Senin, 28 September 2015

Aku Tersesat di Sebuah Negeri yang Bermusuhan dengan Tanah Tumpah Darahku

Senin, 28 September 2015
Oleh RZ Hakim


Saat Aku Tersesat di Negeri Orang

Ibuku penggemar Shahid Afridi, seorang pemain cricket kelahiran 1 Maret 1980. Ia adalah kebanggaan kami orang-orang Pakistan. Itulah mengapa Ibu memberiku nama Shahida, terinspirasi oleh Sahibzada Mohammad Shahid Khan Afridi, atau lebih dikenal dengan Shahid Afridi saja.

Aku lahir di desa Sultanpur Pathanan, di wilayah Azad Kashmir. Itu adalah sebuah desa berbukit-bukit yang menjadi bagian dari negara Pakistan. Meski aku masih berusia enam tahun, namun aku mengerti, aku mencintai Sultanpur.

Suatu hari aku terjatuh ke sebuah jurang, bergulung-gulung, namun masih bisa terselamatkan. Sejak saat itu, aku tak lagi bisa bicara. Aku sangat ingin bersuara, tapi sayangnya aku tak bisa. Kenyataan ini membuat orang tuaku sedih. Ya aku tahu. Kadang, saat Ibuku baru saja salat dan masih mengenakan mukena, saat mata kami bertatapan, ia memandangku begitu dalam. Aku tahu, ada kesedihan yang besar di mata Ibu.

Di hari yang lain, salah seorang sesepuh di desa kami menyarankan pada Ayah dan Ibuku, agar aku dibawa saja ke Delhi. Dia bilang, Delhi adalah tempat dimana doa-doa bertaburan. Jelas sekali jika saran itu berdampak kepada Ibuku, seorang perempuan desa yang berhijab. Ia berunding dengan Ayah. Mulanya tentu saja Ayah keberatan. Bagi orang Pakistan, lebih mudah bepergian ke Amerika atau kemana pun, asal jangan ke India.

Secara letak, negeri kami bergandengan, namun tidak dengan orang-orangnya. Jika di negerimu, ibaratnya seperti teritorial Indonesia dengan Malaysia. Negara tetangga.

Kata Ayah, sejak pemisahan India pada Agustus 1947, sejak saat itulah kami sering bertikai. Orang bilang, pemecahan India setelah Perang Dunia II itu disebabkan karena Britania Raya dan Kemaharajaan Britania berhadapan dengan tekanan ekonomi akibat perang dan demobilisasinya. Namun yang tampak di mata bocah kecil seperti aku adalah tentang Agama, pertikaian antara Islam dan Hindu. Mengapa mereka bertikai? Bukankah mereka telah dewasa? Apakah di dunia ini, Tuhan menjadi begitu banyak? Kata Ayah, Tuhan hanya ada satu, namun kita menyebutnya dengan berbagai nama, dan mendekatinya dengan berbagai cara.

India dan orang-orang dewasa yang menjadi penyelenggara di negeriku, mereka sama-sama menaruh klaim atas Kashmir. Ini membuatku sedih, sebab aku dilahirkan di desa Sultanpur Pathanan, di wilayah Azad Kashmir, Pakistan. Semisal di dunia ini tidak ada negara, bisa jadi ceritanya akan berbeda. Entahlah, aku hanya seorang gadis belia.


AYAH seorang muslim yang baik, sekaligus seorang peternak kambing yang ulet. Akhirnya dia mengizinkan Ibu untuk membawaku ke Delhi. Dijualnya kambing-kambing yang banyak itu, kecuali satu. Cara Ayah menunjukkan cintanya padaku adalah dengan tidak menjual seekor kambing yang aku sayangi. Terima kasih Ayah.

Lalu perjalanan itu pun dimulai. Aku dan Ibu di atas kereta api, bersama para penumpang yang lain. Kami bergerak menuju Delhi di negeri India, tempat dimana doa-doa dipersembahkan.

Jika kau naik kereta api dari Pakistan menuju India, sesampainya di perbatasan, akan kau jumpai gerbang dari besi dan kawat berduri yang dijaga ketat oleh tentara dari kedua belah pihak. Gerbang itu hanya akan dibuka bila kereta api lewat, menghubungkan tanah Khokrapar di Provinsi Sindh, Pakistan, dengan Munabao di Negara Bagian Rajashtan, India. Misalnya engkau tak mampu menunjukkan surat-surat resmi --karcis misalnya-- ketika kereta api melintasi perbatasan itu, maka nasib sial akan segera menjumpaimu. Sangat sial!

Aku dan Ibu, beserta para penumpang yang lain, kami akhirnya merasa lega sebab kereta api telah melintasi gerbang perbatasan. Seperti dalam mimpi saja. Kata Ibu, jalur kereta api dari negeriku menuju India, ia baru saja dibuka kembali. Jalur ini pernah mengalami rusak berat sejak tahun 1965, ketika Pakistan-India ribut mempersoalkan wilayah Kashmir. Adalah Shaukat Aziz, seorang Perdana Menteri di negeriku yang memiliki gagasan untuk berdamai dengan India, ketika Perdana Menteri India telah dipimpin oleh Manmohan Singh. Teman, itu adalah gagasan yang baru, tercetus pada akhir tahun 2014 lalu. Kemudian gagasan ini mengalami kemajuan yang terus menerus, hingga kini aku bisa naik kereta api dari Pakistan menuju India. Indah sekali.

Kami baru saja memasuki wilayah India ketika kereta api yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Jaraknya dari gerbang perbatasan hanya lima menit naik kereta api. Kata salah satu petugas berkuda, sedang ada perbaikan 'mendadak' pada mesin kereta.

Manakala kereta api berhenti, langit telah begitu gelap. Orang-orang dewasa memilih untuk menunggu perbaikan itu dengan cara tidur. Ibuku, ia juga tertidur lelap. Di saat yang sunyi itu, aku dengar suara anak kambing. Ia membuatku merindukan kambing yang aku tinggalkan di Sultanpur. Dapat aku lihat dari jendela kereta, ada seekor anak kambing yang terjebak dalam kubangan dan terpisah dari induknya. Kereta masih berhenti, masih ada waktu untuk menolongnya, pikirku.

Kau mungkin telah bisa menebaknya. Iya benar, aku turun dari kereta, membantu anak kambing itu lepas merdeka dari kubangan hingga bisa menjumpai induknya. Dan kau tahu? Di saat itulah tiba-tiba terdengar mesin kereta api dihidupkan. Ia segera menderap maju, tak peduli dengan aku yang berlari tersaruk-saruk mengejarnya. Aku masih kecil, langkah-langkah kakiku pun terbatas. Terlebih, aku tidak bisa berteriak memanggil Ibuku.

Teman, aku tersesat di negeri orang. Tanpa paspor, tanpa visa, tanpa perlindungan, tana bekal, tanpa uang, tanpa ada satu saja orang yang aku kenal, tanpa apa-apa. Sedangkan orang India belum semuanya simpati kepada orang-orang dari negeriku.

Tiba-tiba aku merindukan Ibu, lalu menangis.

Kau sungguh ingin tahu bagaimana kisahku selanjutnya di negeri orang? Cobalah untuk menonton film berjudul Bajrangi Bhaijaan. Ia disutradarai oleh Kabir Khan, dan telah dirilis di seluruh dunia pada 17 Juli 2015 lalu.

