Selasa, 03 November 2015

Menjadi Seorang Penyampai Pesan

Selasa, 03 November 2015
RZ Hakim

Seperti yang telah tertulis di catatan sebelumnya berjudul; Kedai Lecang Kalisat, saya merasa perlu untuk membuat sebuah arsip tulisan tentang kronologis kejadian yang mewarnai hari-hari teman-teman di Kedai Lecang --Verdy, Febri, serta Fanggi.

Di pemula bulan Oktober 2015, telah disepakati jika mereka akan membuka kedai untuk kali pertamanya yaitu sebelum Tahun Baru 1437 Hijriah atau satu suro. Sedangkan tahun baru Hijriah tersebut jika di kalender Masehi jatuh pada 14 Oktober 2015. Menurut tetua setempat, akan baik jika memulai usaha sebelum satu suro. Namun karena ada kendala internal antara para pendiri kedai, maka mereka baru bisa membuka kedai tiga hari setelah tahun baru Hijriah.

Mengenai Hari Baik:

Tadinya Ibu Sulasmini menyarankan kepada teman-teman penggagas Kedai Lecang untuk membuka usahanya sebelum tanggal 14 Oktober. Katanya, itu hari baik. Ibu Sulasmini memang begitu, ia sangat perhatian terhadap hari-hari. Dulu saat kami pindah rumah, beliaulah yang berkonsultasi dengan tokoh agama setempat dan mencarikan kami hari baik untuk boyongan. Dengan senang hati, kami berdua manut Ibu. Sebagai pencinta alam, adalah penting menghargai tata aturan yang berlaku pada masyarakat setempat.

Saya juga pernah mendengar dari orang yang berbeda, bahwa bulan Sura merupakan bulan sunya, maka untuk segala keperluan menjadi tidak baik.

Tahun baru Hijriah 1437 kali ini --satu suro, jika dilihat dari kalender Masehi, ia jatuh pada tanggal 14 Oktober 2015. Konon menurut kalender Jaya Baya, antara tanggal 15 Oktober hingga 13 November 2015, kita disarankan untuk tidak mendirikan apapun, tidak terkecuali pendirian sebuah usaha macam Kecai Lecang. Tidak baik. Dikhawatirkan sering tertimpa kesedihan serta banyak orang berbuat jahat, kecuali untuk menobatkan Raja atau pelantikan Presiden.

Rentang waktu tersebut juga tidak baik untuk pindah rumah. Akan ada banyak huru-hara dan bilahi. Kecuali jika dilakukan setelah tangal 13 November 2015.

Namun Verdy, Febri, dan Fanggi tidak dilahirkan di masa ketika primbon masih diperhatikan. Mereka punya masanya sendiri. Saya pun tak mengenal dengan baik apa dan bagaimana dunia neton dalam primbon.


Sore perdana, 17 Oktober 2015, persiapan pembukaan Kedai Lecang

Sedari tanggal satu hingga delapan hari kemudian --di bulan Oktober-- saya dan istri sedang berada di Pulau Lombok. Sepulang dari Lombok, pada 10 Oktober 2015 kami berdua menuju ke kota sebelah, Bondowoso. Dua hari berikutnya, kami baru sempat jalan-jalan bersama Mas Bajil menuju desa Gayasan, melihat orang-orang menjemur tembakau di depan GKJW Gayasan.

Esoknya, saya dan Hana sudah janjian berjumpa dengan Om Qingliang Yang, salah satu putra dari Njoo Giok Kwan, pemilik Njoo Studio. Saya kira, itu studio foto terlama di Kalisat. Dalam kesempatan yang baik tersebut, saya ajak Mas Bajil beserta kakak kandungnya, Joko Purnomo.

Berikut catatan saya mengenai Kedai Lecang sejak hari pertama dibuka.

1. Pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015, Kedai Lecang buka perdana. Verdy, Febri dan Fanggi tampak senang sebab ada banyak pembeli yang datang di kedai mereka. Sore harinya, saya dan istri menyempatkan diri untuk nongkrong di sana, pesan jus mangga. Verdy yang bikin, rasanya kacau namun kami senang sebab kamilah pembeli perdana. Di sore yang indah itu, kami juga ditemani oleh Agil, Intan, serta Mas Pur.

Malam harinya, bertepatan dengan malam minggu, kedai yang baru buka ini dikunjungi oleh banyak orang. Mereka memulai usaha antar teman. Tutur tinular, kalau kata orang Jawa. Ada dua mobil parkir, salah satunya ber-plat B, entah milik siapa.

Parkiran tertata rapi, motor-motor berjajar di lahan kosong seberang Kedai Lecang. Menurut Fanggi, telah ada izin dari keluarga pemilik lahan kosong itu untuk dimanfaatkan sebagai ruang parkir. Permohonan izin disampaikan oleh Verdy, beberapa hari sebelum kedai dibuka.

*Esok paginya, kami mendengar kabar jika semalam, saat kedai telah tutup, ada sebuah insiden kecil. Febri dan teman-teman memergoki sekumpulan pemuda dari kampung yang berbeda, mereka dicurigai hendak mencuri sandal di rumah Bapak Untung --seorang Polisi di kampung kami. Usut punya usut, salah satu dari mereka masih bersaudara dengan Febri, namanya Rio.

