Sabtu, 11 April 2015

Mengumpulkan Data Kalisat

Sabtu, 11 April 2015
Barangkali ada diantara teman-teman Kalisat yang ingin menulis novel/membuat film/narasi/puisi/lukis/lagu/teater/tari-tarian/pameran dll, saya telah mengumpulkan data mentahan yang cukup membantu membangunkan imajinasi tentang Kalisat Tempoe Doeloe. Jika memang butuh, bisa menghubungi saya di rumah kontrakan, JL. Kartini 28 desa Ajung, Kalisat.

Data-data yang terkumpul ini saya butuhkan untuk membuat sebuah buku tentang Kalisat.

Misalnya, saya menemukan catatan tahun 1898 tentang Kalisat yang bercerita tentang suasana Kalisat sebelum ada stasiun Transfer menuju dua jalur besar; Panarukan dan Banyuwangi. Ketika itu Kalisat hanya dianggap wilayah pedalaman (jauh dari pelabuhan) yang tidak signifikan dan tidak menjanjikan masa depan. Tentu saat itu Kalisat bukan merupakan daerah tujuan orang-orang untuk mencari penghasilan/mengembangkan ilmu/berkesenian.

Hingga tahun 1898, telah ada tiga Toko China di Kalisat, dan pasti segera datang lebih banyak toko-toko lainnya, sebagai penggerak roda ekonomi.

Keberadaan Stasiun Kalisat juga melahirkan gedung-gedung baru (kantor pos dan penginapan), pusat pemerintahan distrik, alun-alun, ruang ibadah, sekolah untuk kelas menengah ke atas, pasar rakyat, penambahan akses jalan, irigasi, serta taman bermain.

Dikabarkan oleh De Indische courant, bahwa pada tahun 1927 atau 88 tahun yang lalu Kalisat telah menjadi semacam satelit Jember/wilayah penyangga Kabupaten, berpenduduk padat dibanding daerah lain, serta selalu ramai jika lebaran akan tiba.

"Mendekati lebaran, banyak orang 'tumplek-blek' di kotta (Kalisat) dengan banyaknya pejalan kaki yang melintas di kamp kecil orang-orang China yang jika diperhatikan ini tidak seperti biasanya. Mereka membeli segala sesuatu, makanan, barang-barang rumah tangga, terutama katun dan juga kembang api, meskipun tidak dalam jumlah yang seperti biasa dilakukan orang-orang Jawa."

Data terjauh tentang Kalisat masih di tahun 1359, ketika rombongan Hayam Wuruk melintas di kota Kalisat, dari pusat kerajaan Majapahit di Mojokerto menuju Patukangan atau Panarukan. Tentu ini tidak saya gunakan di rencana pembuatan buku nanti, sebab catatan akan saya mulai ketika Kalisat telah memiliki stasiun.

Kiranya data-data itu akan lebih 'hidup' jika disandingkan dengan sejarah lisan, dari masyarakat Kalisat di masa sekarang.

Teman-teman, mari kita belajar bersama-sama, sebab tak mungkin kita dapat mencintai negeri dan bangsa ini, jika kita sama sekali tak mengenal sejarahnya.

Salam.

Jumat, 10 April 2015

Armistiani Soemarno Sosroatmodjo

Jumat, 10 April 2015
Oleh RZ Hakim

Diceritakan dalam buku Soemarno Sosroatmodjo jika istrinya, Armistiani, pernah menjadi seorang guru Taman Kanak-kanak di Kalisat. Saat itu mereka masih belum menikah. Saban hari Armistiani naik kereta api pulang pergi dari Jember ke Kalisat. Setiap pagi calon mertuanya --Manghoeroedin Sosroatmodjo-- mengantarkannya ke stasiun dan menjemputnya pula ke stasiun.

Soemarno dan Armistiani, mereka menikah pada 17 November 1934 pukul satu tengah hari, di Jalan Taloon Lor Gang Dua Nomor 6 Malang. Benih cinta mereka bersemi di tahun 1928, setelah keduanya sama-sama mengikuti upacara api unggun kepanduan yang diadakan untuk menyongsong Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta, yang kemudian membuahkan Sumpah Pemuda. Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Persatuan. Sungguh tahun yang teramat berkesan bagi Soemarno dan Armistiani. Setelah itu tak ada lagi perkumpulan Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan sebagainya. Semua perkumpulan pemuda yang membawa unsur kesukuan itu meleburkan diri ke dalam Indonesia Muda.

Armistiani, perempuan kelahiran tahun 1914 ini memang memiliki ijasah guru Taman Kanak-kanak. Ia juga memiliki ijasah Jahit Menjahit atau Nuttige Handwerken, serta ijasah Kesejahteraan Keluarga atau Huishoudelyke Vakken.

Ketika di Malang, Armistiani belajar di Sekolah Kartini. Sewaktu Soemarno duduk di kelas dua MULO Tanjung di tahun 1930, Armistiani masih duduk di kelas tertinggi Sekolah Kartini. Tak lama kemudian ia melanjutkan sekolah di MULO tanpa melalui voorklas. Setelah naik ke kelas tiga MULO, Armistiani memilih untuk pindah di Sekolah Van Deeventer Semarang. Tiga tahun lamanya Armistiani tinggal di ibukota provinsi Jawa tengah itu. Ia meninggalkan sekolah van Deventer setelah Soemarno naik ke tingkat lima NIAS Surabaya.

Jika mereka menikah pada 17 November 1934, tentunya Armistiani menjadi seorang guru TK di Kalisat sebelum masa itu.

Seminggu setelah menikah, mereka harus pulang ke Jember. Dari Malang ke Jember mereka naik bis, turun di Rambipuji, berniat singgah terlebih dahulu di kediaman Kakek dan Nenek Soemarno. Di sinilah dulu Soemarno dilahirkan, di Rambipuji tepatnya di Curahsuko, pada 24 April 1911, di rumah Embah RP Pringgoseputro. Ia adalah Embah dari pihak Bapak, Manghoeroedin Sosroatmodjo. Kelak, lelaki kelahiran Rambipuji ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode, yaitu pada periode 1960-1964 dan periode 1965-1966. Barangkali Armistiani juga tidak mengira jika ia akan mendampingi suami bertugas --sebagai dokter-- hingga ke Tanjung Selor-Kalimantan. Anak kedua mereka --Sri Soesilorini-- juga dilahirkan di sini.

Esok harinya, barulah Soemarno dan Armistiani melanjutkan perjalanan ke Kampung Wetan Kantor Jember, diantar oleh Kakek Neneknya. Keluarga Sosroatmodjo dan seluruh kampung sudah menunggu. Jalan di depan rumah yang memang tidak begitu lebar jadi penuh sesak.

Tahun 1935, pasangan pengantin baru ini menyewa rumah kecil di Kedungsari 77-A Surabaya. Di tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Januari 1936, anak pertama mereka lahir, tidak di Kedungsari melainkan di Jalan Kapasari VIII/8 Surabaya. Mereka memberinya nama Sidharta Manghoeroedin, dengan panggilan Mamang. Kelak pada tahun 1961, Mamang menikahi seorang perempuan cantik bernama Iffet Veceha. Perempuan bertanggal lahir 12 Agustus 1937 tersebut hingga kini biasa dipanggil Bunda Iffet oleh para Slangker's. Iffet adalah menantu pertama Armistiani.

Itulah sepenggal kisah tentang Armistiani Soemarno Sosroatmodjo, Nenek Bimo Setiawan Al Machzumi alias Bimbim SLANK. Di masa yang lalu, Nenek Bimbim pernah singgah di Kalisat sebagai seorang guru di sebuah Taman Kanak-kanak. Adapun Soemarno, ia menikmati masa pensiunnya sejak bulan November 1966, satu bulan sebelum Bimbim lahir.

Dimanakah lokasi Taman Kanak-kanak itu?

Informasi tentang lokasi Taman Kanak-kanak tersebut sangatlah terbatas. Taman Kanak-kanak tersebut dibuka oleh Yayasan Diponegoro, dengan pengelola bernama Ny. Diponegoro. Menurut beberapa cerita, Ny. Diponegoro masih termasuk kerabat Pangeran Diponegoro.