Percayalah, itu adalah film yang sederhana saja. Bukan film yang kaku, ada populer-populernya juga. Sepanjang film itu, aku hanya harus menghafalkan skenario pendek sekali, "Ma..maaan.. Jai Sri Ram!" Namun aku mengajakmu merenungkan kembali apa itu berkehidupan.

Tentu aku tak bisa menolak gagasan yang telah mapan; nasionalisme. Kau bisa melihat bagaimana ekspresiku ketika tim cricket Pakistan berhasil mengalahkan tim dari India. Lihat, aku bersorak tanpa suara, tepat di tengah-tengah warga India. Mungkinkah itu nasionalisme? Atau hanya keriangan perempuan kecil saja? Teman, nasionalisme adalah adalah sebuah ideologi modern. Sedangkan berkehidupan, ia ada sejak permulaan keberadaan kehidupan itu sendiri.

Agama kami mengajarkan bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Aku kira, seorang penganut agama Hindu yang taat seperti Bajrangi Bhaijaan pun, ia akan mengamininya.

Di sanalah aku akhirnya, berdiri di atas tanah Delhi, tempat dimana doa-doa bertaburan. Kata orang Hindu, niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, tak peduli seperti apa sulitnya rintangan yang harus kau hadapi. Jika menurut Islam, ini namanya Nawaitu Lillahi Ta'ala.

Hindustan, Pakistan, aku mencintai kalian sebab aku warga dunia.


Salam dari aku, Shahida, atau Munni, atau kau bisa memanggil namaku yang sebenarnya, Harshaali Malhotra.

Jai Sri Ram!

Selasa, 22 September 2015

Gelombang Pasang Breakdance

Selasa, 22 September 2015

Oleh RZ Hakim

GELOMBANG PASANG DANCE sedang melanda desa-desa di Jember, tak terkecuali di Kalisat. Salah satu atlet dance Kalisat yang saya kenal adalah Ibra Febian El Haq, lelaki muda kelahiran 14 Maret 2002. Ia biasa dipanggil Bian. Meski telah banyak lomba dance di Jember yang diikuti, namun Bian tetap melakukan latihan secara sembunyi-sembunyi. Ini tentu tak semata urusan malu, melainkan lebih kepada bagaimana cara pandang orang-orang dewasa di sekitar Bian.

Kesukaan Bian segera diikuti oleh saudara sepupunya, dua tahun lebih muda dari Bian, yaitu Darvesy Azhar Billah atau lebih akrab dipanggil Bojes.

Bian dan Bojes segenerasi, mereka terbilang beruntung sebab dilahirkan dari generasi yang masa remajanya pernah melewati demam breakdance di era 1980an.


Bian membaca puisi di Pentas Seni Kampong Lima, 12 September 2015

Saat gelombang pasang dance menerpa negeri ini di tahun 1985, seorang Kokok Supriyadi masih berusia 13 tahun. Dia tentu mengerti jika di kalender sebelumnya, di Jakarta sana sedang booming breakdance, sebuah gerakan rancak perpaduan antara tari disko, gerak bela diri, akrobat dan pantomim, dengan musik hip-hop sebagai latar belakangnya. Lalu terdengar kabar jika breakdance --dengan segala cemoohan yang dilontarkan orang-orang dewasa-- telah naik festival. Setelah Jakarta, di Bandung digelar Festival Breakdance pada 22 Desember 1984, lalu disusul Jogjakarta pada 5 Januari 1985. Tak menunggu waktu lama, demam Breakdance segera menjangkiti kota-kota lain, tak terkecuali Jember.

Kokok Supriyadi tentu mengerti itu. Maka di kemudian hari, saat gelombang itu datang lagi dan menerpa putranya --Ibra Febian El Haq-- ia mengerti harus bagaimana menghadapinya.

Demam breakdance di era 1980an bernasib buruk. Sebelum sukses diangkat dalam festival, pada 30 September 1984 Semarang gagal mewujudkan rencana pentas breakdance sebab dilarang oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu, Ismail. Menurut Ismail, rencana pentas tersebut bertepatan dengan malam tirakatan memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Bulan berikutnya, Oktober 1984, Surabaya berhasil menggelar festival breakdance, namun tak lama setelah itu segera ada surat edaran Muspida --diketahui oleh Walikota-- bahwa kegiatan breakdance dilarang.

Selain ketakutan tingkat tinggi sebab breakdance berasal dari budaya luar negeri, alasan yang paling sering diungkapkan adalah tentang para breaker --pelaku breakdance-- yang seringkali bermain di pinggir jalan raya hingga menyebabkan kemacetan. Mereka membawa compo --tape recorder dengan suara stereo, atau memutar musik melalui tape mobil bagi anak berpunya, menggelar alas di tepi jalan raya, kemudian meliuk-liuk meluapkan ekspresinya. Sepatu yang paling disukai oleh para breaker adalah sepatu kets merk NIKE. Mereka memakai kaos ala rocker, berikat kepala, kadang juga mengenakan sarung tangan dan pengaman lutut.

Ketika ketakutan akan breakdance sedang melanda generasi tua --Menurut catatan Bondan Winarno di Tempo No. 45, mereka adalah generasi yang mencuri lagu Beatles dari Radio Malaysia yang ketika itu diharamkan untuk didengar-- di luar sana pemerintah kota-kota besar belum selesai dengan masalah klasik yaitu penertiban BECAK. Rasionalnya pun mungkin sama, jalan raya adalah DBB, daerah bebas becak sekaligus bebas breakdance. Antara becak dan breakdance, keduanya hanya bisa ditertibkan, sebab dua-duanya sulit dipunahkan.


BREAKDANCE adalah hal baru. Bukan hanya Jakarta, masyarakat Jember juga ingin melihatnya. Namun apa daya, ketika itu teknologi informasi tak semudah hari ini. Dulu hanya ada radio, TVRI, film bioskop, sewa kaset video bagi yang punya alat pemutarnya, dan mengandalkan media macam Tempo atau majalah perempuan. Tak ada jejaring sosial, televisi tak sesemarak sekarang, tak ada ponsel, alat komunikasi macam pager pun belum nongol.

Bagaimana Breakdance bermula?

Di masa yang lalu, demam breakdance dimulai ketika TVRI --Dunia Dalam Berita-- menyiarkan fenomena breakdance di luar negeri. Muda-mudi Indonesia yang menonton acara tersebut, mereka penasaran. Minimnya media tak membuat mereka patah arang. Mereka, dimulai dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mulai mencari dan memperbanyak informasi tentang breakdance. Anehnya, meski berawal dari media pemerintah, banyak pejabat negeri ini yang bersungut-sungut, tak suka terhadap perkembangan tersebut. Jika hanya alasan, ada berbagai alasan yang bisa digunakan untuk meredam gelombang pasang breakdance.

BREAKDANCE bermula dari Afrika. Iya benar, dari sanalah dimulainya gerak patah-patah dan terlihat aneh tersebut. Akan tetapi ia mengalami masa penggodokan di South Bronx, daerah miskin dan semrawut di New York. Breakdance sudah mengisi jalan-jalan New York awal 1970an. Bila dilacak lagi ke belakang, sampailah pada pangkalnya 1968, ketika banyak penari Afrika bermigrasi ke Amerika. Mereka tinggal di Bronx, yang sebagian besar penduduknya berkulit hitam. Di sana mereka membuka kursus tari serta membuat pentas. Itulah mengapa, gerak-gerak breakdance sangat mirip dengan tarian suku Fula di Afrika Barat.

