Sabtu, 31 Oktober 2015

Kedai Lecang Kalisat

Sabtu, 31 Oktober 2015
Oleh RZ Hakim

Impian membuat kedai bisa dialami oleh siapa saja, tak peduli siapa dan apa latar belakangnya. Ia bisa hinggap di benak pemuda Rotterdam hingga pensiunan pegawai negeri di Merauke. Begitu juga impian empat pemuda kelahiran tahun 1990an dari Kalisat, kabupaten Jember. Mereka adalah Gunawan, Verdy, Febri, serta Fanggi. Mimpi ini bermula ketika mereka masih bekerja di Pulau Dewata. Melihat orang-orang berlalu lalang di sebuah cafe, bercakap-cakap, menikmati hidup, barangkali hal-hal serupa itu yang ingin mereka bawa pulang ke Kalisat.

Pada 13 Januari 2014 lalu, saya mengirimkan pesan pendek kepada Fanggi, ketika ia memutuskan untuk berproses --kerja-- di Bali, mengikuti jejak Verdy dan Gun. Ini pesan pendek yang saya kirimkan.

"Oke Fanggi ati-ati dan sukses ya. Masbro masih di Jkt."

Sepuluh bulan kemudian --16 November 2014, ketika saya dan istri berkunjung ke Kalisat, saya berkesempatan berjumpa dengan Fanggi. Kami ke sana, salah satu tujuannya adalah untuk nongkrong di cafe seberang stasiun Kalisat yang dibuka oleh seorang teman muda bernama Frans Sandi. Ia baru membuka cafe itu sehari sebelumnya, 15 November 2014, bertepatan dengan peringatan tiga tahun pernikahan kami.

Fanggi. Lelaki bungsu dari tiga bersaudara ini memanfaatkan hari liburnya untuk pulang. Dari Fanggi kami mengerti, baru-baru ini Febri juga memutuskan untuk hijrah ke Bali. Fanggi dan teman-teman yang mencarikan Febri pekerjaan.

"Saya tetap ingin ke Jogja Mas. Tapi sebelum itu, saya bersama Mas Verdy ingin membuat sesuatu di Kalisat. Semacam kedai yang dilengkapi distro, untuk menjual karya-karya sendiri. Ya ada kaos, serta hasil-hasil karya yang lain." Begitu menurut keterangan Fanggi, lelaki muda kelahiran Kalisat, 13 Agustus 1995.

Di pertengahan November tahun lalu itu, Fanggi bilang jika akan pulang ke Kalisat. Bikin kedai. Melaksanakan impian. Fanggi memberi batasan 6 bulan lagi dia mantap akan pulang. Jadi, sekitar bulan Mei 2015 dia akan pulang, bersama teman yang satu impian. Kelak, tak hanya Verdy dan Fanggi yang berkeinginan mewujudkan mimpi ini. Mereka berempat, Gun dan Febri juga turut serta, meski posisi Gun hanya turut di bagian investasi saja. Empat orang, masing-masing meletakkan satu juta untuk sebuah mimpi.

Ketika saya dan istri memutuskan untuk kontrak rumah di Kalisat, dimulai sejak 20 April 2015, teman-teman muda Kalisat yang ada di Bali saya hubungi. Saya senang sebab mereka masih ada niatan untuk bikin kedai. Fanggi masih berpikiran sama. Ia ingin mengelola sebuah kedai yang ada perpustakaan kecilnya, ada kopi dan semacamnya, musik akustik, jual baju, tempat yang digagas tempo dulu dengan sentuhan agak modern yang didominasi warna pastel biru telur asin, cokelat, putih, hijau dan kuning.

Pada 4 Juli 2015, saya dan Fanggi berkomunikasi lewat jejaring sosial Facebook. Dia sedang berpikir keras tentang sebuah brand. Akan diberi nama apa kedai itu nanti? Saya dimintai tolong untuk sumbang ide. Saya bilang, bagaimana jika namanya kedai Lecang?

Sebenarnya saya tidak ingin turun tangan mengenai masalah nama. Saya bilang ke Fanggi, "Kamu harus memikirkan sebuah kata, yang kata itu bisa memotivasi hidupmu, dan menginspirasi orang lain." Namun kata Fanggi, dia bingung. Jadilah saya mencoba menawarkan sebuah nama. Lecang. Dari bahasa lokal Madura untuk menyebutkan getah buah nangka yang bisa dijadikan lem/perekat, biasanya untuk menjebak burung. Tadinya nama itu saya jadikan nama sebuah gang menuju rumah kontrakan. Di hari yang lain, teman-teman sependapat. Lecang menjadi nama kedai teman-teman, tak lagi saya gunakan untuk menamai gang.

Ketika itu --4 Juli 2015, posisi Fanggi masih ada di Bali.

Saat kami boyongan rumah --20 April 2015-- Fanggi, Fia, Anif, dan beberapa lagi, mereka baru turun dari Ijen. Katanya, memanfaatkan waktu libur. Lagipula EXPA --Sispala tempat mereka pernah aktif berproses-- sedang ada acara. Saat itu mereka menyempatkan diri untuk singgah di kontrakan meski sebentar.

Saya lupa kapan tepatnya Fanggi pulang --dari Bali-- ke Kalisat. Yang saya ingat, di akhir bulan Juli kami sudah ngopi bersama-sama. Bulan Agustus Fanggi (dan Lukman) habiskan untuk membantu/bekerja di IGA Production milik Mas Bajil, yang sedang kebanjiran pesanan kostum karnaval.