Kehadiran Pak Aryo di Hari Pertama

Bapak Aryo Mujiyono, seorang pendidik di SMAN 1 Kalisat kelahiran 10 Mei 1964, ia juga hadir di kedai sebagai customer. Adalah wajar, sebab ketiga pendiri kedai terbilang masih anak didiknya. Dulu sewaktu masih sekolah, ketiga-tiganya juga aktif di Sispala EXPA, dimana Bapak Aryo masih menjabat sebagai pembinanya. Waktu itu posisi Mas Bajil --di EXPA-- adalah pelatih.

Kelak --29 Oktober 2015, ketika saya diajak bicara dengan Bapak Aryo, dia bilang kehadirannya di kedai adalah atas undangan dari Fanggi.

Hari sudah larut malam saat Mas Bajil dan Lukman datang, mereka seharian menghabiskan waktu untuk menonton Banyuwangi Ethno Carnival di kabupaten sebelah. Saat Mas Bajil masih parkir motor, Lukman sudah terlebih dahulu masuk kedai. Tangannya dingin ketika kami bersalaman. Saat itu saya dan Hana duduk melingkar di sudut kedai dekat bar yang terbuat dari bilik bambu. Duduk di dekat kami adalah Febri Arisandy a.k.a Mergeng, Frans Sandi, serta Pak Aryo (yang baru saja gabung dengan kami).

Saat Mas Bajil memasuki Kedai Lecang, di mulutnya telah ada satu batang rokok namun belum dinyalakan. Pandangannya seperti sedang mencari-cari pinjaman korek api. Ketika ia ada di dekat kami, tangannya telah hampir meraih korek api yang ada di atas meja kecil. Namun dia mengurungkan niatnya saat dilihatnya Pak Aryo duduk satu meja dengan saya. Sedangkan Pak Aryo sendiri tidak tahu tentang kehadiran Mas Bajil, sebab sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Mergeng memahami situasi ini dengan sangat jelas, tapi dia lebih memilih diam, seolah-olah tidak tahu. Mas Bajil segera masuk ke dalam rumah Febri dengan langkah yang cepat. Tak lebih dari lima menit, ia segera keluar, masih dengan langkah yang cepat, menuju ke rumahnya --tepat di samping kiri Kedai Lecang-- dan segera mengunci pintu.

Kejadian itu mengingatkan saya pada malam takbir Idul Fitri, di pertengahan bulan Juli 2015. Ketika itu teman-teman muda di kedai seberang stasiun Kalisat milik Frans Sandi, mereka sedang bercekcok dengan para pemuda dari desa lain, hingga terjadi kontak fisik. Oleh Frans Sandi, mereka dilarikan ke kontrakan kami. Barangkali pertimbangan Frans, karena kontrakan kami sunyi dan jauh dari keramaian.

Banyak orang datang di kontrakan, sebagian besar tidak saya kenal. Tujuan mereka tentu baik, hendak mencarikan jalan keluar terbijak, mengikuti tata aturan tak tertulis yang biasanya berlaku.

Saat itu Pak Aryo datang dengan mengendarai mobilnya. Ia parkir di depan rumah keluarga Supri, tetangga saya. Di saat tersebut, di depan rumah Mas Supri juga sedang berkumpul tuan rumah bersama Mas Pur, Pak Adi, dan entah siapa lagi --saya tidak tahu sebab lebih banyak di dalam rumah bersama teman-teman muda serta para tamu. Ketika Pak Aryo datang, menurut cerita dari Pak Adi, Mas Bajil segera beranjak pergi. Saya memang tidak melihatnya secara langsung. Namun ketika melihat sendiri kejadian di hari pertama Kedai Lecang, saya menjadi ngeh.

Saya terbilang dekat dengan Mas Bajil. Kami sering hunting bersama. Tentu saya bisa membaca gelagat ketidakharmonisan hubungan/komunikasi antara ia dan Pak Aryo.

Posisi Pak Aryo adalah sebagai pelanggan, dan tidak sedang melakukan kejahatan. Wajar jika teman-teman Kedai Lecang tetap melayani pesanannya dengan baik.

2. Minggu, 18 Oktober 2015. Saya dan Hana tidak nongkrong di sana, namun dapat kami lihat para pengunjung ramai sekali. Parkiran penuh. Di antara pengunjung, ada juga si Yuli, putri keluarga Untung yang juga turut nongkrong di sana. Jika tidak salah ingat, ia berada di kedai bersama Ibunya.

Melihat Kedai Lecang semarak di malam kedua, saya tentu turut merasa gembira.

3. Cerita menjadi berbeda ketika pada esok siangnya, Senin, 19 Oktober 2015, saya diajak ngobrol oleh Mas Bajil, manakala saya dan Hana singgah di rumahnya.

Ketika Mas Bajil Menyampaikan Kabar dari Pak Adi Wiyono

"Begini Masbro. Saya habis diajak ngobrol sama Pak Adi," ujar Mas Bajil saat memulai percakapan. Lalu dia bercerita tentang tanda-tanda keberatan seorang Pak Adi mengenai keberadaan Kedai Lecang. Waktu itu saya bertanya, "Lho kenapa Mas?" Mas Bajil tidak menerangkan secara rinci. Namun ada dua hal yang bisa saya tangkap dari hasil perbincangan itu. Pertama, masalah parkiran. Barangkali Pak Adi selaku ketua RT khawatir jika masalah parkiran belum ada izin dari si empunya tanah, sebab posisi pemilik ada di luar kota. Saat itu juga saya jelaskan apa yang saya ketahui --dari Fanggi, bahwa teman-teman sudah meminta izin, Verdy yang menyampaikan, dan telah diizinkan. Masalah kedua, mungkin saja Pak Adi khawatir tempat itu hanya dijadikan ruang cangkruk'an 'tidak jelas' oleh teman-teman muda.