Tak lama kemudian, seorang MC dan disco-jockey di Bronx bernama Afrika Bambaataa, ia lebih mengukuhkan breakdance di Bronx. Bambaataa yang seorang muslim dan pemimpin sebuah gang, tampaknya menangkap sebuah gejala baru yang sedang mencari peluang. Ia pun kelompok Zulu Nation, beranggotakan sekitar 10.000 anak-anak muda Bronx dan Manhattan. Dengan disiplin tinggi mereka berlatih keras berjam-jam tiap hari, mempelajari tari-tari Afrika, mempelajari mimik pantomim dan sebagainya --pokoknya yang cocok dengan selera meledak-ledak.

Dari si Bambaataa ini pula perkelahian antar gang di Bronx diganti dengan perkelahian dalam tari. Tanpa saling menyentuh, yang bertanding melakukan berbagai gerak sulit, dan lawannya harus bisa menirukan atau menyainginya dengan gerak yang lebih sulit. Napas panjang pun diuji. Yang sudah merasa kalah akan mundur dengan sendirinya --tanpa babak belur maupun merah darah, cuma napas ngos-ngosan dan berkeringat. Itu makanya breakdance pun mengandung gerak bela diri.

Bagaimana dengan nama Breakdance?

Menjelang pertengahan 1970an, kata BREAK di Bronx punya arti khas: ledakan kemarahan atau luapan perasaan. Maka, ketika anak buah si Afrika Bambaataa sering mendemonstrasikan tari barunya di jalan dan di dalam pesta, mereka dikatakan sedang melakukan breaking. Dan nama breakdance mulai lebih melembaga setelah televisi, film, dan video menyebutnya dengan istilah itu --bahkan sebuah film tentang tari ini terang-terangan berjudul BREAKDANCE.

Ketika para produser yang peka rasa dagangnya mengangkat breakdance lewat berbagai media itulah, tari ini naik pangkat --bukan lagi tari jalanan. Kemudian breakdance difestivalkan, dilombakan, dan mendatangkan uang bagi para penyelenggaranya. Dari kegiatan ekspresi dan rekreasi, ia jadi sebuah komoditi bisnis. Lewat media elektronik itulah breakdance menyebar ke banyak dunia. Termasuk di kalangan kita.

TEMPO Edisi 5 Januari 1985

Joko Purnomo, lelaki berusia setengah abad yang tak lain adalah kakak kandung Kokok Supriyadi, ia mungkin bisa lebih rinci mengingat kepopuleran breakdance 1984-1985. Sebab ketika itu --1985-- ia telah berusia 20 tahun. JP, begitu kadang ia dipanggil, bisa jadi ia masih mengingat bagaimana orang-orang dewasa yang saat itu berusia 45 tahun ke atas, memberi label macam-macam pada anak muda yang suka breakdance. Ada yang bilang breakdance tak lebih dari tarian cacing kepanasan sebab memang gerakannya meliuk-liuk dan cepat, ada label tari kejang, tari robot, dansa kesurupan, bahkan ada yang menganggapnya tarian para pemabuk. Ini tentu memberi dampak psikologis yang tidak baik pada para pencinta breakdance di tanah air.

Saya kira, JP akan sependapat jika saya katakan breakdance --sekarang lebih populer bernama dance saja-- masuk kolom olahraga berat. Setidaknya napas harus prima. Gerakan gemetar yang cepat sesuai dengan ritme musik, itu bukan karena efek ganja atau minum-minuman keras, melainkan karena ketegangan yang terkonsentrasi.

Para breaker --sebutan bagi pemain breakdance-- kelas tinggi bakal tidak mengikat tali sepatunya, namun ia tetap bisa berkonsentrasi.

Kini rupanya si bungsu Darvesy Azhar Billah terinspirasi oleh saudara sepupunya --Bian-- yang menyukai bidang dance. Bagaimana tanggapan JP sebagai seorang Ayah yang pernah melewati era breakdance 1980an? Saya yakin JP punya cara terbaik untuk mendukung talenta putranya, Darvesy Azhar Billah. Tak ada yang perlu dirisaukan.

Di setiap zaman, seringkali kita jumpai, remaja selalu menemukan ekspresi dan bentuk tamasya-nya sendiri, yang cenderung memberontak terhadap kemapanan orangtua. Namun kita pun tahu, yang namanya gelombang pasang selalu memiliki rentang waktu. Akan tiba saatnya gelombang itu surut.

Minggu, 20 September 2015

Tentang Becak di Surabaya Tahun 1984

Minggu, 20 September 2015

Karangan Khusus Becak

Saya menjumpai karangan khusus becak Surabaya ini di majalah Liberty --Majalah Mingguan Jawa Timur-- No. 1603 Tanggal 23 Juni 1984. Karangan khusus becak ini berjudul; Tak Lagi Ada Putih dan Biru. Berikut akan saya tuliskan kembali untuk Anda, semoga bermanfaat. RZ Hakim.

Sesungguhnya kalau tak banyak pertimbangan, dua hari pun beres membersihkan becak dari jalan-jalan raya. Tapi masalahnya bukan hanya membersihkan becak untuk sekedar menghapus keruwetan lalu lintas. Dikemanakan sekian puluh ribu orang pengemudi becak itu bila digusur dari tempat mencari kehidupannya, sedang lapangan kerja lain belum tersedia sebagai penggantinya. Berikut ini liputan team Liberty tentang becak di Surabaya.

Sampai November 1983, becak resmi, berdasarkan STNK becak berlaku tiga tahun itu, di Surabaya tercatat 42.775 buah. Terdiri dari 29.875 becak siang dan 12.900 becak malam. Susut sebanyak 7.379 becak dibanding tahun sebelumnya. Kemerosotan itu antara lain disebabkan, para pengemudi becak pindah profesi.

Susutnya jumlah becak itu memang tak hanya sang pengemudi sudah pindah profesi, tapi juga karena tidak didaftarkan lagi oleh pemiliknya. Yang tak didaftarkan lagi ini dinyatakan becak mati. Kalau pun masih dioperasikan, termasuk becak liar, yang bisa jadi sasaran operasi pihak Polantas. "Tak kurang dari 3.600 becak terjaring dalam operasi tahun 1977/1978," kata Moesrin. Sejak itu sampai sekarang memang belum diadakan operasi becak lagi. "Sementara ini kami hanya bertindak selektif," lanjut Moesrin. Artinya, bagi becak yang tak dilengkapi surat-suratnya, tak bisa diambil jika kena operasi. Sedang bagi pengemudi becak yang tak punya SIM atau karena melakukan pelanggaran lalu lintas diajukan ke pengadilan untuk perkara sumir.


SIANG MALAM. Sebelum ini ditetapkan ada becak siang dan malam. Seperti biasa diawali dengan kegelisahan sementara di kalangan pengemudi becak. Lalu peraturannya berjalan sesuai rencana. Hingga kemudian beberapa bulan terakhir ini, muncul akal baru. Mengecat becak dengan warna biru dan putih, hingga seakan syah untuk beroperasi siang dan malam. Toh tak ada sangsi.

