Sabtu, 29 Agustus 2015

Larung Sesaji di desa Sukosari Jember

Sabtu, 29 Agustus 2015

Dokumentasi Kari Kecingkul, 29 Agustus 2015

LARUNG SESAJI terbukti bukan hanya dimiliki oleh warga tepi laut, sungai besar, atau di lereng gunung saja. Di Jember, tepatnya di desa Sukosari kecamatan Sukowono, hari ini sedang menyelenggarakan tradisi larung sesaji.

"Beginilah tradisi tahunan di desa kami," ujar Taufik DS, sekretaris di desa tersebut. Menurut Opik, panggilan akrab untuk Taufik DS, tujuan diselenggarakannya larung sesaji ini selain rasa syukur karena negeri kita sudah merdeka, juga sebagai tolak bala.


Penonton Larung di Tepian Sungai

"Kita berdoa untuk keselamatan warga di desa Sukosari khususnya, juga warga Jember semua, serta tentu saja untuk Indonesia dan masyarakat dunia, dimanapun mereka berada."

Menurut Agus, salah seorang warga Sukosari, larung sesaji tahun ini lebih ramai dibanding tahun lalu. Meskipun hari ini ada acara JFC dan Wonderful Archipelago Carnival Indonesia, namun masyarakat Sukowono dan sekitarnya lebih memilih untuk menikmati acara di desanya.

"Ya kalau ingin lihat JFC, berangkat saja tidak apa-apa. Kami suka kok dengan JFC. Seperti kemarin, kan di Jember wilayah kota sedang ada JFC Artwear Carnival, tapi masyarakat banyak yang nonton kadisah (karnaval desa), salah satunya adalah karnaval umum di desa Sumber Jeruk, Kalisat."

Masih menurut sumber yang sama --Agus, hari ini juga sedang digelar acara tahunan di kecamatan Sukowono, namanya SUTRA, Sukowono Tradisional.

"Orang-orang di desa tentu saja ingin nonton hiburan JFC. Tapi ya itu, jauh. Moda transportasi di Jember kan sulit. Kalau kami membawa motor, bingung parkirnya. Ya sudah kita tonton yang ada saja. Lagipula hiburan di SUTRA sama saja kok, ada sayap-sayapnya juga, malah di sini lebih beragam. Jika kami ingin nonton JFC, kami bisa melihatnya di televisi."


Dokumentasi Kari Kecingkul, 29 Agustus 2015

Larung sesaji di desa Sukosari tak hanya diramaikan dengan arak-arakan tumpeng, doa bersama di tepi sungai manis, melainkan juga dengan kesenian tradisional seperti 'can-macanan kadduk' serta karnaval adik-adik kecil. Diantara mereka ada yang bergaya peri bersayap, layaknya Jember Fashion Carnaval.

Kiranya, akan baik jika acara besar dan acara-acara kecil yang berserakan di sudut-sudut Jember saling mendukung, saling mengisi, dan saling menguatkan.

Salam saya, RZ Hakim.

Selasa, 25 Agustus 2015

Dari Jalan Sehat Hingga Tinju Guling

Selasa, 25 Agustus 2015

Jalan Sehat Kampong Lima, 23 Agustus 2015

Pada dua hari lalu, suasana di Kampung Lima ramai sekali. Mereka sedang merayakan HUT RI ke-70 dengan mengadakan acara jalan santai. Peserta adalah warga dari segala usia, mulai dari anak-anak hingga Ibu-ibu.

Panitia menyediakan berbagai macam hadiah, sedari sabun mandi, cikrak, tempat sampah, timba, dispenser, hingga kompor gas. Adapun dana dari pembelian hadiah-hadiah tersebut didapat secara kolektif; masing-masing peserta jalan sehat dikenai iuran sebesar dua ribu rupiah saja.


Dokumentasi Kari Kecingkul, 23 Agustus 2015

Ada sebuah mobil yang mengiringi/memimpin di depan untuk mengangkut sound system serta hadiah-hadiah, sedang di depannya lagi terdapat sebuah mobil patroli milik Polsek Kalisat, sebagai pengiring dan juga keamanan.
Tak kalah serunya ketika pengundian hadiah berlangsung, di lapangan kecil dekat rumah keluarga Faroz, di dusun Krajan desa Ajung, Kalisat.

Seusai pengundian hadiah, acara selesai. Selanjutnya, sebagai acara penutup--dari serangkaian acara yang sudah berlangsung selama satu minggu ini, lomba tinju guling menanti.


Tinju Guling Kampong Lima, 23 Agustus 2015

Orang-orang berkumpul di jembatan kecil samping kanan keluarga Pak Faroz, atau tepat di seberang rumah Edo. Tempat sudah dipersiapkan oleh panitia, mulai dari tata air, batang pohon pinang yang direntangkan secara horizontal, hingga mempersiapkan dua guling.


Tinju Guling

Menurut Bapak Safrawi selaku ketua RW di Kampong Lima, perlombaan tinju guling adalah salah satu jenis perlombaan yang selalu ada di wilayahnya. "Jadi, setiap perayaan Agustusan, lomba yang tidak pernah absen ya tinju guling ini." Perlombaan berlangsung seru, semua bergembira di hari itu.

Minggu, 23 Agustus 2015

Suasana Kemerdekaan di Kampong Lima

Minggu, 23 Agustus 2015
Mulanya, tradisi lomba-lomba di bulan Agustus --dalam rangka memperingati HUT RI-- muncul pada era 1950an. Rasa antusias dalam menyambut hari kemerdekaan ini kemudian menyebar luas di seluruh tanah air. Di masa kependudukan Belanda tahun 1941, De Indische courant pernah mencatat jika di Jember pernah diselenggarakan kompetisi sodor antar sekolah lanjutan, bertempat di halaman sekolah lanjutan Krejongan, pada Minggu pagi. Saat itu Kalisat menjadi salah satu juaranya.