Karena Armistiani terbilang tidak membeda-bedakan antara 'putra' Asisten Wedana dan 'anak' kuli sepur yang menjadi muridnya, TK tempat Armistiani mengajar kurang mendapat simpati dari pangreh praja setempat. Kilasan info ini diceritakan dalam Otobiografi Armistiani yang berjudul Bukit Kenangan, terbit tahun 1986.

*Sumber: Buku Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya

Rabu, 08 April 2015

Menengok ke Belakang

Rabu, 08 April 2015
Disebutkan dalam catatan sebelumnya jika pada mulanya di Jember hanya terdapat empat Distrik atau Kawedanan. Masing-masing adalah Distrik Jember, Distrik Sukokerto, Distrik Puger, dan Distrik Tanggul. Itu gambaran Jember sebelum tahun 1869. Setelah tahun 1869 hingga 1900, telah berdiri distrik-distrik baru. Ini tentu berkaitan erat dengan perubahan status Jember yang tadinya merupakan sebuah Distrik saja --bagian dari Bondowoso-- menjadi regentschap sendiri dan terpisah dari Bondowoso, sejak 1883.

Perubahan status tersebut disebabkan oleh beberapa faktor dan yang menjadi faktor utama adalah semakin menggeliatnya usaha perkebunan di wilayah Jember. Terdapat empat investor partikelir perintis yang menanamkan modalnya guna membuka lahan perkebunan di Jember dan yang terbesar adalah LMOD --De Landbouw Maatschappij Oud Djember-- yang dirintis oleh George Biernie, berdiri sejak 1859. Tiga lainnya terletak di Djelboek, Soekowono, dan Soekokerto-Adjoeng.

Perkebunan Soekokerto-Adjoeng sendiri berdiri sejak 26 Mei 1897.

Mulanya Kalisat hanya sebuah Onderdistrik saja, menjadi bagian dari Distrik Soekokerto. Onderdistrik dikepalai oleh seorang Asisten Wedana. Jadi, sebelum menjadi Kawedanan, ia dipercaya hanya sebuah wilayah dengan populasi rendah.

Kini, setelah Kalisat semakin mengalami kemajuan, Soekokerto yang dulu adalah wilayah besar justru semakin kecil dan seakan tidak nampak. Ia hanya sebuah bagian wilayah dari Kecamatan Sukowono.


Ilustrasi Foto dari SINI

Siapakah Asisten Wedana Kalisat sebelum tahun 1883? Tidak diketahui. Selama ini, jangkauan terjauh teman-teman Kari Kecingkul dalam menelisik wajah Kalisat tempo dulu masih ada di titik Kawedanan, antara 1883-1888.

Hingga era 1920an, tugas Asisten Wedana lebih banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi. Dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, petani-petani berdatangan hendak menjual padi. Seorang Asisten Wedana melaporkan kinerjanya pada Kawedanan Distrik dan Kepatihan Jember.

Untuk mengetahui sejarah struktur pemerintahan Distrik dan Onderdistrik, kita butuh melihat ke belakang, di masa Deandels dan Raffles, ketika Deandels merumuskan perombakan struktur pemerintahan lalu dilanjutkan di zaman Raffles. Penting juga untuk mengetahui sejarah Karesidenan.

Karesidenan

Kita yang hidup di masa kini sering mendengar istilah karesidenan. Di beberapa catatan sering disebut-sebut jika Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi adalah Eks-Karesidenan Besuki. Sebenarnya, karesidenan itu apa?

Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi di masa Hindia Belanda. Di masa Herman William Daendels tahun 1808-1811, ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan daerah prefectuur, wilayah yang memiliki otoritas. Masing-masing prefectuur dikepalai oleh seorang prefec. Setiap prefec langsung bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal. Di dalam struktur pemerintahan kolonial, setiap prefek membawahi para bupati.

Lalu di masa Pemerintahan Raffles --Inggris, ia menambah jumlah perfectuur dengan cara menggabungkan beberapa daerah pemerintahan yang sifatnya masih semi feodal menjadi 16 perfectuur. Kemudian nama perfectuur diganti menjadi karesidenan.

Restrukturisasi wilayah daerah administratif karesidenan tersebut di atas meliputi seluruh Jawa dan Madura termasuk daerah Kerajaan, kecuali Batavia yang sampai 1819 menjadi enclave sendiri.

Dengan adanya sistem karesidenan, kuasa seorang bupati menjadi semakin kecil, tidak seperti zaman VOC dulu, saat kekuasaan dan campur tangan Bupati begitu besar. Sistem karesidenan memang dirancang agar para Bupati kehilangan fungsinya yang sangat penting yang memungkinkan ia memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jawa dan beberapa tempat berpenduduk padat dijadikan percontohan utama sistem karesidenan.

Pada tingkat di bawah karesidenan, terdapat perubahan wilayah administrasi yaitu pembagian setiap Afdeeling menjadi daerah administrasi yang disebut Distrik atau Kawedanan. Distrik dikepalai oleh Kepala Distrik atau Wedana. Di masa VOC, sebenarnya telah ada administrasi wilayah yang setara Distrik namun biasanya pembentukan wilayah tersebut sangat ditentukan oleh pertimbangan seorang Bupati.

Di bawah Distrik terdapat beberapa wilayah administrasi yang lebih kecil, yaitu Divisie. Kelak disebut Onderdistrik, dipimpin oleh seorang Asisten Wedana.

Desa-desa itu adalah kesatuan yang hidup. Oleh Raffles, hal ini dianggap telah sesuai dengan adat istiadat kuno. Masing-masing desa diberi hak untuk memilih kepala desanya sendiri.

Jadi urutannya jika dimulai dari bawah adalah seperti ini;

1. Desa, dikepalai oleh Kepala Desa

2. Onderdistrik, dikepalai oleh Asisten Wedana

3. Distrik, dikepalai oleh Wedana

4. Afdeling, dikepalai oleh Bupati

5. Karesidenan, dikepalai oleh Residen.

Ketika Jember telah menjadi afdeling sendiri, Pemerintah Pusat mengangkat seorang Asisten Residen dan seorang Bupati. Disamping mengangkat dua pejabat tersebut, Pemerintah Pusat juga mengangkat pejabat-pejabat sebagai berikut:
1. Pejabat Sekretaris Komis
2. Seorang Countroler

Keduanya diangkat berdasarkan Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Mereka memiliki fungsi membantu melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.

Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan --landraad, dengan berdasarkan besluit pemerintah nomer 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883). Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat Kepala Jaksa Jember yang semula bertugas di landraad Situbondo dengan jabatan sebagai Adjunct Jaksa.

Selain jabatan-jabatan seperti diatas, pemerintah mengangkat seorang patih, dengan menyediakan kantornya di Balai Kepatihan. Fungsi seorang Patih adalah sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik. Menurut Alm. Eyang Roekanti, lokasi Kepatihan Jember ada di JL. Trunojoyo Jember.

*Wawancara dengan Eyang Roekanti pada 12 November 2012.

Seperti yang dituliskan dituliskan di awal, pada waktu itu di Jember hanya terdapat empat Wedana yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul.

Pertumbuhan kota Jember semakin pesat, hal itu terbukti pada tahun 1869 sampai 1900 telah berdiri distrik-distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember dan distrik Mayang --dan Kalisat-- yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963).

Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua distrik yaitu distrik Puger dan distrik Wuluhan. Berdasarkan pada besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.

Selasa, 07 April 2015

Hipotesa Kawedanan Kalisat di Masa Bujuk Patar

Selasa, 07 April 2015
Oleh RZ Hakim

Misalnya Anda sedang berkunjung ke kecamatan Kalisat kabupaten Jember, lalu bertanya tentang siapa leluhur mereka, bisa dipastikan Anda akan menjumpai jawaban seperti ini, "Nenek Moyang kami berasal dari Pulau Madura."

Kemudian jika Anda lanjut bertanya tentang siapa mereka, maka akan terdengar nama-nama para bujuk atau para pembabad desa. Sudah diceritakan di artikel-artikel sebelumnya, jika Kalisat dan sekitarnya kaya akan bujuk. Hingga kini makam mereka masih dirawat dan diperlakukan dengan baik. Biasanya bertempat di atas Gumuk dan di tanah yang tinggi.