MENYUSUTKAN jumlah becak itu memang sudah diprogramkan oleh Pemda Surabaya. Pada tahun 1973 Walikotamadya Surabaya mengeluarkan larangan untuk memproduksi becak baru yang berlaku sampai sekarang. Sementara pihak Polantas juga tidak mengeluarkan lagi STNK becak baru sejak tahun 1979. "Hanya melayani perpanjangan saja," tutur Moesrin. Dengan bekerjasama antara Pemda dengan Polantas terbentuklah Paguyuban Pengemudi Becak Surabaya, yang bertujuan membina pengemudi becak dalam hal bertertib lalu lintas, disamping memacu mereka untuk beralih profesi, misalnya menjadi pengemudi kendaraan bermotor atau yang lain, bagi peningkatan hidup mereka sendiri.

Dipermasalahkan bertertib lalu lintas di kalangan para pengemudi becak karena minimnya kesadaran mereka akan hal ini. "Tak jarang mereka hanya menurut maunya sendiri, sekalipun punya SIM," kata KASI becak Polantas itu. Di samping mangkal seenaknya, mereka tak segan-segan nyasak, melawan arus, sambung Moesrin lagi. "Kami gugah mereka untuk ikut menjaga kewibawaan hukum," katanya.

Pengemudi becak musiman boleh dikata cenderung tak patuh pada peraturan dibanding pengemudi becak permanen. Menurut kasi becak Polantas itu, kebanyakan yang musiman itu adalah para petani yang mengisi kekosongan sementara waktu dan mencari pekerjaan yang mudah diperolehnya dengan menjadi tukang becak di Surabaya. SIM bagi mereka ini hanya berlaku satu tahun mengingat tak tetapnya mereka tinggal di Surabaya. Diakui oleh Moesrin, memang belum ada ketentuan yang mempersyaratkan 'umur becak' sebagai salah satu cara menyusutkan jumlah becak, misalnya 'sesudah sekian tahun' umur becak tak boleh dioperasikan sebagai kendaraan umum. Tak kurang harapan Polantas kepada para pemilik becak, dalam kaitan ketertiban lalu lintas tak hanya percaya begitu saja tanpa menilai sang pengemudi yang menyewa becaknya itu.

Setidaknya mengetahui apakah mereka yang menyewa becaknya itu telah memiliki SIM atau belum. Dan becak jangan boleh dilepaskan jika yang menyewa tak punya SIM. Juga bagi becak yang beroperasi malam, jangan sampai tak dilengkapi dengan lampu, yang selama ini sering diabaikan. Begitu harapan Letda Pol. J Moesrin.

Bercampur baurnya warna becak, yang mengaburkan ketentuan becak siang dan becak malam, diakui Moesrin pula, sementara ini ada yang lolos dari pengamatan pihaknya. "Bukan tak ada sangsi untuk mereka," tegasnya. Mencegah membludaknya becak menyesaki jalan-jalan raya tak hanya membaginya menjadi becak siang dan becak malam, juga perlu menciptakan kawasan 'daerah bebas becak' di Surabaya. Jalan-jalan yang dinyatakan bebas becak adalah Tunjungan, Embong Malang, Blauran, Pahlawan, Gemblongan, Yos Sudarso, Panglima Sudirman, Raya Darmo, dan Raya Wonokromo.


KELUARGA. Tak saja untuk angkutan penumpang. Becak juga merupakan alat angkut barang yang sangat dirasakan peranannya dalam hal yang tak bisa dipenuhi oleh kendaraan angkutan lainnya. Bila perlu jadi angkutan keluarga.

Munculnya becak di Surabaya sejak tahun 1942 itu, pada masa pendudukan Jepang, kehadirannya tak pernah terputus hingga sekarang. Jenis kendaraan umum terkenal dengan olokan 'berbensin nasi' itu merupakan indikator salah satu wujud kemiskinan masyarakat kita. Memang tak bisa dihapus begitu saja hanya demi tertib lalu lintas dan gengsi serta martabat bangsa, karena secara riel becak masih dibutuhkan pengemudinya untuk mempertahankan hidup. Sampai dengan 22 Mei 1978 lalu, saat didirikannya Paguyuban Pengemudi Becak Surabaya tak kurang dari 100 ribu becak yang mencatatkan diri sebagai anggotanya. "Sekarang tinggal 60 ribu orang anggota," kata ketua paguyuban, Soegiran. Menurut Soegiran, di antara yang beralih profesi itu ada yang menjadi sopir helicak, sopir bemo, sopir bus, dan buka usaha apa saja yang meningkatkan taraf kehidupannya. Tapi tak kurang yang menjadi tukang tambal ban atau sejenis itu. Walaupun pekerjaan terakhir ini dari segi martabat lebih manusiawi, tapi tak jarang di antaranya justru berpenghasilan lebih rendah ketimbang menggenjot becak dulu. (A. Muis, A. Kariem, Dicky).

Kamis, 17 September 2015

Ketika Orang-orang Sidoarjo Hijrah ke Kalisat

Kamis, 17 September 2015
Tulisan di bawah ini merupakan hasil wawancara saya dengan Ibu Sulasmini, perempuan Kalisat kelahiran Agustus 1938. Wawancara dilaksanakan di rumah Ibu Sulasmini --Kalisat kabupaten Jember-- pada 16 September 2015. Kisah berlatar sebelum/sesudah (belum pasti) bulan Nopember 1945, di detik-detik antara meletusnya perang besar di Surabaya yang kelak dikenang dengan Peristiwa 10 November.

Ketika itu saya masih kecil. Mungkin masih kelas satu atau kelas dua SD. Saya masih ingat, banyak orang datang ke Kalisat. Kata Bapak saya, mereka rata-rata datang dari Sidoarjo dengan memanfaatkan moda transportasi kereta api. Konon kabarnya, ada juga yang berjalan kaki. Mereka bergerombol, lebih dari seribu orang. Banyak sekali.

Oleh perangkat desa Kalisat, mereka semua ditampung di gudang seng De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjoeng --kini bernama Perkebunan Nusantara X PT Persero Kalisat. Ada tiga gudang seng yang digunakan untuk menampung mereka. Sisanya diinapkan di rumah-rumah penduduk.

Waktu itu Indonesia baru saja merdeka, belum lagi seratus hari. Satu bulan kemudian terdengar kabar jika di Surabaya sedang pecah perang besar. Kelak ia dikenal dengan kejadian 10 November.

Orang-orang itu, yang hidupnya ada di gudang seng Kalisat, mereka kelaparan. Oleh perangkat desa, anak-anak sekolah dimintai tolong untuk membawa nasi bungkus. Per-siswa satu bungkus, setiap hari. Hal itu berjalan hingga 3-4 bulan lamanya. Semakin lama mereka di Kalisat, semakin saya mengerti jika mereka tak hanya dari Sidoarjo, ada juga yang datang dari wilayah-wilayah dekat Sidoarjo. Kebanyakan manula, perempuan, dan bocah-bocah kecil.

Beberapa dari mereka, yang masih memiliki tenaga prima, bekerja serabutan membantu orang-orang Kalisat. Tiga orang yang masih saya ingat betul, mereka adalah Pak Sladri, Glenter, dan Yuk Ya.