Bagaimana dengan suasana kemerdekaan di Kampung Lima?

Dimulai pada 30 Juli 2015, ketika muda mudi Kampong Lima kecamatan Kalisat bergerak bersama-sama untuk melakukan pemasangan bendera kecil di ruas-ruas jalan.


Kampong Lima, 30 Juli 2015

Mulanya, mereka mengadakan rapat kecil-kecilan hingga lahir ide memasang bendera di penghujung bulan Juli. Lalu mereka berbagi tugas. Ada yang menyiapkan lem, benang bol, dan kertas minyak warna merah dan putih. Kertas itu kemudian dipotong-potong, direkatkan pada benang bol yang telah direntang, dengan pola warna 'selang-seling' merah dan putih. Ketika rentangan telah siap, mereka memasangnya secara berkelok di atas JL. Kartini desa Ajung, Kalisat, Jember. Beberapa tetangga keluar dari rumahnya, saling menyapa dan berbagi senyum. Tentu ada yang membuatkan wedang kopi serta suguhan ala kadar untuk para pemuda ini.

Tidak berhenti pada pemasangan bendera saja, pada 3 Agustus 2015 mereka mengadakan rapat resmi (tercantum undangan) bertempat di rumah Bapak RW 05 desa Ajung Kalisat, yaitu Bapak Safrawi. Rapat perdana ini melahirkan struktur kepanitiaan serta ide lomba-lomba. Selengkapnya, silahkan baca artikel berjudul; Kampung Lima dan 70 Tahun Indonesia Merdeka.


Lomba Sunggi Tempeh di Kampong Lima

Hari-hari selanjutnya, Kampong Lima semarak oleh aneka lomba. Ada lomba sunggi tempeh, balap kelereng, memasukkan paku dalam botol, memasukkan benang dalam jarum, lomba bakiak, gigit koin, sepakbola terong, sepakbola joget, domino (acara ini ditiadakan sebab kekurangan peserta), jalan sehat, merias tanpa kaca, serta tinju guling.


Lomba Gigit Koin, 17 Agustus 2015

Tepat pada 17 Agustus 2015, pelaksanaan lomba-lomba di Kampong Lima semakin semarak. Diantaranya yang sangat menghibur adalah lomba gigit koin. Para bocah tampak bersuka-ria mengikuti lomba ini, tak peduli pipi dan sekitar bibirnya bercelemot hitam. Seperti tampak pada foto di atas, para bocah, laki-laki maupun perempuan, semua berpartisipasi dan bergembira meramaikan acara ini.

Di hari yang sama, ada yang tak kalah menarik dengan gigit koin. Apalagi kalau bukan lomba sepakbola joget.


Masing-masing tim terdiri dari empat bocah, boleh laki-laki maupun perempuan. Kiranya mereka memiliki modal sosial untuk hidup setara. Generasi kecil ini hanya harus terus bertumbuh dan belajar. Meski, tanpa belajar pun seorang anak akan tetap menuju dewasa. Namun tidak dengan sendirinya mereka sanggup mengolah rasa dan bernarasi sejarah.

Pada 17 Agustus 2015 malam, semua warga di Kampong Lima Kalisat menyelenggarakan tasyakuran bersama. Berlokasi di lapangan kecil dekat rumah Pak Faroz. Ada acara potong tumpeng, hadrah, pembacaan surat Yasin dan doa, serta makan bersama-sama. Masing-masing warga membawa makanan sendiri, untuk kemudian disantap seusai pembacaan doa. Indah sekali.


Tasyakuran 70 Tahun Indonesia Merdeka di Kampong Lima

Tentu masih banyak cuplikan-cuplikan suasana yang belum dituliskan di sini. Namun semoga Anda bisa menarik gambaran umum mengenai suasana kemerdekaan di Kampong Lima kecamatan Kalisat, Jember.

Terima kasih.

Jumat, 21 Agustus 2015

Ekonomi dan Masyarakat Jajahan

Jumat, 21 Agustus 2015
Dari buku berjudul; Citra kaum perempuan di Hindia Belanda. Bab awal, dengan tema; Ekonomi dan Masyarakat Jajahan. Penulis adalah Tineke Hellwig. Ia lahir di Surabaya pada 13 Juni 1957.

Ekonomi dan Masyarakat Jajahan

Dalam dasawarsa setelah tahun 1870, ekonomi menempuh arah baru di bawah kebijakan liberal--yaitu liberal dalam arti kata laisser-faire. Transformasi-transformasi ekonomi ini sejalan dengan perubahan-perubahan sosial dan politik yang luas. Cara-cara komunikasi yang lebih mudah (telegram, pengiriman surat) serta sistem transportasi yang lebih baik (kapal uap serta pembukaan terusan suez pada tahun 1869), merupakan penemuan baru dan berguna untuk memperpendek jarak antara negeri Belanda dan Hindia Belanda. Era ini dapat dianggap sebagai pengantar ke sejarah Hindia Belanda modern yang tak berumur panjang itu (1900-1940) dan yang berciri khas perluasan pada awalnya, lalu konsolidasi dan stagnasi, sampai akhirnya daerah jajahan ini mendapat pukulan terakhir: pendudukan oleh Jepang disusul oleh revolusi Indonesia (Van Doorn 1994: 49).

Kaum liberal menganut gagasan-gagasan yang mengizinkan usaha dagang swasta, bebas membuka perkebunan dan kepemilikan perorangan di Hindia Belanda. Di bawah sistem tanam paksa kebijakan surplus (batig slot) menjadi lazim. Ini menandakan bahwa hasil lebih dari wilayah Hindia tersedia bagi khazanah negeri Belanda. Selama hampir lima puluh tahun (1832-1877) jutaan (gulden) mengalir ke dalam khazanah negeri Belanda dan memungkinkan negeri ini menutupi defisit-defisitnya, menurunkan pajak, serta mengkonstruksi prasarana kereta api dan terusan-terusan. Antara tahun 1850 dan 1860, harga pasaran kopi dan gula demikian menguntungkan, sehingga menghasilkan laba berjumlah 31 persen dari seluruh jumlah penghasilan/pemasukan negara (Fasseur 1980: 4).