"Saya tidak bisa menyampaikan masalah ini ke anak-anak, Masbro. Repot. Lak anak-anak tahunya saya tidak cocok dengan Pak Aryo. Takutnya nanti, saya menyampaikan omongan Pak Adi cuma dikira gara-gara itu. Mungkin Masbro bisa membantu saya untuk menyampaikan omongan Pak Adi."

Melihat posisi Pak Adi selaku ketua RT, saya kira wajar jika ia khawatir. Tapi tentu akan lebih baik semisal ia menyampaikan secara langsung uneg-uneg itu kepada Verdy, Fanggi, dan Febri. Saya bilang ke Mas Bajil, saya bisa membantu jika kami duduk bersama. Jadi, ada Pak Adi, Mas Bajil bila perlu, serta teman-teman Kedai Lecang. Menurut Mas Bajil, akan baik jika saya bicara berdua terlebih dahulu dengan Pak Adi. Lalu saya mengiyakan.

Kelak, saya dan Pak Adi tidak segera berjumpa. Saya sibuk menulis, Pak Adi sibuk urus tembakau. Kami memang sempat berjumpa. Saat itu Pak Adi sedang ada di ladangnya, sedangkan saya dan istri sedang akan pergi ke kota Jember. Pak Adi bilang, "Masbro, saya ada perlunya. Mau nitip tembakau di teras kontrakan." Saya juga membalasnya, "Saya juga ada perlunya Pak, masalah RT." Tapi perjumpaan kami terlambat, baru lima hari kemudian, saat membicarakan masalah Live Music.

*Sementara itu, di dunia maya lagi ramai kasus si Ida Tri Susanti yang makan daging kucing hutan.

4. Selasa, 20 Oktober 2015. Siang hari. Berbincang dengan Mas Krisna di rumah Mas Bajil.

5. Rabu, 21 Oktober 2015. Pak Adi kirim pesan di ponsel saya, "Maaf masbro aku besuk mau naruh tembakau yg kering di teras sampean."

6. Pada hari Kamis, 22 Oktober 2015. Siang hari. Saya diajak Mas Krisna dan Mas Roni untuk wawancara dengan Pak Darmo, perintis keberadaan GKJW Kalisat. Mas Bajil datang juga saat itu, tapi menyusul, ketika kami sudah hendak pulang. Dia menyusul sebab sebelumnya masih harus ke Sumberjambe.

Malam hari di Kedai Lecang.

Agil ulang tahun, dapat hadiah lilin dan lagu dari teman-temannya.

Usai acara tiup lilin, Pak Adi datang ke pelataran kedai. Ia tidak masuk ke dalam kedai, melainkan masih di tepi jalan, di atas Vario putih pelipit biru yang baru ia beli di akhir bulan Juni lalu. Pak Adi memanggil Agil. Mereka bercakap-cakap di tepi jalan. Melihat raut wajahnya, saya menebak jika saat itu Pak Adi sedang akan marah pada putra sulungnya.

Seusai bercakap-cakap, Pak Adi pulang, Agil kembali ke dalam kedai. Saya yang duduk satu meja dengan Mas Pur bertanya pada Agil, "Tidak ada apa-apa kan Gil?" Syukurlah, Agil bilang tidak ada apa-apa. Bapaknya hanya bertanya, sudah makan apa belum? Jika belum makan, Agil disarankan pulang sebab Ibunya telah menyiapkan sesuatu di meja makan. Barangkali orangtuanya ingin menghadiahi sesuatu di hari istimewa Agil.

Ohya, hampir lupa.

Sebelum Agil tiup lilin, Ibu Sulasmini turut nongkrong di Kedai Lecang, bersama cucu-cucunya. Sengaja saya dan istri menjemput Bojes dan dua kakak perempuannya (ketika itu di sana juga ada si kecil Amel), Bian, serta tentu saja Dila adiknya Febri. Meski malam Jumat, kedai jadi tampak semarak oleh kehadiran customer-customer kecil.

7. Jumat, 23 Oktober 2015. Merayakan satu minggu dibukanya kedai LECANG di Kalisat, saat itu saya --bersama Fanggi dan kawan2-- bernyanyi menghibur sedikit pengunjung. Ada sekitar empat atau lima lagu yang saya nyanyikan. Jika menengok rekaman, saya bernyanyi sejak pukul 21.28.

Ketika saya sedang bernyanyi, datang rombongan Mas Krisna Kurniawan beserta istri, juga Mas Imron Rosidi, serta Mas Asep dan Mas Roni. Selang lima menit kemudian, Mas Asep dan Mas Roni keluar lagi berboncengan naik motor. Ternyata mereka kembali dengan membawa sound mini, gitar, serta stand mic untuk tempat menaruh not-not lagu. Mereka turut bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu slow rock berbahasa Inggris era 1980 hingga 1990an. Nyaman sekali mereka menyanyikannya. Pada pukul 23.05, dengan berat hati saya bilang ke Mas Krisna, "Bagaimana jika off?" Lalu mereka menghentikan kegembiraannya.