Ketika Sidoarjo dan sekitarnya dinyatakan aman, mereka dikoordinir untuk kembali pulang, dengan naik kereta api. Kebetulan tepat di belakang gudang seng desa Ajung-Kalisat terdapat halte kereta api, halte Ajung. Waktu itu banyak orang menangis, baik warga Kalisat maupun orang-orang yang dipulangkan.

Saya heran, mengapa peristiwa itu tidak masuk buku sejarah?



ESOK harinya, catatan di atas dimuat di fun page Sudut Kalisat dan mendapatkan apresiasi dari Ibu Moersihsasi Soeratman.

"Sampai ribuan ya pengungsi dari Sidoarjo? Pengungsi yang hijrah di Jember dari Surabaya dan Sidoarjo saya kenal, termasuk keluarga saya banyak yang kerja di pemerintahan. Kebetulan Bupati Jember waktu itu adalah Bapak Soedarman --orang Sidoarjo. Memang pengungsi-pengungsi ditampung famili masing-masing. Keluarga kami ngungsi ke Jember pakai KA Trutuk."

Moersihsasi Soeratman adalah sahabat saya di dunia maya --Facebook-- yang kerab memberikan informasi penting mengenai Jember Tempo Dulu. Perempuan kelahiran 31 Mei 1936 ini kini tinggal di Jakarta. Dulu Ayahnya --R. P. Mochammad Ali Djojokoesoemo-- pernah menjabat sebagai Administrateur Jemberse Kliniek antara tahun 1955-1968.

Kepada Ibu Moersihsasi Soeratman saya mengucapkan terima kasih.

Adapun mengenai jumlah orang-orang Sidoarjo --dan sekitarnya-- yang hijrah ke Kalisat kabupaten Jember, di atas seribu orang. Versi lain namun masih tahap data lisan, mereka berjumlah antara 5000 hingga 7000 orang. Saya belum menjumpai data tertulis mengenai ini. Barangkali teman-teman ada yang mengerti tentang kisah ini, ketika orang-orang Sidoarjo hijrah ke Kalisat di detik-detik sebelum/setelah pecahnya perang 10 November 1945, saya akan senang sekali jika Anda bersedia menyempurnakannya. Terima kasih.

Selasa, 15 September 2015

Jember Dari Sesobek Koran Tahun 1979

Selasa, 15 September 2015

Kompas 1979

Volume Pembangunan Disusutkan, Karena Jember Hadapi Tunggakan dari Pelita Sebelumnya

Jember, Kompas

Sebuah sumber yang kompeten di Jember, Jawa Timur, menenrangkan, bahwa di Daerah Tingkat II Jember terdapat tunggakan Bimas dari jaman Pelita I dan II sebesar 1,8 milyar rupiah, disamping tunggakan kredit KUD-BUUD sebesar 0,5 milyar rupiah. Hutang Pemerintah Daerah sendiri, warisan dari jaman Bupati Abdulhadi, meliputi jumlah 1,2 milyar rupiah. Informasi mengenai tunggakan dan hutang ini dibenarkan oleh Kertua DPRD II M. Tardji, ketika hal itu dicek oleh KOMPAS padanya.

Sumber yang sama menerangkan juga, bahwa anggaran pembangunan untuk tahun 1978/1980 untuk Kabupaten Jember meliputi jumlah 4,6 milyar rupiah, 1,3 milyar rupiah diantaranya diperoleh dari sumber di daerah sendiri. Dikemukakan pula, areal Bimas/Inmas untuk tahun 1978/1979 meliputi tanah seluas 72.000 hektar.

Penghematan

Untuk mengatasi masalah tersebut di atas volume pembangunan sengaja disusutkan menjadi tinggal 25 persen saja untuk tahun-tahun mendatang. Di bidang lain juga diadakan penghematan, seperti penjatah bensin untuk mobil dinas menjadi hanya 7,5 liter per orang sehari, pemakaian tenaga listrik seminim mungkin, antara lain di jalan-jalan utama kota, penerangan jalan diselang-seling satu tiang hidup satu tiang mati.

Tindakan pemda ini jelas menyusutkan volume pembangunan, sekalipun diketahui, bahwa tunggakan itu menyangkut aparat pemerintah bukan petani yang mengikuti Bimas/Inmas. Tetapi ketua DPRD II Jember Tardji merasa optimis, bahwa masalah tersebut di atas akan bisa diselesaikan dalam waktu dua tahun mendatang. (esb)

Rabu, 09 September 2015

Abdurrachman Baswedan Sembilan Windu

Rabu, 09 September 2015
Dari kliping pemberian Pakde Bagio, tertanggal 9 September 1980, dengan penulis bernama Soebagijo I.N. Dituliskan kembali oleh RZ Hakim.


Abdurrachman Baswedan

Abdurrachman Baswedan Sembilan Windu

NAMA Abdurrachman Baswedan tidak dapat dipisahkan dengan Partai Arab Indonesia, sebagaimana nama PAI juga tidak dapat dipisahkan dari namanya.

Keistimewaan dari PAI ialah, bahwa jauh sebelumnya ada apa yang kini disebut gerakan asimilasi, PAI sudah terlebih dahulu mengemukakan pendiriannya; membaurkan diri dengan rakyat dan bangsa Indonesia.

Mereka sudah menegaskan pendiriannya: lahir di bumi Indonesia; hidup di tanah air Indonesia dan akan dikuburkan pula insya' Allah di persada Indonesia.

Sebagai anak kelahiran Ampel Surabaya, 72 tahun yang lampau Abdurrachman sejak mudanya sudah menyadari bahwa di bumi Indonesialah tempatnya berpijak, dan justru karenanya dia serta sesama kaumnya harus menetapkan pendirian, lepas bebas dari tanah leluhur, dan mengakui bahwa mereka adalah senasib dan sepenanggungan dengan rakyat Indonesia.

Justru karena itu pula, dia sejak muda meninggalkan faham yang eksklusif, dan bergaul dengan bebasnya dengan tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan seperti Kyai Haji Mas Mansjur dan Dokter Soetomo. Dia bahkan sengaja menjadi muballigh (juru propaganda) Muhammadiyah, dan sikap serta pendiriannya yang tegas demikian itu, merupakan hal yang langka pada zamannya.

Pada masa-masa itu, sebagian besar keturunan asing baik keturunan Belanda, Cina maupun Arab, masih merasa 'superior' ketimbang bangsa Indonesia sendiri, dan justru karenanya merasa menurunkan harkat dan derajat apabila mereka ikut-ikutan atau bergaul dengan rakyat Indonesia. Tetapi tidak demikianlah pendirian Abdurrachman Baswedan.

Mendirikan PAI

Dalam tahun 1934 didirikanlah Partai Arab Indonesia, yang oleh Ki Hajar Dewantara dalam pertemuan peringatan Kesadaran Nasional Kaum Turunan Arab di Yogya 9 Oktober 1945 dikemukakan sebagai "suatu peristiwa yang sangat penting dan sepatutnya dapat perhatian secukupnya. Peristiwa tersebut tidak saja penting bagi saudara-saudara kita yang berketurunan Arab, namun amat penting pula untuk kita semua yang bercita-cita kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat." Bukankah nyata dan positif keikhlasan saudara-saudara keturunan Arab tersebut untuk tidak mengasingkan diri dari pergaulan kebangsaan kita, dan tidak mendirikan partai sendiri, melainkan menganjurkan sekalian dari golongan turunan Arab, untuk memasuki partai-partai yang ada di kalangan rakyat!