Sementara Hindia Belanda selama abad ke-19 menjadi wilayah yang menghasilkan (wingewest) atau Perusahaan Negara (Staatsbedriff), maka setelah tahun 1870 perjalanan ekonomi dan pemerintahan berpisah satu sama lain. Bermula, kaum liberal tetap memandang wilayah jajahan ini sebagai perusahaan negara dan berpegang pada kebijakan surplus. Hal ini, bagaimanapun, mengakibatkan pengeluaran pemerintah di Hindia, khususnya untuk maksud-maksud pertahanan (peperangan di Aceh) segera habis. Salah satu prinsip tentang kepemilikan tanah adalah bahwa tanah yang bukan milik perorangan, menjadi tanah negara (domein van de staat), yang terbagi dalam tanah bebas hak adat dan tanah yang terkena hak adat (Furnivall 1944: 179).

Warga negara Belanda dan perusahaan-perusahaan dapat dan boleh menyewa tanah ini, yang berakibat pelanggaran batas penananaman modal swasta di tanah jajahan ini. Makin banyak orang Eropa sekarang kecipratan pertumbuhan ekonomi, sementara makin banyak penduduk pribumi merasakan tekanan kolonialisme. Kapitalisme tumbuh pesat dan ekonomi penyambung hidup yang berabad-abad lamanya sesuai bagi para petani di Jawa, mau tidak mau digantikan oleh ekonomi moneter. Dengan produksi hasil bumi ekspor, Hindia mendapatkan tempat berpijak yang kokoh dalam ekonomi dunia.

Bermula, tanah disewakan kepada tuan tanah swasta yang mulai membuka perusahaan dan perkebunan. Dalam keadaan seperti di masa lalu, tuan-tuan tanah ini seluruhnya berkuasa atas penduduk di wilayahnya. Konon beberapa diantaranya, memerintah laksana seorang sultan, misalnya Andries De Wilde, yang tinggal bersama beberapa orang gundik dan mempunyai perempuan muda di antara hamba sahayanya yang katanya membentuk haremnya (Van Doorn 1994: 31). Gula, tembakau, karet, kelapa cungkil, minyak kelapa sawit, nila, dan kulit pohon kina, merupakan hasil-hasil tanaman menguntungkan, yang baik untuk ditanam karena sangat dicari-cari di dunia Barat yang mulai mengalami industrialisasi. Tak lama setelah generasi pertama pengusaha perkebunan mulai mantap, sistem perkebunan tumbuh menjadi organisasi usaha dagang berbentuk hukum dan yang sering berkantor pusat di negeri Belanda (Legge 1964: 82).

Selanjutnya, halaman 20 dan 21 tidak dapat dibaca. Silahkan membeli buku, Citra kaum perempuan di Hindia Belanda.

...posisi mereka setelah ekonomi mereka menjadi bagian dari pasaran dunia serta dari dunia modern. Akibat dari cara pemerintahan mereka yang tidak langsung, Belanda telah memanipulasi kaum ningrat Jawa ke dalam struktur pemerintahan mereka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu mereka makin menghilangkan orang pribumi dari kegiatan-kegiatan ekonomi. Sementara komunikasi bisnis dan niaga Eropa yang semakin besar menjadi makmur di bawah perundang-undangan Liberal, mereka menentang keras 'pengindonesiaan' tatanan jajahan. Sementara itu, pemerintah juga mematahkan dan bahkan menghalangi upaya-upaya para warga negara Belanda di Hindia ikut campur dalam hal politik.

Liberalisasi beroperasi berdasarkan prinsip bahwa kemajuan ekonomi serta laisser-faire akan mengakibatkan perbaikan kesejahteraan umum, tetapi, ternyata kebijakan liberal tidak mencapai hasil-hasil yang dimaksud, juga tak tercapai masyarakat yang seragam. Setelah mula-mula meningkatkan keadaan menyeluruh, ekonomi jadi terhenti sehingga perlu diadakan intervensi Pemerintah (Furnivall 1944: 223). Bila tatanan sosial serta kelompok-kelompok berlainan yang membentuk tatanan tersebut diamati secara lebih cermat, maka jelaslah sampai seberapa jauhkan periode ini menguntungkan bangsa Eropa (Belanda) dan betapa tak seimbangnya penyebaran kekayaan.

Dalam mata kaum liberal, kunci ke arah sukses adalah pembangunan ekonomi, namun mereka tak mempunyai strategi untuk membangun Hindia Belanda. Kemakmuran bagi segala pihak akan dicapai melalui ekonomi yang tumbuh subur. Mereka juga bertujuan mempersatukan kaum pribumi melalui proses tersebut. Dalam hal ini politik Liberal sama sekali gagal, bukannya integrasi masyarakat pribumi yang terjadi, melainkan pengucilan yang makin lama makin memburuk, dan kesadaran akan konflik kepentingan-kepentingan timbul antara berbagai kelompok.