Di pemula bulan September, pesanan untuk karnaval masih ada. Setiap kali berjumpa dengan Fanggi, ia tak pernah membahas sedikit pun perihal impian yang belum tersentuh itu. Sebuah kedai. Pertengahan bulan September, jika tidak keliru, pada 17 September 2015, saya coba ingatkan itu.


Fanggi di hari pertama pembukaan Kedai Lecang, 17 Oktober 2015

Pada akhirnya impian itu terwujud juga. Bertempat di pelataran rumah kontrakan orangtua Febri di desa Ajung Krajan, Kalisat, pada 17 Oktober 2015. Saya dan istri senang menjadi pembeli pertama di kedai yang telah lama sekali direncanakan kehadirannya ini. Lima hari sebelumnya, berita gembira ini saya tuliskan di Funpage Facebook Sudut Kalisat.

Di Kalisat akan segera hadir sebuah distro dan kedai bernama LECANG, ia dimotori oleh Fanggi, Verdi, dan Febri. Mereka akan menyediakan ruang publik kecil untuk nongkrong dan bercengkerama, sembari menyiapkan karya-karya seni. Di sini, Anda bisa memesan kaos cukil, sablon, dan lukis.

LECANG direncanakan akan bertempat di rumah orang tua Febri di Kampung Lima, bersebelahan dengan IGA Production, JL. Kartini desa Ajung Krajan.

Tentu mereka akan menghadapi konflik dan proses-proses yang lain, mengingat ini pengalaman pertama mereka mendirikan 'ruang publik kecil' di sebuah kecamatan yang jarang mengadakan hal serupa kecuali musik dan karnaval. Namun di sini telah tercatat, pernah dilakukan/dibuka ruang seni di sekitaran lingkaran Kalisat, keberadaan komunitas teater, kehadiran pelukis, eksistensi penggemar Koes Plus, jaranan, patrol, macapat, pencak, dan beberapa lagi. Kiranya teman-teman 'Lecang' bisa banyak-banyak belajar dari mereka.

Kelak, mereka memang menghadapi konflik yang sederhana namun ia bisa saja berpotensi menjadi sangat rumit jika tidak segera dikomunikasikan. Sebelum Hari H pembukaan kedai Lecang memang telah ada konflik internal antara Febri, Fanggi, dan Verdy. Akan tetapi itu hanya sebuah ketidaksamaan sudut pandang saja, antara tiga lelaki yang sama-sama masih sangat muda. Konflik itu sudah tuntas, beberapa hari sebelum Kedai Lecang dibuka. 

Teguran muncul mula pertama dari Bapak Adi Wiyono selaku Ketua RT, pada 23 Oktober 2015. Wajar. Itu tentang musik akustik. Teman-teman Kedai Lecang pun telah manut. Sejak saat itu, tak ada lagi Live Music. Menjadi tidak wajar ketika konflik-konflik lainnya --ikutan-- mblarah kemana-mana. Saya menjadi empati kepada teman-teman muda itu. Neser.

Kiranya, di kesempatan yang berbeda, saya merasa perlu untuk membuat sebuah arsip tulisan tentang kronologis kejadian yang menimpa teman-teman Kedai Lecang, hanya agar semua menjadi jelas. Terima kasih.

*Bersambung ke catatan: Menjadi Seorang Penyampai Pesan

Jumat, 16 Oktober 2015

Kalisat Menyimpan Kisah Kepala Dipenggal

Jumat, 16 Oktober 2015
Berikut adalah catatan Om Qingliang Yang (warga Kalisat kelahiran 21 Januari 1958) di status Facebook miliknya tanggal 10 Oktober 2015. Dia menceritakan tentang sebuah pembunuhan di Kalisat, saat dia masih berusia tujuh tahun.

Catatan Qingliang Yang

Hari ini saya membaca berita mengenai seorang suami di India yang menenteng kepala istrinya yang dia pancung karena dugaan selingkuh. Ada banyak komentar mengenai berita tersebut di Kompas.com.

Pada tahun 1960an di desa tempat saya tinggal --Kalisat, Ayah saya adalah satu-satunya tukang potret yang membuka foto studio di sana. Ayah saya bernama Njoo Giok Kwan, pemilik Nyoo Studio di Kalisat, kabupaten Jember.

Pada suatu hari ada kejadian pembunuhan yang dilakukan seorang suami yang memergoki istrinya sedang selingkuh dengan pacar gelapnya. Sang suami kalap ini langsung membunuh keduanya. Tidak cukup begitu saja, dia juga memenggal kepala kedua korbannya sampai putus dan menentengnya ke rumah kepala desa. Istri sang kepala desa sampai pingsan ketika melihatnya.

Rekonstruksi dilakukan secara cepat oleh pihak kepolisian setempat dan Ayah saya diminta untuk mendokumentasikannya. Ayah menolak tapi tidak keberatan untuk meminjamkan kameranya kepada Mantri Polisi yang bernama Pak Soewardi (dia juga dikenal sebagai pengembang Orhiba di desa kami) untuk mewakilinya. Rekonstruksi dilakukan di zaman itu tanpa menggunakan boneka seperti di masa kini, alias langsung pakai barang bukti berdarah itu.

Ayah saya mencetak foto itu dan menyisakan beberapa lembar untuk di simpan dan ditunjukkan ke teman-temannya. Foto-foto hitam putih berukuran 6x6 yang dengan cukup jelas menunjukkan 2 buah kepala tergeletak di tanah, sering kami lihat ketika kami kecil dulu --saat saya berusia tujuh tahun-- karena diletakkan di laci tempat barang-barang tetek bengek disimpan! Sayangnya atau untungnya foto-foto itu sudah lenyap sehingga tak perlu saya memenuhi permintaan no pic=hoax untuk saya posting di sini.