"Maka salahlah samasekali apabila mereka dikelompokkan pada golongan yang kini disebut 'golongan minoriteit.' Mereka itu tidak mengasingkan diri dari golongan kebangsaan umum, mereka sudah ajur-ajer yakni zich oplossen dalam masyarakat kebangsaan kita. (...) Saudara-saudara kita yang berketurunan Arab tidak merasa mempunyai dan tidak mengakui adanya bangsa atau negara di luar Indonesia yang mengikat mereka!

"Kami ulangi lagi: keikhlasan saudara-saudara kita keturunan Arab tadi tidak saja menguntungkan diri mereka sendiri, namun menguntungkan negara kita pula." (baca: Merdeka, 11 Mei 1956).

Sedangkan A.R. Baswedan sendiri sewaktu ada Kongres Bahasa Indonesia I yang diadakan di Sala 1933, juga sudah ikut hadir, dan menyokong segenap keputusan Kongres sekaligus ikut mempropagandakannya di kalangan keturunan Arab sendiri.

Sedangkan Partai Arab Indonesia pada masa pra-perang secara keseluruhan juga menjadi anggouta GAPI, Gabungan Politik Indonesia yang bersama MIAI, Majelis Islam Ala Indonesia, menggabung menjadi kongres rakyat Indonesia, menuntut adanya Indonesia berparlemen.

Bidang Jurnalistik

A.R. Baswedan sebagai keturunan seorang pedagang, sedangkan kakeknya seorang ulama ahli tasawuf di lingkungan masjid Ampel, tidak segan-segan terjun dalam bidang jurnalistik. Dia masuki koran Sin Tit Po, pimpinan dokter Tjoa Sik Ien yang waktu itu juga dikenal sebagai pembawa udara baru di kalangan keturunan Cina.

Baru kemudian, setelah antara pihak Direksi dan Redaksi Sin Tit Po ada sengketa, A.R. Baswedan bersama Johannes Sirk Siyaranamual dan Tjoa Tjie Liang, keluar dari Sin Tit Po masuk ke dalam staf Redaksi Soeara Oemoem di Bubutan, Surabaya yang diasuh Dokter Soetomo.

Pihak Direksi Sin Tit Po mendapat tawaran iklan besar dari sebuah perusahaan Belanda, dengan syarat agar isi koran tadi jangan terlalu banyak memberitakan kegiatan gerakan kebangsaan. Direksi bersedia menerima syarat itu, tetapi ketiga orang redakturnya seperti tersebut di atas, yang memang kaum idealis dan masuk ke dalam jagad kewartawanan dengan mengemban sesuatu misi, lalu mundur pindah ke suratkabar yang mereka anggap sesuai dengan cita-cita mereka.

Karena kesehatannya, juga Baswedan kemudian dengan seluruh keluarga pindah ke Kudus, Jawa Tengah. Baru kemudian pindah lagi ke Semarang. Di situ dia pun lalu masuk menjadi redaktur suratkabar Mata Hari yang dipimpin oleh Liem Koen Hian, seorang tokoh yang oleh sebagian penganutnya disebut Bapak Asimilasi keturunan Tionghoa, dan ketua Partai Tionghoa-Indonesia.

Haluan Mata Hari tidak ubahnya dengan Sin Tit Po, juga lebih mengetengahkan berita-berita tentang gerakan kebangsaan, baik yang berlandaskan nasionalisme thok, maupun yang berdasarkan agamis. Selain itu Mata Hari juga dikenal sebagai suratkabar yang sangat anti-Jepang, dan tidak anehlah bahwa apabila pada zaman Jepang, Liem Koen Hian sekeluarga harus menyembunyikan diri.

Tidak tanggung-tanggung, orang yang menyediakan tempat untuk menyembunyikan keluarga Liem Koen Hian tadi adalah keluarga A.R. Baswedan yang kala itu bermukim di Sala. Perbuatan Baswedan yang demikian itu diketahui oleh sesama rekannya dan mengingatkan bahwa tindakannya itu sangatlah berbahaya, dan dapat saja membawa bencana bagi Baswedan sekeluarga, lebih-lebih bila mengingat kekejaman kenpeitai pada masa itu.

Tetapi Baswedan meriskir semua akibat, karena dia tahu bahwa Liem Koen Hian telah menolak tawaran dari sesama kaumnya yang menyediakan rumah besar baginya, tetapi dalam ketakutan yang sangat dalam masa itu.

Contoh

Tidak kurang dari Adam Malik sendiri, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada 22 Juli 1972 menulis: "Saudara A.R. Baswedan memberikan contoh yang patut ditiru oleh pemuda-pemuda Indonesia keturunan Arab, terutama yang dengan susah payah mengajak dan menghimpun pemuda-pemuda Arab agar ikut masuk di dalam PAI, Partai Arab Indonesia.

Sebagai seorang pejuang, seluruh hidupnya ia korbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia sebagai seorang penulis dan penyair, selalu melukiskan perjuangan mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah, dan sebagai seorang islam, ia selalu memuja dan berdoa kepada Allah Yang Maha Besar (ESA).

Oleh karena itu anak-anak dan keluarganya pantas merasa bangga pada perjuangan Saudara Baswedan ini. (..) Biarpun Sdr. A.R. Baswedan tidak mencantumkan bintang-bintang di dadanya dan menyimpan surat-surat penghargaan, yang jelas dan menjadi saksi adalah rakyat Indonesia. Saya mengetahui dan bekerjasama dalam masa lampau dalam perjuangan yang saya sebutkan di atas."

Demikian antara-lain, tulis Adam Malik.

Dan agaknya sudah tidak diperlukan tambahan lagi. Pada tempatnyalah apabila pada kesempatan ini, kita juga menyampaikan selamat berulang-tahun, dan semoga berkah serta rahmat Tuhan senantiasa dilimpahkan kepadanya dan segenap anggouta keluarganya. (Soebagijo I.N.)

Sabtu, 05 September 2015

GERTAK 2015

Sabtu, 05 September 2015

Sekretariat GERTAK 2015

Tahun lalu, GERTAK dilaksanakan pada 6 September 2014 dengan jalur; start dari Sukowono, finish di Kalisat, dengan ketua panitia adalah Edi Topan Santoso. Untuk ketua panitia GERTAK 2015, dipegang oleh Taufik Dwi Septiarso. Pelepasan dimulai siang hari ini juga oleh Bupati Jember MZA Djalal. Jalur sama seperti tahun lalu, hanya untuk tahun ini finish hingga di Lapangan Glagahwero-Kalisat.

Selain diramaikan oleh Parade Sound, GERTAK 2015 juga dititikberatkan pada fashion. Tidak ada tema khusus untuk fashion. Penilaian --oleh dewan juri-- lebih kepada ide/gagasan, keunikan, kerapian, dan kreatifitas.


Dokumentasi Kari Kecingkul, 5 September 2015

Saya perhatikan sejak pagi hari ini, warga Kalisat dan sekitarnya tampak telah bersiap-siap untuk mengikuti acara tahunan, gerak jalan tradisional Kalisat atau biasa dikenal GERTAK.