Dalam studi tentang masyarakat dan ekonomi Hindia, konsep kemajemukan sering disebut sebagai faktor dominan. Akan tetapi, konsep ini relatif tetap terselubung, sampai abad ke-19. Tahun-tahun VOC membentuk fondasi bagi pengotakan masyarakat: Orang Belanda (Eropa), kaum Indo, orang Indonesia pribumi dan Tionghoa membentuk komunitas-komunitas mereka sendiri, dan hingga tingkat tertentu tinggal di wilayah mereka sendiri. Dalam ideologi kolonial pertengahan tahun 1830-an, diskriminasi sosial menjadi garis pemisah utama, suatu klasifikasi di mana sebuah perbedaan antara lapisan atas kulit putih serta massa pribumi yang lebih rendah memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang paling mencolok. Golongan Indo dan Tionghoa termasuk lapisan menengah. Sesuai dengan fluktuasi-fluktuasi sosial yang terjadi, mereka harus senantiasa meredefinisikan posisi. Semua kelompok memperlihatkan tanda-tanda asimilasi serta akulturasi. Namun, yang tetap saling memisahkan mereka, lebih kuat daripada persamaan-persamaan mereka.

Penduduk pribumi Indonesia tersebar di beberapa ribu pulau, senantiasa bersifat heterogen dan terbagi dalam ratusan kelompok etnik. Di atas stratifikasi sosial dan etnik tradisional ini masih ada lagi lapisan stratum jajahan. Buku ini bertujuan hanya mendiskusikan sistem status pribumi di Pulau Jawa saja (Berdasarkan Wertheim 1964: 133-36). Penduduk pedesaan di Pulau Jawa akan mencapai gengsi dari tanah yang mereka miliki. Dalam masyarakat pemukiman yang saling terjalin erat, gagasan tentang nenek moyang bersama akan mengikat anggota-anggota kelompok masyarakat yang bersangkutan. Sekalipun memang terdapat seorang kepala desa, secara tradisional kelompok-kelompok masyarakat mengambil keputusan atas dasar musyawarah. Dalam sistem feodal, kaum priyayi Jawa memerintah di atas tingkat desa. Sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berurat akar, sebagian berdasar pada konsep-konsep Hindu Buddha, anggota-anggota keluarga ningrat biasa diperlakukan penuh hormat oleh rakyat biasa. Mereka diaanggap bersifat supranatural atau setengah dewa. Kekuasaan dianggap berpusat dalam diri sang penguasa, asal dekat saja dengan orang seperti itu, berarti orang yang dekat tadi ikut berkuasa. Lebih-lebih lagi, orang Jawa cenderung membayangkan struktur kekerabatan melalui garis vertikal. Tetap terdapat rasa pengabdian dan kepatuhan terhadap atasan (Koentjaraningrat 1985: 459). Berkenaan dengan hubungan antara orang-orang berlainan jenis, perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum perempuan memegang peranan penting dalam pembudidayaan padi serta tanam-tanaman lain.

Seperti sudah disebut di atas, kaum ningrat tergabung dalam sistem pemerintahan Belanda sejak abad ke-18 dan seterusnya, dan secara politik menjadi tidak berdaya.

Halaman 25 dan 26 tidak ditampilkan.

...dari 250 tahun daerah jajahan tersebut mencapai titik pemantapan supremasi kulit putih. Suatu golongan bangsawan kolonial telah dicetuskan, dan anggota-anggotanya menduduki bagian terbesar posisi pengendali dan pengambilan keputusan, jika tidak semuanya. Mereka memandang diri mereka sebagai jauh lebih tinggi daripada seluruh pendudik lain di Hindia dan mengambil sikap patriarkhal. Orang Eropa di Hindia tampil sebagai golongan elit kelas menengah khas. Hanya yang menjadi militer tidak masuk kategori ini.

Golongan Indo merupakan kelompok khusus. Dilahirkan dari lelaki Belanda dan perempuan pribumi, kedudukan hukum mereka berjenis atau Eropa atau Inlander (pribumi). Perbedaan ini bergantung pada masalah apakah mereka dilahirkan dalam ikatan perkawinan orang tua mereka atau di luar ikatan perkawinan, namun diakui oleh ayah mereka, sehingga mereka berkebangsaan Eropa; atau jika mereka lahir dari ikatan di luar perkawinan, sebagai anak tidak sah, maka mereka menjadi inlander. Tetapi, apapun keadaannya, kesetaraan sosial antara golongan kulit putih dan golongan Indo mustahil terjadi. Berbeda dari orang Tionghoa, orang Indo terkena rasisme dan mereka sangat sadar akan warna kulit mereka, yaitu kriteria penentu utama bagi kedudukan dan gengsi mereka. Kemahiran berbahasa Belanda dan jenis pakaian mereka juga jadi kriteria dalam menilai apakah seseorang lebih bersifat 'kulit putih' atau ''inlander.' Pada awalnya istilah Indo digunakan untuk menyatakan orang berdarah campuran. Namun ia juga menjadi istilah bagi orang yang merupakan bagian dari dua kebudayaan. Keturunan dari dua orang tua berkebangsaan Eropa misalnya, yang dilahirkan dan dibesarkan di Hindia, secara psikologi dapat mengidentifikasi diri sebagai Indo, atau dinilai sebagai Indo oleh orang-orang lain. Umumnya istilah Indo berkonotasi negatif, tetapi kadang-kadang bisa juga positif, tergantung pada konteksnya.

Penduduk Hindia berkebangsaan Eropa memiliki identitas budaya tersendiri. Orang Belanda totok yang baru tiba di Hindia menganggap penduduk Eropa di Hindia Belanda sebagai 'orang daerah pedalaman'', yang tak berbudaya, sekalipun punya akses terhadap peradaban Barat. Suatu sifat menyolok yang dikaitkan dengan mereka adalah materialisme yang tamak. Persepsi ini sebagian disebabkan oleh cara-cara penuh penghinaan yang digunakan untuk menggambarkan sifat khas orang-orang Indo. Bayangan tentang mereka ialah sebagai orang yang lamban, tidak dapat diandalkan, terlalu bersikap tunduk, atau sebaliknya, tanpa rasa takut sedikitpun, dan mereka berbahasa Belanda buruk sekali, dengan aksen berat. Kaum perempuannya dikenal sebagai sensual, genit, dan suka merayu kaum laki-laki. Namun para Indo merupakan penduduk tetap (blijvers) yang begitu dibutuhkan pada abad-abad permulaan VOC. Bagian terbesar orang Eropa totok hanya tinggal sementara saja di Hindia (sebagai trekkers=pengembara), dan tidak mengadakan kontak yang tetap dengan penduduk pribumi, karena mereka terlalu berpindah-pindah dan secara sosial terlalu jauh jaraknya dengan orang-orang pribumi.

Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda secara sosial dan budaya di Eropanisasi berkat alat transportasi yang menjadi lebih baik serta perhubungan yang lebih cepat. Lambat-laun tatanan kolonial lama menghilang dan diganti dengan cara kehidupan yang jauh lebih mendekati cara kehidupan Barat. Kelihatannya tersedia dua alternatif bagi Hindia, yaitu Eropanisasi yang akan menemukan realisasi dalam apa yang dinamakan 'Negeri Belanda di Wilayah Khatulistiwa', atau suatu sintesis dari berbagai kelompok yang berlainan tanpa penguasaan komponen Belanda maupun komponen pribumi. Akan tetapi, tak satu pun dari kedua pilihan ini yang akan terealisasi, karena masa depan Kepulauan Nusantara ini adalah Republik Indonesia.

Akar nasionalisme yang menjurus ke proklamasi kemerdekaan Indonesia, dapat diruntut ke berbagai faktor dalam kurun waktu yang kita bicarakan. Yang paling penting ialah pendidikan dan peristiwa-peristiwa politik internasional. Telah disebut di atas, bahwa 'pendidikan Barat memberi peluang kepada orang2 pribumi untuk mengisi jabatan yang dahulu khusus dicadangkan untuk 'kasta' Eropa. Dengan demikian fondasi2 sistem status kolonial rubuh. Di sini, sebagaimana juga di tempat-tempat lain, pendidikan berdampak dinamit pada sistem kasta kolonial (Wertheim 1964: 147). Pendidikan bagi orang2 pribumi dimulai secara terbatas sekali pada dasawarsa 1860-an berkat tekanan para misionaris, kaum liberal, dan pejabat serta kepala-kepala perkebunan yang menyadari adanya kebutuhan akan tenaga kerja berpendidikan. Sementara pada tahun 1864 diangkat seorang Inspektur Pendidikan Pribumi yang pertama, namun Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri baru didirikan pada tahun 1867.

Sekolah-sekolah Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, terpisah sama sekali dari sekolah-sekolah pribumi (Inlandse Scholen). Pelajar-pelajar pribumi secara resmi tidak diizinkan masuk sekolah Eropa. Selain itu, beberapa gelintir pelajar yang diterima masuk dikenakan syarat menguasai bahasa Belanda. Orang-orang pribumi tidak didorong belajar bahasa Belanda, karena bunyinya tidak cocok untuk bibir pribumi (Furnivalll 1944: 221). Walau bagaimana pun, arus permintaan untuk pendidikan tak terbendung, dan jumlah pelajar non-Eropa di sekolah-sekolah Eropa meningkat dari 266 orang pada tahun 1870 menjadi hampir 2000 orang pada tahun 1900. Pada tahun 1893 sekolah-sekolah dasar bagi orang-orang pribumi terbagi dalam sekolah2 kelas satu dan kelas dua, masing2 untuk golongan atas dan masyarakat umum. Lembaga-lembaga pendidikan yang memberikan pelatihan khusus untuk pejabat-pejabat pribumi atau para calon dokter membuka kesempatan untuk pendidikan lanjutan. Khususnya di kalangan orang Jawa, timbul golongan cendekiawan, kaum priyayi baru. Status mereka diraih berkat hasil karya serta bakat mereka sendiri, ijasah yang mereka capai, serta kemahiran mereka berbahasa Belanda. Pekerjaan di kantor sangat diperebutkan dan pekerjaan yang bersifat lebih tradisional, dalam sektor pertanian, dipandang rendah. Sementara itu, banyak orang Indo bersekolah dasar dan menengah yang menyebabkan mereka diterima sebagai karyawan administratif.

Pada kurun waktu ini, latar belakang pendidikan membantu meningkatkan kesadaran orang pribumi, seorang perempuan pribumi istimewa yang hidup di Pulau Jawa dan mulai membela hak-hak perempuan untuk pendidikan, ialah Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara dari selirnya, Ngasirah. Kartini (1879-1904) dan kedua adik perempuannya diizinkan oleh bapak mereka bersekolah di sekolah Eropa. Pada masa itu, merupakan hal istimewa sekali jika anak perempuan priyayi Jawa bergaul secara luwes dengan anak-anak Belanda dan Indo. Setelah mencapai umur akil balig, dua belas tahun, Kartini meninggalkan bangku sekolah karena harus dipingit. Ia merasa tertekan karena kebebasannya mendadak berakhir. Akan tetapi, bapaknya mendorongnya untuk terus membaca buku-buku berbahasa Belanda, majalah dan koran. Dengan cara demikian, Kartini berhasil meresap gagasan-gagasan serta kebudayaan Barat. Melalui kontaknya dengan istri pegawai-pegawai Belanda, serta surat menyurat dengan seorang teman korespondensinya di Amsterdam, ia mulai berkenalan dengan masalah-masalah gerakan perempuan. Surat-suratnya mengungkapkan betapa susah hatinya karena perbedaan perlakuan terhadap lelaki dan perempuan Jawa, ketidakadilan terhadap kaum perempuan, langkanya kesempatan bersekolah bagi kaumnya, perjodohan yang diatur, serta poligami.

Sekalipun ia bercita-cita serta melakukan 'perang salib' demi memajukan kehidupan sesama perempuan Jawa, namun suatu ketika Kartini memutuskan untuk tidak melanjutkan studi. Pada tahun 1903 Kartini menyetujui untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang yang jauh lebih tua dari.....