"Mbah Patar, Mbah Genduk, dan Mbah Alim. Tiga nama ini sering terdengar dari orang-orang tua di sekitar rumah saya. Beliau bertigalah yang membabat tanah Kalisat dari sewaktu masih hutan belantara," begitu menurut Verdy Pradipta, pemuda Kalisat yang kini bekerja di Bali.

Kalisat adalah sebuah kecamatan di Jember yang terdiri dari 12 desa, masing-masing; Desa Kalisat, Ajung, Plalangan, Sebanen, Sumberketempa, Sumberkalong, Sumberjeruk, Sukoreno, Patempuran, Glagahwero, Gambiran, dan Gumuksari. Menurut Sugeng Sugiarto, warga desa Ajung-Kalisat, tiga desa yang ada di wilayah kota adalah desa kalisat kecamatan Kalisat, Ajung, serta Glagahwero. Ketiganya memiliki bujuk sendiri-sendiri. Desa Kalisat dikenal bujuk 'Mbah' Genduk, lalu ada bujuk Nurdin di Glagahwero, kemudian bujuk Patar di desa Ajung. Dari ketiganya, bujuk Patar adalah yang tertua.

Selengkapnya bisa dibaca di artikel berjudul; Dimulai dari Bujuk Patar.

Apakah benar bujuk Patar membabat tanah Kalisat sewaktu ia masih berupa hutan belantara? Mari kita melacaknya bersama-sama.

Kalisat di Masa Perkebunan Belanda

Jika kita merujuk pada keterangan Residen Besuki di pemula 1800an, masyarakat Madura belum tertarik bermigrasi ke Jember. Selain alasan transportasi yang sangat sulit, di masa itu sebagian wilayah Jember masih berupa hutan, dengan kondisi tanah yang moeras atau berawa.

ANRI Besoeki 8.4. Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki. 1886.

Pada awalnya, proses migrasi orang-orang dari Pulau Madura tersebut masih bersifat coba-coba. Mereka datang melalui Pelabuhan Penarukan yang secara geografis sangat dekat dengan Kalianget, daerah Sumenep-Madura. Jika saat ini, perjalanan Kalianget-Jangkar dengan naik kapal laut adalah lima jam. Selanjutnya, mereka akan melalui Besuki dan Bondowoso, baru kemudian sampai di wilayah Jember bagian Utara dan Timur. Wilayah hunian sementara mereka ada di Maesan, Jelbuk, dan Arjasa. Kemudian menyebar hingga ke Kalisat.

Semenjak adanya perusahaan perkebunan milik pengusaha Belanda di Kalisat dan sekitarnya, terhitung hingga akhir tahun 1870an, orang dari Pulau Madura-lah yang lebih banyak bermigrasi ke Jember wilayah Utara dan Timur. Menurut statistik Belanda, mereka berjumlah 44.041 jiwa. Ini tentu merupakan jumlah yang sangat besar sekali. Dibandingkan dengan jumlah penduduk 81 tahun sebelumnya ketika Jember masih dianggap berpopulasi rendah, saat itu --1789-- onder distrik Jember hanya memiliki jumlah penduduk berkisar 8.000 jiwa saja.

Di era 1870an, hubungan antara masyarakat Jember dengan masyarakat dari Pulau Madura semakin terjalin.

Menurut Tjiptoatmodjo dalam Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura, interaksi antara masyarakat dari Pulau Madura dengan penduduk lokal di Jember sudah lama dibangun melalui jalur komunikasi kota-kota pantai.

Adapun masyarakat Jawa pedalaman --yang jauh dari laut, mereka telah memulai melakukan migrasi sejak berakhirnya Perang Jawa. Perang yang terjadi tahun 1825-1830 tersebut kiranya berhasil merugikan perekonomian Belanda.

Baca juga artikel Kari Kecingkul berjudul; De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong.

Struktur Pemerintahan Saat Itu

Semula struktur pemerintahan --sebelum tahun 1883-- masih sangat sederhana. Rakyat hanya dipimpin oleh seorang Wedana pribumi dan Asisten controleur yang berkebangsaan Belanda.

Di tahun 1845, secara administratif, Jember masih menjadi salah satu distrik afdeling Bondowoso. Di tahun itu Jember sudah memiliki 36 desa dengan jumlah penduduk sebesar 9.237 jiwa. Jumlah tersebut tidak termasuk Puger.

Catatan: Untuk Puger, bisa kita diskusikan di lain waktu.

Pada tahun 1866 jumlah penduduk semakin meningkat tajam karena adanya gelombang migrasi para pendatang dari berbagai daerah ke Jember, tak hanya dari Pulau Madura.

Kesuksesan wilayah Jember di bidang perkebunan merubah segalanya. Ia menjadi semacam kota metropolis berbasis perkebunan, tempat orang menggantungkan mimpi untuk merubah nasib ekonominya. Di era 1870an hingga lima puluh tahun kemudian, masyarakat Madura tak lagi 'migrasi coba-coba' seperti sebelumnya, melainkan memang berniat ingin mencari penghasilan bidang ekonomi.

Wilayah hunian masyarakat Madura saat itu adalah Jelbuk, Arjasa, Kalisat, Sukokerto, Mayang, serta Jember itu sendiri.

Menurut Regering Almanak tahun 1874, di tahun tersebut --1874-- Jember telah berkembang menjadi 46 desa.

Di pemula tahun 1883, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Besluit Residen Besuki tertanggal 18 Januari 1883 nomor 9/42 --sumber dari ANRI Besoeki, 1884-- untuk pembentukan desa baru. Besluit itu juga menandai lepasnya Jember dari Bondowoso dan menjadi Afdeling tersendiri, Afdeling Jember. Di tahun ini, Jember berkembang pesat menjadi 117 desa.

Sejak tahun 1883, terjadi perombakan di bidang struktur pemerintahan Regentschap Jember. Asisten Residen dan Bupati, sebagai penguasa tertinggi di Afdeling Djember. Wedana Pribumi dan Asisten controleur secara otomatis ada di bawah struktur penguasa tertinggi.

Perangkat desa yang bersifat sederhana ini --Wedana pribumi-- masih difungsikan sebagai perantara antara Penguasa Kolonial dan rakyat biasa.

Saya tidak berhasil mencarikan foto Kawedanan Kalisat di masa Hindia Belanda. Jadi, sebagai contoh, saya ceritakan tentang Kawedanan Jember Tempo Dulu.

Menurut beberapa sumber, sebelum ada bangunan Masjid Jamiek Lama Jember, ia adalah sebuah Kantor Kawedanan. Lalu sejak 1894 berubah fungsi menjadi Masjid Jamiek --Lama. Dengan kata lain, sebelum tahun 1894 di atas tanah seluas 2.760 meter tersebut berdiri sebuah Kawedanan, tempat seorang wedana melaksanakan tugasnya.

Kemungkinan Kawedanan Jember ini ada di era 1883-1894, sehubungan dengan berubahnya status kota Jember yang lepas dari Bondowoso, atau telah ada sejak sebelumnya, ketika Jember masih menjadi salah satu distrik dari afdeling Bondowoso.

Saat Jember masih menjadi distrik bagian dari afdeling Bondowoso, ia memang dikepalai oleh seorang Wedana pribumi yang dibantu oleh seorang asisten controleur yang berkebangsaan Belanda.

Jika Kawedanan tersebut ada pada periode 1883-1894, maka susunan pemerintahannya adalah sebagai berikut;

Jember dikepalai oleh Asisten Residen. Adapun Asisten Residen yang diangkat pertama kali --sejak 1883 hingga 1885-- ialah C.H Blanken. Setelah itu C.H Blanken diganti oleh B.C. Repelius yang menjabat tahun 1885 sampai 1891. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Asisten Residen bekerjasama dengan Bupati yang menjadi kepala pemerintahan pribumi. Untuk itu pemerintah pusat juga mengangkat seorang Bupati Jember yang pertama ialah R. Panji Kusumonegoro yang menjabat dari tahun 1883 sampai 1891, setelah itu diganti oleh R. Tumenggung Kerto Subroto.