Peserta GERTAK perorangan dari Kampong Lima


ANEKA rupa kreasi coba ditampilkan dalam GERTAK 2015, baik kreasi perorangan, beregu, maupun parade sound. Ada regu yang tampil dalam kostum tradisional, ada pula yang memberinya sentuhan kekinian. Beberapa diantaranya coba mencuri perhatian penonton dengan, misalnya; tampil dengan kostum pocong.

Banyak juga diantara peserta yang jelas-jelas memberikan dukungannya pada salah satu calon bupati Jember. Dukungan itu bisa dilihat dari atribut yang digunakan.

Dua calon bupati Jember, H. Sugiarto dan dr.FAIDA,MMR, dua-duanya turut mengikuti acara tahunan ini. Tentu mereka juga membawa supporter. Pendukung terbanyak yang mengikuti rombongan adalah pendukung dari pihak H. Sugiarto, sedangkan dr.FAIDA,MMR hanya mendapat kawalan selayaknya.

Kondisi di atas tentu di luar kendali panitia Gerak Jalan Tradisional Kalisat 2015.

Kamis, 03 September 2015

Bulu Merak itu Hinggap Hingga ke Sudut Kalisat

Kamis, 03 September 2015

KFC Kids se-kecamatan Kalisat, 18 Agustus 2015

Perhatikan dengan seksama foto di atas. Itu adalah bocah-bocah TK yang sedang mengikuti Kalisat Fashion Carnival (Kids) se-kecamatan Kalisat pada pertengahan bulan Agustus lalu. Mereka ingin sekali tampil berbusana Reog Ponorogo. Mengapa? Penyebabnya tidak lain, dalam JFC 2015 mereka menghadirkan beberapa defile, dua diantaranya adalah tentang kejayaan Majapahit dan Reog. Ini kabar baik bagi wali murid yang cinta budaya nusantara dan memiliki uang.

Perhatikan pula foto di bawah ini, ketika di Kalisat diselenggarakan Karnaval Tingkat Sekolah Dasar pada 1 September 2015


Karnaval Tingkat SD se-kecamatan Kalisat, 1 September 2015

Tampak dalam foto, Zidath mengenakan kostum Reog Ponorogo, di depan sendiri. Zidath adalah siswa kelas empat di SDN Ajung 01 Kalisat, kabupaten Jember. Sekali lagi, ini kabar baik bagi wali murid pencinta budaya nusantara dan bagi mereka yang memiliki uang. Tidak bisa dipungkiri, semua orang tua ingin putra-putrinya tampil keren di hadapan orang banyak, tak peduli berapa uang yang harus ia keluarkan.

Untuk foto yang ditampilkan di bawah ini adalah foto hasil jepretan hari ini, 3 September 2015, di mana di sini sedang diselenggarakan Karnaval Tingkat SMP/SMA se-kecamatan Kalisat.


Karnaval Tingkat SMP/SMA se-kecamatan Kalisat, 1 September 2015

Tampak dalam foto, Rina, siswi SMP Negeri 1 Kalisat sedang mengenakan kostum dominasi bulu merak imitasi, hasil desainer Ifan Arifianto dari IGA Production, Kalisat. Bulu-bulu merak tersebut dimanipulasi dengan menggunakan bahan kertas, untuk kemudian dijadikan sayap. Tapi perhatikan lagi foto di balik Rina, yang juga mengusung tema serupa namun ada terlihat bulu merak asli di sana.

Menurut Ifan, sekitar 3-4 tahun yang lalu, harga bulu merak asli untuk keperluan karnaval, per-helai dihargai 6000 rupiah. Kini tidak tahu berapa harganya. Bulu merak buatan harganya bisa tiga hingga empat kali lipat lebih mahal.

Ini tentu layak kita pikirkan bersama. Tak baik melayangkan kesalahan hanya kepada Presiden JFC Dynand Fariz.

Merdeka!

Rabu, 02 September 2015

Guard Jember Fashion Carnaval 2015

Rabu, 02 September 2015

Arik Cahyono a.k.a Yoyon

Namanya Arik Cahyono namun biasa dipanggil Yoyon. Ia terlahir di Kalisat pada 29 Juni 1980. Istrinya bernama Dwi, mereka menikah pada tahun 2002 dan dikaruniai seorang putra, Irgi namanya. Dalam JFC tahun ini, Yoyon menjadi bagian dari Outframe JFC-14, Guard Jember Fashion Carnaval. Masa kontraknya 3 hari, terhitung sejak 28-30 Agustus 2015.

"Saya memang baru bergabung tahun ini di Guard JFC, masuk di kelompok Panser --Pasukan Supporter Jember, ada sekitar 160 orang. Selain Panser, untuk tahun ini ada juga kelompok-kelompok lain yang juga dikontrak sebagai Guard. Tugas kami adalah membantu kelancaran kegiatan; mulai dari kenyamanan talent hingga membantu mengingatkan penonton sekiranya berpotensi tidak tertib. Kami juga bertanggungjawab atas areal yang dilalui, agar tetap terjaga kebersihannya."

Menurut Yoyon, per-600 meter ada 160 Guard dari tim Panser. Dimulai dari titik Jembatan Jompo hingga di depan Bank Buana UOB. Masing-masing Guard berjarak 10 meter atau lima pagar --per satu pagar panjangnya 2 meter.

"Jadi, para Guard ini juga mengantongi tas kresek. Bila ada terlihat salah satu penonton membuang sampah sembarangan, jika itu ada di dekat kami, maka kami akan memungut sampah tersebut, menaruhnya dalam kantong, untuk kemudian memberi pengertian kepada orang yang dimaksud, dengan cara lembut dan sesopan yang kami bisa."

Guard sebaiknya tidak turut sibuk memotret talent, dan harus tetap menghadap ke penonton. Seperti Guard sepakbola di liga Inggris misalnya, seperti itulah posisi Yoyon dan kawan-kawan Guard lainnya.

*Wawancara pada 29 Agustus 2015.

Selasa, 01 September 2015

Belajar dari Kesalahan

Selasa, 01 September 2015
Rangkaian acara JFC --Jember Fashion Carnaval-- usai sudah, ditutup dengan JFC Grand Carnival pada 30 Agustus 2015 lalu. Namun dibalik gegap gempita JFC ke-14 ini, ada sebuah peristiwa di dunia maya yang akan baik jika kita renungkan serta kita jadikan pelajaran. Dua hari sebelum acara puncak, ada saya baca di jejaring sosial Facebook milik Oryza Ardyansyah tentang permohonan maaf oleh Setiyo Hadi, dan itu ia lakukan secara berulang-ulang. Ada apa ini?

Inti masalah ada di sebuah gambar.

Setiyo Hadi merasa ia terlebih dahulu menerbitkan gambar tersebut. Gambar yang dimaksud, menampakkan sosok penonton yang terpaksa harus mengintip dicelah pagar hanya agar bisa menikmati tontonan JFC di kota kelahirannya sendiri. Kira-kira begitu pesan gambar yang saya tangkap. Ia berjudul; INIKAH JEMBER UNTUK DUNIA? WARGANYA HANYA KEBAGIAN NGINTIP SAJA. Judul tersebut diakhiri dengan tanda seru yang banyak sekali.