Tambahan

Kisah serupa di Kalisat juga pernah saya jumpai di buku Srihandoko berjudul, Berjalan Bersama Tuhan. Buku itu adalah kumpulan beberapa catatan, dan catatan pertamanya berjudul; Kepala Manusia di Atas Piring. Ia berkisah tentang suatu pagi di Kalisat, ketika terjadi pembunuhan, namun berlatar tahun 1950an.

Korban pembunuhan itu adalah seorang sinder perkebunan bernama Pak Karman, sedangkan pembunuhnya adalah seorang mandor kebun yang tak lain adalah orang kepercayaan Pak Karman.

Kamis, 15 Oktober 2015

Para Keturunan Bujuk Genduk

Kamis, 15 Oktober 2015
PENYEBARAN KETURUNAN BUJUK/BUYUT GENDUK DENGAN KETIGA ISTRINYA

I. Istri pertama, Nyi Genduk, dengan gelar Mungsing Sari. Ia kelahiran Sumenep, dinikahi oleh Raden Bakat Joyo Manguk alias Bujuk Genduk ketika ia berdagang hingga ke tanah Sumenep.

Keturunannya menyebar ke daerah:

1. Sukokerto
2. Jelbuk
3. Maesan
4. Kraksan
5. Paiton
6. Besuki

II. Istri kedua bernama Nyi Gluduk, dari Pamekasan tulen, dinikahi oleh Bujuk Genduk ketika ia melarikan diri dari penjajah VOC, dari Sumenep dan hengkang/pindah ke daerah Pamekasan. Di sini Bujuk Genduk berjumpa dengan Nyi Gluduk yang kelak diberinya gelar Lembu Petteng.

Keturunan Bujuk Genduk dan Nyi Gluduk menyebar ke daerah:

1. Jember
2. Mayang
3. Sidomukti
4. Sempolan
5. Kalibaru
6. Banyuwangi

III. Istri ketiga Bujuk Genduk bernama Buyut Ripa. Ia adalah perempuan kelahiran Besuki. Dinikahi oleh Bujuk Genduk ketika ia berdagang dan bermukim di wilayah Besuki-Panarukan. Selain berdagang, Bujuk Genduk juga mensiarkan agama Islam. Melalui ikatan pernikahan, semakin memudahkannya untuk melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat yang ketika itu disinyalir masih memeluk agama Hindu. Sama seperti dua istri Bujuk Genduk sebelumnya, Nyi Ripa juga memiliki gelar pemberian suaminya, yaitu Singo Mendung.

Keturunan Bujuk Genduk dan Singo Mendung menyebar ke daerah:

1. Kalisat
2. Gumuksari
3. Pringgondani
4. Randuagung
5. Bondowoso
6. Sukowono.

Perlu diketahui bahwa keturunan Buyut Genduk alias Raden Bakat dari ketiga istrinya inilah sampai tujuh turunan dilarang memakan ikan mungsing. Memang kalau kita pikirkan segala sesuatu bila Tuhan menghendaki maka terjadilah seperti halnya kisah ini (penulis: Hery Soekinem).

PUTRA-PUTRA BUYUT GENDUK DENGAN ISTRI KETIGA/BUYUT RIPA:

1. Mbah Saryo
2. Mbah Asban
3. Mbah Raiti
4. Mbah Darmi
5. Mbah Jina
6. Mbah Slina
7. Mbah Muna
8. Mbah Jenab
9. Mbah Kasmo
10. Mbah Kacung
11. Mbah Nila
12. Mbah Hamila.

Keterangan:

BUYUT GENDUK dengan ketiga istrinya masing-masing menurunkan 12 orang anak:

1. Dengan istri pertama: 12 orang putra
2. Dengan istri kedua: 12 orang putra
3. Dengan istri ketiga: 12 orang putra.

Buyut Genduk dengan istri ketiganya memiliki anak pertama bernama SARYO atau dikenal juga dengan nama Nurdin. Ia --Saryo/Nurdin-- memiliki keturunan sebagai berikut:

1. Nurdin
2. Aliba
3. Pasah
4. Abdurrahin
5.Abdul Wahab alias Maryam.

Anak ketiga Mbah Saryo yang bernama PASAH memiliki dua istri, Muti'ah dan Muntamah.

KETURUNAN PASAH DAN MUTI'AH:

1. Minati
2. Soedarmi
3. Sudarso.

MINATI menikah dengan Abusidin, dikaruniai enam buah hati:

a. Soeroso
b. Soetopo
c. Rustam Affandi (menikah dengan Rochilla)
d. Sunarifin (menikah dengan Supinah)
e. Suryati
f. Kunayah (menikah dengan Samsuri).

SOEDARMI menikah dengan Soedarmo, dikaruniai tiga buah hati:

a. S. Koesnadi (menikah dengan Soertiningsih)
b. Soedaryo (menikah dengan Soeratminah)
c. Astutik.

SUDARSO, putra ketiga Pasah dan Muti'ah, tanpa keterangan.

KETURUNAN PASAH DAN MUNTAMAH, ISTRI KEDUA:

1. Suratmi
2. Soemakya
3. Soekina
4. Sukinem
5. Soekandar
6. Abdul Karim
7. Siama
8. Soeryani
9. Soekiman
10. Soemirah
11. Rufiati.

Keterangan:

1. SURATMI menikah dengan H. Mashuri, dikaruniai sepuluh buah hati:

a. H. Abdurrahman, menikah dengan Badriyah
b. Hj. Halimatus Sa'diyah (Nurwati), menikah dengan H. Hadiso
c. Nurtinah, menikah dengan H. Abd. Wahid
d. Nurwasih, menikah dengan Koesni Kuswandono
e. H. Imam Suharjo, menikah dengan Siti Hamidah
f. Sukarsono, menikah dengan Sri Ida Ningsih
g. Sujoko, menikah dengan Khoiriyah Lilfi
h. Jakfar Ashari
i. Nurhayani, menikah dengan Sukirman
j. Nurhayati, menikah dengan Hery Soeprajitno.

