Sabtu, 17 Desember 2016

Kaos Kalisat Tempo Doeloe 2

Sabtu, 17 Desember 2016

Kaos Kalisat Tempo Doeloe 2 Warna Hitam

KAOS KALISAT TEMPO DOELOE

Teman-teman yang baik, sebelum acara KTD 2 dimulai, kami juga menyediakan kesempatan bagi Anda, barangkali tertarik pesan kaos dengan cara pre order alias bayar di muka. Ia bisa dipesan sejak hari ini hingga maksimal pemesanan tanggal 1 Januari 2017, dan kaos sudah bisa diambil di Kedai Doeloe Kalisat pada 6 Januari 2017. Kaos berbahan cotton combed 30S. Harga 70.000 rupiah. Bila Anda ada di luar kota, bisa kami atur pengirimannya, tentu disertai ongkir.

Khusus untuk kaos pre order, kami sediakan kaos warna hitam, dengan sablon warna putih. Warna-warna gelap tidak tersedia di sablon on the spot, hanya agar mempermudah proses sablon di hari H Kalisat Tempo Doeloe, 7-8 Januari 2017.

Pemesanan bisa melalui kolom komentar ini, dan atau menghubungi Pije Kedai di nomor wasap 081332990572. Bisa pula melalui IG Kedai Doeloe kalisat di sini: https://www.instagram.com/kedai_doeloe_kalisat/

Dari penjualan kaos pre order --70.000-- akan disisihkan untuk kas Sudut Kalisat sebesar 15.000 rupiah.


Sediakan kaos warna putih atau cerah untuk Sablon on the Spot

Bagi kita yang tinggal di Kalisat, agar lebih ekonomis, kita bisa menunggu 'sablon on the spot.' Anda hanya harus membawa kaos oblong berwarna terang --selain warna hitam-- dan membayar biaya sablon sebesar 10.000 rupiah.

Terima kasih.

Rabu, 14 Desember 2016

Tentang Ilustrasi Kalisat Tempo Doeloe 2 dan Komentar dari Bapak Sholeh Masyhoedi

Rabu, 14 Desember 2016

Ilustrasi Kalisat tempo Doeloe 2

Ketika kami mengunggah ilustrasi Kalisat Tempo Doeloe 2 di Fanpage Facebook Sudut Kalisat yang bisa dibaca oleh khalayak umum, ada komentar santun dari pengguna Facebook bernama Sholeh Masyhoedi. Ia menuliskan komentar seperti ini.

"Logone koyok acara kebaktian wae.... Adakah yang lebih elok."

Di waktu yang sama, hanya berjarak lima menit, admin Sudut Kalisat menjawab begini.

"Mohon maaf apabila ditafsirkan seperti itu. Tentu pesan yang ingin kami sampaikan hanyalah tentang pentingnya membaca sejarah. Sekali lagi mohon maaf apabila tidak bisa membahagiakan semua pihak. Terima kasih."

Melihat situasi bangsa dan tanah air di akhir-akhir ini, kami merasa perlu menulis ulang perihal logo/ilustrasi tersebut di media blog. Semoga dengan pengawetan ini --melalui catatan-- ada hikmah yang bisa dipetik oleh kita semua.

Ilustrasi tersebut kami unggah di Fanpage Facebook Sudut Kalisat pada 11 Desember 2016 tepat pukul 08.00 pagi --terjadwal-- dengan keterangan sebagai berikut.

ILUSTRASI Kalisat Tempo Doeloe 2, desainer oleh Dedi Supmerah. Dikerjakan di Kalisat, selesai pada 10 Desember 2016. Adapun jadwal acara Kalisat Tempo Doeloe 2 adalah sebagai berikut.

Bertempat di Kedai Doeloe, seberang stasiun Kalisat. Digelar selama dua hari, 7 dan 8 Januari 2017, masing-masing sejak pukul empat sore hingga pukul sepuluh malam. Selain mempersembahkan foto-foto Kalisat Tempo Doeloe --milik warga-- yang bertemakan pendidikan, ditambah juga beberapa foto lain-lain, serta tema permainan tempo dulu, ia juga akan mempersembahkan 'lukis on the spot' dan 'sablon on the spot.' Acara pengiring adalah hiburan ringan, musik dll.

Terima kasih.

Di kolom komentar tak hanya ada komentar dari Bapak Sholeh Masyhoedi, ada pula dari sahabat yang lain. Namun untuk lebih fokusnya, akan kami catat kembali tanya jawab antara Bapak Sholeh Masyhoedi beserta admin, setelah percakapan pertama, seperti yang telah kami tuliskan di atas.

Sholeh Masyhoedi: "Bisakah diceritakan maksud gambar secara rinci mas..."

Sudut Kalisat: "Anda bisa langsung berhubungan dengan desainernya, akan lebih baik Mas. Silakan berkomunikasi dengan Dedi Supmerah bila ingin detailnya, terima kasih."

Sholeh Masyhoedi: "Tolong bila berkenan mas Dedi Supmerah menjelaskan hal ini, atas budi baiknya diucapkan terima kasih..."

Sudut Kalisat: "Terima kasih kembali."

Sholeh Masyhoedi: "Sebagai masukan tolong diklik tentang logo sekolah2 tertentu seindonesia logonya identik dengan dengan logo ini, cuma ada sedikit modif..."

Zuhana Anibuddin Zuhro: "Halo Mas Sholeh Masyhoedi, salam kenal. Memangnya acara kebaktian itu seperti apa Mas? Bila dihubungkan dengan agama, mungkin gara-gara tangannya yang telentang itukah? Kebetulan proses finishing desain itu dikerjakan di rumah kontrakan kami di Kalisat. Mula-mula dengan menggambar manual, lalu di-scan dan kemudian diotak-atik lagi menggunakan corel. Saat itu ada saya, suami saya, beberapa teman, rekan dari MAPALA UNMUH (kebetulan memang lagi banyak tamu), mas Dedi sendiri selaku desainer, serta Mbak Pinut keponakannya Cak Nun. Waktu itu seingat saya, pembuatan logo ini disesuaikan dengan tema, sejarah untuk masa depan. Tangan telentang diartikan sebagai keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, untuk mengetahui sejarah daerah kita sendiri. Sedangkan karakter tokoh dimiripkan dengan pohon, untuk meletakkan kembali arti dari sejarah, yang bermula dari kata sajaratun, artinya pohon. Saya tuliskan yang saya tahu saja, tidak ada maksud tertentu selain tema. Kalau menurut saya pribadi sih, logo ini mirip kartu remi ☺ Terima kasih Mas Sholeh Masyhoedi atas apresiasinya.

Sholeh Masyhoedi: "Salam kenal juga mbak Zuhana Anibuddin Zuhro, terimakasih penjelasannya. Semoga acaranya sukses."

Dedi Supmerah: "Salam kenal Bapak Sholeh Masyhoedi, terimakasih atas apresiasinya. Langsung saja akan saya jelaskan dari awal tentang logo Kalisat Tempo Doeloe 2 --Saya lebih suka menyebutnya illustrasi--. Ide awal KTD 2 tentang pendidikan tempo dulu di Kalisat, maka terbersit ide untuk membuat seorang wanita dengan buku yang terbuka, menginterprestasikan tema "Sejarah Untuk Masa Depan." Tentang karakter perempuan membentangkan tangan adalah interprestasi saya tentang "Mother Earth," personifikasi umum alam yang fokus pada aspek-aspek pemberian kehidupan dan memelihara alam dengan mewujudkannya dalam bentuk ‘Ibu,’ sehingga terciptalah illustrasi tokoh wanita yang menyerupai sebuah pohon --Kata Mbak Zuhana Anibuddin Zuhro, tokoh dimiripkan dengan pohon, untuk meletakkan kembali arti dari sejarah yang bermula dari kata sajaratun, artinya pohon--. Untuk style saya banyak terpengaruh Art Nouveau/Arthaven. Ia adalah aliran seni rupa modern yang identik dengan karakter tumbuhan yang berliuk-liuk marak di Eropa sekitar tahun 1819, di Eropa dan Amerika sampai awal Perang Dunia pertama. Sekian penjelasan singkat dari saya tentang desain ilustrasi Kalisat Tempo Doeloe 2 yang saya buat. Terima Kasih sebanyak bintang di langit atas apresiasi yang bapak berikan."

NB: saya selipkan foto sketsa awal.


Sketsa Awal Ilustrasi Kalisat Tempo Doeloe 2

Sholeh Masyhoedi: "Salam kenal juga mas Dedi Supmerah, tanpa penjelasan dari njenengan akan timbul inteptretasi yang beda dari setiap orang, terima kasih penjelasannya. Selamat dan sukses untuk kegiatannya."

Penutup

Jadi teman-teman, seperti itulah hasil percakapan antara kami dengan Bapak Sholeh Masyhoedi. Tidak ada komentar yang melebar yang melebihi dari itu. Semua baik-baik saja. Kami justru senang dan berterima kasih atas komentar dari Bapak Sholeh Masyhoedi.

Terima kasih. Doakan acara kecil 'Kalisat Tempo Doeloe 2' ini barokah dan dapat memberi manfaat meskipun mungkin hanya sedikit. Salam kami di Kalisat.

Jumat, 09 Desember 2016

Lukis on the Spot

Jumat, 09 Desember 2016

Lukis on the Spot

Teman-teman, di Kalisat Tempo Doeloe 2 nanti direncanakan akan ada dua pelukis muda Kalisat, Dae Donald dan Fanggi. Di hari pertama mereka akan melukis, masing-masing menghadapi satu kanvas. Di hari kedua, kanvas itu akan digabungkan dan Anda bisa menikmatinya dan atau berfoto ria. Jadi, kita semua akan disuguhi seni lukis sejak dari proses pembuatannya hingga selesai. Adapun pelukis lain yang hendak bergabung di 'lukis on the spot' tersebut adalah Edwindy.

Pra acara KTD 2 akan diselenggarakan juga Workshop Seni Cukil, sebagai tutor adalah Dedi Supmerah. Info selanjutnya menyusul. Terima kasih.

Kamis, 08 Desember 2016

Mengingat Kembali Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu

Kamis, 08 Desember 2016

Di sore pertama yang mendung, 16 Januari 2016, Kedai Doeloe Kalisat masih tampak sepi. Lengang. Mat dan Bajil kecil, dua tulang punggung kedai waktu itu, mereka tampak santai di balik meja bar yang tertutup oleh kulit kayu kering. Foto-foto telah tertata rapi, barang-barang jadul pun telah terhias manis, hasil karya Fanggi, Lukman, dan beberapa rekan Kalisat yang membantu mereka. Mengenai pencahayaan, telah diurus oleh Apex dan Ucok kecil.

Pengunjung pertama datang. Mbak Nina beserta rombongan. Berikutnya, teman-teman muda mulai berdatangan.


Tampak dalam foto, Mbak Nina yang ada di tengah

Di sore yang mendung itu pula, kami menghadirkan Bapak Effendi, penulis dan pencipta lagu yang menghabiskan masa tuanya di Kalisat. Ia sendiri lahir di Sumenep dan baru pindah ke Kalisat pada 1942, ketika masih berusia enam tahun. Bersama Bapak Effendi, kami bikin diskusi renyah seputar wajah Kalisat di masa lalu.

Di sela diskusi, ada Ibu-ibu sepuh datang sambil membawa selembar foto. Ia bilang, "Nak, ini foto mendiang suami saya, tolong diikutkan di pameran." Kami menerimanya dengan riang, lalu mencatatnya agar mudah proses pengembaliannya nanti.

Sebelumnya, Bu Warto datang. Di luar pagar ia melambaikan tangan dan memanggil salah satu dari kami. Bu warto membawa sesuatu.

"Saya ada pesawat telepon lama yang sudah tak terpakai. Ini sisa dulu, ketika suami saya masih menjabat Kepala Stasiun Kalisat. Silakan diambil, diikutkan di acara, dan nanti dirawat baik-baik."

Selepas maghrib, lampu-lampu mulai dinyalakan. Ruang mini untuk 'live music' juga telah ditata kembali. Juga, telah disediakan stan khusus untuk 'sablon on the spot.' Siapa saja boleh menyablon dengan desain bertuliskan 'Kalisat Tempo Dulu' hanya dengan syarat membawa kaos sendiri dan membayar seharga lima ribu rupiah.