Agil Menyampaikan Pesan Bapaknya

Jadi di pertengahan lagu yang dimainkan oleh Mas Asep dan kawan-kawan, tak lama kemudian Pak RT kasih teguran, yang disampaikan lewat Agil, putra sulungnya. Agil menyampaikannya tidak secara langsung melainkan masih melalui pesan BBM yang ia kirimkan kepada Mergeng. Isi pesan tersebut kurang lebihnya begini;

"Tolong bilang ke anak-anak kedai, Bapak marah soalnya acara musik berlangsung hingga malam. Bapak malu ke warga sebab Bapak seorang RT. Jika tidak mau berhenti, Bapak sendiri yang akan ke sana."

Mergeng yang kebingungan hendak berkata apa, memperlihatkan pesan tersebut kepada Mas Pur, lalu ditunjukkannya pula pesan itu kepada saya. Mas Pur dan saya memang duduk satu meja. Dengan inisiatifnya sendiri, Mergeng membalas pesan itu dengan kalimat yang kurang lebih seperti ini;

"Maaf Gil, aku tidak bisa membicarakan itu ke pemain musik sebab aku ini pelanggan, bukan pemilik kedai. Ya aku tahu posisi Bapakmu sulit. Tapi pesan Bapakmu sudah aku sampaikan ke anak-anak. Di sini juga ada Mas Pur dan Masbro."

*Jika butuh teks asli, masih tersimpan.

Saya bilang ke Mergeng, "Biar wes le, nanti kalau Pak Adi ke sini, kalau anak-anak takut, aku yang bantu ngomong, sekalian minta maaf."

Teman-teman kedai tentu tak berani menegur Mas Asep dan teman-temannya. Pertama, mereka tidak kenal. Yang kedua, para musisi ini terlalu senior bagi generasi kelahiran tahun 1990an. Dapat saya mengerti.

Lalu Bermusyawarah

Tak lama setelah turun, Mas Krisna, Mas Asep, dan lain-lain pamit undur diri. Syukurlah, mereka tak tahu jika ada teguran dari Pak RT yang disampaikan melalui anak sulungnya.

Ketika kedai telah tutup, saat teman-teman sudah selesai menghitung posisi keuangan di hari ketujuh itu, kami bicara di ruang tamu rumah keluarga Febri. Saya suka cara teman-teman dalam mencari solusi. Saya bilang ke mereka, semua masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi.

Lalu datang Agil, dia nongkrong di luar bersama teman-teman yang tak diikutkan ngobrol. Saya berinisiatif mengajaknya serta. Agil masuk. Dia terlihat kikuk. Wajar, Agil ada di posisi sulit. Menyampaikan kabar dari Bapaknya, ditujukan kepada para sahabatnya sendiri, bukankah itu sulit?

Dari Agil kami mengerti jika suara sound yang ditimbulkan oleh Kedai Lecang menyebabkan si kecil Ayik tidak bisa tidur. Ayahnya, seorang mantan ketua RT sebelum Pak Adi --Juhari-- melaporkan itu kepada Pak Adi.

*Esoknya, saat saya membicarakan ini dengan Pak Adi, ia sama sekali tak mau menyebutkan nama, siapa warga yang menjadi pelapor. Padahal saya butuh itu untuk minta maaf secara langsung. Face to face. Dan kelak --31 Oktober 2015, Pak Juhari bilang ke Febri jika ia tak sekalipun pernah bilang perihal keberatan itu kepada Pak Adi. Febri menyampaikan pertemuannya dengan Pak Juhari --kepada saya dan istri-- ketika kami hendak mengantarkan beras (amanah dari keluarga Sroedji) ke beberapa keluarga pejuang, sore hari.

Hasil perbincangan malam itu ada tiga. Pertama, saya akan mewakili teman-teman untuk bicara dengan Pak Adi Wiyono selaku ketua RT. Kedua, teman-teman tetap melanjutkan nazar untuk bagi-bagi takjil (kemudian diganti bungkusan nasi) kepada warga di sekitaran Kedai Lecang, untuk memperingati tahun baru Islam. Ketiga, teman-teman akan meminta saran (serta sambung doa) kepada Ibu Sulasmini/Ibu Usman selaku sesepuh yang rumahnya paling dekat dengan kedai.

8. Pada esok harinya, Sabtu, 24 Oktober 2015, semua kesepakatan itu berjalan dengan baik. Saat mereka ada di kediaman Ibu Sulasmini, saya juga ada di sana. Teman-teman kedai bahkan juga mengajak bicara Mas Bajil, putra bungsu Ibu Sulasmini. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan sebab mereka bicara di dalam kamar. Namun dapat saya ambil kesimpulan, semua baik-baik saja. Kedai Lecang lanjut berproses.

Sore hari, saya dan Hana menuju ke rumah Pak Adi Wiyono, untuk bicara mengenai masalah live music semalam.

Kata Pak Adi, "Saya Tidak Ada Masalah Dengan Pak Aryo."

Ketika saya --bersama istri-- datang ke rumah Pak Adi, ia masih keluar untuk urusan pakan ternak ayam potong. Di rumah ada istrinya, menemani si bungsu merangkai origami. Untuk tugas sekolah, kata si bungsu. Tak lama kemudian, datanglah Pak Adi. Rupanya Rizal Abud sedang ada di dalam rumah Pak Adi. Ia keluar untuk membantu Pak Adi angkat pakan.

Lalu kami duduk bersama. Bu Adi masuk ke dalam rumah, membuatkan kami wedang kopi. Rizal Abud tidak ikut nimbrung. Jadi hanya ada saya, Pak Adi, Hana, serta Dila yang membantu Zidath membuat origami.