*Regering Almanak, 1891

Disamping mengangkat dua pejabat yang memimpin afdeling Jember, Pemerintah Pusat juga mengangkat pejabat-pejabat sebagai berikut:

1. Pejabat Sekretaris Komis
2. Seorang Countroler

Keduanya diangkat berdasarkan Gouvernements besluit nomer 3 tertanggal 24 Oktober 1883. Mereka memiliki fungsi membantu melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.

Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mendirikan lembaga pengadilan --landraad, dengan berdasarkan besluit pemerintah nomer 15 tertanggal 9 November 1883 (ANRI Besuki, 1883). Untuk memimpin lembaga pengadilan tersebut, maka diangkat Kepala Jaksa Jember yang semula bertugas di landraad Situbondo dengan jabatan sebagai Adjunct Jaksa.

Selain jabatan-jabatan seperti diatas, pemerintah mengangkat seorang patih, dengan menyediakan kantornya di Balai Kepatihan. Fungsi seorang Patih adalah sebagai penghubung antara Bupati dengan Wedana yang mengepalai distrik. Menurut Alm. Eyang Roekanti, lokasi Kepatihan Jember ada di JL. Trunojoyo Jember.

*Wawancara dengan Eyang Roekanti pada 12 November 2012.

Seperti yang pernah dituliskan sebelumnya, pada waktu itu di Jember hanya terdapat empat Wedana yakni Wedana Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul.

Pertumbuhan kota Jember semakin pesat, hal itu terbukti pada tahun 1869 sampai 1900 telah berdiri distrik-distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember dan distrik Mayang --dan Kalisat-- yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963).

Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua distrik yaitu distrik Puger dan distrik Wuluhan. Berdasarkan pada besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.

Meski belum berhasil mencarikan foto Kawedanan Kalisat tempo dulu, semoga foto di bawah ini bisa dijadikan rujukan untuk memperkuat hipotesa ini.


KARJODIMOELJO, cucu dari Mbah Patar sekaligus Kepala Desa Ajung-Kalisat yang ketiga, setelah Kaera dan Dulani. Dulani tak lain adalah Ayah dari Karjodimoeljo. Ibu Karjodimoeljo adalah putri dari Mbah Patar.

Keterangan Foto: Dari album foto keluarga Karjodimoeljo, atas izin ahli waris, diantaranya Mas Krisna serta Raining Sukandari, ibunya Inggrid. Repro oleh Ivan Bajil pada 4 April 2015.

Keterangan tambahan tentang foto Karjodimoeljo:

Tampak dalam foto, Karjodimoeljo beserta istri sedang berada di halaman rumahnya yang berasitektur Eropa. Hingga kini arsitektur rumah tidak banyak mengalami perubahan --di seberang Toko Adin Kalisat.

Dikisahkan oleh Sugeng Sugiarto, Karjodimoeljo adalah putra pertama dari Kades Dulani. Karjodimoeljo tiga bersaudara. Istri Kades Dulani, atau Ibu dari Karjodimoelyo, ia tak lain adalah putri Mbah Patar.

Tentang Dulani, Ayah Karjodimoeljo. Mulanya, Mbah Genduk berbesan dengan Bujuk Nurdin Glagahwero. Lalu putra-putri mereka punya anak namanya Saryo. Nah, Saryo adalah Bapaknya Dulani.

Jadi Karjodimoeljo memiliki garis keturunan dari Mbah Patar, Mbah Genduk, dan Mbah Nurdin.

Sebelum menjabat petinggi atau Kades, Karjodimoeljo masih menggunakan nama aslinya yaitu Sukiman. Ia menikahi dua perempuan, istri kedua bernama Siti Khatidja. Karjodimoeljo memiliki anak bernama Madiroso, menikah dengan perempuan asal Mojoagung.

Tidak ada keterangan tahun pengambilan gambar.

Wawancara dengan Pakde Sugeng Sugiarto pada 30 Maret 2015

Mundur ke Belakang: Mencoba Melacak Masa Hidup Bujuk Patar

Dikatakan oleh tokoh Kalisat Sugeng Sugiarto, makam Bujuk Patar ada di Selatan Pasar Kalisat. Dulu sebelum menjadi sebuah pasar, di sana adalah Kantor Kawedanan Kalisat. Dikatakan juga bahwa dulu rumah Mbah Patar ada di Kawedanan. Jadi ada kemungkinan jika bujuk Patar adalah mantan Wedono Kalisat.

Pertanyaannya, kapan pertamakalinya Kalisat dibentuk kawedanan?

Pertanyaan sederhana di atas memaksa kita harus mundur ke belakang, kembali ke masa dimana sistem pemerintahan Eropa mulai mempengaruhi sistem pemerintahan di Jawa.

Di masa yang lalu, Kawedanan ditempati oleh seorang Wedana yang diangkat dan ditunjuk oleh Bupati untuk menjadi wakil di sebuah distrik. Jadi, bisa digambarkan jika Kawedanan adalah sebuah Balai pendopo yang sangat luas, sebagai institusi pemerintahan yang berfungsi untuk kordinasi wilayah distrik yang ada. Tugas dan wewenangnya dibawah langsung komando Bupati. Ia memiliki kuasa untuk wilayah dan koordinasi, namun tak memiliki kuasa dalam hal pengambilan keputusan.

Balai Kawedanan serta sang wedana itu sendiri sangat disegani oleh masyarakat. Biasanya seorang wedana dipilih karena memiliki kharisma dan kewibawaan di mata masyarakat, dan bisa menampakan perilaku kebangsawanan. Kawedanan bersifat protokoler, tidak semua orang bisa seenaknya masuk ke sana.

Semoga pemaparan di atas dapat membantu mengimajinasikan Kawedanan di masa lalu.

Jika bicara tentang wedana, ia mengingatkan pula pada julukan Mangkunegara II yaitu Prang Wedana. Gelar itu juga dipakai oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, namun ia lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa serta Raden Mas Said. Mangkunegara II. Ia hidup di era 1796-1835.

Ketika Mangkunegara II berusia tiga tahun, VOC dibubarkan. Penyebabnya selain korupsi oleh pegawai VOC itu sendiri, saat itu telah terjadi perang Perancis-Inggris. Biaya perang begitu tinggi. Pada periode ini, Belanda ada di tangan Perancis, sejak 1795. Jadi, ketika itu kita sedang dijajah oleh negeri yang sedang dijajah.

Dengan VOC gulung tikar, Belanda membentuk pemerintahan baru yang disebut dengan Hindia Belanda atau Nederlands Indies. Tahun 1799 adalah tonggak adanya sistem pemerintahan sederhana di sebuah negeri bernama Hindia Belanda, ditandai dengan tutupnya Perusahaan Hindia Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie.

Sistem Pemerintahan di Masa Deandels


Di tahun 1808, Raja Napoleon Bonaparte sebagai penguasa Perancis mengutus Daendels untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Secara struktur, Deandels ada dibawah kekuasaan Perancis. Napoleon berharap Deandels bisa merancang sistem pemerintahan yang dapat memberikan hasil terutama di bidang ekonomi. Selain itu, tugas utama Deandels adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Deandels melaksanakan peran sebagai Gubernur Jenderal sedari 1808 hingga 1811. Ketika menyebut namanya, yang kita ingat adalah program kerja Deandels dalam membuat Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km. Dia juga membentuk pasukan, mendirikan tangsi-tangsi, benteng-benteng pertahanan, rumah sakit, membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon, kerja paksa, perluasan penanaman kopi sebab hasilnya menggiurkan, penjualan tanah kepada orang- orang partikelir atau swastanisasi tanah-tanah rakyat pada para pemodal, itu semua untuk kepentingan perang.

Kiranya Daendels berupaya keras untuk memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC. Ia bertangan besi, menjadikannya tidak disukai kalangan penguasa daerah dan dibenci rakyat Bumiputera. Daendels menghancurkan kekuatan kerajaan-kerajaan Jawa dan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa.

Deandels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan Jawa dengan dua cara;

1. Menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister.

2
. Deandels mengeluarkan peraturan baru tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya.