Kita hidup di sebuah negeri yang mengusung gagasan demokratis, tentu tidak ada masalah dengan pesan yang ingin disampaikan oleh seorang Setiyo Hadi. Namun ternyata masalahnya tidak di sana. Ini tentang gambar yang dijadikan ilustrasi oleh media beritajatim.com. Setiyo Hadi merasa keberatan lalu melayangkan keberatannya di jejaring sosial Facebook.

"Yang Terhormat beritajatim.com n Mr. Oryza Ardyansyah : Sayangnya dalam mengambil gambar yang ditampilkan di berijatim.com tidak ditampilkan sumber alias copy paste dari facebook orang lain (kalau dishare di facebook sich gak pa2 ..... namun kalau jadi pemberitaan media berita ya lain persoalannya) ........... colek Bunda Lian Pira .... gambar tersebut pertama kali diunggah sekit pukul 07.30 WIB tanggal 27Agustus 2015... sedangkan gambar tsb menjadi bagian berita dari beritajatim.com jam 21.30 tanggal 27 Agusustus 2015 .............. Ayo Lebih Dulu Mana?"

Ditampilkan di kolom komentar Facebook Oryza Ardyansyah pada 28 Agustus 2015 pukul 4:42, di 'update status' Oryza yang berjudul, GEMAS DENGAN JFC. Komentar tersebut kemudian disunting dan diberi tambahan gambar seperti di bawah ini.


Dari Facebook Setiyo Hadi di dinding Facebook Oryza Ardyansyah

Oleh Oryza, komentar tersebut dijawab begini;

".....Aku sudah kasih klarifikasi di salah satu posting protesmu, tapi malah postingmu kamu duplikasi... ngene ae wis, nek koen iso mbuktikan juga bahwa meme itu karyamu, aku akan kasih caption keterangan foto bahwa itu karya Setiyo Hadi... tapi juga sekalian buktikan bhw foto org ngintip itu juga fotomu dan kamu gk ambil foto org lain juga sbg bahan meme."

Tak lama kemudian Oryza mengunggah status baru --28 Agustus pukul 7:29-- seperti di bawah ini.

"Semula saya mengira yopi alias Setiyo Hadi hanya mempersoalkan meme jfc di akun dia dengan nge tag beberapa teman. Saya klarifikasi di fb juga yg ditag-kan ke saya. Ternyata dia juga mempersoalkan dan bahkan menghujat media saya tanpa memberi kesempatan saya mengklarifikasi di salah satu grup diskusi jember yg memiliki ribuan anggota.

Waktu unggah posting bersamaan dgn waktu unggah posting thread di fb akun dia, yakni 2 jam sebelumnya (saya baca posting comment itu pukul 06.50). Selama dua jam lebih hujatan itu tak terklarifikasi. Bahkan ada yg nge-like 2 orang. Jadi saktemene koen iki onok masalah opo karo aku yop? nek niat apik ngeritik dan koreksi kenapa gk ketemuan ae, dan bukannya nyebar hujatan kemudian macak bijak,... koen yo durung iso mbuktikan itu meme hasil karyamu tapi wis menghujat... terlebih ternyata unsur utama meme yaitu foto, yo bukan karyamu... opo koen jelaskan di meme itu kalau foto di situ itu karyamu...."

Benar, di sebuah group Facebook memang terdapat komentar dari Setiyo Hadi, ditulis dengan huruf kapital.

BERITA JATIM TERNYATA GAK KREATIF ALIAS PAKAI GAMBAR ORANG LAIN TANPA KONFIRMASI DULU UNTUK PEMBERITAAN!!!

Oryza tentu keberatan jika media tempat ia menulis --beritajatim.com-- turut disebut-sebut di dunia maya. Akan baik jika Setiyo Hadi melayangkan surat keberatan secara langsung pada media yang dimaksud.


Kabar baiknya, polemik hari itu diselesaikan juga di hari itu, 28 Agustus 2015. Pasalnya, Setiyo Hadi tidak bisa membuktikan jika gambar yang dimaksud adalah hasil karyanya sendiri. Ia ada dalam keterangan selanjutnya, yaitu di lembar Permohonan Maaf.

"Bahwa foto yang saya kutip dari Lian Pira ternyata merupakan kutipan dari Achmad Fawaid."

Untuk lebih jelasnya silahkan buka spoiler di bawah ini:

Permohonan Maaf dari Setiyo Hadi:

 photo permohonan-maaf_zpswsonie0h.jpg

PERMOHONAM MAAF TERBUKA

- Hati-hati Bagi Pengunggah Status FB Dalam Berkomentar -

PERMOHONAN MAAF

Saya bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Y. Setiyo Hadi alias Yopi
Mengakui adanya kesalahan dalam membuat status di akun Facebook atas nama Setiyo Hadi pada Hari Jum’at Tanggal 28 Agustus 2015. Memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh pengguna media sosial, terutama kepada Oryza Ardyansyah, wartawan beritajatim.com dan teman-teman PWI Jember.

Mengakui kesalahan terhadap status saya yang menyebut Oryza Ardyansyah copy paste meme JFC tanpa mengatribusi sumbernya serta melanggar kaidah jurnalistik.

Bahwa sebenarnya :

- Meme JFC yang telah disebar di facebook atau media sosial lainnya merupakan milik publik dan bisa dishare ke mana pun;

- Bahwa foto yang saya kutip dari Lian Pira ternyata merupakan kutipan dari Achmad Fawaid;

- Pernyataan yang berkaitan dengan kaidah jurnalistik sesungguhnya tidak sepatutnya saya ungkapkan di Facebook.

Demikian surat pernyataan mohon maaf ini saya sampaikan dengan sadar tanpa ada paksaan siapapun. Bahkan, saya menyampaikan langsung kepada Oryza Ardyansyah yang disaksikan oleh pengurus PWI Jember.

Permohonan maaf ini akan disebar ke seluruh media sosial, terutama di facebook, dan status-status berkaitan persoalan di atas akan dihapus setelah surat pernyataan ini tersebar ke seluruh media sosial.

Selanjutnya, saya akan berhati-hati dalam mengunggah status di media sosial yang berkaitan dengan kepentingan publik. Demikian surat ini saya sampai untuk menjadi perhatian umum dan tidak diperpanjang lebih jauh.
Jember, 28 Agustus 2015

Yang membuat pernyataan

Y. Setiyo Hadi alias Yopi


Ini tentu peristiwa baik untuk dijadikan pelajaran bagi kita, bagaimana sebaiknya berhati-hati berkreasi, berucap, dan bertindak di dunia maya. Atas kejadian ini, seorang teman bernama Catur Budi Prasetiya memberikan apresiasi sebagai berikut;

"Respek kepada kang Oryza atas reaksi profesionalnya dalam merespon klaim pembaca sosmed. Respek juga pada mas Setiyo Hadi atas kerendahan hatinya untuk minta maaf secara offline dan online."

Teman-teman Kari Kecingkul Kalisat, banyak yang bisa kita petik dan pelajari dari kejadian di atas. Profesionalisme, azas kehati-hatian, rendah hati, dan hal-hal yang senada dengan itu. Teristimewa untuk Mas Oryza dan Mas Setiyo Hadi, terima kasih.

Catatan: Mas Setiyo Hadi, pertemanan di Facebook baru saja saya konfirmasi. Sepurane, ngene iki nek gagap teknologi.

Salam saya, RZ Hakim.
Sudut Kalisat © 2014