"Gimana-gimana, Masbro. Sakjane saya ini sudah lama menunggu waktu yang pas untuk bicara sama sampeyan," kata Pak Adi. Pembicaraan kami mengalir alami. Iya benar sekali, Pak Adi menyesalkan perihal 'musik-musikan' di Kedai Lecang. Ia bilang, suaranya terlalu kencang. Sedangkan dirinya adalah seorang ketua RT. Tidak nyaman rasanya ketika ada tetangga yang komplain.

"Tentu saya mendukung ide dibukanya Kedai Lecang. Lha wong itu positif. Dalam artian, anak-anak kan belajar mencari penghasilan. Tapi ya itu tadi Masbro, bagaimana jika tanpa musik?" Saya bilang ke Pak Adi. "Bagaimana kalau begini Pak Adi, musik dibatasi sampai jam sembilan malam, misalnya. Volume dikurangi. Saya kira, jika sebuah kedai yang dikelola anak muda tak ada musiknya, sepertinya garing."

Pak Adi membalas ucapan saya dengan nada yang cukup tinggi. Ia bilang, "Lho, kalau memang ingin bermain musik, kenapa tidak di dalam studio musik saja?"

Saya kemudian diam. Tidak nyaman membicarakan itu. Lagipula, saat itu telah ada Mas Pur di antara kami. Dia habis mengantarkan dua ekor ayam potong ke keluarga Bu Mina, kakak ipar Pak Adi. Pertimbangan lain lagi yang agak subyektif, selama ini saya dekat dengan Pak Adi. Ia orang yang riang, suka bercanda, dan senang mengajak saya jagongan.

Singkat cerita, Pak Adi meminta bantuan saya untuk menyampaikan pesan tersebut kepada anak-anak Kedai Lecang. "Jadi Masbro, saya sangat meminta bantuan sampeyan untuk menyampaikan itu --perihal 'bagaimana jika tanpa musik', tapi dengan satu syarat. Tolong jangan sebutkan jika itu dari saya, sebab saya tidak enak, takut dibenci sama anak-anak." Saya mengiyakan permintaan Pak Adi.

"Baik Pak, dengan senang hati. Akan saya sampaikan masalah 'tanpa musik' ini kepada teman-teman, semampu yang saya bisa. Dan tidak saya sebutkan darimana datangnya."

Kini, saya tuliskan semua itu di blog ini --sebagai arsip-- semata-mata karena teman-teman sudah tahu. Ini menjadi semacam rahasia umum, jika Pak Adi tidak setuju perihal 'musik-musikan' itu, entah siapa yang memulai bercerita. Alasan yang dikemukakan Pak Adi juga masuk di akal, ia hanya penyambung lidah warga yang komplain, meski ketika saya desak dengan halus, Pak Adi tak mau terbuka tentang siapa yang komplain. Misalnya Pak Adi bilang, saya tentu tidak keberatan mewakili teman-teman kedai untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung. Yang ada di pikiran saya, mungkinkah si pelapor benar-benar Mas Juhari, seperti yang disampaikan Agil semalam? Sulit untuk mempercayainya. Semalam, Agil ada di posisi yang rumit, antara ingin membantu sahabat-sahabatnya, serta menjaga nama baik Bapaknya.

Sudah saya sampaikan kepada Pak Adi, mengapa tidak menggunakan cara secara ketua RT saja? Misalkan, memanggil anak-anak lalu duduk bersama dan saling bicara. Bila perlu, melayangkan surat sederhana berstempel RT, sebagai teguran halus kepada teman-teman. Kata Pak Adi, "Biar begini sajalah, Masbro. Saya ini orangnya santai, tidak suka pakai cara-cara yang kaku."

Dalam perbincangan itu, sempat disinggung pula masalah parkiran, seperti yang pernah disampaikan oleh Mas Bajil (ia menyampaikan keluhan Pak Adi) pada 19 Oktober, ketika teman-teman kedai baru dua malam membuka usahanya. Saya jelaskan pada Pak Adi, perihal parkiran sudah ada izin dari si empunya tanah. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya.

"Bagaimana dengan Pak Aryo? Apakah Pak Adi punya masalah dengan Pak Aryo selaku pelanggan Kedai Lecang sejak hari pertama?"

Pak Adi terkekeh mendengar pertanyaan saya. Lalu Pak Adi menjelaskan jika ia sama sekali tak ada masalah dengan customer yang saya sebut namanya itu. "Saya itu dengan Pak Aryo begini," Pak Adi mengatakan itu sambil kedua jari telunjuknya saling dikaitkan, pertanda antara Pak Adi dengan Pak Aryo punya hubungan yang baik.

Tentu saya heran dengan jawaban tersebut, sekaligus lega. Tapi mengapa pada waktu itu --19 Oktober-- Mas Bajil menyampaikan uneg-uneg Pak Adi kepada saya? Sedangkan Mas Bajil tidak nyaman untuk menyampaikan secara langsung kepada anak-anak kedai, sebab ditakutkan jika ia yang menyampaikan, anak-anak akan berpikir berbeda. Jika Mas bajil yang menyampaikan, ditakutkan teman-teman akan menyambungkannya dengan hubungan Mas Bajil-Pak Aryo, yang menurut Mas Bajil mereka sedang tidak baik-baik saja. Mulanya saya menebak, Pak Adi menyampaikan uneg-uneg itu (perihal parkiran dan kekhawatiran tentang keberadaan kedai) lewat Mas Bajil sebab Pak Adi tahu jika hubungan Mas Bajil dengan Pak Aryo tak lagi dekat seperti dulu. Barangkali saya yang salah, terlalu mudah menebak-nebak, meski itu hanya untuk konsumsi saya sendiri --kini telah menjadi milik umum sebab telah saya arsipkan di sini.