Cara kerja Deandels yang kejam menuai banyak kritik. Pada bulan Mei 1811 kedudukan Daendels sebagai Gubernur Jenderal digantikan oleh Jan Willem Jansses. Ini tentu terdengar oleh Inggris.

Pada tanggal 4 Agustus 1811, ada 60 kapal Inggris muncul di depan Batavia. Sampai 22 hari berikutnya, daerah-daerah sekitar Batavia jatuh ke tangan Inggris. Jan Willem Jansses mundur ke Semarang. Pada tanggal 18 September 1811, Jenssens menyerah di dekat Salatiga. Ketika itu Jenssens menandatangani Kapitulasi Tuntang yang isi pokoknya ialah seluruh pulau Jawa menjadi milik Inggris. Inilah era dimana Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris.

Sistem pemerintahan di Masa Thomas Stamford Raffles

Thomas Stamford Raffles memimpin Jawa sedari 1811 hingga 1816. Karena di bawah Inggris tidak ada jabatan Gubernur Jenderal, maka sebutan untuk Raffles adalah Letnan Gubernur. Ia memiliki persamaan dengan Deandels, yaitu sama-sama menentang paham feodal. Cara berpikirnya mirip Dirk Van Hogendorp --Liberal-- pada tahun 1799, tentang kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintah hanya berhak menarik pajak dari penggarap.

Di zaman Raffles, perbudakan dilarang. Pengadilan menggunakan sistem juri. Ada kejelasan tentang sewa tanah. Sayang sekali kenyataan di lapangan tidak sama.

Namun ada yang pengaruhnya lama di masa Raffles, yaitu ketika ia membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan. Sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964. Sebelum tahun itu, Jember masuk wilayah Karesidenan Besuki. Setelah 1964, kita mengenal istilah Eks-Karesidenan Besuki.

Raffles mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi yang memperoleh kedudukannya secara turun-temurun, dilepaskan dari jabatan.

Pada tahun 1816, sesuai hasil Konvensi London, Indonesia alias Hindia Belanda kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk era ini, silahkan baca; Masa pemerintahan Kolonial Belanda.

Kawedanan

Istilah Kawedanan sepertinya hanya ada di Pulau Jawa. Di Kalimantan ia disebut Kiai. Kawedanan sendiri adalah wilayah Administrasi Pemerintahan yang berada di bawah Kabupaten dan di atas Kecamatan, berlaku pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Kawedanan masih dipakai di beberapa Provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemimpinnya disebut wedana atau wedono.

Seorang wedana tidak memiliki kewenangan dalam hal pengambilan keputusan. Ia hanya memiliki wilayah dan memiliki peran ketika ada kepentingan dalam hal koordinasi. Ibaratnya, jika diposisikan saat ini, fungsi Wedana serupa Kepala Kampung. Namun tentu saja dulu wedana memiliki wilayah yang lebih luas, tak sekedar kampung.

Jika kita tarik benang merah atas pemaparan di atas, kawedanan bermula ketika tonggak pemerintahan Hindia Belanda kembali berkibar sejak 1816, berdasarkan Konvensi London.

Kapitalisasi perkebunan di Jember baru tercatat pada masa LMOD gagasan George Birnie, 21 Oktober 1859. Di masa itu Jember masih menjadi bagian dari Bondowoso.

Hingga 9 November 1883, ketika sebelumnya Jember telah menjadi Afdeling sendiri lepas dari Bondowoso, di sini hanya ada empat Distrik Kawedanan; Jember, Sukokerto, Puger, dan Tanggul. Jadi pada 1883 Kalisat kemungkinan masih berupa bagian dari Sukokerto. Wilayah bagian lain dari Sukokerto kemungkinan adalah Sukowono, Ledokombo, Sumberjambe, dan Mayang.

Setelah itu, hingga tahun 1900 telah berdiri distrik-distrik baru seperti distrik Rambipuji yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Jember, serta distrik Mayang yang sebelumnya termasuk wilayah distrik Sukokerto (Tennekes,1963). Pada tahun 1913 distrik Puger dipecah menjadi dua distrik yaitu distrik Puger dan distrik Wuluhan. Berdasarkan pada besluit pemerintah tertanggal 13 Januari 1913.

Pemecahan desa-desa di Jember terutama terjadi setelah datangnya para migran Jawa pada sekitar tahun 1890an. Namun, berdasarkan ANRI Besuki tahun 1888, di tahun yang sama Kalisat telah disebut sebagai sebuah distrik.

"Pada tahun 1888 dibuka pasar baru di distrik Wuluhan, Kalisat, Mayang, dan tahun-tahun berikutnya masih banyak pendirian pasar yang lain."

Catatan ANRI Besuki-1888 di atas disarikan dari makalah Drs. Edy Burhan Arifin, SU yang berjudul; Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan.

Kelak, pada tahun 1976, kembali ada perubahan struktur atau tata ulang wilayah di Jember, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976 tanggal 19 April 1976, menjadi seperti berikut ini:

1. Kacamatan Jember dihapus

2. Lalu dibentuklah tiga kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates.

3. Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.

4. Wilayah Kewedanan Jember bergeser dari Jember ke Arjasa. Ini terjadi bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember. Setelah kawedanan bergeser --dari Jember ke Arjasa, wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari, dan Sukowono. Sebelumnya masuk Distrik Kalisat.

*Secara administratif Kabupaten Jember saat itu terbagi menjadi tujuh Wilayah Pembantu Bupati, satu wilayah Kota Administratif, dan 31 Kecamatan.

5. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001 sebagai tuntutan No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten Jember telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk penghapusan lembaga Pembantu Bupati yang kini menjadi Kantor Koordinasi Camat. Selanjutnya, dalam menjalankan roda pemerintah di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember dibantu empat Kantor Koordinasi Camat, yakni:

a. Kantor Koordinasi Camat Jember Barat di Tanggul
b. Kantor Koordinasi Camat Jember Selatan di Balung
c. Kantor Koordinasi Camat Jember Tengah di Rambipuji
d. Kantor Koordinasi Camat Jember Timur di Kalisat

Munculnya reformasi 1998 membuat status Kawedanan menjadi tidak jelas. Setelah ada Otonomi daerah di Tahun 2001, maka status Kawedanan dihapus.

Masa Hidup Bujuk Patar

Kapan pertamakalinya Kalisat dibentuk kawedanan?

Prakiraan keberadaan kawedanan Kalisat yang perdana adalah antara tahun 1883-1888. Jika benar bujuk Patar seorang wedono Kalisat yang pertama, maka ia hidup di masa tersebut. Tentu saja di masa itu Kalisat bukan lagi sebuah hutan yang lebat, melainkan telah tampil cantik sebagai kota kapital perkebunan. Telah ada pembangunan rel yang menghubungkan Pelabuhan Panarukan dengan jalur kereta api Jember-Kalisat-Bondowoso-Panarukan sepanjang 150 km, dibuka pada tanggal 1 Oktober 1897, telah ada perusahaan perkebunan. Kalisat tentu juga semakin ramai sebab di sini dihuni oleh berbagai etnis; Using, Jawa, Madura, Cina, Arab, serta orang-orang Eropa. Keadaan ini melahirkan gesekan di beberapa sisi. Selain berdampak pada bidang ekonomi, adanya migrasi besar-besaran di Jember tentu berdampak pada budaya, seni, lingkungan, dan lain-lain. Cara pandang masyarakat pada tembakau juga mengalami pengkayaan makna. Tembakau tak hanya dianggap sebagai tanaman biasa, melainkan telah menjadi sebuah kegiatan menanam yang bersifat tradisi. Seperti itulah suasana Kalisat --dan sekitarnya-- di masa 1883-1888.

Teman-teman, di atas bujuk Patar masih ada bujuk-bujuk yang lain. Akan menarik jika kita coba telisik satu-persatu. Penting bagi kita untuk mengetahui masa hidup para bujuk-bujuk itu, sebab sejarah adalah tentang segala catatan penelitian berdasarkan ruang dan waktu.

Ini bukan sebuah penilaian final, namun masih berupa hipotesis. Mari kita telaah dan koreksi bersama-sama.

Salam Kari Kecingkul.