Halaman 32 dan 33 tidak ditampilkan.

Akhir abad ke-19 menyaksikan tenaga-tenaga sentrifugal berkecamuk di masyarakat Hindia. Berbagai partai mulai mencari identitas dan budaya masing-masing. Dan kesadaran diri lebih kuat daripada kepentingan politik dan ekonomi bersama mana pun. Pada masa ini, dengan berbagai kekuatan yang saling berlawanan berkecamuk, kelompok yang berada di lapisan tengah masyarakat diserang dan bernasib paling buruk.

Selanjutnya bisa ditengok di sini: Citra kaum perempuan di Hindia Belanda.

Kamis, 20 Agustus 2015

Merias Tanpa Kaca

Kamis, 20 Agustus 2015

Dokumentasi Kari Kecingkul, 20 Agustus 2015

HARI ini warga Kampung Lima desa Ajung kecamatan Kalisat --Jember-- mengadakan lomba merias tanpa kaca. Lomba ini tentu diistimewakan bagi kaum Hawa. Masing-masing peserta terdiri dari satu pasang, mereka bergantian saling merias. Jika si A hendak merias si B, maka kedua mata si A ditutup --oleh panitia-- dengan kain. Adapun alat-alat kosmetik disediakan oleh pihak panitia.

Lomba tersebut mengundang gelak tawa, menghibur hati semua warga yang menonton, sekaligus menyegarkan kembali ingatan kita tentang betapa bermanfaatnya sebuah cermin. Jika kita ingin tampil baik, sebaiknya bercermin. Dengan kata lain, jika ingin menyongsong masa depan dengan penuh semangat, mari kita belajar dari sejarah. Penulisan sejarah yang 'benar' akan memberi dampak baik pada kehidupan kita di hari ini dan di hari-hari selanjutnya.

Pada 8000 tahun yang lalu, manusia telah mengenal cermin. Ia memanfaatkan kepingan batu yang mengkilap --seperti batu obsidian-- untuk dijadikan cermin. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan serta ledakan teknologi, kini kita telah mengenal cermin yang lebih praktis dan detail. Hanya saja, semakin mudah kita menjumpai cermin, semakin kita malas untuk bercermin.

Teman-teman, mari bercermin dari masa lalu.

Kamis, 13 Agustus 2015

Setelah Adam Menendang Bola

Kamis, 13 Agustus 2015
Sebelum Adam menendang bola, ada seseorang di pinggir lapangan yang sedang marah-marah pada salah satu panitia pertandingan sepakbola antar Sekolah Dasar di Kalisat. Di atas rumput lapangan Nusantara desa Ajung, emosinya terbakar. Pak Adi Wiyono tampak telaten menenangkan orang bertubuh agak gemuk dan yang sedang mengenakan hem warna merah hati itu. Jarinya mengacung ke orang yang dimaksud, mulutnya tak henti melontarkan simbol-simbol kemarahan.

Saya baru saja tiba di lapangan, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sorot mata saya hanya tertuju pada Adam Mahesa, lelaki kecil kelas enam SD --di SDN Ajung 1-- yang kerap menemani saya memetik gitar di kontrakan sebelah rumahnya.

Sebelum Adam menendang bola, orang-orang berkerumun mendekati mistar gawang tempat adu finalti berlangsung. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman SD, pendukung kesebelasan SD Ajung 1 dan SD Plalangan 3, juga beberapa guru. Ada juga pedagang asongan yang larut dalam suasana menentukan.

Sebelum Adam menendang bola, pihak lawan telah sukses menyarangkan bola yang tak bisa ditepis oleh penjaga gawang. Ini adalah saat dimana mental Adam diuji oleh keadaan.


Ketika Adam menendang bola, 13 Agustus 2015 Pukul 09.57

Kemudian tibalah saat yang saya nantikan, ketika lelaki kecil dengan nomor punggung 19 itu bersiap menendang bola. Ia tampak gagah, dengan kuda-kuda yang prima. Tendangannya pun berkelas. Namun, satu detik setelah Adam melayangkan tendangannya, saya tahu, ini sama seperti tragedi Roberto Baggio pada final Piala Dunia 1994 antara Brasil melawan Italia.

Baggio, pemain terbaik dunia tahun 1993, memiliki kisah duka di ajang adu finalti World Cup 1994. Tendangannya melambung, Brasil bersorak, namun negeri Italia menangis.

Adam menangis, hatinya hancur. Ia menundukkan wajah, seolah sedang menghindar dari tatapan dunia. Teman-temannya tak berhasil membuatnya tenang. Lalu, Babo kakak kandungnya, menghampiri Adam.


Setelah Adam Menendang Bola

Kiranya ada seseorang yang berhasil menenangkan hati Adam. Ia berambut panjang, mengenakan kostum olahraga warna merah putih. Kelak, ketika Adam telah dewasa, semoga momen ini saja yang teringat dalam memorinya.

Hari ini, Adam adalah Roberto Baggio pada 21 tahun yang lalu. Misalnya Adam bisa melewati detik-detik yang menyedihkan ini, lalu kembali tersenyum seperti layaknya para bocah seusianya, berarti Adam telah mengantongi sebuah ilmu yang mahal yang ia dapat dari lapangan Nusantara. Ilmu itu bernama hati yang luas, yang selalu menyiapkan dua mental; mental ketika menang dan mental ketika tersungkur. Jatuh satu kali berdiri dua kali, seperti itulah Adam Mahesa nanti.

Ada sebuah catatan berjudul; Roberto Baggio, Berlumur Dosa Namun Tetap Dicintai. Di sana dituliskan jika Baggio tetap dicintai, hingga ketika ia menutup kariernya pada 16 Mei 2004.