2. SOEMAKYA menikah dengan Atmowijono, dikaruniai empat buah hati:

a. Sukemi, menikah dengan Kariyanto
b. Sasmita, menikah dengan Yusup
c. Kusnadi, menikah dengan Wasiah
d. H. Siswanto, menikah dengan Hj. Siti Nur Aisyah

3. SOEKINA menikah dengan Djamaludin, dikaruniai seorang buah hati:

a. Soedartin, menikah dengan Toekijo

4. SOEKINEM menikah dengan Djamaludin, dikaruniai empat bua hati:

a. Bambang Sumadi
b. Endang Wahyuniningsih, menikah dengan Suja'i
c. Heri Kusyanto, menikah dengan Nanik Purwaningsih
d. M. Siswandi AJM, menikah dengan Lilis Tri Indriatmi.

5. SOEKANDAR, tanpa keterangan.

6. ABDUL KARIM, tanpa keterangan.

7. SIAMA, tanpa keterangan.

8. Soeryani, memiliki buah hati bernama Untung Bejo Kasianto (yang menikah dengan Mita)

9. SOEKIMAN menikah dengan Susyati, dikaruniai seorang buah hati:

a. Slamet Sholihin, menikah dengan Nanik Widowati

10. SOEMIRAH menikah dengan Wahyoedi, dikaruniai tujuh buah hati:

a. Kutut Soebiyantoro, menikah dengan Aruminingsih
b. Tutik Wahyuningtias Lestari, menikah dengan Sumarno
c. Metri Wahyuningsih, menikah dengan Sumarno
d. Bambang Irawan, menikah dengan Ernawati
e. Slamet Hariadi, menikah dengan Ririn Pramilu Karyawati
f. Teguh Santoso, menikah dengan Ety Prastiwi
g. Indah Wahyu Winarni

11. RUFIATI menikah dengan Soeminto, dikaruniai dua buah hati:

a. Eko Suprihatin
b. Wiwik Sukoatim


*Disalin dari buku "Legenda: Asal-usul Tanah Kalisat" yang ditulis oleh Hery Soekinem

Rabu, 14 Oktober 2015

Asal-usul Tanah Kalisat

Rabu, 14 Oktober 2015
Oleh Hery Soekinem

Sepatah Kata Penulis

Orang yang baik adalah orang yang berani menjaga keutuhan martabat dan nama baik keluarganya secara ikhlas lahir batin, cinta kasih serta saling memberi dan menerima dalam situasi apapun demi terciptanya rasa persatuan dan kesatuan keluarga dan sesamanya.

Buku ini berisi tentang kisah sesepuh kita semua yang dahulu pembabat daerah kota Kalisat. Kisah ini ditulis dari hasil kesepakatan para sesepuh atau tetua-tetua kita dahulu.

Buku ini saya tulis dikandung maksud agar dibaca anak-anak saya, ponakan saya, cucu-cucu saya, cicit-cicit saya dan seterusnya. Yang maksud dan tujuan untuk dijadikan bahan tolak ukur dalam belajar dan meniti kehidupan ke depan, serta dapatnya minimal bisa membanggakan perjuangan para sesepuhnya yang terdahulu.

Semoga kisah ini dapat bermanfaat bagi kita Keluarga Besar "Raden Bakat Joyo Manguk alias Buyut Genduk alias Buyut Geluduk."

Wassalam

Penulis/Hery Soekinem


Asal-usul Tanah Kalisat


PERJALANAN MEMBAWA AMANAT


Dahulu kala kurang lebih tahun 1685 sebelum tempat-tempat sekarang ramai tersebutlah tiga saudara yaitu Buyut Halim, Buyut Mahin, dan Buyut Genduk. Ketiga saudara tersebut adalah santri dari Kanjeng Sunan Kudus. Beliau bertiga memiliki nama asli R. Halim Joyo Laksono, R. Mahin Joyo Kusumo, R. Bakat Joyo Manguk. Ketiga orang tersebut bersaudara kakak beradik mengemban tugas mensiarkan agama Islam ke timur.

Suatu hari berangkatlah ketiga bersaudara tersebut dari daerah Rembang Jawa Tengah. Perjalanan tersebut berhari-hari bahkan berbulan-bulan keluar masuk daerah yang satu ke daerah yang lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Tidaklah halangan dan kepahitan sering dialami ketiga bersaudara tersebut. Tetapi dengan tabah dan sabar dihadapi dengan tawakal kepada Allah SWT.

Perjalanan demi perjalanan sampailah tiga orang tersebut ke daerah Surabaya. Tepatnya di daerah Jagir (sekarang Wonokromo). Di daerah Jagir menetap beberapa bulan, bersilaturahmi ke pesantren Ampel, Giri, dan tempat pesantren lainnya. Maka ketiga orang tersebut akan melanjutkan perjalanan ke timur.

Raden Bakat berkata, "Kang Mas meneruskan perjalanan ke timur, biar dimas mau ke utara pantai Madura."

Sahdan perjalanan R. Bakat ke Madura mengendarai tapis kelapa yang kering yang seperti perahu bentuknya, melintasi lautan pulau Jawa di perairan pantai Madura. Sedangkan kakak Raden Bakat yaitu Raden Mahin Joyo Kusumo dan Raden Halim Joyo Laksono meneruskan perjalanan ke timur dengan mengendarai kupu-kupu pemberian sesepuh Kiai Jagir seorang ulama berilmu tinggi dan bijak.