Senin, 06 April 2015

Bundaran Kalisat

Senin, 06 April 2015

Bundaran Kalisat. Foto oleh Heru Pribumi, 6 April 2015

Foto Bundaran Kalisat di atas dijepret tadi pagi oleh Heru Pribumi dari arah Pegadaian. Bundaran ini mengalami perbaikan sejak 29 Maret 2015 lalu. Mungkin, agar tidak terlihat suram. Pohon-pohonnya dipapras hingga menyisakan batang besarnya saja, tak menyisakan dedaunan.

Pada saat itu masih ada baliho-baliho kampanye Pilbup, diantaranya baliho kampanye milik Sugiarto alias Pak Gik, dan baliho kampanye atas nama dr Hj Faida MMR, seorang Direktur Rumah Sakit Bina Sehat Jember. Di Jember memang lagi musim baliho calon Bupati sejak akhir 2014 lalu, meskipun Pilkada serentak 2015 baru digelar pada Desember mendatang.

Jika melihat posisi strategis dan tata kota Kalisat, oleh penyelenggara kecamatan, Bundaran Kalisat memang dimanfaatkan untuk mencari pendapatan di sisi pemasangan baliho. Macam-macam ukuran baliho yang disewakan, mulai dari ukuran 4 m x 6m, 4m x 8m, hingga ukuran 5m x 10m.

Fanggi, salah satu pemuda Kalisat yang mencintai bidang seni, ia memiliki hasrat yang lain tentang keberadaan Bundaran Kalisat. Dia bilang, "Coba ada sesuatu yang menarik perhatian di tengah-tengah bundaran itu ya, pasti keren." Barangkali, sesuatu yang menarik perhatian yang ia maksud adalah hal-hal seperti seni instalasi, hasil karya pemuda sekitar.

Banyak yang mengira jika Bundaran Kalisat adalah sebuah alun-alun. Dulu ketika Kalisat masih berwajah arsitektur Belanda di era 1860an hingga 1940an, letak alun-alun Kalisat ada di sisi Barat nol kilometer, tepatnya di dekat Polsek Kalisat.

Sabtu, 04 April 2015

Bujuk Supi

Sabtu, 04 April 2015

Makam Kuno Bujuk Supi di Kalisat. Dokumentasi Kari Kecingkul, 4 Juni 2014

Ada sebuah makam kuno di kecamatan Kalisat yang terletak di sebuah ketinggian Gumuk. Untuk mencapai ke sana, kita harus melewati tangga bersemen. Undak-undak itu dibuat atas inisiatif warga dengan cara kerja bakti, untuk menghormati keberadaan makam tersebut. Menurut informasi warga, itu adalah makam Bujuk Supi. Sebagian menyebutnya dengan ejaan; Sufi.

Siapakah Bujuk Supi? Sebagian warga Ajung percaya jika ia adalah sesepuh desa, yang mbabad tanah Ajung. Lalu ingatan saya tertuju pada Bujuk Patar, ia juga dipercaya sebagai pembabad desa Ajung. Sebagian kecil lainnya percaya jika Bujuk Sufi adalah sesepuh warga Plalangan. Ini tentu membuat saya bertanya-tanya.

Kebingungan saya terjawab, sebab ada satu sumber yang menyebutkan jika Bujuk Supi adalah pembabad tanah Ledokombo, namun ia meninggal dunia di desa Ajung kecamatan Kalisat. Berikut yang dikisahkan tentang Bujuk Supi.

Ketika itu Ledokombo masih berupa desa yang luas. Sebagian arealnya adalah hutan yang lebat, sebagian lagi adalah genangan air rawa. Pohon yang tinggi serta binatang buas, juga ancaman hewan-hewan kecil seperti nyamuk malaria, menyebabkan Ledokombo bukan sebuah wilayah hunian favorit.

Kemudian datanglah para pengembara. Diantara pengembara itu ada yang bernama Supi, seorang mantan punggawa dari Kerajaan Blambangan. Kelak ia dikenal sebagai bujuk atau Moyang bagi orang Ledokombo. Namanya sejajar dengan para bujuk yang lain, yaitu Bujuk Gendhe dan Bujuk La'iyem.

Dikarenakan tempatnya becek penuh ledok, maka desa yang luas itu oleh Bujuk Supi diberi nama Ledokombo.

Setelah menamai tempat itu, Bujuk Supi tidak menetap di sana. Ia pindah di sebuah desa bernama Plalangan di Kalisat. Di masa yang lalu, Plalangan adalah wilayah yang dipenuhi oleh ilalang. Bujuk Supi menetap di sini hingga akhir hayatnya.


Makam Bujuk Supi - Dokumentasi Kari Kecingkul

Bagaimana dengan Bujuk Gendhe? Ia dipercaya berasal dari Kudus. Kegemarannya adalah melakukan barter atau tukar menukar barang. Karena kegemarannya itulah, wilayah yang ditempati Bujuk Gendhe disebut Pasar. Hingga saat ini wilayah tersebut masih bernama dusun Pasar. Makam Bujuk Gendhe tidak diketahui.

Berbeda dengan Bujuk Gendhe, Bujuk La'iyem berasal dari Bondowoso. Kegemarannya adalah membuat tempat pemandian. Ia bermukim sementara di Ledokombo, namun sempat menamai wilayah tempat ia tinggal dengan nama Padasan. Disebut Padasan --atau Paddasan-- karena kegemarannya itu. Mungkin berawal dari kata padusan. Hingga kini wilayah tersebut masih ada, masuk wilayah dusun Krajan di kecamatan Ledokombo. Tempat bermukimnya Bujuk La'iyem hingga ia meninggal dunia adalah di Sumberbulus, masuk kecamatan Ledokombo. Di Ledokombo, ia juga menamai sebuah sumber mata air yang banyak pohon nangkanya. Dusun tempat keberadaan mata air itu hingga kini tetap bernama dusun Sumbernangka.

Jejak-jejak Bujuk La'iyem bisa ditelisik dari tempat-tempat tersebut, ditambah dengan padukuhan Paddasan di desa Pujer Kabupaten Bondowoso.

Kari Kecingkul belum mendokumentasikan makam Bujuk La'iyem di Sumberbulus.

*Terima kasih untuk admin Website Desa Ledokombo

Jumat, 03 April 2015

Gudeng Buje e Kalisat

Jumat, 03 April 2015
Rumah itu bercat hijau seperti hijaunya dalam warna liturgis. Bagian depan dari rumah ini difungsikan sebagai warung makanan. Meski hanya tersedia empat meja saja, namun ruangannya bersih. Pagar depan rumah langsung berbatasan dengan jalan beraspal. Ia tak terlalu lebar, menghubungkan antara stasiun Kalisat dengan desa Ajung dan gedung bioskop lama --kini beralih fungsi menjadi Toko Baju Surya. Setelah jalan beraspal ada sebidang tanah memanjang dengan lebar kira-kira lima meter, baru kemudian rel kereta api jalur Kalisat-Banyuwangi.


Dari sini kita bisa melihat Stasiun Kalisat berlatar Argopuro

Tak jauh dari rumah bercat hijau ini terdapat pula pangkal pintu kereta api. Jika berdiri di rel kereta api dan menghadap ke Barat, dapat kita lihat Pegunungan Hyang-Argopuro di kejauhan sana. Jika kita berjalan tiga puluh langkah lagi, maka akan sampailah kita pada rumah bercat hijau.

"Iya benar, dulu di sini adalah gudang garam," kata Djoko Angkoso atau lebih akrab dipanggil Haji Kokok.

Haji Kokok bertanya, mengapa kami bersusah-susah mencari lokasi gudang garam Kalisat peninggalan zaman Belanda? Ivan lalu bercerita tentang Komunitas Kari Kecingkul Kalisat. Setelah memahami maksud kedatangan kami yang ingin mendapat kepingan sejarah tentang gudang garam di Kalisat, maka berceritalah Haji Kokok.

"Keluarga saya menempati rumah ini sejak tahun 1970. Sebelumnya rumah saya ada di dekat toko biru, lebih dekat dari stasiun Kalisat. Di sana sejak 1964. Saya sendiri lahir pada 16 Juni 1961. Jadi ketika pindah di sini --gudang garam Kalisat, usia saya masih sembilan tahun."