Tak menunggu waktu lama, sore harinya, amanah dari Pak Adi segera saya sampaikan kepada Verdy, Fanggi, dan Febri. Ketika itu mereka baru saja selesai bagi-bagi rezeki untuk memperingati satu Muharam. Bertempat di kediaman Ibu Sulasmini/Mas Bajil. Dengan memilih kata-kata terbaik yang saya mampu, amanah Pak Adi saya sampaikan (perihal 'bagaimana jika kedai tanpa musik?') tanpa saya sebut nama Pak Adi. Sesuai janji saya. Meski berat, teman-teman menyanggupi. Lega sekali rasanya, saya telah bisa menyampaikan amanah yang sederhana namun sulit diutarakan.

Lalu Kami ke Surabaya

Saya kira, sudah tak ada lagi masalah mengenai Kedai Lecang. Saya dan istri kemudian pesan karcis kereta api Mutiara Timur jurusan Surabaya, untuk kemudian packing. Esoknya kami berangkat ke Surabaya untuk mengikuti acara Blogger Camp. Kami baru pulang kembali ke Kalisat pada Rabu dini hari, 28 Oktober 2015.

Ketika Kami Tiba di Kalisat

Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari lewat beberapa menit, ketika kami tiba di stasiun Kalisat. Kalender telah menunjukkan bahwa saat itu sudah masuk hari Rabu, 28 Oktober 2015. Dini hari itu juga, saya dan Hana singgah di Kedai Lecang. Dari stasiun menuju kedai, kami memilih untuk berjalan kaki saja. sesekali kami bercanda, saling dorong, seperti anak kecil.

Pukul 02.30 masih ada Verdy, Fanggi, dan Febri. Namun Verdy sudah bersiap-siap hendak pulang. Dari mereka saya mendapat kabar jika Pak RT semalam habis mendatangi kedai, berkata dengan nada tinggi perihal Pak Aryo.

Jadi waktu Pak Adi sedang nongkrong di sekitaran kedai --saya tidak tahu lokasi pastinya. Pak Aryo keluar dari kedai dan segera mengendarai mobilnya. Ia buru-buru tancap gas, tanpa menoleh sedikit pun kepada Pak Adi. Mungkin Pak Aryo tidak tahu, dan mungkin Pak Adi tersinggung dengan kejadian itu. Saya tentu tidak tahu sebab tak melihatnya secara langsung, tak ada di tempat.

"Iyo le, aku iki karo Aryo musuhan tah? Kok nyetir mobil kari koyok ngono." Kira-kira seperti itu kurang lebihnya kata-kata Pak Adi kepada anak-anak kedai. Saya mendengarnya dari Fanggi dan Febri. Mereka berkesimpulan, Pak Adi marah. Saya maklum. Seringkali Pak Adi senang menggunakan nada tinggi ketika sedang bicara, apalagi ketika bicara di sebuah forum.

"Apa kami pindah tempat saja ya Masbro? Saya merasa tidak nyaman di sini."

Kata-kata Fanggi sukses membuat saya iba. Kasihan, mereka hanya sedang ingin berkegiatan positif. Mereka pun masih sangat muda. Dengan diselingi canda, dini hari itu juga saya mencoba memberi pengertian kepada Fanggi, juga Febri, tentang dasar-dasar berkehidupan. "Masalah selalu ada dimanapun kamu berada. Ini hanyalah fase yang harus kalian lewati untuk menuju tingkat kedewasaan berikutnya." Itu kira-kira garis besar yang saya sampaikan kepada mereka berdua. Saya hanya berharap, semoga itu tidak terkesan menggurui.

Kemudian kami pulang ke rumah kontrakan dengan masih terbayangi wajah-wajah sahabat muda. Adzan subuh berkumandang. Mulanya kami mengira, masalah itu sudah selesai.

9. Pada hari Kamis, 29 Oktober 2015, seusai adzan Isya, saya dan istri menuju ke rumah Mas Krisna. Ibunya --Ibu Madiroso-- meninggal dunia pada 25 Oktober 2015. Ketika mendengar kabar itu, posisi saya dan istri sedang berada di Gresik. Niatan kami hanya sebentar saja di sana. Tapi saat itu saudara-saudara Mas Krisna sedang berkumpul, kami berbincang seolah-olah telah lama kenal. Senang sekali.

Pukul 19.50, Mas Bajil kirim pesan pendek, isinya, "Ditunggu Yoyon dan Dwi, di rumah." Saya tidak ada pulsa untuk membalas. Esok harinya kami mendengar kabar jika semalam Mas Bajil bilang, "Omongno yo, ngono nek wes nduwe konco anyar." Saya tersenyum mendengarnya. Tentu tidak marah, sebab itu sudah khas Mas Bajil.

Diajak Bicara Oleh Pak Aryo

Pukul 20.06, ada sms dari Pak Aryo di nomer istri (Hana), isinya, "Sy p.aryo sdh ada di rmh mas yon"

Saya lupa, ada janji dengan Pak Aryo. Ia ingin sekali bicara dengan saya perihal kehadirannya di Kedai Lecang yang konon menjadi akar masalah. Tempatnya tidak di Lecang, tidak di kontrakan, tidak pula di rumah Pak Aryo. Lalu disepakati jika kami akan berbincang di rumah orangtua Mas Yon, dekat PTP Sukokerto-Ajung.