Keduanya berangkat menaiki kupu-kupu pemberian Kiai Jagir. Perjalanannya berbulan-bulan dari satu daerah ke daerah lain sambil berdakwah mensiarkan agama Islam. Banyak pengalaman-pengalaman yang dihadapi karena pada masa itu orang-orang banyak menganut agama Hindu. Sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan kedua saudara itu mengarungi perjalanan.

Karena kupu-kupu melihat badan luas yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang bermacam-macam maka turunlah kupu-kupu itu. Turunnya kupu-kupu itu sahdan di antara dua sungai (sekarang dusun Gerugul desa Sukoreno, Kalisat).

Raden Mahin berkata kepada kakaknya:

"Biar Kangmas saya mau membuka tanah ini, asal saja nanti kalau membuka tanah lain Kangmas harus sama di bulan Rajab hari Kamis Keliwon!"

Sedangkan Raden Halim meneruskan perjalanan ke timur, karena siang tengah hari kupu-kupu yang dinaiki melihat sumber air yang besar dan jernih maka turunlah kupu-kupu tersebut (sumber air itu yaitu bernama Sumber Tujuh di bawah Gumuk Pakil Kalisat Barat dan sampai saat ini sumber tersebut dipakai sebagai pemandian umum).

NAIK IKAN MUNGSING

Sahdan keadaan Raden Bakat di wilayah Sumenep Madura bermukim tidak seberapa lama karena Raden Bakat tercakup kasus masuk barisan kolonial penjajah. Dengan pertolongan Allah SWT Raden Bakat dapat melarikan diri hengkang/pindah ke daerah Pamekasan dan di sinilah beliau bermukim agak lama. Dan di Pamekasan ini Raden Bakat beristri lagi yang kedua tulen orang Pamekasan yang bernama Gluduk. Hingga kedua istrinya berkumpul dengan rukun. Perlu diketahui istri pertama Raden Bakat asli orang Sumenep bernama Genduk.

Memang kita perlu menyadari bahwa orang tua zaman dahulu rata-rata merupakan orang yang tekun dan tabah dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan hidup walaupun ke seberang lautan sekalipun mereka arungi demi masa depan bangsa yang akan datang.

Tidak lepas dari tanggung jawab dan kewajiban Raden Bakat untuk menghidupi kedua isrinya di Pamekasan dan sambil berdagang barang kelontong, kain sarung, dll. Raden Bakat berdagang tidak hanya berkeliling pulau Madura saja. Sambil berdagang juga mensiarkan agama Islam bahkan sampai juga ke wilayah tanah Jawa Besuki Panarukan.

Kepentingan Raden Bakat berdagang hingga sampai daerah Panarukan Besuki meninggalkan kedua istrinya tercinta tujuannya pula sambil menjenguk kesehatan kakak kandungnya yaitu Raden Halim Joyo Laksono yang berada di daerah Jember Utara yaitu wilayah Kalisat. Perjalanan Raden Bakat setiap pergi berdagang dari pulau Madura ke pulau Jawa tidak hanya memakan waktu sehari dua hari, bahkan berbulan-bulan.

Dari seringnya datang berdagang ke daerah Besuki, Raden Bakat beristri lagi orang Besuki bernama Ripa dan tak lama kemudian istri yang ketiga ini oleh Raden Bakat diboyong juga ke Pamekasan Madura.

Di Pamekasan inilah ketiga istrinya berkumpul bersama, dan ketiga istrinya tersebut rukun dan damai saling bantu membantu dalam mengabdikan dirinya sebagai istri kepada suaminya. Bukan merupakan keanehan ketiga istrinya kumpul menjadi satu rukun dan damai sebab beliau memang berilmu tinggi bahkan kalau perlu walau binatang buas sekalipun akan luluh dan tunduk pada dirinya. Namun apa daya, selama Raden Bakat bermukim di Pamekasan bersama dengan ketiga istrinya hambatan dan rintangan baginya selalu berkobar menghalangi sehingga beliau tidak dapat bertahan. Maklum kaum penjajah saat itu sewenang-wenang terhadap bangsa kita, karena pada waktu itu kaum penjajah VOC baru menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini untuk mengadakan persaingan dan monopoli dagang.

Beliau bersama dengan ketiga istrinya hengkang/pindah dari Pamekasan Madura ke daerah Panarukan Besuki.

Dalam perjalanannya, Raden Bakat bersama ketiga istrinya dari pantai utara Madura ke pantai selatan Panarukan Besuki, tidak dinyana sebelumnya di tengah lautan yang luas cuaca seketika di atas langit penuh mendung tebal dan tak lama kemudian datang ombak dan badai yang sangat besar disertai dengan angin kencang yang menggila. Raden Bakat bersama ketiga istrinya menghadapi seperti itu dalam keadaan panik dan kehilangan keseimbangan berhubung perahunya terombang-ambing dipukul ombak dan angin yang besar sehingga perahu yang ditumpangi tidak telak lagi karam.

Raden Bakat bersama ketiga istrinya berusaha sekuat tenaga memegangi perahunya yang karam itu agar tidak tenggelam ke dalam laut.

Allah Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Bijaksana kepada umatnya, waktu itu beliau sekeluarga berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba muncul ikan yang sangat besar sekali, namanya ikan Mungsing dan seketika itu juga Raden Bakat bersama ketiga istrinya yang masih memegangi perahu yang terombang-ambing tahu-tahu sudah di punggung ikan besar tersebut, seakan-akan Raden Bakat bersama ketiga strinya duduk di sebuah meja yang besar.