Apakah ada foto-foto lama tentang bangunan rumah ini sebelum ditempati?

"Sayang sekali, rasanya tidak ada. Namun samar-samar saya masih bisa mengingat, dulu bekas bangunan gudang garam didominasi oleh kayu. Semuanya dari kayu jati. Bahkan lantai menggunakan kayu jati. Sekarang, semua bangunan rumah ini sama sekali baru. Apalagi rumah ini dibangun lagi sejak tahun 2004. Lokasi gudang garam kini menjadi bagian dalam atau rumah induk."

Jeda sejenak. Haji Kokok masuk ke ruang dalam di rumahnya, kemudian keluar dengan membawa album foto keluarga. Iya benar, di sana tidak ada foto tentang kondisi rumahnya ketika masih menjadi gudang garam.


Mencatat cerita dari Haji Kokok. Dokumentasi oleh Ivan

Apa lagi yang Haji Kokok ingat?

"Hingga hari ini orang-orang yang memang kelahiran Kalisat, atau pendatang yang sudah lumayan lama tinggal di Kalisat, mereka pasti mengerti jika ditanya dimana letak gudang garam. Tapi nama 'gudang garam' sama sekali tidak familiar. Harus menggunakan bahasa Madura, gudeng buje, baru semua orang mengerti. Gudeng buje ya di sini ini. Sejak dulu gudeng buje sudah dijadikan ancer-ancer oleh warga Kalisat."

Bagaimana lingkungan sekitar gudeng buje di masa kecil Haji Kokok?

"Dulu di seberang rel sana adalah tempat latihan ARMED. Kalau orang naik sepeda --ke arah SMAN 1 Kalisat-- harus dituntun. Itu di era 1970an. Kemudian, karena dianggap sudah tidak memadai lagi, semua kegiatan latihan dilaksanakan di Sukorejo, Jember. Dongki menara air kereta uap itu dulu dijadikan pos. Selain gudeng buje, Kalisat tempo dulu juga punya pabrik es. Mereka memproduksi es batu besar-besar. Kalau kata orang, namanya es godoran. Selain es godoran, mereka juga bikin es lilin untuk anak-anak. Lokasinya ada di Barat Kantor Polisi Kalisat. Tahun 1970an pabrik es masih ada, dikelola oleh pengusaha etnis Cina, anaknya bernama Juntek."

Kembali lagi ke gudang buje di Kalisat. Di Jember wilayah kota juga ada gudang garam, lokasinya ada di samping kiri DPU Bina Marga, atau di seberang SMP Negeri 2 Jember. Ia masih eksis hingga masa sebelum 1965. Di era 1920an masyarakat kota Jember harus antri untuk menukar kupon dengan garam. Bagaimana dengan gudang buje di Kalisat?

"Maaf, tentu saya tidak tahu."

Kami semua tersenyum. Rupanya kami terlalu bersemangat berbincang dengan Haji Kokok, hingga melupakan scope temporal. Kami senang sekali mendapat sambutan luar biasa, apalagi Haji Kokok juga mengeluarkan album foto keluarga. Ada foto kedua orang tuanya di sana, Saswandi dan Adeline. Mami Haji Kokok kelahiran Belanda namun sejak kecil tinggal di Indonesia. Di lain kesempatan, kami akan menceritakannya.

Terima kasih haji Kokok, pengetahuan kami hari ini semakin bertambah. Tentang gudeng buje, dan tentang wajah Kalisat pada saat itu.

Tulisan lain tentang Kalisat pada waktu itu bisa dibaca di sini.

*Wawancara dengan Djoko Angkoso pada 3 April 2015

Sedikit Tambahan

JEMBER DI TAHUN 1918

Ketika itu Perang Dunia I masih sedang berkecamuk namun disinyalir hampir berakhir. Akibat PD I tersebut, harga beras di Jember turut melambung. Banyak yang bertanya-tanya, perangnya di Eropa, kenapa harga beras di Jember jadi ikut-ikutan naik?

Akhirnya, dimana-mana dibangun gudang beras yang baru, dan para petani berdatangan hendak menjual padi. Asisten Wedana bekerja ekstra, sebab tugasnya waktu itu banyak berhubungan dengan soal-soal ekonomi.

Keadaan ini mungkin tidak berdampak bagi 'de doorsnee priyayi' tapi bagaimana dengan para inlander Djember?

Bagaimana dengan garam?

Dulu jember punya GUDANG GARAM. Letaknya di muka sekolah HIS (SMP 2), bersebelahan dengan Kantor PU - Openbare Werken, di lingkungan JB sekarang alias dekat pasar contong. Efek PD I, harga garam tidak turut melambung namun barangnya langka di pasaran.

Demi mendapatkan buje orang-orang harus rela antri di gudang garam, dan itu lama sekali. Saat itu, untuk membeli garam --dan gula-- kita harus terlebih dahulu memiliki kupon yang bisa kita dapatkan dari Controleur setempat. Barangkali kondisi ini juga dialami warga Kalisat di tahun 1918. Mari kita telisik bersama-sama.

Kamis, 02 April 2015

Terinspirasi Folklor Panji Laras

Kamis, 02 April 2015
Oleh RZ Hakim

Ciri-ciri cerita rakyat, ia selalu memiliki kemiripan dengan cerita rakyat di daerah lain. Begitu pula dengan cerita rakyat tentang Panji Laras.

Dikisahkan pada dahulu kala, hiduplah seorang pandita tua di sebuah padepokan di Arjasa, Jember. Ia tinggal bersama putrinya. Suatu hari, ada rombongan kecil yang melintas di sana. Mereka adalah seorang raja dan para pengawal yang sedang berburu di hutan. Kepincut dengan paras jelita putri pandita, sang raja pun melamarnya. Pandita menyetujui lamaran raja. Setelah menikah, raja tinggal di sana, sedangkan para pengawal kepercayaannya ia suruh kembali ke kerajaan untuk mengurusi beberapa hal.

Namanya juga seorang raja. Ia tidak bisa meninggalkan kerajaannya dalam waktu yang sangat lama. Singkat cerita, sang raja meninggalkan padepokan itu dalam keadaan si putri sang pandita sedang hamil. Putri sang pandita lebih memilih menemani Ayahnya daripada harus turut ke kerajaan.

Kelak, tanpa didampingi suaminya, putri sang pandita tersebut melahirkan bayi laki-laki. Kakek bayi tersebut menamainya Panji Laras.

Saat Panji Laras beranjak remaja, ketika ia bermain-main di sekitar padepokan, tiba-tiba ada seekor Alap-alap yang terbang. Alap-alap itu berputar-putar, sebelum kemudian menjatuhkan anak ayam dari cengkeramannya. Panji Laras memungutnya, lalu membawanya pulang. Oleh Kakek dan Ibunya, ia diizinkan untuk merawat anak ayam tersebut. Panji Laras merawatnya dengan penuh kasih sayang, hingga anak ayam tersebut tumbuh besar dan menjadi ayam jago yang gagah. Oleh Panji Laras, ayam tersebut biasa dipanggil Cindelaras.

Suatu hari, Panji Laras meminta izin untuk berkelana ke kota raja. Saat mendapatkan izin, berkelanalah Panji Laras. Dengan membawa Cindelaras, ia keluar dari hutan menuju kota raja.

Singkat cerita, Panji Laras berhasil berjumpa dengan Ayahandanya lantaran ada sayembara sabung ayam. Bersama Cindelaras, ia berhasil memenangkan sayembara itu.

Sampai di bagian ini, ada banyak versi.

Panji Laras adalah folklor yang unik, sebuah 'cerita rakyat' yang dilengkapi dengan reruntuhan batu bata berukuran jumbo di desa Tegalbagu kecamatan Arjasa. Reruntuhan itu dipercaya adalah sisa-sisa dari padepokan keluarga Panji Laras.

Hingga kini warga desa Tegalbagu percaya, jika mereka sedang punya gawe dan membuat dapur umum, jangan coba-coba membuat tungku dari batu bata padepokan Panji Laras. Apinya menyala tapi nasinya tak pernah tanak. Memang pralogis, tapi itulah 'cerita rakyat' yang datang dari Jember.