Setengah jam kemudian --dari kediaman Mas Krisna--, saya segera meluncur ke rumah orangtua Mas Yon. Pak Aryo mengajak saya bicara. Intinya, ia merasa tersinggung. Sedari kalimat pertama hingga akhir, Pak Aryo seperti sedang meledak. Nyata sekali terdengar jika ia sedang di posisi tersinggung. Saya mendengarnya, tak sekalipun memotong kata-katanya. Baru kemudian saat jeda, gantian saya yang bicara. Saya hanya bercerita sebatas yang saya tahu.

"Tadi pagi saya sudah ada di tempat Masbro. Sekitar jam delapan pagi. Saya di sana hingga kira-kira pukul setengah sebelas, duduk-duduk bersama Margono, tetangga Masbro." Rupanya Pak Aryo datang ke kontrakan saat kami masih tidur. Malam harinya saya habiskan untuk menulis.

Panjang sekali yang diutarakan Pak Aryo malam itu. Jika dirasa perlu, akan saya tuliskan garis besarnya di kesempatan lain, sesuai dengan kapasitas daya ingat saya yang terbatas.

Pak Aryo mengajak saya ngobrol dalam konteks, karena menurutnya saya dianggap bisa menjadi mediator dalam masalah ini. Pertimbangan yang lain, karena saya dekat dengan Mas Bajil. Baginya, masalah ini bukan hanya tentang Live Music dan parkir, namun lebih penting lagi, tentang pencemaran nama baik.

Jadi begini. Bagi Pak Aryo, masalah ini menjadi besar karena berhubungan dengan keputusannya untuk mengasuh seorang anak angkat bernama Diana, lalu mereka datang bersama di Kedai Lecang dan itu menjadi sebuah masalah. Barangkali saja saya bisa menjadi mediator. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari keinginan Pak Aryo. Dia siap dipertemukan kapan saja dengan Mas Bajil --serta orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadirannya di kedai-- dan menjelaskan tentang apapun yang dirasa butuh untuk dijelaskan.

"Tapi apakah Masbro bisa mempertemukan kami? Sedangkan Bajil jika bertemu saya, dia selalu lekas menghindar."

Saya tersenyum mendengar kata-kata Pak Aryo. Tentu itu sulit. Dulu saya pernah hampir mencobanya, hanya agar ingin semua masalah menjadi jelas. Namun sepertinya Mas Bajil memang lebih memilih untuk diam dan atau menghindar. Lalu saya mengabaikan keinginan itu, dan tetap berteman baik dengannya. Karena tak ada masalah apapun dengan Pak Aryo, saya pun bersikap wajar ketika kami berjumpa. Saya kira, masalah mereka dimulai di Sispala EXPA, bukan karena Pak Aryo punya anak asuh bernama Diana.

Sejujurnya, saya sendiri bingung dengan posisi saya. Jika masalah ini berkaitan dengan Diana anak asuh Pak Aryo, mengapa ia merasa butuh bicara dengan saya? Apalah saya ini, hanya seorang penyampai pesan. Namun kelak, 2 November 2015, amanah itu saya sampaikan dalam bahasa yang sederhana kepada Mas Bajil, ketika kami di rumahnya --seusai menjenguk Agil di rumah sakit, lalu singgah di rumah Mas Opik. Saya kira, saya tidak bisa menjadi mediator yang baik.

Ada satu pesan yang Pak Aryo ingin agar saya menyampaikannya kepada teman-teman kedai. "Tolong sampaikan pada anak-anak, jangan diulangi lagi untuk menyerang saya lewat anak asuh saya. Jangan campur-adukkan masalah pribadi antara saya dan Bajil --meskipun saya sendiri merasa tidak punya masalah dengan Bajil-- dengan kehadiran saya di Kedai Lecang."

Kira-kira begitu yang Pak Aryo ucapkan. Saya lupa bagaimana tepatnya ia mengatakan, sebab tidak mencatatnya.

"Pokoknya ojok diulangi maneh, sebelum saya merangkak ke ranah hukum." ujarnya.

Saya kira, Pak Aryo ingin saya menyampaikan itu kepada masyarakat Kedai Lecang. Jika memungkinkan (saya sanggup), ia juga ingin dipertemukan dengan Mas Bajil untuk saling bicara dengan akal sehat. Jika berjumpa dengan Mas Bajil, ia ingin fokus bertanya tentang akar masalah di Kedai Lecang. Kalau pun ingin membicarakan masa lalu, Pak Aryo oke-oke saja. Jika tidak pun tidak apa-apa.

Di agama saya, jika ada orang yang meminta bantuan kita, sementara kita cukup memiliki energi untuk membantunya, maka kita harus membantunya.

Di kesempatan itu, Pak Aryo juga sempat berkata jika ia --dan Mas Yon-- akan mengalah demi Kedai Lecang. Dia bilang, tidak akan nongkrong di sana lagi agar teman-teman tak lagi punya masalah. "Nantilah, kalau semua sudah membaik, saya mungkin akan ke sana lagi."

Untuk masalah Live Music, Pak Aryo juga berkomentar. "Sebenarnya saya sendiri juga tidak setuju dengan adanya itu. Bukan apa-apa, teman-teman kan bikin kedai di sana, rumahnya berhimpitan." Namun baginya, yang sebenarnya menjadi trending topic di sana bukanlah mengenai live music maupun tentang parkiran, tapi mengenai kehadirannya.