Sablon on the Spot

Semakin malam, motor semakin banyak berjajar. Ucok besar melaksanakan tugasnya dengan baik, mengatur dan mengamankan bidang parkir. Urus parkir, sesuatu yang tak semudah dalam bayangan kita. Terlebih bila itu gratis.

Masih terekam dalam bayangan, di perbincangan-perbincangan sebelumnya, ketika acara hendak dilaksanakan. Kami tak menggunakan struktur kepanitiaan yang kaku, dimana di sana ada ketua panitia, wakil, sekretaris, bendahara, dan sebagainya. kami hanya menawarkan, "Teman-teman, silakan angkat bicara, siapa yang ingin menugaskan dirinya sendiri untuk ini dan itu?" Begitu kira-kira kurang lebihnya. Lalu, Erik Mergenk angkat tangan dan berkata, "Saya bersedia urus konsumsi." kemudian Ucok besar menawarkan dirinya untuk urus parkir. Begitu seterusnya. Teman-teman lain segera merapatkan diri, "Saya membantu si anu, saya bantu si ini.."

Mengenai uang.

Mula-mula kita iuran masing-masing lima ribu rupiah saja, demi mewujudkan acara bersama-sama. Namun rupanya kita ada donasi dari beberapa kawan, yang total keseluruhannya adalah 900.000 rupiah. Lalu kita tak jadi iuran, karena uang segitu sudah dirasa cukup. Bagi yang sudah terlanjur iuran, uang akan dikembalikan.

Benar saja, seluruh pengeluaran kita saat itu sebesar 798.500 rupiah, masih tersisa 101.500 rupiah. Sisa uang itu masih ada hingga catatan ini dituliskan.

Mengingat kembali.

Acara itu kita gelar selama dua hari saja, masing-masing dimulai sedari pukul empat sore hingga pukul sepuluh malam. Lewat jam sepuluh malam, teman-teman masih boleh nongkrong dan menghabiskan sisa kopi di Kedai Doeloe kalisat, namun tak ada musik. Sementara itu, teman-teman yang lain akan urus kebersihan kedai.

Teman-teman datang dan pergi. Bila tak sempat datang di hari pertama, mereka akan datang keesokan harinya. Bila jauh dan tak bisa hadir, mereka akan mengintipnya melalui blog dan jejaring sosial, dan atau minta dikirimi foto-foto melalui wasap.

Selama jalannya acara, ide-ide berdatangan, terlebih dari rekan-rekan yang berusia di atas 30 tahun. "Mengapa tak mengundang Pak Camat atau pihak Pemkab Jember? Kenapa tak cari sponsor besar? Di Kalisat kan banyak pihak yang bisa diserahi proposal?" Dan sederet gagasan lainnya. Kami tentu menghargai gagasan-gagasan mereka, penuh gairah dan cerdas. Ia diucapkan dengan tulus sekali.

Kami mengerti, Kalisat suka bikin even. Di setiap kali acara, seringkali besar, tak tanggung-tanggung. Ya, jarak Kalisat dengan pusat kota adalah 17 kilometer, tak terlalu jauh sebenarnya. Tapi Kalisat tak dilalui jalan antar kota --selain keretaapi tentunya--, menjadi wajar bila masyarakatnya suka memproduksi hiburan sendiri. Namun 'Kalisat Tempo Dulu' hanyalah acara kecil, dan kami hanya ingin minta diberi kesempatan untuk belajar mandiri, swadaya, dan belajar bergotongroyong. Sederhana. Dua atau tiga tahun lagi, atau lebih cepat dari itu, barangkali bila teman-teman akan mengagendakan acara itu dengan konsep yang besar, mungkin akan telah siap.

Adapun alasan mengapa acara tersebut dilaksanakan di sebuah kedai, hanyalah agar mempermudah kami. Jadi, sepintas ia terlihat seperti agenda kedai. Asal kami tertib jadwal, tak melebihi pukul sepuluh malam, kiranya semua baik-baik saja.

Banyak cerita manis tertinggal, ketika mengingat acara yang kita gelar kemarin, 16 dan 17 Januari 2016 di Kedai Doeloe Kalisat. Betapa warga sangat bermurah hati menyumbangkan konsumsi untuk kami, sedikit uang, pinjaman foto-foto dan pigura, dan sebagainya. Terima kasih, Kalisat selalu indah.

Tak terasa, sebentar lagi Kalisat Tempo Dulu II akan kembali digelar, di lokasi yang sama, dengan durasi jadwal yang sama. Ia direncanakan akan kami laksanakan pada 7 dan 8 Januari 2017. Mohon doanya, terima kasih.

Rabu, 07 Desember 2016

Notulensi Kalisat Tempo Dulu 2

Rabu, 07 Desember 2016
Oleh Zuhana AZ

Notulensi Kalisat Tempo Dulu: Ngobrol Perdana Persiapan Acara.

Kedai Doeloe Kalisat, 7 Desember 2016

Acara ngobrol-ngobrol ini berawal dari obrolan kecil teman-teman muda Kalisat perihal keinginan untuk berkumpul bersama membahas persiapan acara. Tidak ada undangan, karena hal tersebut sudah diposting oleh Irwan Chykarit Ucaucok, kemarin di wall group Sudut Kalisat Dokumenter. Siapa saja bisa berpartisipasi dan datang.


Kedai Doeloe Kalisat, 7 Desember 2016

Ngobrol santai dimulai pada pukul 16.15. Saya mencatat semua yang datang. Berikut nama yang hadir di ngobrol santai sore tadi : Yusrizal Novwaril Huda, Dae Donald II, Amin, Apex, Fg FransnAta, Dedi Supmerah, RZ Hakim, Kriss Kurniawan, Dodit, Rulli Putri Maulida, Eko, Rama, Cen Casper, Rendy. Adapun sebagai pengelola Kedai Doeloe, Ucok Kecil dan Vj Lie juga turut serta.

KESEPAKATAN BERSAMA

1. Kalisat Tempo Dulu dilaksanakan pada tanggal 7-8 Januari 2017 bertempat di Kedai Doeloe Kalisat. Acara berlangsung dari pukul 16.00-22.00.

2. Teknis Acara:

a. Pameran Foto bertema wajah pendidikan di Kalisat tempo dulu

b. Barang-barang antik, utamanya yang berhubungan dengan tema pameran foto

c. Lukis dan Sketsa on the spot (Dae, Fanggi)

d. Pemutaran video permainan tradisional beserta pameran beberapa permainan tradisiona (Dae dan Sudut Kalisat Kovifo)

e. Sablon on the spot (Dedi Supmerah)

f. Musik: Etno Musik (Ghuiral), Kopi Hitam, Rumah Seni Kalisat, lainnya masih dalam konfirmasi

g. Stand Perpus Kaget GPAN Jember. Selain itu, ada diskusi seputar dunia pendidikan di masa lampau dengan mendatangkan tokoh pendidikan di Kalisat. Juga info donasi buku untuk GPAN.

3. Mereka yang bersedia dan mengajukaan diri

a. Publikasi dan Dokumentasi acara selama dua hari akan bantu oleh teman-teman Sudut Kalisat Kovifo. Logo dan pamflet online: Dedi Supmerah

b. Team dekorasi ruangan dan artistik dkoordinir oleh Dae dan Dodit

c. Perlengkapan: Amin, Eko, Rama

d. Konsumsi : Ichen dan Rendy

e. Foto dan narasi untuk Pameran : RZ Hakim dan tim

f. Notulensi dan keuangan : Zuhana

g. Parkir dan keamanan : Apex, Randu, dan Ucok Besar

h. Novliansyah Pradana Putra dan Mat membantu Vj Lie dan Ucok Kecil di dapur Kedai Doeloe

i. MC: Ismi (dalam konfirmasi).

Bagi teman teman yangtadi tidak datang namun ingin turut serta berpartisipai bisa langsung merapat di koordinator seksi.

4. Sumber Pendanaan

Untuk masalah pendanaan acara, kesepakatannya adalah tetap memakai prinsip gotong royong dan mandiri. Untuk teman-teman di seputar wilayah Kalisat iurannya adalah sebesar Rp. 5000,-. Kami meminta diberi kesempatan untuk mandiri dan tidak menerima sponsor dari instansi, perusahaan, maupun tokoh politik. Namun kami tidak menutup kesempatan bagi teman teman di luar kota yang ingin berpartisipasi secara mandiri melalui rekening yang telah disepakati oleh teman-teman di :

Zuhana AZ - Bank Syariah Mandiri KK Universitas Muhammadiyah Jember. Dengan norek : 7061803518.

Mohon konfirmasi apabila sudah transfer.

5. Masuk dalam rangkaian acara, minimal 2 minggu sebelumnya akan diadakan workshop cukil. Untuk kepastian waktu dan lokasinya akan diinfokan segera di group Sudut Kalisat Dokumenter. Yang jelas lokasinya ada di seputaran Kalisat. Pematerinya adalah Mas Dedi Supmerah.

Demikian notulensi pertemuan sore tadi. Mungkin ada yang terlewat saya sampaikan silahkan ditambahkan oleh teman teman yang hadir tadi. Terima kasih.

Senin, 15 Agustus 2016

Pandalungan Versus Pedalungan

Senin, 15 Agustus 2016
Catatan berjudul; Kalisat: Dari Bakers hingga Pabrik Kecap, ia tayang di grup Sudut Kalisat Dokumenter pada 14 Agustus 2016. Di hari yang sama, terjadi diskusi di kolom komentar terkait budaya Jemberan. Saya menyebutnya, Pandalungan Versus Pedalungan. Silakan disimak obrolan-obrolan ini bila tertarik. Terima kasih.

Ikwan Setiawan: Kesalahan pertama adalah mengatakan pandalungan hanya sekedar campuran Jawa dan Madura. Terlepas setuju atau tidak setuju, kalau kemudian pandalungan difahami sebagai Periuk besar, ya di situ ada banyak entitas etnis dan budaya. Jawa, Madura, China, Arab, Using, dll. Pola pikir seperti itu yang akan menjadikan kita membuka mata bahwa banyak kontribusi dari etnis-etnis lain selain Jawa dan Madura dalam membentuk Jember sebagai wilayah banyak-budaya.

RZ Hakim: Nah, mari kita perbaiki dahulu kesalahan pertama itu. Sebab kita hidup di sebuah negeri yang mengusung gagasan demokrasi. Ia seharusnya, meski dalam angan-angan, tak mengenal kata dominan/dominasi.

Jadi, kapan nongkrong di di Kalisat, prof muda?

Ikwan Setiawan: Wekekekekek prof jareeeee..... Aku sekali lewat Kalisat sama keluarga, Brooo. Nyari-nyari rumahmu kagak ketemu, soale dapat info dari Brade Adit kurang lengkap. Pasti akan saya cari waktu untuk ke sono.

RZ Hakim: prof bal-balan. Arah menuju SMA Negeri Kalisat, rumahnya masih berasitektur Belanda, aset kereta api, hehe.. Oke, setia menanti.

RZ Hakim: Tiba-tiba teringat perbincangan dengan Yongky Gigih Prasisko tepat tiga minggu lalu. Waktu itu iseng-iseng menampilkan foto dokter Faida, Yongky teringat sesuatu.

"...Btw teringat pas saya liat pidato Bu Faida, dia dari BWI Krikilan, berwajah Arab, berlogat Madura, berbahasa Indonesia."

Obrolan berlanjut. Kebanyakan bercandanya. Lalu gantian saya yang nulis, "Hingga pemula 1930an, Tjamboek Berdoeri tetap menyebut OSING pada turunan Jawa dan Madura di Jember."

"Jember mana Pak Bro?"

"Hotel Mars dan sekitarnya."

"Oo.. Pasar Johar dan sekitarnya kayaknya pernah jadi perkampungan etnis Tionghoa, mungkin bisa jadi ada eksklusifitas kaum Tionghoa meng-osing-kan masyarakat lokal. Tjambuk kalo gak salah juga dari Tionghoa. Ini hanya opini."

"Ati-ati kepleset lho Yong, mengko malah rasis hehe.. Tapi kamu benar untuk urusan lokasi."

Duh, Yongky.. Yang bukunya dibedah 10 Agustus 2016 wingi kae, bareng Bayu Dedie Lukito, sopo dosene sing nang Jember? Haha.. guyon. Buat Yongky, selamat atas bukumu. Iku keren sarah!

Ikwan Setiawan: He he he ...