Saat Baggio akhirnya ditarik keluar lapangan pada menit ke-88, publik San Siro memberikan standing ovation. Tepuk tangan meriah itu diikuti oleh seruan-seruan dukungan pada Baggio. Pertandingan sempat terhenti sesaat untuk memberikan waktu bagi Baggio berpamitan pada publik sepak bola Italia. Meski tersenyum, ada air mata yang menggenang yang ikut mengiringi.

Saya kira, Adam Mahesa memiliki kisahnya sendiri. Ia merdeka untuk mengukirnya menjadi seperti apa yang dia inginkan. Adam, tersenyumlah teman, ini hanya anak tangga mungil yang harus kamu hadapi dan lewati, untuk menuju fase kehidupan selanjutnya. Doa terbaik untukmu.

Minggu, 09 Agustus 2015

Gudang Tembakau di desa Ajung Hangus Terbakar

Minggu, 09 Agustus 2015
Ajung adalah nama salah satu desa --dari dua belas desa-- yang terletak di kecamatan kalisat, Jember. Di masa Hindia Belanda, desa Ajung dikenal sebab di sini terdapat sebuah kongsi perkebunan bernama De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong. Ia didirikan pada tanggal 26 Mei 1897, lalu meredup dan memutuskan untuk menutup perusahaan pada tahun 1939.

Kini jejak-jejak De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong telah tersulap menjadi Perkebunan Nusantara X PT Persero Kalisat. Tepat di belakang kantor perkebunan, dulu terdapat sebuah stasiun kecil bernama stasiun Ajung, sayang sekali kini telah rata dengan tanah. Tak ada saksi bisu penanda kemegahan kecuali kisah.


Gudang Tembakau di desa Ajung terbakar, Minggu, 9 Agustus 2015

Di atas tanah desa Ajung inilah, dini hari tadi --dimulai sekitar pukul 03.00, telah terjadi sebuah kebakaran. Bukan di areal kantor perkebunan, melainkan di gudang tembakau yang khusus dijadikan gudang penyimpanan tembakau jenis TBN (Tembakau Bawah Naungan). Ia juga merupakan properti milik Perkebunan Nusantara X PT Persero Kalisat.


Tampak dalam foto di atas, seorang petugas pemadam kebakaran yang ada di lokasi sedang memandangi 'si jago merah.' Ia mengenakan helm, masker, dan kaos lapang bertuliskan, "Tak Kan Pulang Sebelum Padam."


Pemadam Kebakaran Posko Kalisat, yang mobilnya selalu siaga di kantor kecamatan Kalisat, tentu mereka segera tanggap dalam mengatasi kebakaran. Namun, sayang sekali, api terlalu cepat menjalar. Gudang tembakau ini pun didominasi oleh bahan-bahan yang mudah terbakar, misalnya bambu.


Para 'Brandweer' berbaju biru tampak sedang mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk menjinakkan api.

Dalam tahun ini, telah terjadi dua kali kebakaran besar di Kalisat. Pertama, pada 4 Mei 2015 lalu, ketika terjadi konsleting di salah satu ruko yang terletak di areal terminal hingga menciptakan kobaran api yang besar.

Hingga catatan ini diunggah, belum diketahui penyebab terjadinya kebakaran. Juga tidak ada laporan mengenai korban jiwa.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Pernikahan Irma dan Ramah

Sabtu, 08 Agustus 2015

Undangan Walimatul Ursy

Hari ini telah menikah, Irma Yuli Nugrahanti, S.E., Putri Bapak Mulyono Kalisat-Jember, dengan Ramah Putra M.O, S.Kom., Putra Bapak H.M. Jusran H.O - Makassar.

Akad nikah berlangsung di JL. Kartini No. 6, RT. 002/RW. 005, Dusun Krajan Desa Ajung, Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur.

Kamis, 06 Agustus 2015

Manusia Payangan

Kamis, 06 Agustus 2015
Oleh Edwindy Corbezt

Lima hari lalu, 2 Agustus 2015, saya mewawancarai Bapak Markawi, masyarakat Payangan Ambulu, kabupaten Jember. Bapak Markawi asli Sumenep, ia pendatang di Payangan. Sedangkan istrinya terbilang dari keturunan Jawa Mataraman.

Jadi ada tiga tahap pergerakan masyarakat pendatang. Tahap pertama, masyarakat Majapahitan, tahap kedua masyarakat Mataraman, dan tahap ketiga adalah masyarakat Ponorogo dan pesisir Madura. Di Payangan juga pernah ada ekskavasi benda sejarah. Namun saya tidak tahu itu legal atau ilegal. Ditemukan manik-manik hingga kerangka kepala yang ukurannya diluar size manusia normal.

Itu menurut Bapak Markawi. Untuk mengetahui benar tidaknya, tentu dibutuhkan penelitian kembali.

Ekskavasi benda sejarah yang dilakukan di Ambulu itu sekitar tahun 2000. Setengah Abad sebelumnya, sekitar 1950, di Puger dekat Ambulu, pernah diadakan penggalian benda-benda bersejarah. Kita bisa menengok beberapa fotonya di album foto koleksi KITLV Leiden.


H.R. van Heekeren bij een opgraving in de Poegerduinen, zuidoost Java. Circa 1950

Sebelumnya, sekitar tahun 1930-1940 telah ada sebuah penelitian di gua Sodong di Puger, Jember, Jawa Timur. Seperti yang telah dikoleksi oleh KITLV dengan keterangan, "Onderzoek van de grot Goeoh Sodong bij Poegoer in de residentie Besoeki door H.R. van Heekeren." Keterangan ini dilengkapi dengan sebuah foto, seperti di bawah ini.


Koleksi KITLV

Di foto yang lain, tertera sketsa batuan (artevak) yang ditemukan di sekitaran Puger. Foto dari koleksi KITLV Leiden tersebut bisa dilihat di sini.