Perihal kehadirannya --yang disangkutpautkan dengan anak asuhnya-- yang dirasa membuat pihak lain tidak suka, telah didengar oleh Pak Aryo. Itulah sebabnya ia memilih mengalah, tidak lagi datang ke kedai. Jadi belum/tidak ada yang mengusir Pak Aryo. Adapun darimana sumber datangnya ketidaksukaan itu, saya mengira jika Pak Aryo merasa ini ada hubungannya dengan Mas Bajil.

"Tenang saja, saya ada saksi dengar," ujarnya.

"Tolong sampaikan ke orangnya Mas, jangan diulangi lagi. Kalau tidak, terpaksa saya bikin laporan. Ini kan mencemarkan nama baik namanya."

"Orang itu siapa Pak?" tanya saya. Pak Aryo menjawab, "Tanyakan saja pada 'anak ini' dan 'anak ini'." Dia menyebut nama dua anak yang dianggapnya mengerti siapa yang harus saya jumpai.

Lalu saya dan istri pamit undur diri, bergeser ke Kedai Lecang.

Tak menunggu waktu lama, amanah itu saya sampaikan kepada teman-teman. Saya bilang juga ke mereka, untuk urusan Pak Adi (yang tidak terima saat Pak Aryo tidak menyapanya) itu akan menjadi urusan Pak Aryo. Dalam waktu dekat ia akan menghubungi Pak Adi, mereka akan saling bicara. Sedangkan Kedai Lecang, bisa melanjutkan prosesnya untuk berniaga.

Malam itu, saya dibuatkan jus kersen oleh Fanggi, rasanya lumayan. Ada Anif di Kedai Lecang. Sudah lama sekali kami tak jumpa dengan Anif.

Esok malamnya, saya dan istri kembali ngopi di Kedai Lecang, bersama Mas Pur, Mbak Yati, Mas Tapa, serta Mbak Iin. Sebelumnya, kami bercanda dengan Apek, Tejo, Putra, Hazbi, dan beberapa lagi saya lupa namanya.

10. Sabtu, 31 Oktober 2015. Pada dini hari pukul setengah satu, teman-teman Kedai Lecang memasang tenda warna orange. Pada sore harinya, saya menuju rumah Ibu Sulasmini untuk mengambil dua kantong beras. Itu amanah dari keluarga Sroedji yang belum saya sampaikan pada beberapa pejuang kemerdekaan. Ketika itu, Febri mendekati saya. Ia bilang jika pagi harinya diajak bicara oleh Pak Juhari, tetangga belakang rumah. Kata Febri, Pak Juhari bilang jika ia tak sekalipun pernah bilang keberatan perihal suara sound musik kedai kepada Pak Adi. Saya bilang ke Febri, "Ya sudah tidak apa-apa. Tak perlu diperpanjang. Yang penting kalian tetap membuka kedai."

Di Penghujung Bulan Oktober

Kami menyempatkan diri untuk menikmati malam di Kedai Lecang. Pengunjung sepi, teman-teman nampak berseri-seri menyambut kami. Tak lama kemudian datang Mas Roni dan Mas Asep. Kami tidak janjian, hanya sebuah kebetulan yang menyenangkan saja. Febri dan Verdy agak kikuk saat melihat salah satu dari mereka datang membawa gitar. Mungkin mereka masih mengingat dampak dari Live Music pada 23 Oktober lalu. Lucu juga melihat cara Febri dan Verdy saat menghadapi masalah-masalah kecil seperti itu. Kiranya mereka masih butuh banyak-banyak belajar.

*Malam itu tidak ada Fanggi. Ia sedang bernyanyi di Cafe Kolong.

Kedatangan Mas Roni dan Mas Asep rupanya murni hanya hendak memesan kopi, bukan untuk bernyanyi. Kami bercakap-cakap mengenai banyak hal, terutama tentang suasana Kalisat di era 1980an, saat mereka masih belajar nakal.

Ketika sedang asyik bercakap-cakap, ada Pak Aryo datang berdua dengan Mas Yon/Oldies. Otak saya segera mengingat perkataan Pak Aryo dua hari sebelumnya, saat kami berbincang di kediaman Mas Yon. Waktu itu dia bilang akan mengalah demi kebaikan anak-anak pengelola kedai, dan tidak akan ke kedai dalam waktu yang mungkin lama. Lalu saya menyimpulkan sendiri, barangkali antara Pak Aryo dan Pak Adi telah saling bicara, dan semua baik-baik saja.

Saya dan Hana, serta Mas Roni dan Mas Asep, kami keluar dari kedai bersamaan. Kami hendak ke Base Camp Badut yang sedang mempersiapkan acara malam santunan untuk esok harinya, sedangkan Mas Asep dan Mas Roni hendak menuju pos di depan rumah Mas Krisna. Kepada Pak Aryo dan Mas Yon, saya berpamitan.

Saat baru melangkah keluar, Pak Adi datang mengendarai motor, berboncengan dengan Mas Bajil. Kiranya mereka habis dari Base Camp Badut. Mas Bajil langsung masuk rumah. Katanya hendak segera beristirahat, esok pagi-pagi sekali ia akan ke Ijen dalam rangka acara pemotretan. Saya masih bercakap-cakap sebentar dengan Pak Adi. Malam itu Pak Adi terlihat gembira, dan bersikap biasa saja. Meski tak ada perbincangan antara Pak Adi dengan Pak Aryo --karena mungkin jaraknya jauh-- namun saya menebak jika urusan mereka (untuk saling berbincang) telah selesai.
Sudut Kalisat © 2014