Yongky Gigih Prasisko: Pandalungan yang berasal dari kata dhalung yang merujuk pada periuk besar itu ahistoris. Jika dilacak, konvensi makna ini berasal dari makalah Alm. Prof. Ayu Sutarto pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7–10 Agustus 2006. Di makalah itu Prof. Ayu Sutarto secara ahistoris menyebut pandalungan dengan langsung merujuk pada kata dhalung dari kamus Bausastra Jawa Prawiroatmodjo. Konvensi makna ini terus direproduksi secara tidak kritis, sehingga membenarkan sikap untuk tidak melihatnya kembali dalam konteks sejarah kemunculan istilah itu. Istilah itu muncul bukan makbdunduk terucap, tetapi ada alasan-alasan historis yang menyebabkan istilah itu disematkan untuk orang-orang khususnya di pesisir utara Jawa Timur.

Sampean wingi gak teko Pak Bro RZ Hakim, aku wes menjelaskan panjang lebar tentang iki wingi.

RZ Hakim: Ahaha.. Sepurane Yongky aku lali. Sukses ya buat bukumu. Aku termasuk pembeli istimewa, tuku bukune langsung marani awakmu nang Jogja, se lambek ruah.

Hal-hal terjadi di Jember, dari Puger hingga Kalisat-Sumberjambe. Orang-orang membuatkan sesuatu, diproduksi oleh rahim kuasa. Dari suwar-suwir, labako, dan kini ada roda besar yang digelindingkan untuk mempropagandakan sesuatu. Kami menjadi obyek, bukan subyek. Jika tak setuju ia akan tetap pula digilas roda besar. Yongky memilih untuk bikin buku sebab dia gelisah.

Ikwan Setiawan: Yo kamu salah juga kalau ngomong istilah itu berasal dari Prof Ayu... Lha orang-orang di Tegalboto sudah bilang pandalungan, jauh sebelum prof Ayu nyebut itu dalam tulisan itu. Hi hi hi... Jawaban mereka adalah keturunan orang Madura kawin sama orang Jawa itu pandalungan. Bahkan orang Madura di asalnya sana juga sering menyebut mereka yang tinggal di Jember sebagai Madura pandalungan. Bolehlah itu berasal dari stigma karena proses politik, tapi ketika itu sudah mendapat makna baru, itu yang kudu dipahami juga. Ada proses dinamis yang menjadikan istilah itu menjadi biasa. Itu yang kudu dikaji lebih lanjut.

Ikwan Setiawan: Akibatnya hal yang awalnya menjadi kepentingan politik menjadi lentur bahkan pada hal hal tertentu dipahami sebagai keunikan. Bahkan banyak kepentingan yang bermain main di situ.

RZ Hakim: Aku pernah tanya ke Prof. Ayu Sutarto. "Pak, apa benar Anda yang bikin istilah Pandalungan?" Almarhum menjawab begini, "Mas Hakim, biarlah masyarakat yang menilai sendiri tentang Pandalungan."

Dan aku orang pertama yang mengantar Doktor Ikwan ke rumah bercat biru di Jalan Sumatra, rumah Pak Ayu, suatu hari ketika dirimu hendak lanjut kuliah S2. Yey, aku bakal mlebu biografi profesor muda.

Yongky Gigih Prasisko: Pandalungan bukan berasal dari Pak Ayu, tetapi sumber makna yang merujuk pada periuk besar itu dari versi Pak Ayu. Kenapa saya bilang tidak kritis, karena sampai sekarang konvensi makna versi Pak Ayu itu terus direproduksi tanpa menimbang pertimbangan lain (scara historis), kalau begitu jadi tidak ada dinamika. Hanya reproduksi.

Ikwan Setiawan: Saya lebih suka melihat bagaimana proses yang terjadi secara historis, meskipun itu stigmatik, sebagai dinamika yang kadang penuh kepentingan, tegangan, percampuran, bahkan konflik yang tiada akhir. Tidak berhenti pada makna negatif itu. Makanya, saya memaknai Periuk besar itu sebagai sebuah kompleksitas yang kagak bisa disederhanakan hanya dengan Jawa dan Madura.

Ikwan Setiawan: Bahkan di situ pengaruh Eropa juga harus kita akui.

Yongky Gigih Prasisko: Persoalannya lebih mendasar, persoalan makna periuk besar yang ahistoris ini tidak ada pembanding makna yang historis. Kalau tentang proses percampuran aku setuju, cuma periuk besar iku sing mengganjal.

RZ Hakim: Jadi sebenarnya esensinya sama. Tentang keterbukaan pada proses percampuran budaya, tak melulu Madura dan Jawa. Di Kalisat ada Kampung Banjar, misalnya.

Masalahnya ada pada kata Pandalungan itu sendiri. Dalung=Periuk Besar atau piring raksasa. Kita harus melacaknya lagi, bersama-sama. Apa sudah benar? Darimana ia berasal?

Jika jauh sebelum Pak Ayu, orang-orang Tegalboto sudah pakai istilah Pandalungan/Pendalungan/Pedalungan, itu jauhnya terlacak hingga tahun berapa? Bagaimana pula dengan tempat-tempat lain, apakah memakai Pandalungan dengan maksud yang sama?

Baik untuk diperbincangkan di Kalisat. Silakan singgah.

Yongky Gigih Prasisko: Saya kadang membayangkan realitas cenderung kelihatan simplistik jika dibaca secara teoritis an sich. Tegangan relasi kultural memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang tidak terlihat secara teoritis, dan kerap proses dinamika itu akhirnya menjurus pada klaim bahwa Jember hanya mereproduksi budaya-budaya daerah lain. Atau budaya Jember yang tak/belum berbentuk. Daripada menggarap yang belum jelas bentuknya mending melihat Banyuwangi. *warning banyuwanginisasi Jember

Yongky Gigih Prasisko: Saya lebih cenderung menggunakan kata pedalungan.

Ikwan Setiawan: Kalau soal kamu pakai istilah pedalungan , it's oke. Tentu ini akan menjadi terma yang merujuk pada proses "lungo" yang sangat kaya makna dan proses. Yang juga memungkinkan berlangsungnya tegangan dan percampuran. Soalnya percampuran itu juga perlu dipetakan lebih jelih lagi.

Yongky Gigih Prasisko: Dan itu butuh dana riset Mas Ikwan Setiawan :D

Yongky Gigih Prasisko: Mari melihat Jember.

Ikwan Setiawan: Karena pada tataran tertentu itu tidak berlangsung dengan asyik, dan pada tataran yang lain asyik-asyik aja. Ada sebagian Orang Jawa Mataraman di Semboro yang sampai sekarang enggan bermenantu Madura, tapi mereka oke-oke aja ketika meniru cara membangun musholla di depan rumah layaknya orang Madura.

Ikwan Setiawan: Aku dulu pernah ditawari dana riset oleh Pemkab, tapi kagak mau soale potongannya 50%... he he he

Ikwan Setiawan: Bahkan ada di pasar Semboro ada pedagang China yang menjadi koordinator arisan multietnis.

Ikwan Setiawan: Saranku Yongky Gigih Prasisko, kalau kamu ingin benar-benar memahami Jember, mulailah dari perkebunan.

Ikwan Setiawan: Atau wilayah-wilayah bekas perkebunan.

RZ Hakim: Brade Ikwan Setiawan, ke depan, semoga kita tidak lupa dengan satu hal, kuasa media. jadi, mau tidak mau, setuju atau tidak, kita memang harus pandai membaca berita di balik berita.

Untuk Yongky, ngene lho Yong. Entah kamu pakai istilah medal lungo atau periuk besar/dalam, penelitian itu penting. Nek perlu live in dengan biaya mandiri. Koen kan akeh duite teko buku :) Dua minggu saja itu tidak cukup, jenderal. Kene wae, nang kalisat, enek kamar kosong iki lho.

Aku wae sing lahir nang njember, bapak berbahasa ibu bahasa madura, ibu berbahasa jawa, aku tidak grusa-grusu menyebut diriku sebagai manusia hasil karya pendalungan/pedalungan. Alon-alon bleh :D Semangat!

Ikwan Setiawan: Aku ada novel ETNOGRAFI bagus tentang perkebunan Jember, dalam bahasa Inggris ditulis Prof. Vredenberg tentang kompleksitas relasi dalam perkebunan. Meskipun kita kudu ati-ati terkait stereotip yang muncul, tapi paling tidak kita bisa tahu bagaimana awalnya para pekebun Belanda mengkonstruksi Jember.

Ikwan Setiawan: Brade RZ Hakim kalau soal media, supakat... Makanya kan kita kudu membuat pemahaman-pemahaman baru terkait berita-berita tertentu. Termasuk rencana menjadikan Jember kota Pandalungan... he he he

RZ Hakim: Menarik! Bagaimana cara mendapatkan buku yang sama? Terro ngenjemah, takok tak olle. Aku cari KOELI.

Nama itu kadang-kadang penting, kadang-kadang tidak penting. Nama yang penting, misalnya nama sebuah desa, kami harus melacaknya.

Kalau untuk urusan Jember, apapun namanya, entah kota Pandalungan atau Pedalungan, atau pakai kata Jember Kota Salbut, asal tak bicara mayoritas-minoritas, pribumi-pendatang, lemah-dominan, aku oke-oke saja. Itu lebih Pancasila.

Yongky Gigih Prasisko: Aku wingi mulai dari hutan Mas, sebelum perkebunan. Perkebunan msih pelan-pelan. Data-data perkebunan masih sensitif diambil, aku pernah minta padahal gae surat sik ruwet. Punya Pak Chandra dan pak Edy Burhan wes khatam.

Ikwan Setiawan: Masih dibawa sama istrinya Man Ebhi Brade. Koeli itu istilah yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Inggris. Itu memang lahir dari istilah perkebunan. Aku pernah punya buku yang khusus bahas itu, jadi bukan hanya orang pribumi pekerja, tapi juga China pekerja juga dilabeli koeli. Sayangnya, buku itu dipinjam kawan dan seperti biasa musnah dan kawan itu juga pergi entah ke mana. Bicara tentang Koeli di Sumatra...

Yongky Gigih Prasisko: Pak Bayu Dedie Lukito ayoo ndang ngomong tentang Jember budaya kuli.

Ikwan Setiawan: Iya Yongky Gigih Prasisko karena struktur masyarakat Jember ini awalnya memang dibentuk dari pusat perkebunan. Misalnya, kenapa kyai-kyai itu kaya dan punya lahan luas, karena mereka mendapatkan konsesi dari pekebun agar ngedhem-ngedhem para buruh Madura di wilayah perkebunan. Penguasa kebun juga berhutang banyak ke kyai, karena ketika ada urusan tertentu mereka akan minta tolong kyai. Persis sekarang ini, ketika ada urusan-urusan politik banyak orang ke kyai.

Ikwan Setiawan: Itu yang saya katakan sebagai kompleksitas

Yongky Gigih Prasisko: Kalau dari sudut pandang tata kelola hutan, pada mulanya formasi masyarakat Jember dibentuk dari kerja mblandong.

RZ Hakim: Zaman lambek, antara 1400-1700an, di rentang sejarah Indonesia, perbudakan pernah menjadi sistem kerja yang absah dan baik-baik saja. Praktik ini berlangsung pada masa kurun niaga. Kala itu terdapat sejumlah orang yang menyerahkan dirinya secara sukarela kepada penguasa untuk jadi budak. Antara lain tersebab utang, ketidakmampuan membayar mas kawin, kegagalan panen, atau malapetaka lain.

Lalu muncul zaman perkebunan di Jember. Pas!

Ikwan Setiawan: Dan kalau kamu tinggal agak lama di perkebunan, kamu akan mendapatkan kemiripan dengan struktur masa kolonial, di mana para buruh itu masih harus begitu menghormati sinder seperti Raja. Padahal sinder itu juga berasal dari etnis Madura. Repetisi sistem kolonial masih berlangsung ketika JFC sudah menjadi biasa di pusat kota.

Zuhana Anibuddin Zuhro: Bangun dalam keadaan tidak enak badan. Demam dan sakit tenggorokan. Tapi merasa sudah ingin sehat ketika membaca diskusi yang menarik antara Mas Doktor Ikwan Setiawan dan Dek Calon Doktor Yongky Gigih Prasisko. Membayangkan membuatkan kopi mereka ketika berdiskusi di Kalisat. Tentu saya bisa sambil sesekali mencuri dengar obrolan tibgkat dewa ini.

