Sabtu, 31 Mei 2014

Sanatorium Kalisat alias Marsakek Rosak

Sabtu, 31 Mei 2014
Oleh RZ Hakim

Jika melihat catatan-catatan di masa kependudukan, dikatakan bahwa dulu di Kalisat pernah ada sebuah Sanatorium. Ia adalah sebentuk fasilitas medis yang dirancang khusus untuk menyembuhkan penderita tuberkulosis. Di dunia medis, sanatorium telah diperkenalkan pada tahun 1849 oleh seorang dokter asal Jerman.

Ketika bertanya pada beberapa orang di Kalisat tentang keberadaan sanatorium, biasanya mereka merujuk pada RSUD yang ada di Jalan M.H.Thamrin No.31 Kalisat, sebuah rumah sakit negeri kelas D. Rumah sakit ini bersifat transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Ia juga menampung rujukan yang berasal dari puskesmas.

Titik terang mulai ada ketika saya berjumpa dengan Mas Opik Badut di kediaman Ibu Sulasmini. Menurutnya, mungkin yang dimaksud sanatorium adalah marsakek rosak, bahasa lokal yang artinya, rumah sakit rusak. Bermodal informasi itu, tadi sore saya dan teman-teman Kari Kecingkul bergerak menuju ke lokasi.


Reruntuhan Sanatorium di dusun Jambuan desa Plalangan kecamatan Kalisat. Dokumentasi oleh Ivan, 31 Mei 2014.

Sanatorium di Kalisat memang hanya tinggal cerita. Kini hamparan lahan bekas sanatorium dimanfaatkan untuk lahan tebu. Kami beruntung masih bisa menemukan sisa-sisa pondasi sanatorium, diantara semak belukar.

Tak jauh dari reruntuhan sanatorium terdapat sebuah gedung sekolah, SDN Plalangan III kecamatan Kalisat. Kata Anief, dulu dia sekolah di sana.

Ketika saya hendak mendokumentasikan ini, tiba-tiba teringat dengan kliping online tentang sanatorium. Saya mendapatkannya dari harian Tjahaja edisi 25 September 1942. Akan saya catat kembali di sini, semoga bermanfaat.

SANATORIUM DI KALISAT

Tiga kilometer dari Kalisat (Djember) di desa Plalangan terdapat seboeah "Sanatorium." Dalam Sanatorium ini sekarang dirawat 35 orang sakit.

Sanatorium ini ada di bawah tilikan dr. Ateng dari Djember. Ada 27 Gedoeng dan 1 rumah di atas poentjak disediakan oentoek keperloean orang sakit.

Pegawai sanatorium itoe ada k. 1. 40 orang, diantaranja terdiri dari 4 djoeroerawat dan 8 tjalon-djoeroe-rawat.

Di Sanatorium ini dapat dirawat 100 orang banjaknja. Pembajaran ditetapkan seharinya 50 sen paling sedikit dan setinggi-tingginja f 3,-

Oentoek mereka jang miskin diadakan peratoeran jang ringan, hingga dapat djoega mereka dibebaskan dari pembajaran asalkan tjoekoep boektinja bahwa sesoenggoehnja dia itoe miskin. (Domel).

Jika menengok sejarah Rumah Sakit Paru Jember, maka masih berhubungan dengan Sanatorium di Kalisat.

Rumah Sakit Paru Jember didirikan pada zaman Hindia Belanda merupakan Sanatorium milik Yayasan Stichting Centraal Vereneging Tuberculosa Besttriding (SCVT) yang terletek di Desa Plalangan, Kecamatan Kalisat. Rumah Sakit mengalami kerusakan berat akibat perang, kemudian dibangun kembali diluar Kota Jember --Lokasi RSUD Dr. Soebandi sekarang-- ditambah unit rawat jalan di Stasiun Kota Jember.

SCVT sendiri baru didirikan pada 1930 sebagai upaya pemberantasan penyakit tuberkulosis. Ketua SCVT pertama adalah Mvr. de Jonge, istri dari Mr. Bonifacius Cornelis de Jonge, Gubernur Batavia 1931-1936. Kelak SCVT berganti nama menjadi YP3I, Yayasan Pemberantasan Penyakit Paru-Paru di Indonesia.


Ada satu rumah di atas poentjak disediakan oentoek keperloean orang sakit. Cuplikan dari koran Tjahaja edisi 25 September 1942.