Vuistbijlen en andere stenen voorwerpen, opgegraven te Poeger op Java. Date 1925-1955

Bagaimana dengan ekskavasi di Payangan yang dilakukan sekitar tahun 2000? Ada satu pernyataan dari Bapak Markawi (narasumber) yang menyebutkan jika saat itu telah berhasil ditemukan manik-manik hingga kerangka kepala yang ukurannya diluar size manusia normal. Jika itu benar, manusia seperti apakah yang memiliki tempurung kepala besar, tidak seperti ukuran manusia normal?

Selasa, 04 Agustus 2015

Didan Khitan

Selasa, 04 Agustus 2015
Pada hari Rabu, 05 Agustus 2015, akan ada selamatan khitan di Kampung Lima desa Ajung kecamatan Kalisat. Adalah Didan Rigel Shaula, lelaki kecil putra dari Bapak Didik Rifal Sujono, yang hendak dikhitan. Selamatan akan dilaksanakan pada pukul satu siang bertempat di kediaman Bapak Didik, JL. Kartini No. 17 desa Ajung-Kalisat.


Sejak tadi sore, terlihat kesibukan warga dalam mempersiapkan hajatan khitan. Mereka mempersiapkan tenda, kursi-kursi, sound system (milik Mas Be'bel) serta mempersiapkan hidangan secara rewang. Untuk mendukung lancarnya acara, akses jalan di JL. Kartini ditutup sejak tadi sore sekitar pukul setengah lima, dari depan rumah Pak Untung hingga ujung rumah Bapak Jazuli, diarahkan ke Gang Lecang. Penutupan jalan ini berlaku hingga esok malam.

Tambahan

Sebelumnya, pada 4 Juli 2015 lalu, putra dari Bapak Joko Purnomo juga telah melangsungkan khitan. Ia bernama Darvesy Azhar Billah, biasa dipanggil Vesy atau Bojez.

Senin, 03 Agustus 2015

Kampung Lima dan 70 Tahun Indonesia Merdeka

Senin, 03 Agustus 2015
Malam ini, sepulang pengajian dari rumah keluarga Pak Bunawi, para pemuda Kampung Lima di desa Ajung kecamatan Kalisat bersiap-siap hendak berkumpul di rumah Pak Safrawi selaku ketua RW. Undangan telah menyebar dari RT 01 hingga RT 02 (masuk wilayah RW 05 Kampung Lima), bermaksud hendak bermusyawarah dalam menyambut Agustus-an dan membuat susunan panitia.


Kampung Lima dan 70 Tahun Indonesia Merdeka

Sekitar pukul delapan malam, satu persatu pemuda desa Kampung Lima mulai berkumpul. Setelah semua berkumpul, rapat dimulai.

Jumlah pemuda-pemudi yang hadir total 35 orang. Mulanya mereka merumuskan siapa sebaiknya yang bersedia dan memiliki kesempatan untuk menjadi Ketua Panitia untuk menyambut HUT RI ke-70 ini. Ada tiga kandidat; Agil, Febri, dan Edo. Kemudian dilakukan voting dan disepakati untuk tahun ini Edo menjabat sebagai ketua panitia, dengan perolehan suara 21. Sedangkan Agil dan Febri, yang sama-sama memperoleh 7 suara, mereka berdua menjadi wakil ketua panitia.

Setelah itu dibentuklah seksi-seksi. Rima S. Purnamasari ditunjuk sebagai bendahara, dan ia sama sekali tidak keberatan. Setelah Rima, ada nama-nama lain yang mengisi bidang perlengkapan, humas, pencarian dana, konsumsi, dan seksi acara.

Untuk lomba-lomba, akan dimulai pada tanggal 14 Agustus 2015. Ada sebelas lomba yang disepakati, diantaranya; Lomba makan kerupuk, gigit koin, sepakbola joget, rias tanpa cermin (untuk Ibu-ibu), tinju guling, balap kelereng, pukul kendi/plastik.

Sebelum acara usai, Pak RW berinisiatif memberikan usul tentang iuran kolektif untuk pengeluaran panitia nanti. Jadi, dari 35 teman yang hadir disarankan menulis nominal uang yang akan disumbangkan (untuk internal panitia) meskipun tidak dibayar hari itu juga. Istilahnya, Akad.

"Hasil dari Akad ini nanti hanya untuk keperluan panitia, sedangkan untuk biaya lomba hingga pementasan, itu akan dipikirkan bersama, dengan humas dan pencari dana sebagai ujung tombaknya," ujar Pak Safrawi.

Meskipun masih di angan-angan, uang Akad yang telah tertulis itu total berjumlah 900.000 rupiah.

Pada pukul sepuluh malam, acara disudahi.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Soetjipto Joedodihardjo: Dari Mantri Polisi Kalisat ke Kapolri

Sabtu, 01 Agustus 2015
Mantri Polisi Kalisat (kabupaten Jember) di tahun 1942 adalah R. Soetjipto Joedodihardjo, ketika ia berusia 25 tahun. Kelak, di masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, Soetjipto ditunjuk menjadi Kapolri berpangkat Inspektur Jenderal Polisi. Presiden Soekarno melantiknya pada 9 Mei 1965. Tentu ini jabatan tertinggi yang disandang oleh lelaki kelahiran Jember, 27 April 1917.

Masa kepemimpinan Kapolri R. Soetjipto Joedodihardjo penuh dengan gejolak. Itu adalah masa-masa kelam Republik Indonesia.

Seusai masa tugas, jabatannya digantikan oleh Drs. Hoegeng Imam Santoso. Namanya mengingatkan kita pada guyonan Gus Dur, "Hanya ada tiga polisi yang jujur di Indonesia yaitu; polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.”
Sudut Kalisat © 2014