telah berlalu. Minggu ini keluarga Pak Anis sedang sibuk urus putrinya yang baru masuk sekolah di sebuah SMP Negeri di Kalisat. Wajahnya terlihat riang, sebab satu-satunya biaya paling berat yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya membeli seragam sekolah.

Kali ini, Pak Anis menaruh harapan besar pada benih-benih tembakau kasturi yang baru ia tanam pada penghujung ramadhan lalu.

Senin, 04 Juli 2016

Malam Takbir di Kalisat

Senin, 04 Juli 2016
Oleh Inor PS

Hari pertama adalah yang paling berat. Setelah itu sukses terlewati. Maka dari hari ke hari semuanya jadi semakin mudah.

Tadi adalah hari terakhir. Genap tidak ada bolong, sesuai rencana di awal. Tinggal satu 'ritual' untuk menyempurnakannya. Takbiran. Berangkat dari rumah dengan percaya diri, karena kadar 'ketaqwaan' sudah full dan kental, hasil dari gemblengan sebulan puasa.

Sampai di jalan besar, macet. Jalanan dipenuhi orang, motor berseliweran, dan mobil-mobil pengangkut sound. Sound-nya mengumandangkan musik-musik disko dan house berdentum-dentum. Musik yang enak didengar membuat tubuh jadi ikut bergoyang-goyang mengikuti bit-nya.

Semakin malam semakin ramai, semakin berdentum, semakin hingar bingar. Belum lagi ditimpali suara petasan. Tubuh yang tadinya cuma bergoyang, kini jadi ikut berjingkrak-jingkrak seperti para sound boys yang berjoget kalap. Dalam setengah jam saja, badan sudah terasa ringan. Bukan karena apa, melainkan semua sudah pada rontok. Berjatuhan, berserakan di aspal.

Apa itu?

Ketaqwaan yang tadi. Yang mula-mula full dan kental, menjadi encer sudah. Yang semula dibawa untuk disempurnakan dengan takbiran, habislah. Buyar semburat oleh karena musik house yang menghentak sepanjang jalan, sepanjang malam.

Yang takbiran mana?

Ada. satu dua mobil dengan sound kecil. Juga di pinggir jalan dengan swadaya alat seadanya, serta yang hanya terdengar sayup suaranya di kejauhan sana. Tertimbun oleh gelegar joget house sound system.

Ketaqwaan yang susah payah di pupuk selama sebulan itu tadi bagaimana? Haaesshh.. Tandas sudah. Tinggal tersisa secuil untuk modal salat ied besok pagi.
Sudut Kalisat © 2014