Yongky Gigih Prasisko: Ya semoga bisa masuk perkebunan, soalnya terakhir saya ngobrol dengan orang LT (lembaga tembakau), Disnaker pun bahkan tidak punya data tentang jumlah buruh PT. Perkebunan. Saya tidak tahu apa Ketajek sudah selesai kasusnya dengan PT. Perkebunan. Sekarang yang paling baru kasus di Mulyorejo.

Ikwan Setiawan: Aduhai adinda Zuhana Anibuddin Zuhro sungguh sangat mulia hatimu. Brade RZ Hakim dilarang ngambek... wekekekek

RZ Hakim: Dikejar dengan bergelas-gelas anggur (kata Meggy Z), dibalas dengan secangkir kopi. Kukut bandare.

Singgahlah ke Kalisat, Kali itu zaman/waktu/ketika, Sata itu tembakau.

Zuhana Anibuddin Zuhro: Apakah yang terbujur dari ujung selatan Jember sampai bagian timur itu hanya hutan semua Yongky Gigih Prasisko? Lalu, apakah semua masyarakatnya Mbladong hingga bisa disebut mewakili keseluruhan Jember? *ojok dijawab : sampeyan gak moco bukuku Mbak? šŸ˜‚

Ikwan Setiawan: Itu masuk akal Brade... he he he.. Kan salah satu pusat perkebunan tembakau. Yang menarik adalah seperti Brade omongkan kalau kedatangan orang-orang China itu selalu didukung kepentingan untuk meramaikan sebuah wilayah dengan perdagangannya. Jadi mereka memang terhormat di masa kolonial.

Ikwan Setiawan: Tapi mereka juga bisa berinteraksi dengan warga Madura Jawa dan yang lain. Itulah mengapa konflik berdarah antara mereka aku belum pernah baca di Jember (mungkin aku salah). Khususnya di masa kolonial dan era Sukarno. Meskipun Sukarno mulai melakukan pembatasan... tapi di wilayah Jember belum pernah dengar kasus China dengan warga etnis lain.

RZ Hakim: Brade Ikwan, luka budaya pernah terjadi di Kalisat pada 1967. Itu saja, satu-satunya, hasil rentetan dengan wilayah lain juga. Misal, Banyuwangi.

Ikwan Setiawan: Nah, informasi yang menarik Brade. Tapi apa itu ada hubungannya dengan komunisme 65???

RZ Hakim: Kalau secara nyata, berbagai proses penangkapan warga PKI di wilayah Kalisat, Jember bagian Utara terjadi pada tanggal 22 Oktober 1965. Serem di sini.

Nah, setelah itu kan kondisi politik negeri ini kacau. Mudah untuk menyulut kekacauan, apalagi jika yang disentil adalah sara dan kecemburuan ekonomi --ketika ekonomi sedang sulit-sulitnya-- di wilayah tapalkuda. Orang-orangnya bersumbu pendek, mudah meledak.

Hanya sekali itu saja di Kalisat. Namun sekali tempo, di sini masih menyisakan candaan agak-agak nyrempet rasis gitu, hehe.. Terlepas dari semuanya, Kalisat indah! ia punya modal sosial untuk membangun dirinya sendiri.

Ikwan Setiawan: Sepertinya kita kudu berbincang sambil menikmati Kalisat Brade. He he he aku tak nyari waktu lah..

Yongky Gigih Prasisko: Aku kate nambahi komen bingung sing endi sing kate tak respon. Gak sido wez. Telat 5 menit, komene okeh.

Yongky Gigih Prasisko: Komennya Cak Iwan Ndut ini menurutku menarik, tentang Jember sebagai budaya pekerja.


Screenshot dikirim Yongky pada 14 Agustus pukul 17:22

Ikwan Setiawan: Makane Yongky Gigih Prasisko, aku dulu kan pakai konsep diaspora lokal untuk kajian awal. Ada kerinduan terhadap Jawa terhadap Madura terhadap China dan lain lain. Itu menjadi wajar. Tapi juga ada pertemuan kultural. Itu yang pada akhirnya menghasilkan dinamika dan kompleksitas. Nah, makanya kudune diperkuat dengan mengurai dulu sistem perkebunan sampai perluasannya menuju wilayah pinggir kebun, desa, hingga kota. Memang butuh dana besar, tapi kata Brade RZ Hakim itu benar kita tetap butuh live in lah. Aku juga masih terus mengumpulkan data soal ini Semboro. Kalau soal dana riset, aku juga nggak punya untuk kajian Jember, biasanya sih teman-teman LEMLIT. Dan aku bukan bagian dari rezim LEMLIT itu. Poinnya mari terus membaca Jember, sepakat denganmu.

Beny Noenk: Hallo-hallo Mas Ikwan Setiawan salam kenal dan terima kasih telah berbagi ilmunya.

Ikwan Setiawan: Waduh Mas Beny Noenk saya cuma menyauti Brade RZ Hakim. Saya yang harus meguru banyak. Insya Allah kapan-kapan bisa berdiskusi.

Minggu, 14 Agustus 2016

Kalisat: Dari Bakers hingga Pabrik Kecap

Minggu, 14 Agustus 2016
Saya terlibat pembicaraan menarik dengan Mas Andi Kurniawan di sebuah kolom komentar Facebook. Kami bicara tentang pemilik Depot 32 Kalisat --Tan Kok Ren, tentang Rumah Roti Soponyono yang legendaris di Kalisat pada 1970-1980an, yang berlokasi di sebelahnya Pak Soekarlan depan Kawedanan Kalisat, dan tentang nama-nama Hoakiao di Kalisat.

"Saya lebih dekat dengan keluarga Bakers Soponyono mas. Kebetulan Tan Kok Fi adalah temen satu angkatan SMPN Kalisat. Tapi kami saling mengenal dari kecil, karena Ayahku kerja dekat dengan tempat mereka. Ayahku bekerja di Perum Telekomunikasi, sebelum menjadi PT. TELKOM."
Bagi saya, toko roti selalu menarik. Dimana ada orang Eropa, di sana terdapat pula toko roti. Kiranya, sebelum Bakers Soponyono berdiri, di Kalisat telah ada toko roti lain, setidaknya di era 1920an.

Kisah yang dituliskan Mas Andi mengingatkan saya pada catatan Om Liang pada 19 Oktober 2015 lalu, dengan tiga foto penyerta, satu di antaranya adalah foto berikut ini.


Berikut yang Om Liang tuliskan;

"Foto-foto dari album lama ini berusia kurang lebih 85 tahun. Ada foto toko milik Kakek kami yang menjual kecap produksinya, Guci-guci tempat fermentasi kedelai, Kakak ipar Ayah kami dengan kebaya encim bersama putra putrinya."

Enam hari sebelumnya, Om Liang bikin catatan Facebook berjudul, KAKEK SAYA JUALAN KECAP.

"Kakek saya datang dari Tiongkok ke desa Kalisat di sekitar pergantian abad ke 19. Dia mendirikan pabrik kecap yang cukup maju.Tapi jangan dibayangkan pabrik kecap di rumah kakek saya itu seperti pabrik kecap di masa kini. Rumah kakek hanyalah berdinding papan dan bambu dengan banyak guci/gentong besar untuk fermentasi kedelai. Biarpun demikian banyak juga pabrik kecap lain yang memalsukan cap/merk dagang milik kakek saya. Hal itu terjadi berkali-kali hingga akhirnya kakek saya memasang foto dirinya yang di tempel di setiap leher botol kecap produksinya. Nampaknya taktik ini berhasil membuat pemalsuan itu berakhir. Sayangnya pabrik kecap ini hanya berjalan satu generasi saja."

Tujuh bulan lalu, ketika warga Kalisat bikin acara kolektif Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu, logo kecap NJOO THIOE HIEN Kalisat juga turut kami tampilkan. Meski berukuran kecil, ia menjadi daya tarik pameran foto.

"Dulu ada 2 pabrik kecap di Kalisat. Kecap nomor satu milik kakek saya, Kecap nomor berikutnya milik keluarga Kwee (Toko Cemara) sebelah depot 32." Tulis Om Liang pada Aunurrahman Wibisono di kolom komentar, 1 November 2015.

Pada 1898, satu tahun setelah diresmikannya stasiun Kalisat, telah ada tiga kelontong di Kalisat. Mereka sengaja diundang oleh penyelenggara wilayah, untuk membantu roda ekonomi di Kalisat. Di masa-masa itulah Njoo Thioe Hien hadir di Kalisat, lalu mencoba bikin usaha pabrik kecap.
Kalisat memiliki coraknya sendiri. Kurang patut rasanya jika kita grusa-grusu mengolomkan Kalisat dengan sebutan Pendalungan. Di sini saya lebih sering mendengar istilah 'Kalisatan' dibanding pendalungan.

Rabu, 20 Juli 2016

Cerita Rakyat Pringgondani dan Cumedak

Rabu, 20 Juli 2016
CUMEDAK. Pernah dengar nama desa ini? Ia adalah sebuah desa yang letaknya paling Selatan di kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember. Ketinggiannya kurang lebih 350 MDPL. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota, sekitar 35 Kilometer. Jika berangkat dari Kalisat menuju desa Cumedak, kita masih harus melintasi kecamatan Sukowono.

Sumberjambe tak dilewati kereta api. Ia juga bukan jalur antar kota. Letaknya yang terpencil membuat orang Jember kadang tak tahu dimana letak desa ini. Padahal dibanding desa lain di kecamatan Sumberjambe, Cumedak terbilang jauh lebih ramai, dan lebih mudah jangkauannya. Misalnya, jika kita bandingkan dengan desa Pringgondani, salah satu desa di kecamatan Sumberjambe, Jember.

Sedikit cerita tentang Pringgondani.

Masyarakat di sini percaya jika di masa yang lampau desanya digunakan sebagai tempat menempa diri para pendekar. Mereka juga bangga sebab nama desanya disebut-sebut dalam kisah pewayangan, meski di tempat lain --di negeri ini-- ada juga wilayah bernama Pringgondani.
"Pring itu artinya bambu, nggon adalah tempat atau wilayah, sedangkan dani adalah menempa diri. Jadi Pringgondani adalah sebuah wilayah yang ditumbuhi bambu, dijadikan sebagai sebaik-baik tempat untuk menempa diri."
Jika dilihat dari letaknya, sangat mendukung cerita rakyat di atas. Ia berdempetan dengan kabupaten Bondowoso, sedangkan di sebelah Timur terdapat Gunung Raung.

Cumedak juga punya cerita rakyat.

Dikisahkan secara tutur tinular, di masa yang lampau di desa ini tumbuh tanaman buah bernama Cempedak. Tak ada orang yang berani mencabutnya. Jangankan mencabut, mendekatinya saja maka orang itu akan mati. Maka tanaman itu tumbuh merdeka tanpa gangguan, hingga menjadi pohon yang besar sekali.

Suatu hari datanglah seorang lelaki tua. Tak diketahui siapa namanya dan darimana lelaki asing ini berasal. Lelaki inilah yang berinisiatif untuk menebang pohon cempedak tersebut, dengan tujuan agar penduduk desa tak lagi takut, dan tempat yang angker itu bisa menjadi lebih terang dan bermanfaat.

Ada dua versi yang tumbuh di masyarakat, tentang alat yang digunakan lelaki tua itu untuk merobohkan pohon tersebut. Pertama, ia menggunakan sebilah keris saja. Versi kedua, ia menebang pohon itu dengan menggunakan pecut cemeti.

Singkat cerita, pada akhirnya pohon itu berhasil ia tumbangkan. Orang-orang desa menaruh hormat pada lelaki tua itu.

Sang lelaki tua kemudian menetap di wilayah sekitar tumbangnya pohon cempedak. Suatu hari, ketika akan meninggal dunia, ia memberi pesan terakhir kepada orang-orang desa, agar mereka bersedia menamakan desanya dengan nama desa Cumedak. Masyarakat tentu bersedia. Hingga kini, nama desa tersebut masih belum berubah, masih bernama desa Cumedak.

Seperti itulah kurang lebihnya folklor atau cerita rakyat yang pernah kami dengar tentang desa Cumedak.

Di desa ini jugalah CV. Jawa Dwipa memulai prosesnya. Bertumbuh dan terus bertumbuh. Kami tak akan lelah untuk mencoba memberikan tawaran beras kualitas terbaik, dari lereng Gunung Raung.

Jumat, 15 Juli 2016

Mengenang Abu Vulkanik Raung Setahun Yang Lalu

Jumat, 15 Juli 2016
HUJAN abu vulkanik dari Raung mengguyur Jember, satu tahun yang lalu. Ia hinggap dan menempel pada apa saja, tak terkecuali pada batang dan daun tembakau. Pasar bicara. Kualitas tembakau dinyatakan menurun, harga kacau, pandangan para petani tembakau menerawang jauh.