Lalu ikan besar itu berkata:

"Tujuan hendak kemana gerangan ada di sini?"

Raden Bakat menjawab:

"Saya mau pulang ke tanah Jawa Panarukan Besuki."

Ikan besar itu bertanya lagi:

"Aku antarkan kamu semua ke pantai Panarukan tapi harus engkau ingat, tujuh turunan dari kamu tidak boleh makan dagingku!"

Raden Bakat menganggukkan kepala dengan takdimnya dan menyetujui permintaan ikan mungsing besar itu yang telah menyelamatkan beliau sekeluarga. Tak lama kemudian beliau sekeluarga sampailah di pantai Panarukan dengan selamat. Dan setelah itu Raden Bakat sekeluarga meneruskan perjalanannya menuju Besuki.

Untuk mengenang perjalanan Raden Bakat bersama ketiga istrinya, dari pantai Madura menuju pantai selatan Panarukan Besuki maka dengan bijak Raden Bakat memberikan gelar kepada istrinya yang pertama dengan nama "Mungsing Sari," sebab yang menolong beliau sekeluarga waktu perahunya karam di tengah lautan adalah ikan mungsing besar.

Dan gelar yang diberikan kepada istri kedua ialah dengan nama "Lembu Petteng" karena pada waktu perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika diterpa badai keadaan perahu gelap, Raden Bakat meraba-raba waktu tu tepat memegang seekor sapi.

Sedangkan pemberian gelar kepada istrinya yang ketiga ialah dengan nama "Singo Mendung," pemberian gelar ini disebabkan karena perahu yang dinaiki Raden Bakat sekeluarga ketika perahunya diamuk badai kala itu mendung di atas lautan tebal hitam menakutkan, seakan-akan hendak menelan lautan beserta isinya.

SAMBIL DUDUK MENEBANG HUTAN

Perihal tindak lanjut keadaan Buyut Halim di daerah Jember Utara maka, dengan tekun dan tanpa terbabatkan suatu dusun yang asalnya hutan belantara penuh dengan belukar dan angker. Berhubung Buyut Halim keadaannya yang sudah tua maka kesehatannya menurun dan ia tidak dapat melanjutkan pembabatannya yang ia tempati karena kemampuan manusia itu serba terbatas seperti halnya Buyut Halim. Sebelum ia dipanggil oleh Allah maka sempat ia mengirim kabar kepada adik kandungnya yaitu Raden Bakat di Besuki agar ia dapat melanjutkan pembabatannya dan sempat pula ia memberi petunjuk-petunjuk tentang daerah babatannya yang masih belum selesai.

Sementara Buyut Halim menetap di daerah Gumuk Pakel, sambil membuat rumah gubuk kecil untuk melindungi dinginnya malam hari dan terik matahari. Untuk makan Buyut Halim setiap hari tidak bingung karena banyak tanaman di sekelilingnya bermacam-macam untuk kebutuhan sehari-harinya. Suatu hari tepatnya Bulan Rajab Kemis Kliwon dimulailah penebangan yang dimulai dari lereng Gumuk Pakel. Buyut Halim menebang pohon-pohon besar menggunakan tombaknya yang bernama "Sanjung Langit Nogo Ilang."

Tombak itu dilemparkan ke tanah maka berputarlah di tanah dan mengeluarkan asap tebal serta seketika itu kepulan asap itu berubah menjadi ular yang sangat besar, maka ular itulah yang menumbangkan pohon-pohon besar itu (tombak tersebut sampai saat ini masih ada di rumah penulis dan kesaktiannya masih bisa dibuktikan, kalau ingin melihat kesaktiannya bila malam Kemis Kliwon).

Berbulan-bulan penebangan pohon-pohon besar dan tempat-tempat banyak dibersihkan. Suatu hari Buyut Halim sakit lantas mengirim kabar memanggil adiknya Raden Bakat di daerah Besuki. Terkirim salam lewat angin Buyut Halim memakai kesaktiannya bernama "delik ati miber angin."

Selang beberapa lama maka Buyut Halim wafat dengan tenang, karena ada yang meneruskan perjuangannya untuk dinikmati dan untuk kesejahteraan keturunannya dan pada sesamanya. Adapun makam Buyut Halim sampai saat ini di sebelah barat tempat pemotongan sapi (muka pelabuhan Kalisat).

Sejak pada saat itulah Raden Bakat dengan hati-hati diambilnya tongkat pusakanya dan dengan segera menuju ke tempat yang dipesankan Buyut Halim saudaranya dengan bekal keyakinan dan ketekunan serta ketabahan sehingga mampu sampai ke tempat yang dituju. Apa boleh dikata, tidak ada hutan yang tidak beronak dan berduri dan tidak ada kehidupan yang tidak ada rintangan.

Pada suatu tempat Raden Bakat bersama keluarganya ia tak bisa melintasi sungai (sekarang dinamakan sungai pelabuhan utara makam pahlawan Kalisat), karena keadaan sungai waktu itu banjir besar. Dengan tidak disadarinya ditancapkannya tongkat yang dibawa untuk menghela agar air tidak ke tempatnya Raden Bakat sekeluarga.

Sementara itu sembari menunggu kecilnya air sungai, menanti hingga keesokan harinya, berharap air sungai yang banjir itu bisa surut. Dengan kebesaran Yang Maha Kuasa, air yang tadinya banjir itu "sat." Bertepatan pada waktu itu pagi-pagi benar Nyi Genduk hendak mencuci pakaian ke sungai tersebut. Sesampainya di tempat yang dituju ia segera kembali, namun berpapasan kedahuluan suaminya yang bertanya kepada Nyi Genduk yang dari sungai.