Pada 18 Maret 2015, saya dan Hana jalan-jalan di Arjasa demi mencari kepingan batu bata sisa-sisa padepokan Panji Laras. Kami diantar oleh Kang Wisnu, warga desa Tegalbagu kecamatan Arjasa.

Untuk menuju lokasi yang dimaksud, kami harus membelah Perumahan Panji Laras dan melewati rumah seorang penulis muda, Nuran namanya. Dari rumah Nuran, reruntuhan padepokan Panji Laras jaraknya dekat sekali. Sayang, hingga senja semakin pekat, reruntuhan batu itu tak berhasil kami jumpai. Yang saya lihat hanya hamparan kebun singkong bersebelahan dengan kebun pepaya. Kebun-kebun lain mulai didominasi oleh pohon sengon.

Lalu kami singgah di warung pracangan milik Bapak Mulyono, lelaki baik hati kelahiran 21 Juni 1948. Ia adalah seorang pendatang, namun telah tinggal di Perumahan Panji Laras sejak 1983.

"Dulu di sini masih sepi. Kisah tentang folklor Panji Laras dan ayam jagonya --Cindelaras-- saya dapat dari orang-orang sepuh kelahiran desa ini."

Pak Mul tidak percaya jika reruntuhan batu bata yang besar-besar itu tidak berhasil kami jumpai. Tapi Wisnu mengiyakan. Kata Wisnu, "Tahun lalu masih ada tumpukan batu bata itu, meskipun sudah tinggal sedikit. Cuma ada tiga tumpuk. Sekarang tak ada lagi."

Batik Panji Laras


Corak Batik Panji Laras Karya Edwindy

Seorang teman, namanya Edwindy, ia tidak setengah-setengah ketika mempelajari seni membatik. Mulanya Edwindy rajin mengumpulkan referensi batik, terutama dalam bentuk gambar. Lalu ia mempelajari sejarahnya. Mengapa harus ada batik? Apa bedanya batik Indonesia dengan batik-batik luar seperti batik dari India, Cina, hingga Afrika? Bagaimana karakter batik istana dan batik di luar kerajaan? Mengapa raja-raja di Jawa memiliki empat kewajiban dasar --sebelum menjadi raja-- dan kewajiban nomor empat adalah bisa membatik?

Dia melakukan penelusuran dengan baik, baru kemudian mencari penghasilan agar bisa membeli peralatan yang dibutuhkan untuk membatik. Adapun tujuan final dari proses pembelajaran ini, ia ingin melamar perempuannya dengan seserahan berupa batik yang dibuatnya sendiri.

Antara bulan Februari hingga Maret, Edwindy sibuk menelisik sebuah folklor yang tumbuh di kecamatan Arjasa-Jember, tidak lain adalah cerita rakyat tentang Panji Laras dan ayam jago kesayangannya yang dinamai Cindelaras --di beberapa versi yang lain, Cindelaras adalah nama tokoh utama dalam kisah serupa.

Pada awalnya, Edwindy mencoba menakar dan membandingkan folklor ini dengan cerita-cerita senada dari daerah lain, terutama folklor tentang Ciung Wanara dan Sawunggaling. Ia juga melacak jejak cerita serupa tentang Panji Laras yang tumbuh di wilayah lain. Misalnya, tempat Panji Laras menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dunia, di sebuah desa di kabupaten Sampang, Madura.

Dalam menuangkan idenya, Edwindy lebih menyukai membuat corak ayam Cindelaras.

Foto corak batik Panji Laras di atas diunggah oleh Edwindy di Group Facebook Keluarga Tamasya pada 1 April 2015, dengan keterangan berikut ini.

"Perkembangan terbaru dari Cindelaras, setidaknya butuh 1 kali proses ulangan lagi untuk bisa dinikmati."

Setelah batik Panji Laras bercorak Cindelaras, mungkin akan ada banyak 'folklor' lain lagi yang akan tertuang dalam selembar kain atau karya-karya yang lain. Semoga. Teman-teman, dimanapun kita berada, mari mencintai cerita rakyat di sekitar kita.

Rabu, 01 April 2015

Memungut Edelweiss Yang Jatuh di Arcopodo

Rabu, 01 April 2015
Oleh RZ Hakim


Kuntum Edelweiss yang terjatuh di tanah Arcopodo-Semeru

Dia bernama Mochammad Arifin, anak pertama dari pasangan Juhari dan Sri Wahyuni. Mochammad Arifin dua bersaudara, dia anak sulung. Adiknya bernama Siti Hoiriyah.

"Bapak saya seorang petani, sedangkan Ibu kerja di PTPN yang lokasinya dekat sekali dengan stasiun Ajung yang kini telah rata oleh tanah."

Saya mengenal Mochammad Arifin, dia anak yang baik. Oleh teman-temannya Mochammad Arifin biasa dipanggil Nyek. Saya juga memanggilnya Nyek. Katanya, itu nama panggilan sejak ia tercatat sebagai anggota pencinta alam EXPA angkatan pertama di SMA Negeri 1 Kalisat kabupaten Jember. Nyek lulus tahun 2010.

"Angkatan pertama EXPA itu ada dua generasi Mas, siswa angkatan tahun 2009 dan 2010. Guru pembina EXPA adalah Pak Aryo. Baru-baru ini pembina EXPA mengalami perubahan. Pak Aryo digantikan oleh guru lain, namanya Pak Lihin. Dies Natalis lalu, 14 Desember 2014 adalah Dies Natalis pertama dengan pembina baru."

Nyek, lelaki muda kelahiran Kalisat, 24 Oktober 1991 ini, mulanya ia kelimpungan saat saya meminta izin untuk membagikan fotonya yang sedang berpose memegang sekuntum Edelweiss.

"Ella mas, sieee. Aku dulu masih polos itu, belum tahu apa-apa."

Lalu saya meyakinkan dia jika ini untuk pendokumentasian. Syukur jika ada yang berhasil memetik hikmah.

"Itu waktu EXPA mengadakan expedisi Mas, angkatannya Bajay. Pertengahan tahun 2013. Kita mendaki di Mahameru."

Saya menggodanya, "Dua tahun lalu kamu masih polos?"

Menurut keterangan Nyek, waktu itu dia menemukan sekuntum Edelweiss yang jatuh ke tanah. Sebelumnya telah ada yang memetiknya. Kemudian Nyek memungutnya. Yang mendokumentasikan momen itu adalah Fia AL --kini tercatat sebagai anggota IMAPALA STIE Mandala Jember-- atas permintaan Nyek.

"Itu waktu di Arcopodo. Tapi bunganya tak buang lagi. Sompa."

Pada 23 Juli 2013 Nyek menjadikan foto itu sebagai foto sampul jejaring sosial Facebook miliknya. Expedisi EXPA itu sendiri dilaksanakan pada bulan Mei 2013.

Saya senang Nyek tidak memetik sendiri bunga itu. Ia memungutnya. Tadinya, di kolom komentar jejaring sosial Facebook saya menuliskan ini untuk Nyek. "Sedih melihatnya. Kamu menyakiti hatiku, Nyek."

Kisah di atas mengingatkan saya pada catatan seorang teman di blog personal miliknya. Namanya Indana Putri Ramadhani. Dia menulis artikel berjudul, ketika mendaki gunung berubah menjadi lifestyle. Artikel itu diunggah pada 14 September 2014 untuk menanggapi sebuah pemberitaan sebuah koran harian di tajuk Lifestyle, berjudul; Petik Edelweiss Untuk Kekasih, Rayakan 17 Agustus.


Foto dari blog Dunia Kelor

Lalu gemparlah group-group dunia pencinta alam di jejaring sosial. Banyak hujatan untuk artikel itu, juga untuk pelaku yang diceritakan dalam artikel tersebut.

Karena Nyek telah mengunggah foto dirinya yang sedang memegang Edelweiss --meskipun kini foto yang dimaksud telah ia hapus secara permanen oleh Nyek-- maka saya berinisiatif untuk mendokumentasikannya di sini. Dengan harapan, untuk menghindari fitnah. Menjelaskan bahwa Nyek tidak memetiknya.
Sudut Kalisat © 2014