Di Kalisat, Sumberjambe, hingga Tamanan, tiba-tiba dagangan kaca mata menjadi laris. Di perempatan jalan, ada sekumpulan pemuda sedang membagikan masker. Menurut para ahli, penggunaan kaca mata dan masker sangat disarankan.

Orang-orang Kalisat, mereka tetap menjalani hari dengan tenang dan tidak panik. Namun tidak demikian dengan para petani tembakau. Setidaknya hingga bulan Oktober 2015, harga tembakau di Kalisat dijual obral.

Pak Anis, seorang petani tembakau asal Sumberjeruk, ia menjual tembakau kasturi miliknya kepada tengkulak dengan harga bantingan. Padahal tembakau miliknya berkualitas lokal super, hasil petikan terakhir dan hanya diambil pucuk-pucuknya saja. Menurut orang Kalisat, panenan hasil unduhan seperti itu namanya pocotan atau koncok'an. Ia juga sudah dalam keadaan sunduk/sujen.

Oleh tengkulak, hasil panenan Pak Anis dihargai lima ribu rupiah saja per-kilo. Harga yang merana tapi terpaksa harus diterima.

Ketika itu, PTP Ajung-Kalisat juga telah melakukan terobosan. Ia membuka kerja musiman untuk Ibu-ibu setempat. Kerja siang pulang jam setengah sebelas malam. Mereka bertugas untuk membersihkan abu yang melekat di daun tembakau.

Pada 25 September 2015, terdengar kabar jika Bupati Jember MZA Djalal dan Wakil Bupati Jember Kusen Andalas secara resmi telah mengakhiri masa tugasnya sebagai Bupati dan Wakil Bupati. Selanjutnya, roda pemerintahan Jember ada di bawah Pj Bupati Supaat.

Lalu musim kampanye. Angin segar menerpa wajah-wajah petani tembakau di Kalisat, dan di mana saja di kabupaten Jember, terkait 22 Janji Kerja Fakta. Di sana, di janji nomor sebelas, ada tertulis seperti ini:

'Menata dan merevitalisasi industri tembakau dengan meningkatkan produktivitas sektor ini untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tembakau.'

Janji yang manis. Ia tentu dijaga oleh hati para petani tembakau.

Setahun telah berlalu. Minggu ini keluarga Pak Anis sedang sibuk urus putrinya yang baru masuk sekolah di sebuah SMP Negeri di Kalisat. Wajahnya terlihat riang, sebab satu-satunya biaya paling berat yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya membeli seragam sekolah.

Kali ini, Pak Anis menaruh harapan besar pada benih-benih tembakau kasturi yang baru ia tanam pada penghujung ramadhan lalu.

Senin, 04 Juli 2016

Malam Takbir di Kalisat

Senin, 04 Juli 2016
Oleh Inor PS

Hari pertama adalah yang paling berat. Setelah itu sukses terlewati. Maka dari hari ke hari semuanya jadi semakin mudah.

Tadi adalah hari terakhir. Genap tidak ada bolong, sesuai rencana di awal. Tinggal satu 'ritual' untuk menyempurnakannya. Takbiran. Berangkat dari rumah dengan percaya diri, karena kadar 'ketaqwaan' sudah full dan kental, hasil dari gemblengan sebulan puasa.

Sampai di jalan besar, macet. Jalanan dipenuhi orang, motor berseliweran, dan mobil-mobil pengangkut sound. Sound-nya mengumandangkan musik-musik disko dan house berdentum-dentum. Musik yang enak didengar membuat tubuh jadi ikut bergoyang-goyang mengikuti bit-nya.

Semakin malam semakin ramai, semakin berdentum, semakin hingar bingar. Belum lagi ditimpali suara petasan. Tubuh yang tadinya cuma bergoyang, kini jadi ikut berjingkrak-jingkrak seperti para sound boys yang berjoget kalap. Dalam setengah jam saja, badan sudah terasa ringan. Bukan karena apa, melainkan semua sudah pada rontok. Berjatuhan, berserakan di aspal.

Apa itu?

Ketaqwaan yang tadi. Yang mula-mula full dan kental, menjadi encer sudah. Yang semula dibawa untuk disempurnakan dengan takbiran, habislah. Buyar semburat oleh karena musik house yang menghentak sepanjang jalan, sepanjang malam.

Yang takbiran mana?

Ada. satu dua mobil dengan sound kecil. Juga di pinggir jalan dengan swadaya alat seadanya, serta yang hanya terdengar sayup suaranya di kejauhan sana. Tertimbun oleh gelegar joget house sound system.

Ketaqwaan yang susah payah di pupuk selama sebulan itu tadi bagaimana? Haaesshh.. Tandas sudah. Tinggal tersisa secuil untuk modal salat ied besok pagi.

Selasa, 19 April 2016

Satu Gumuk Tiga Nama

Selasa, 19 April 2016
Oleh RZ Hakim

Di kecamatan Kalisat kabupaten Jember ada sebuah gumuk yang memiliki tiga nama, dan ketiganya memiliki sejarah yang lumayan panjang. Gumuk itu bernama Blanggur, Taman, dan Murni.

Dinamakan blanggur sebab di masa yang lalu orang-orang suka menyulut mercon blanggur di puncak gumuk ini, sebagai penanda bahwa ramadhan telah tiba. Ia berlanjut setiap hari selama bulan ramadhan, untuk menandai waktu berbuka puasa.

Dalam tradisi muslim memang tak dikenal blanggur. Ia lebih dekat dengan perayaan tradisi Etnis Cina, sebuah bangsa penemu bubuk mesiu. Namun jika kita menengok dinamika masyarakat Kalisat, hal itu mungkin saja terjadi.

Di masa ketika pihak Belanda memutuskan untuk membelah Kalisat dengan rel kereta api, dan menjadikan stasiun Kalisat sebagai titik percabangan menuju Panarukan dan Banyuwangi, mereka meminta bantuan para pengusaha Cina untuk tinggal di Kalisat agar bisa turut menggerakkan roda ekonomi.

Stasiun Kalisat diresmikan pada 10 Oktober 1897. Satu tahun kemudian, di Kalisat telah tercatat keberadaan tiga toko 'kelontong' milik pengusaha Cina.

Tak ada catatan hitam mengenai hubungan antara keluarga pengusaha Cina dengan masyarakat Kalisat, kecuali satu kali di tahun 1967 --mohon koreksi jika saya keliru. Itu adalah satu-satunya masa kelam kerusuhan rasial di Kalisat.

Adanya akulturasi budaya antara masyarakat setempat dengan warga pendatang memungkinkan mereka untuk mengenal budaya menyulut blanggur.

Di Bondowoso, kabupaten dekat kalisat, setiap awal dan akhir ramadhan ditandai dengan menyulut sebuah meriam. Orang Bondowoso menyebutnya blanggur.

"Tapi khusus untuk itu di alon-alon kota ada dua buah bumbung raksasa terbuat dari baja tebal, yang permanen ditanam. Blanggur disulut saat awal ramadhan --setelah maghrib-- tandanya mulai taraweh. Trus tiap sore saat maghrib tiba, blanggur juga disulut," tulis Ira Oemar di kompasiana.

Di bulan puasa, ketika menunggu datangnya adzan maghrib, orang-orang menyebutnya 'menunggu blanggur' dan tidak/belum mengenal istilah ngabuburit.

Kalisat juga punya dua meriam, mengingat dulu di sini adalah pusat latihan Artileri Medan, sebelum dipindahkan di Kebonsari pada 1975. Dua meriam itu juga ikut dipindahkan.

Catatan-catatan di atas menegaskan bahwa wajar jika masyarakat Kalisat memiliki kenangan akan blanggur, sebelum ada himbauan dari pemerintah yang melarang keberadaan segala jenis mercon di bulan ramadhan.

GUMUK TAMAN juga nama lain dari gumuk blanggur. Mengapa dinamakan gumuk taman? Sebab di masa Hindia Belanda, di lereng gumuk tersebut terdapat sebuah taman dan kolam renang yang luas. Ia adalah sebuah kolam renang yang disinyalir lebih tua dari Rembangan.


Di tepi kolam renang Taman. Foto milik Njoo Studio Kalisat, menggambarkan mode pakaian renang di masa 1930 hingga 1940an

Jika melihat koleksi foto milik Njoo Studio Kalisat, hingga tahun 1938 kolam renang di gumuk taman masih terpelihara dengan baik.

Sayang sekali makam untuk warga Eropa kini sulit dijumpai. Salah satu pemakaman Eropa di Kalisat sekarang telah beralih fungsi menjadi Balai Desa Glagahwero, Kalisat. Semisal masih ada, barangkali lebih mudah bagi kita untuk mengerti siapa saja orang-orang Eropa --beserta marganya-- yang berpotensi pernah berenang di kolam itu.

BAGAIMANA DENGAN GUMUK MURNI?

Di lereng gumuk tersebut, pernah ada sebuah Taman Kanak-kanak bernama TK Murni, sebelum TK ini berpindah di dekat Kawedanan Kalisat. Kini bangunan TK tersebut telah rata dengan tanah, sementara di dekatnya telah berdiri sebuah tower.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mas Teguh, seorang Pande Besi terpelajar dari Kalisat. Ia bilang, dinamakan gumuk murni sebab dulu sekali di sana banyak pohon burni. Orang Jawa menyebutnya Buni. Sedangkan nama ilmiahnya adalah Antidesma bunius (L.) Spreng.

Burni atau Buni adalah tumbuhan endemik Nusantara. Buahnya kecil-kecil berwarna merah, dan tersusun dalam satu tangkai panjang, menyerupai rantai, serta bisa dimakan.

Pohon burni memiliki fungsi alami sebagai peredam polusi suara.

Karena dulu di gumuk itu banyak pohon burni, anak-anak tak takut bermain di sana. Hingga di generasi Teguh, mereka akrab dengan gumuk tersebut. Pada pemula 1980an, masih ada satu dua pohon burni. Lalu seiring berlalunya waktu, pohon burni hanya tinggal kenangan. Hanya menyisakan seonggok gumuk bernama gumuk murni.

Di masa kerajaan di Jawa, buah pohon burni biasanya dihidangkan di atas meja untuk para tamu kerajaan, atau difermentasi untuk dijadikan minuman beralkohol.

Minggu, 17 April 2016

Shaggy dan Kisah Seorang Tukang Cukur

Minggu, 17 April 2016

Dokumentasi oleh Zuhana AZ, 16 April 2016

"Shaggy wae yo?" kata Dayat sembari menutupi badan saya dengan kain warna merah hati. Saya tertawa saja mendengarnya. Gaya rambut itu mengingatkan saya pada kisah tentang Jane Fonda di era 1970an, ketika ia berhasil mempopulerkan shaggy.

Selama memangkas rambut saya, Dayat banyak berkisah tentang perjalanan hidupnya. Maklum, kami telah saling kenal sejak setidaknya lima bulan lalu.

Hidayat Kanurahman namanya. Ia terlahir di Kalisat pada 25 Juni 1972, dari pasangan Saha dan Asia. Bapaknya kelahiran desa Sumbersalak kecamatan Ledokombo, sedangkan Ibunya berasal dari Glenmore, Banyuwangi.

"Aku iki bungsu dari delapan bersaudara. Kakak nomor satu namanya Junaidi. Jarak usia kami terpaut jauh sekali. Kami bahkan hanya berjumpa satu kali saja, sekitaran tahun 1983/1984, ketika saya masih kelas empat SD. Kak Jun lama merantau di Jakarta. Kata orang, dia memilih jalan gelap. Setelah perjumpaan itu, tak ada perjumpaan lain. Kata Bapak, Kak Jun kemungkinan sudah mati ditembak Petrus --Penembak Misterius, sebab saat pulang ke kalisat ia telah jadi buron. Itu di zaman Orba, saat preman-preman dibikin tak bernyawa oleh Petrus, 1983-1986."

Tepat di atas Dayat, kakak nomor tujuh, namanya Ahmad Suryanto atau lebih akrab dipanggil Sur. Ia seorang musisi. Ketika di Bali, Sur berjumpa dengan gadis Australia, Salli Shinn. Lalu mereka menikah. Pasangan ini kemudian dikaruniai seorang putra bernama Jaya. Nama lengkapnya Jaya Joseph William Shinn. Semenjak Sur meninggal dunia karena human immunodeficiency virus, kini Jaya dan Ibunya tinggal di Australia. Antara Dayat dan keponakannya --Jaya, tak pernah lagi ada komunikasi.