"Lah...Kok balik?"

Nyi Genduk menjawab, "Kaline Sat...!"

Seja saat itulah sesuai dengan jawab ramalan Raden Bakat menyatakan bahwa besok daerah ini terbuka sebagai lanjutan (sedari kini). Kuberi nama daerah ini dengan nama "Kali-sat."



Kira-kira kurun beberapa hari, Raden Bakat mulai melanjutkan babatan yang masih belum selesai melaksanakan pesannya Buyut Halim tentang tempat-tempat yang dpesankan. Salah satunya berpesan agar pohon yang paling besar yang berada di tengah-tengah daerah babatannya yaitu pohon beringin dan pohon katu agar tidak ditebang, karena pohon itu tempat tidurnya macan yang kuasa di wilayah alas tersebut.

Alkisah, macan tersebut sudah tunduk kepada Buyut Halim dan sudah lulut kepada Buyut Halim. Macan tersebut jumlahnya dua ekor, yang satunya bulunya merah tidurnya di lubang pohon beringin, dan yang satunya lagi bulunya belang tidurnya di bawah pohon katu. Pohon katu itu tumbuh di ketinggian rawa-rawa yang curam dan keadaannya wilayah itu berair (ledok). Tempat itu sekarang Terminal Kalisat dan sekitarnya, hingga sekarang kampung itu diberi nama kampung Ledok (selatan stasiun KA Kalisat).

Kira-kira pada tahun 1798, semua babatan sudah selesai dan sudah dibersihkan sehingga banyak sebagian yang mendirikan gubug-gubug. Sudah ada banyak pendatang dari Jawa Tengah, Madura, Bangil, Gresik, Tulungagung, Bojonegoro. Orang-orang itu untuk berdagang dan bekerja, pendatang itu menyatu membuat gubug-gubug kecil seperti perkampungan berhimpit-himpitan. Sehingga sampai sekarang perkampungan itu tetap dinamai Kampung Templek, asal kata dari nemplek.

Suatu hari secara serempak bersama-sama Raden Bakat dinobatkan menjadi tetua wilayah babatan atau menjadi kepala desa Kalisat.

Kurang lebih pada tahun 1802, para penduduk yang mendiami wilayah itu ada sesepuh yang kharismanya tinggi, berilmu tinggi, alim agamanya yaitu Buyut Patar berasal dari pulau Madura (makam Buyut Patar sekarang di pinggir sungai selatan pasar Kalisat). Buyut Patar tersebut oleh Raden Bakat dengan kesepakatan penduduk diangkat menjadi wakil Kepala Desa atau Carik.

Kantor desa dahulu berada di sebelah timur di wilayah yang ramai penduduknya yaitu di seputaran kampung Nemplek. Dahulu rumah dan kantor desa disebut orang dengan Kerajaan sehingga sampai sekarang dikatakan dengan Dusun Krajan. Dimana-mana desa kalau ada Dusun Krajan berarti rumah dan kantor desa Kepala Desa pertama.

Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, hingga Kalisat mulai ramai penduduk yang datang untuk berdagang. Raden Bakat selaku Kepala Desa Kalisat merasa perlu untuk mendirikan pasar. Pengadaan pasar Kalisat pertama tahun 1835.

Kepala desa dan carik tiap sebulan sekali kalau repotan (laporan) atas perkembangan desanya yaitu ke Besuki (kepada Residen Besuki). Hal ini aturan tempo dulu.

Kepala desa dan carik kalau repotan naik kuda. Keduanya terbang naik kuda, kalau Kepala Desa naik kuda sebagai cambuknya seadanya apapun bisa digunakan. Kalau Pak Carik sebagai cambuk kudanya khusus yaitu berupa lidi yang dijadikan satu. Keramaian di desa Kalisat tiap tahun sangat pesat sekali, keramaiannya itu berkat kepemimpinan Raden Bakat dan Buyut Patar, sehingga tidak terasa kira-kira hari Rabu tanggal 1 bulan dua 1902 Adipati Jember pertama RM. Astrodikoro dan Wakil Gubernur Surabaya yang di Jember John Van Horn sempat berkenan hadir ke Kalisat, naik kereta kuda yang jumlah kudanya empat ekor.

Dan pada hari Senin tanggal sembilan (lima) bulan lima 1947 Adipati kedua (ketiga) RP. Sudarman sempat swan ke desa Kalisat diantar oleh Wedana Kalisat RM. Surahmat Hadinoto yaitu meninjau sapi perah di rumah Mbah Abdul Wahab (Mbah Mariam dan Mbah Pasah).

Demikian asal-usul secara singkat terjadinya tanah Kalisat, mudah-mudahan hal ini dapat dijadikan pegangan instropeksi kehidupan bagi anak cucu berikutnya.

Selesai


BIOGRAFI PENULIS

Nama: Hery Kusyanto,S.Pd

Tempat, tgl lahir: Jember, 29 Juni 1958

Status Anak: Anak ke-3 dari Mr. Achmad Djamaludin dengan Soekinem

Jabatan: Kepala Sekolah SDN Kalisat 04

Alamat Rumah: Jalan Sumber Bringin Dusun Grugul Desa Sukoreno Kalisat


PENUTUP

Penulis kisah ini adalah Aliran dari keturunan nasab Buyut Genduk dengan istrinya yang ketiga yaitu Buyut Ripa (Buyut Singo Mendung). Penulis mengangkat kisah ini hasil dari kesepakatan para sesepuh-sesepuh kita terdahulu.