Rumah di atas puncak seperti yang digambarkan oleh catatan sejarah itu memang sudah tak ada lagi. Bagi saya, itu adalah sebentuk pengobatan tuberkulosis yang masuk akal. Jika kembali menengok sejarahnya, sanatorium diperkenalkan pada tahun 1849 oleh seorang dokter asal Jerman. Ia terinspirasi untuk menciptakan sanatorium setelah dia sembuh dari tuberkulosis, saat tinggal di Pegunungan Himalaya dan mengonsumsi makanan bergizi.

Di masa yang lalu, Kalisat khususnya dusun Jambuan desa Plalangan dianggap memenuhi syarat untuk didirikan sebuah gedung penyembuh dengan istilah medis sanatorium. Mungkin karena di sini ada banyak gumuk dan pepohonan sehingga udaranya bersih, masyarakatnya bertumbuh dengan sehat dan kuat.

Selasa, 27 Mei 2014

Stasiun Ajung Kini Rata Dengan Tanah

Selasa, 27 Mei 2014
Oleh RZ Hakim

Prit tampak heran ketika tadi sore saya ajak jalan-jalan ke Jember Utara. "Sudah fit tah Mas?" Saya tersenyum. Tak lama kemudian, kami sudah meluncur menikmati perjalanan.

Tiba di Desa Ajung Kecamatan Kalisat, Ivan dan Oldis berinisiatif mengajak kami menikmati sore di Stasiun Ajung. Tentu saya senang. Tiba-tiba saya teringat akan gagasan Kementerian Perhubungan Dirjen Perkeretaapian baru-baru ini, mereka hendak membuka kembali jalur KA Kalisat - Panarukan.

Saya masih ingat cerita orang tentang betapa eloknya jalur tersebut, dari Stasiun Kalisat - Stasiun Ajung - Stasiun Sukosari - Sukowono - Tamanan - Grujukan - Bondowoso - Tenggarang - Wonosari - Tangsil - Widuri - Bagur - Situbondo - Tribungan - hingga stasiun terakhir, Panarukan. Saya pernah menulisnya di sini.

Tiba di stasiun yang dimaksud --Stasiun Ajung-- saya tidak mendapati apa-apa selain gundukan tanah di tengah ladang jagung. Kata kawan-kawan Kalisat, di sanalah dulu Stasiun Ajung berdiri, di atas gundukan yang saya pijak.

Cepat sekali, batin saya. Padahal ia baru tidak aktif beroperasi sejak 2004, saat prasarana dirasa sudah lanjut usia. Dari Oldis saya mendapatkan penggalan cerita.

"Dulunya ada dua bangunan kecil, satu untuk ruang tunggu dan ruang turun penumpang, satunya lagi semacam gudang."

Arifin Nyek KOnyeg menambahkan. Katanya, dua bangunan tua itu runtuh sekitar tahun 2007, ketika dia masih SMP.

Kecuali jembatan kecil, di sini tak saya jumpai sedikit pun sisa rel. Rel di atas jembatan juga raib, hanya tersisa kerangka besi dengan mur-baut yang juga hilang di sana sini.


Dokumentasi oleh Ivan Bajil

Tak jauh dari stasiun, ada terlihat gudang besar milik Perkebunan Nusantara X PT Persero Kalisat. Jaraknya mungkin hanya kurang dari 50 meter, berupa bangunan kuno sisa nasionalisasi era kemerdekaan. Tentu, keberadaan Stasiun Ajung dulunya sengaja dihadirkan untuk mempermudah pengiriman sumber daya alam dari Pelabuhan Panarukan menuju Eropa.

Hari sudah sangat senja ketika kami meninggalkan stasiun yang kini tinggal cerita tersebut. Kami tak langsung pulang, melainkan masih singgah di kediaman Kepala Desa Ajung, Kalisat. Di sana kami pinjam sarung, ngopi, makan mie ayam dan memulung kisah-kisah sejarah. Nantilah, akan saya sempurnakan kisahnya di blog personal.

Stasiun Ajung di wilayah Jember Utara, ia kini rata dengan tanah, bahkan google tak mengenalnya. Mesin pencari hanya mengenal stasiun sebelahnya --Sukosari-- yang dibangun pada tahun 1900.

Saya berpikir, jika jalur KA Kalisat - Panarukan kembali dibuka, pastinya akan indah, dengan beberapa PR yang menyertainya.

Catatan lainnya: Stasiun Ajung, Bahkan Google Tak Mengenalinya.
Sudut Kalisat © 2014