Sebenarnya Dayat juga seorang pengelana. Namun teman-teman Dayat lebih mengingatnya sebagai seorang tukang pangkas rambut. Mungkin karena ia memulai kegiatan pangkas rambut sejak 1988, ketika masih 16 tahun.

"Dadi tahun 88 aku wis iso nyukur rambut. Tapi gak profesional. Baru tahun 1995 aku mbukak stan pangkas rambut nang area pasar Kalisat. Iku pas bojoku meteng anak pertama. Umurku sik 23 tahun."

Sebelum memutuskan untuk buka lapak pangkas rambut, Dayat masih berkelana. Tahun 1991 ia hijrah ke Bali, jualan celana jeans. Lalu di tahun 1993 Dayat ke Jakarta, kerja di bidang furniture. Tak hanya itu, ketika anaknya mulai tumbuh besar, antara tahun 2003 hingga 2005 ia ke saudi Arabia untuk bekerja sebagai ahli pangkas rambut. Aneka karakter orang yang telah ia pangkas rambutnya. Mulai dari buruh migran yang ada di Saudi hingga Duta Besar.

Kini Dayat beserta istri hidup bahagia di Kipas, Kidul Pasar Kalisat. Mereka dikaruniai tiga buah hati. Sedangkan kios pangkas rambutnya ada di depan Balai Desa Kalisat kecamatan Kalisat, Jember.

Hari-hari Dayat selain menjalani peran sebagai pemangkas rambut, ia adalah juga seorang musisi. Sama seperti kakaknya. Alat musik yang paling ia kuasai adalah bass. Sedangkan aliran musik yang meresap di hatinya adalah dangdut, tak peduli orang bilang dangdut adalah musik pinggiran.
Selain menjadi bassis 'panggilan' di grup orkes dangdut, kini Dayat juga aktif di IKL --Ikatan Keluarga Lorskal, menyanyikan lagu-lagu berirama populer, bossas, blues, jazz, hingga soft reggae.

Terima kasih Mas Dayat. Kini rambut saya telah pendek dan bergaya shaggy. Model rambut yang nyaman untuk menghadapi musim kemarau.

Senin, 29 Februari 2016

Sebuah Grup Akustik Bernama IKL

Senin, 29 Februari 2016
Adakah di antara Anda yang pernah menjumpai sebuah grup akustik di stasiun Jember pada era 1990an? Mereka adalah IKL, kumpulan musisi Jember asal Kalisat. Di masa itu, pihak Daop IX Jember mengizinkan IKL untuk bermusik setiap Sabtu sore.

IKL adalah singkatan dari Ikatan Keluarga Lorskal. Sedangkan Lorskal sendiri adalah singkatan dari Lor Stasiun Kalisat, dengan penulisan memakai huruf T ditengahnya. LORSTKAL. Jadi, Lorstkal adalah nama tempat/pemukiman di utara stasiun Kalisat. Mulanya sebelum dikenal dengan Lorstkal, wilayah ini lebih dahulu dikenal dengan nama Lorban untuk menunjukkan posisi, di utara (lor) banspoor.

Di tempat itulah IKL lahir dan bertumbuh, di 'kampung' Lorstkal. IKL ada sejak 1988. Para musisinya kadang berganti, lintas generasi.

Seiring berlalunya waktu, ketika anggota IKL banyak yang berpindah tempat dan tak lagi fokus di lor stasiun, kepanjangan Lorstkal berubah menjadi Lingkungan Orang Seni Kalisat, dan tanpa huruf T di tengahnya. Lorstkal menjadi Lorskal.

Begitulah IKL, di dalam singkatan ada singkatan.


Ketika IKL bermain di acara kolektif Sanskerta Ethnic Fusion, menyambut 4 tahun proses kreatifnya. Sanskerta menamai acara ini dengan, Catur Warsa: Tunggal Jati Swara Hartati

Kemarin malam --27 Februari 2016-- ketika sedulur Sanskerta Ethnic Fusion bikin acara kolektif untuk mengingat empat tahun proses bermusiknya, IKL diberi kesempatan untuk turut bernyanyi. Mereka mempersembahkan lima lagu. Dimulai dengan lagu pertama berjudul Keraben Sape Medureh, lalu disusul menyanyikan lagu milik Leo Kristie, Catur Paramita.

Mereka bernyanyi dengan gembira, hingga lagu terakhir. Mbois!

Minggu, 21 Februari 2016

Perihal Nasi Bungkus

Minggu, 21 Februari 2016
Cafe datang dan pergi, begitu juga dengan gerai makanan di areal kampus Bumi Tegalboto Jember. Mati urip mati urip, berganti pengelola, berganti nama, berganti pula resep makanannya. Tapi Nasi Bungkus Bu' Bongkar masih tetap bertahan, masih tetap memberi yang terbaik pada generasi bangsa yang kelaparan. Ia ada sejak 1993.

Terima kasih Bu' Bongkar. Bongkar kebiasaan lama. Orang Indonesia suka nasi bungkus.

Catatan pendek di atas adalah sebagai komentar balasan saya --di Facebook-- untuk seorang rekan bernama Wisnu Psylockee. kami saling berkomentar sehat di sebuah catatan yang saya tulis sendiri, berjudul; Nasi Bungkus.

NASI BUNGKUS

Mula-mula ia adalah nasi putih yang diberi kering tempe, tahu, mie, dendeng sapi yang diiris tipis sekali, dan telur 'godog' bumbu merah. Lalu ia dibalut dengan daun pisang. Kemudian masih dilapisi lagi dengan koran bekas. Jika lapar, siapapun boleh membelinya dengan harga kelas rakyat. Ia bahkan boleh diminta oleh mereka yang lapar namun tak punya alat tukar.

Sederhana. Tak jarang, dari sesobek koran bekas itu kita bisa memperoleh pengetahuan.

Saya beruntung mengenal dengan baik perempuan di balik pembuatan nasi bungkus di atas, meski kini ia telah tiada. Bersamanya, saya jadi mengerti bagaimana caranya memperlakukan makanan.

Ketika memasak, memilah-milah, hingga proses membungkus, ia ibarat Sura'i yang sedang mempersembahkan sekuntum cinta untuk Sulami. Telaten, kata orang Jawa.

Sekali waktu tentu ia lelah. Namun kebiasaan itu dilakukannya setiap hari, terus menerus. Ajeg. Istiqomah. Setia kepada proses. Ini bukan tentang bagaimana menjadi kaya. Sebab jika itu judulnya, ia tak akan menitipkan sejumlah nasi bungkus itu di tempat-tempat tak strategis seperti di dekat sekumpulan abang becak. Tentu dia akan menitipkannya di tempat yang ideal, strategis, menjanjikan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh ilmu ekonomi modern.

*Kelak, Tuhan memberikan kekayaan kepada perempuan pembuat nasi bungkus itu dari pintu yang lain.

Nasi bungkus adalah tentang menempa diri, tentang hidup dan kehidupan, dan tentang rasa cinta. Mari menghargai makanan, setidaknya dengan tidak menghardiknya.

Jember, 13 Februari 2016



Nasi Bungkus di Kedai Doeloe Kalisat

Kabar baiknya, sejak 18 Februari 2016, Anda bisa kembali menjumpai nasi bungkus di Kedai Doeloe Kalisat. Kiranya, nasi bungkus itu disajikan dengan cinta. Hanya lima bungkus saja per-hari, dan hanya bagi yang lapar. Jika Anda sedang punya alat tukar, silahkan membayar sejumlah 4000 rupiah. Jika sedang tak punya, sangat boleh diminta.

Teringat pendapat Wisnu tentang nasi bungkus.

"Di Jogja ada sego kucing, di Surabaya ada sego sambel, di Bali ada nasi jenggo. Nasi bungkus selalu lekat dengan para aktivis, turun ke jalan menyuarakan haknya. Tak hanya di Indonesia, nasi bungkus juga bisa kita jumpai di Malaysia, India, Thailand, dan negara-negara Asia lainnya. Ia ibarat raja jalanan. Dijual, dimakan, dan dibuang di jalan dengan terhormat."

Kemarin malam, Om Aziz warga Kalisat asal Gresik, ia bercerita kepada saya tentang nasi bungkus bernama sego saduk'an. Adanya di kabupaten Gresik.

"Bayangkan, di Gresik itu ada penjual sego saduk'an yang setiap harinya menyediakan satu box (mobil) nasi bungkus, dan selalu habis. Harganya terjangkau, ia sangat membantu orang-orang pinggiran yang lapar."

Jika sudah begini, saya teringat nasi bungkus hasil racikan Bu' Bongkar di areal kampus Jember. Dialah perempuan yang setia kepada proses dan dengan caranya yang sederhana, membantu orang-orang lapar dengan alat tukar terbatas. Terima kasih Bu' Bongkar, terima kasih nasi bungkus.

Kamis, 18 Februari 2016

Nasi Bungkus Titipan Rima di Kedai Doeloe Kalisat

Kamis, 18 Februari 2016

Nasi Bungkus Titipan Rima di Kedai Doeloe Kalisat

Pada 5 Februari 2016 lalu, Rima bikin lima bungkus nasi bakar jamur dan lima bungkus lagi nasi bungkus biasa. Dia menyebutnya nasi kucing. Di hari yang sama, di jejaring sosial Twitter saya menulis seperti ini, disertai foto.

"Ini hari pertama Rima berjualan nasi bungkus yang ia titipkan di Kedai Doeloe Kalisat. Semoga barokah ya Rim."

"Rima bikin 5 bungkus nasi bakar jamur dan 5 bungkus nasi kucing. Rima adalah putri tetangga kami di Kalisat."

"Hingga pukul sepuluh malam, dagangan si rima sudah laku tiga bungkus, sisa tujuh. Alhamdulillah."

Pada keesokan harinya, di jejaring sosial yang sama, saya menulis seperti ini.

"Rima hanya berjualan nasi bungkus satu kali saja. Esoknya ia tak berjualan lagi, disebabkan beberapa hal.

Tiga belas hari kemudian, tepatnya pada hari ini, Kedai Doeloe kembali dijumpai nasi bungkus. Bukan titipan Rima, namun hanya melanjutkan usaha yang pernah dicoba oleh Rima.

Tetap semangat, Rima!




Selasa, 26 Januari 2016

Setelah Acara Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu

Selasa, 26 Januari 2016

Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu, 16 & 17 Januari 2016. Dokumentasi oleh Gilang Anggriawan

Teman-teman yang baik, usai sudah acara yang kita gelar bersama-sama; Pameran Foto Kalisat tempo Dulu. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ia terlaksana tanpa ada sistem kepanitiaan, melainkan diwujudkan secara partisipatif. Misalnya, jika ada yang merasa mampu urus masalah parkir, maka ia berinisiatif (lalu mengajukan dirinya sendiri) untuk pegang bidang itu. Begitu juga dengan bidang-bidang lain; konsumsi, sound sistem, urus masalah daftar hadir, dokumentasi, penerima tamu, dll.

Perihal dokumentasi dan pemberitaan, telah disepakati di awal bahwa kita akan memproduksi berita sendiri. Maka dari itu kita tidak sediakan Press Release. Kecuali jika ada yang tertarik dan berinisiatif untuk meliput acara kita, maka dipersilahkan.

Mengenai undangan, tak sedikit usulan yang bilang jika sebaiknya kita mengundang MUSPIKA Kalisat. Terima kasih atas usulannya. Namun sedari awal, Pameran Foto ini dicita-citakan untuk semua kalangan dari segala umur, dengan model undangan terbuka. Tutur tinular alias dari mulut ke mulut. Barangkali di lain waktu kita bisa mewujudkan usulan tersebut, di acara yang sama atau yang lain.

Adapun mengenai lokasi acara, mengapa harus di Kedai Doeloe? Pertama, Kedai Doeloe dekat dengan stasiun Kalisat dan lokasi-lokasi arsitektur bersejarah --yang masih ada-- di Kalisat. Kedua, jika acaranya di kedai, ia akan menjadi bagian acara Kedai Doeloe. Tak perlu kita ribet memikirkan perizinan, asal ada estimasi waktu yang jelas. Misal, tak lebih dari 22.30 malam.