Penulis juga merangkum kisah cerita ini dari beberapa narasumber:

1. Bpk. SOEDARSO (Almarhum);

2. Bpk. SOEKINEM (Almarhum) berasal dari Mbah Pasah dan Mbah Abdul Wahab (Mbah Maryam);

3. Bpk. SOEKIMAN (Putra Bungsu Pasah);

4. Dan sesepuh-sesepuh lainnya.

Demikian cerita ini terangkum sangat sederhana sekali, bila kurang sempurna penulis mohon maaf karena semata-mata penulis berusaha dan berupaya untuk mengingatkan kita semua khususnya keturunannya bahwa sesepuhnya terdahulu adalah seorang Ulama Agama yang terhormat dan Aliran Darah Ningrat.


Penulis

HERY SOEKINEM



Catatan:

Dituliskan kembali oleh RZ Hakim, atas izin ahli waris. Tulisan di atas nyaris tanpa edit, kecuali sedikit edit redaksional saja.

Buku "Legenda: Asal-usul Tanah Kalisat" adalah milik Keluarga Besar Alm. MADIROSO, dipinjamkan --kepada RZ Hakim-- oleh putra bungsu Alm. Madiroso yaitu Krisna Kurniawan, pada hari Kamis Kliwon, 8 Oktober 2015.

Mengenai silsilah para keturunan Buyut Genduk bisa dibaca di SINI.

Minggu, 11 Oktober 2015

Pemilik Nyoo Studio di Kalisat

Minggu, 11 Oktober 2015
Oleh RZ Hakim


Njoo Giok Kwan, di tengah

Adalah Krisna Kurniawan yang mengabaran kepada saya jika pemilik studio foto terlama di Kalisat --Nyoo Studio-- itu bernama Njoo Giok Kwan. Kebetulan, di jejaring sosial Facebook, saya sudah mendapatkan izin dari ahli waris yang tak lain putra dari pemilik studio foto tersebut --Qingliang Yang-- untuk menampilkan foto era 1940an ini.

"Yang di tengah itu mendiang Ayah saya," tulis Om Liang. Liang adalah sapaan akrab untuk Qingliang Yang.

"Orang tua Liang terpelajar, Ibunya pandai berbahasa Belanda," tambah Mas Imron Rosidi.
Saya suka dengan foto ini. Setidaknya ia berkisah tentang arsitektur jendela kereta di masa itu, dan tentang bagaimana laki-laki tempo dulu ketika mereka tampil modis.

Jika kita baca ulang buku berjudul Outward appearances, di sana disebutkan jika perubahan datang bersama perkembangan moda transportasi kereta api. Akulturasi budaya lekas terjadi, diantaranya adalah tentang penampilan di masa itu. Orang-orang Indonesia ini menjadi sebuah tipe pan-Nusantara. Mereka dibedakan, atau ingin membedakan diri, dari profesi mereka. Diantaranya dengan cara tampil necis.

Untuk Mas Krisna Kurniawan, Mas Imron Rosidi, Om Liang, dan semua yang telah sangat membantu melengkapi data dengan berbagai cara, terima kasih.

Kamis, 01 Oktober 2015

Kalisat Tempo Dulu

Kamis, 01 Oktober 2015
Oleh RZ Hakim


Tempat Pemerahan Susu di Kalisat Tahun 1939

Foto tempat pemerahan susu di Kalisat tahun 1939 di atas adalah kiriman dari Om Bambang Hermanto, seorang alumnus SMAK Santo Paulus Jember. Menurut keterangannya, ia juga mendapatkan foto ini dari teman dekatnya --tidak disebutkan nama.

Tampak dalam foto, paling kanan sendiri --duduk di kursi-- adalah keluarga Eropa di Kalisat. Di belakang mereka ada Bumiputera, mungkin warga Kalisat. Di belakangnya lagi ada sebuah mobil dengan Nopol P 491.

Jika melihat latar belakang gumuk di belakang bangunan dan pepohonan, saya kira lokasi foto ini adalah di Glagahwero, jalan menuju desa Jatian. Jika benar, hingga kini tempat itu masih dijadikan tempat serupa, namun bukan untuk pemerahan susu sapi melainkan untuk jual beli sapi, di setiap hari Rabu. Orang-orang bilang, itu adalah Pasar Sapi Reboan Kalisat.


Lapangan Tennis di Kalisat, di Sebelah Gudang Garam

Foto di atas masih kiriman dari Om Bambang Hermanto, tentang lapangan tennis di Kalisat. Gedung di belakangnya adalah Gudang Garam, ia ada sejak zaman kependudukan Belanda. Tidak ada keterangan angka tahun untuk foto ini. Barangkali juga di tahun yang sama seperti foto pemerahan susu sapi di Kalisat, yaitu tahun 1939. Atau mungkin lebih modern lagi.

Menurut keterangan Qingliang Yang di kolom komentar Facebook, ia menulis seperti berikut, "Ayah saya yang duduk berjongkok di depan sebelah kiri."

Kini lokasi berdirinya Gudang Garam, atau gudeng buje kalau kata orang Kalisat, ditempati sebagai hunian, oleh keluarga Haji Kokok. Lapangan tennis seperti tampak dalam foto, sekarang juga sudah tidak ada lagi.

Ketika teman-teman Kari Kecingkul berkunjung di rumah Haji Kokok, beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Darinya, kami mendapat banyak informasi. Kami mencatatnya dalam artikel berjudul, Gudeng Buje e Kalisat.

Catatan lain yang bersumber dari kisah --beserta foto-- Haji Kokok berjudul, Kalisat Pada Waktu Itu.

Untuk Om Bambang Hermanto, terima kasih. Senang sekali menjumpai dua foto di atas. Ia mampu mengajak generasi kami untuk mengimajinasikan suasana Kalisat Tempo Dulu.
Sudut Kalisat © 2014