KINI MASALAH DANA

Mulanya urusan dana untuk acara 'Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu' hendak dipikul bersama-sama. Kita mau adopsi sistem jimpitan, alias urunan. Sifatnya tidak memaksa. Jika uang Anda adanya seribu rupiah, ya itu yang disumbangkan. Jika mau menyumbangkan yang lain selain uang, sangat dipersilahkan, apapun itu.

Namun ternyata acara kita ini mendapatkan respon yang hangat, baik di dunia nyata maupun maya. Alhasil, ada banyak tangan-tangan yang membantu kita. Syukurlah.

Mula-mula, seorang teman bernama Edwindy menyisihkan sedikit rezekinya untuk 'support' acara kita. Seratus ribu rupiah. Kemudian dari keluarga Om Liang (Njoo Studio). Mereka memberi kita banyak hal; foto-foto, nasi kotak, kue, dll, serta amplop berisi seratus ribu rupiah. Lalu dari seorang teman di tamasya band, namanya Mas Bebeh, dua ratus ribu rupiah.

Rekan baik saya, seorang sejarawan bernama Dukut Imam Widodo (penulis buku Djember Tempo Doeloe, dll) juga mendengar rencana acara ini dari Facebook. Ia sengaja transfer uang via rekening Zuhana sebesar lima ratus ribu rupiah.

Total sejumlah 900.000,-

Karena sudah ada sumber daya uang, kita tentu tak jadi urunan. Uang itulah yang kita gunakan untuk biaya konsumsi, sound system, dll (catatan rinci ada pada kami). Total menghabiskan dana sejumlah 798.500 rupiah.

Kini uang kolektif tersebut tersisa 101.500 rupiah.

Saya pribadi telah meminta pendapat beberapa rekan-rekan Kalisat secara langsung, bagaimana sebaiknya menggunakan sisa uang tersebut hingga menjadi nol rupiah. Lalu disepakati, kita akan bikin acara kecil (diskusi santai) di Kedai Doeloe. Uang tersebut digunakan sebagai penunjang acara. Tanggal masih belum diketahui.

Semoga di acara tersebut, dapat kita rembug juga mengenai usulan-usulan yang bertebaran selama acara pameran foto berlangsung. Di antaranya tentang pembuatan buku kecil berisi foto-foto Kalisat Tempo Dulu, untuk teman-teman Kalisat yang kemarin tidak sempat menghadiri acara. Juga usulan, bagaimana jika acara tersebut dilaksanakan secara rutin menjadi acara tahunan.

Teman-teman, diperbincangkannya masalah 'uang' di sini bukan berarti mengecilkan sumbangan-sumbangan lain yang tak berupa uang. Tentu kami sangat berterima kasih atas segala sumbangsih untuk mewujudkan acara secara bersama-sama. Namun masalah uang memang agak ribet. Saya juga takut. Maka sebaiknya dikomunikasikan secara terbuka agar bisa dirembug bersama. Begitu.

Terima kasih untuk semuanya. Mator Sakalangkong.

Jumat, 15 Januari 2016

Mewujudkan Pameran Foto Bersama-sama

Jumat, 15 Januari 2016

Dokumentasi oleh Sudut Kalisat, 15 Januari 2016

DOKUMENTASI FOTO yang hendak kami tampilkan di acara 'Kalisat Tempo Dulu' adalah milik warga Kalisat sendiri. Foto-foto tersebut akan kami kembalikan setelah acara usai. Ia berisi dokumentasi seputar moda transportasi di Kalisat, mode, arsitektur bangunan, bentang alam, tokoh, serta dinamika sosial masyarakat kalisat, sedari era 1920 hingga 1970an.

Hingga detik ini kami banyak dibantu oleh ahli waris Njoo Studio, sebuah studio foto di Kalisat yang produktif sejak 1940an. Juga, oleh keluarga (Almarhum) Bapak Madiroso --ejaan dalam KTP adalah Mardiroso.

Beberapa yang lain adalah milik warga Kalisat yang memberi kepercayaan kepada kami untuk meminjamkan foto-foto lama milik keluarga.

Selama acara berlangsung, tidak menutup kemungkinan jumlah foto yang ditampilkan akan terus bertambah. Kami tentu dengan senang hati akan menampilkan foto-foto tersebut, dengan syarat, kami harus mencatatnya terlebih dahulu agar mudah pengembaliannya.

Mengenai dana, kami mengumpulkannya secara kolektif. Siapa yang sedang ada rezeki, boleh menyisihkan uangnya untuk mendukung acara Kalisat Tempo Dulu. Sumbangan tak terkira adalah doa, menyisihkan waktu, ide-ide segar, tenaga, diberi ruang oleh Kedai Doeloe Kalisat, serta cinta.

Tentang dana kolektif yang kami miliki memang tidak banyak. Namun hingga detik ini, kami rasa dana kolektif tersebut telah mencukupi; untuk print beberapa foto --yang tidak ada lembar aslinya, konsumsi, dll. Terima kasih.

Sedari awal, acara kecil ini sengaja dibuat secara partisipasi dan bukan mobilisasi. Bukan berarti lebih mudah, namun kami hanya ingin mencobanya.

Teman-teman, mohon sambung doanya. Doakan acara sederhana ini ada manfaatnya meskipun mungkin hanya sedikit.

Terima kasih.

Kamis, 14 Januari 2016

Jadwal Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu

Kamis, 14 Januari 2016

Desain oleh Kriss Kurniawan

Teman-teman, setelah mempertimbangkan urun rembug ide dan gagasan dari Anda, maka jadwal acara pameran foto Kalisat Tempo Dulu kami perpanjang durasi waktunya --dari yang semula hari pertama hanya dibuka satu setengah jam saja. Namun, acara tetap diselenggarakan dua hari pada 16 & 17 Januari 2016. Lokasi masih sama, di Kedai Doeloe, seberang stasiun Kalisat.

Berikut jadwal sederhana tentang Pameran Foto Kalisat tempo Dulu:

1. Di hari pertama, 16 Januari 2016, foto-foto sudah bisa dinikmati sedari pukul 12.00 siang hingga malam hari pukul 22.00. Sore hari direncanakan akan ada semacam diskusi. Tampil untuk menghibur teman-teman, BORJIGUN Band --dimotori oleh Mas Asep-- serta lagu-lagu akustik dari Fanggi.

2. Di hari kedua/terakhir, 17 Januari 2016, acara kami mulai sedari pukul 12.00 siang hingga malam hari pukul 22.00. Akan ada Tamasya Band, The Penkor's, dan IKL --Ikatan Keluarga Lorskal Kalisat, untuk menemani teman-teman menikmati foto-foto lama Kalisat era 1920 hingga 1970an.


Mulanya terlalu banyak ide tentang acara ini. Misal; bikin perbandingan foto lama dan foto terbaru, lalu ditampilkan sejajar masing-masing dalam satu pigura. Ada juga ide lain untuk mengenakan 'dress code' lawas. Namun kami sadar, kami hanya sedang mencoba untuk memulainya.

Barangkali untuk selanjutnya, teman-teman bisa melanjutkan acara ini dengan ide yang lebih luas lagi.

Acara ini digagas secara kolektif, dana adalah hasil iuran antar teman. Meski demikian, akan kami usahakan untuk menghadirkan camilan ala kadar. Untuk lain-lain, mohon maaf, jika tidak keberatan, Anda bisa memesannya sendiri di Kedai Doeloe dengan membayarnya secara mandiri.

Sekian informasi dari kami. Mohon maaf dan terima kasih.

Tambahan

Mari kita berduka dan berdoa atas musibah yang terjadi di Jakarta hari ini --tentang kejadian di Sarinah, sambil tak lupa mengawal isyu lain yang tak kalah pentingnya yang juga terjadi pada hari ini.

Rabu, 13 Januari 2016

Jack Lesmana Menyelamatkan Lagu Soetedja

Rabu, 13 Januari 2016
Oleh RZ Hakim


Dokumentasi milik Garasiopa

Saya menjumpai secuil kisah tentang Jack Lesmana di sebuah catatan yang menceritakan tentang seorang pencipta lagu bernama R. Soetedja Purwodibroto. Catatan lain mengeja namanya dengan ejaan Sutedja, atau Sutedjo. Dalam catatan berikut, saya akan menggunakan catatan Sutedjo, seperti ilustrasi gambar di atas.

Diceritakan oleh Sugeng Wijono, bahwa serampung SMA Negeri Purwokerto pada tahun 1960, ia melanjutkan studi di Jakarta. Di sana Sugeng Wijono in de kost di rumah kakak kandung Ibunya di Kepu Dalam, tak jauh dari Kemayoran. Kakak kandung Ibunya itu tak lain adalah Sutedjo, lelaki kelahiran Purwokerto, 15 Oktober 1909, putra dari Asisten Werdana di Kebumen Baturaden, Banyumas.

Berikut suasana yang dikenang oleh Sugeng Wijono selama tinggal di kediaman Sutedjo.

"Semasa saya menjalani liburan SMA di rumah Pak De saya --Sutedjo-- di Jakarta, masih terekam jelas di benak saya, rumah beliau menjadi markas seniman Senen yang pada waktu itu masih junior. Di antaranya, pelukis Soedjojono, pemusik Syaiful Bahri, Bing Slamet yang pada waktu itu masih remaja, penyanyi seriosa Pranajaya, penyanyi Sam Saimun, si Gembala Sapi Norma Sanger, pemilik perusahaan rekaman piringan hitam Mas Yos, gitaris jazz Jack Lamers yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jack Lesmana dan ayahanda pemusik jazz Indra Lesmana, Mang Udel alias Drs. Purnomo yang ke mana-mana selalu membawa ukulele, dan masih banyak lagi seniman Senen yang berkumpul setiap malam Minggu."

Pada tahun 1957, Sutedjo berkapasitas sebagai pimpinan korp musik Angkatan Udara yang selalu mengisi acara musik pada event resepsi kenegaraan. Sebelumnya, Sutedjo dikenal sebagai pendiri Orkes Studio Jakarta, yang merupakan orkes simphony pertama di Indonesia.

Lagu hasil gubahan Sutedjo cukup banyak. Namun sebagian besar repertoir karya beliau yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta musnah, karena dilanda musibah kebakaran pada tahun 1950-an. Maka, banyak gubahan beliau dalam bentuk partitur note balok ikut musnah terbakar.

"Beruntung, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lammers sempat meminjam beberapa partitur lagu-lagu gubahan beliau untuk direkam. Berkat Jack Lesmana, sekitar 70 lagu sempat terselamatkan. Tapi, ratusan lagu lainnya binasa. Na'asnya, justru partitur lagu-lagu lagendaris itulah yang ikut binasa," tulis Sugeng Wijono.

Als d'Orchide Bluijen, Ketika Anggrek Berbunga

Di antara lagu-lagu ciptaan Sutedjo yang populer di Eropa, salah satunya berjudul, Als d'Orchide Bluijen. Diterjemahkan menjadi, Ketika Anggrek Berbunga. Namun kini di banyak orang lebih mengerti jika lagu itu berjudul Bunga Anggrek. Lagu tersebut diciptakan di negeri Belanda ketika beliau berjalan-jalan dengan pacar Noni Belandanya ke Pasar Lelang Bunga.

Konon, menurut penuturan keluarga Letkol Moch. Sroedji --pejuang Jember, ia adalah lagu kesukaan Moch. Sroedji.

Ada juga lagu lain dari Sutedjo yang banyak disukai. Judulnya, Waarom Huil Je tot Nona Manies. Mengapa Kau Menangis. Lagu ini diciptakan ketika beliau harus berpisah dengan pacarnya. Beliau harus pulang ke Indonesia karena telah menyelesaikan studi di konservatori musik Roma Italia.

R. Soetedja Purwodibroto. Komponis legendaris putra Banyumas itu wafat pada usia yang ke 51 tahun pada tanggal 12 April 1960, dimakamkan di pemakaman Karet Jakarta.

Mengenai album Mengenang Sutedjo, hanya tertulis sedikit keterangan saja. Sedangkan instrumen musik bisa dinikmati di sini.

Jack Lemmers (known as Jack Lesmana) and Suyoso Karsono (known as Mas Yos) made a jazz band in early 60s and made a record from Irama Record's Suyoso Karsono. They are from Indonesia. They made an album, "Mengenang Sutedjo."

Pertemanan Antara Jack Lesmana, Mang Udel, dan Njoto

Seperti yang telah diceritakan oleh Sugeng Wijono di atas, bahwa ketika ia liburan SMA ke rumah Pamannya --Sutedjo-- di Jakarta, Sugeng kerap menjumpai bahwa rumah Pamannya dijadikan markas oleh para seniman Senen, diantaranya Bing Slamet, Jack Lesmana, serta Mang Udel. Bagi saya ini menarik!

Mang Udel dilahirkan dengan nama Raden Panji Poernomo. Ia bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Raden Panji Tedjokoesoemo. Ayah Mang Udel ini adalah bekas Wedono di Kalisat, sebuah wilayah di kabupaten Jember, Jawa Timur. Sedangkan Jack Lesmana, ia menghabiskan masa kecil di Jember. Bisa jadi dulu mereka telah berteman sedari kecil, lalu ketika besar berjumpa lagi di Jakarta dan sama-sama menyukai bidang seni. Jika benar, ia serupa dengan pertemanan antara Jack Lesmana dan Njoto.


Dalam Catatan Julius Pour, halaman 448

NJOTO. Saat bersekolah di HIS, ia tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean Gang Tiga, Jember. Kini di sekitaran Jalan Samanhudi, Pasar Tanjung Jember. Mulanya Njoto menikmati udara Bondowoso, kabupaten di sebelah Jember. Adiknya juga turut serta ke Jember, Sri Windarti namanya. Ayahnya --Raden Sosro-- ingin agar anak-anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang dianggapnya jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Setamat dari HIS, Njoto melanjutkan studinya di MULO Jember, namun tidak sampai selesai. Ketika Jepang masuk Jember, sekolah itu ditutup. Sejak saat itu ia melanjutkan studinya di Solo.

Njoto lebih tua tiga tahun dari Jack Lesmana. Jack sendiri dilahirkan pada 18 Oktober 1930. Masa kecilnya ia habiskan di jantung kota Jember, kini jalan Trunojoyo. Jaraknya tentu tak jauh dari kediaman kakek dan nenenk Njoto di Tempean. Dari sinilah pertemanan mereka dimulai. Kelak ketika berjumpa kembali di Jakarta, mereka sering berkumpul sambil bermain musik.

Senin, 11 Januari 2016

Melacak Jejak Jack Lesmana, Tersesat di Blog Milik Marcoo Lammers

Senin, 11 Januari 2016
Oleh RZ Hakim

Rasa penasaran saya pada sosok legendaris Jack Lesmana membawa saya pada sebuah blog milik Marcoo. Ia bukan blog baru bagi saya, sebab di waktu yang lalu saya pernah berlama-lama di blog-nya. Mungkin empat atau lima tahun lalu, saya lupa.

Seperti yang kita tahu, mulanya nama Jack Lesmana adalah Jack Lemmers. Dampak revolusi menciptakan proses Indonesianisasi. Atas saran Presiden Soekarno, Lemmers berganti menjadi Lesmana. Nasibnya serupa Batavia yang berubah menjadi Jakarta, atau seperti penyanyi tempo dulu kesukaan Ibu saya, Marjolien 'Lientje' Tambajong yang berganti menjadi Rima Melati.

Pengetahuan saya tentang Jack Lesmana sangat terbatas. Di banyak catatan, disebutkan bahwa Jack dilahirkan di Jember pada 18 Oktober 1930, dengan nama Jack Lemmers. Jack menggunakan nama Lemmers, mengikuti nama ayahnya. Ayah Jack sebenarnya berdarah Madura. Ia diadopsi oleh seorang Belanda. Barangkali dari sana muncul nama 'Lammers' serta jawaban mengapa Ayah Jack pandai memainkan biola.

Jack Lesmana:

Berikut adalah status saya di Facebook pada 10 Januari 2016

JACK LESMANA. Pengetahuan saya tentang Jack Lesmana sangat terbatas. Di banyak catatan, disebutkan bahwa Jack dilahirkan di Jember pada 18 Oktober 1930, dengan nama Jack Lemmers. Jack menggunakan nama Lemmers, mengikuti nama ayahnya. Ayah Jack sebenarnya berdarah Madura. Ia diadopsi oleh seorang Belanda. Barangkali dari sana muncul nama 'Lemmers' serta jawaban mengapa Ayah Jack pandai memainkan biola.

Jack dilahirkan dari rahim seorang perempuan blasteran Jawa Belanda. Ibunya juga memiliki pengalaman sebagai seorang penyanyi --dan penari-- dalam Stamboel Miss Riboet. Ia adalah sebuah 'Toneel Melajoe' yang eksistensinya dikukuhkan pada 1925.

Dalam catatan Matthew Isaac Cohen dijelaskan jika Opera Miss Riboet membawa napas baru dalam tontonan panggung di Hindia Belanda pada periode 1920an hingga 1930an, sebab dalam proses 'drama melayu' mereka menitikberatkan pada jalan cerita dengan selingan musik di antara adegan.
Tumbuh bersama orangtua yang menyukai bidang seni, tak heran jika di usia 10 tahun Jack 'Lammers' Lesmana telah bisa memetik gitar.

Dua tahun kemudian, Jack direkrut menjadi gitaris kecil di kelompok musik jazz bernama Dixieland --Jember. Proses bermusik Jack semakin matang ketika tiga tahun kemudian ia berada di Surabaya.

Nama belakang Jack berganti dari Lammers menjadi Lesmana, ketika di negeri ini terjadi dinamika Indonesianisasi. Saat itu semua serba di'Indonesia'kan. Nama Lesmana disematkan oleh Presiden Sukarno, sebab hubungan mereka kala itu terbilang dekat. Ketika itu Bung Karno ingin mengangkat Irama Lenso sebagai irama yang mewakili budaya Timur.

Saya tertarik mengetahui siapa sebenarnya Ibu dari Jack Lesmana, serta bagaimana kiprahnya ketika berproses di Opera Miss Riboet.

Seperti dalam catatan saya yang lain, setahun setelah Miss Riboet berdiri, ada Opera lain yang berdiri di Jawa Timur yang kelak mencuri perhatian dunia. Ia bernama Opera Dardanella. Menurut penelusuran komunitas Sudut Kalisat, sebelum resmi berdiri di Sidoarjo pada 1926, Opera Dardanella telah terlebih dahulu diketahui proses berkeseniannya di Kalisat, sebuah wilayah di Jember Utara, sebelum tahun 1926.

Kita tahu, Dardanella menjadi babak penting munculnya teater moderen Indonesia, sebab dalam setiap penampilannya ia menggunakan bahasa Melayu.
Jika Dardanella pernah tampil di Kalisat, mungkinkah Opera Miss Riboet juga pernah melakukan pertunjukan di Jember-Banyuwangi?

Barangkali ada di antara Anda yang mengerti lebih banyak tentang kiprah orangtua Jack Lesmana, saya akan sangat senang sekali jika Anda bersedia menambahkan informasi. Terima kasih.



Lalu pertanyaan yang muncul, siapakah keluarga Lemmers? Dari pertanyaan sederhana ini, saya tersesat (lagi) di blog milik Marcoo.

Di catatannya tertanggal 26 November 2009, tampak sekali jika Marcoo ingin datang ke Jember. Ia sedang mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Jember. Marcoo membuka google map, serta melahap segala situs tentang Jember. Mengapa? Dia bilang, "Mama werd op 10 Februari 1941 geboren in Djember, Oost-Java."

Benar. Mamanya lahir di Jember, satu tahun sebelum Jepang datang. "En mama, ik hoop dat ik de Hospitaalstraat kan vinden." Marcoo sungguh berharap, saat nanti benar-benar bisa menginjakkan kaki di atas tanah tumpah darah Mamanya, ia ingin segera menemukan alamat yang dimaksud, JL. Rumah Sakit di Jember.

Kakek Marcoo Bernama Roelof Lammers

Roelof Lammers namanya (bukan LEMMERS). Ia menikahi perempuan bernama Anneke. Mereka biasa memanggil putrinya, Mamanya Marcoo, dengan panggilan Ottie. Roelof Lammers dan Anneke datang ke Indiƫ pada akhir 1930an. Ia datang ke Indonesiƫ dan bekerja sebagai 'Wagenings Landbouw Ingenieur te werken in de rubber- en tabaksveredeling.' Pengolahan karet dan tembakau.

"Ketika saya tiba di Jember, saya akan merokok cerutu untuk Kakek," tulis Marcoo dalam bahasa Belanda.

Sebenarnya tak hanya Jember yang menjadi tujuan Marcoo. Ia juga berhasrat ke beberapa kota, di antaranya Bogor. Ketika balita, sang Ayah pernah bermain-main hingga terjebak oleh Jepang dan itu bertempat di Bogor.

Pada akhirnya, di penghujung tahun 2009 Marcoo benar-benar tiba di negeri penuh kenangan, Indonesia. Ia berhasil menemukan rumah tua di Bogor, rumah masa kecil Ayahnya. Marcoo juga berhasil menginjakkan kakinya di Jember, tempat dimana dulu Kakek Neneknya bekerja di bidang pengolahan karet dan tembakau. Marcoo juga menuju ke Malang, tepatnya di danau Rawa pening, dekat Banjoebiroe 10, tempat dimana Kakek Neneknya juga pernah tinggal di sana. Marcoo bilang, travelling sendirian adalah pilihan yang sempurna. Jakarta, Bali, Jogja, Ambarawa, Merapi, Bromo, adalah tempat-tempat lain yang juga ia kunjungi. Beberapa foto-fotonya ia tampilkan di sini.

Menurut Marcoo, ketika tiba di Jember ia segera mencari dimana 'Hospitaalweg in Djember.'

"Om half vijf de stad ingegaan met een taxi. Op weg naar het ziekenhuis. Mijn eerste ijkpunt, want mijn grootouders woonden op de Hospitaalweg. Eerst verkeerd, het nieuwe ziekenhuis. Tweede keer raak, de oude kliniek. Ik zag het meteen, keek toevallig de goede kant op. Het oude huis, Draaierspark 10. Nu nummer 11 en Jalan Sudirman. Alles is anders."

Kiranya yang dimaksud 'Jalan Rumah Sakit' oleh Marcoo adalah Jember Klinik. Kini alamat rumah yang ia cari berubah menjadi, JL. Sudirman Nomor 11 Jember.


Anneke, Nenek Marcoo, ketika duduk di mobil dengan Nopol P. Saat itu Anneke masih berusia 26 tahun. Lokasi di dekat Jember.

Melihat rentang waktu antara kedatangan Kakek Nenek Marcoo di akhir tahun 1930an, saya tidak yakin jika merekalah yang mengadopsi Ayah dari Jack Lesmana. Apalagi terdapat perbedaan ejaan antara Lemmers dan Lammers. Namun tentu saya tidak menyesal tersesat di catatan Marcoo. Setidaknya saya bisa belajar satu hal dari Marcoo, yaitu cara ia memperlakukan masa lalu. Hal kedua adalah tentang foto di atas. Indah sekali. Saya menebak, jika tidak di ketinggian Rembangan --Jember, lokasi foto di atas ada di salah satu puncak GUMUK di Jember. Mungkin di Kalisat.

Marcoo, terima kasih.

Jumat, 01 Januari 2016

IKL dan Pameran Foto Yang Tertunda

Jumat, 01 Januari 2016
Sejak muncul ide pembuatan pameran foto Kalisat tempo Dulu, kami semakin sering berkumpul. Sekali tempo, saya dan istri datang berkunjung ke rumah Mas Krisna Kurniawan untuk mendengar para musisi IKL --Ikatan Keluarga Lorstkal-- latihan. Senang bisa mendengar mereka bernyanyi. Mereka tidak sedang latihan di studio musik, melainkan di dapur rumah Mas Krisna. Mbak Niken, istri Mas Krisna, ia selalu membuatkan kami kopi.


Konser mini di dapur rumah Mas Krisna, 7 Desember 2015

Jadi begini. Kami akan membuat acara mini, pameran foto Kalisat Tempo Dulu, bertempat di sebuah kedai di seberang stasiun Kalisat. Ia bernama Kedai Doeloe. Pameran tersebut, selain menampilkan foto-foto Kalisat jadul tentunya, ia juga hendak diiringi oleh musik akustik sebagai soundtrack acara. IKL dengan senang hati mendukung acara sederhana dan patungan ini. Mereka akan tampil. Band lain yang bersedia adalah BORJIGUN, digawangi oleh Mas Asep, warga Kalisat.

Acara tersebut sedianya hendak dilaksanakan pada 26-27 Desember 2015. Jadi di hari-hari sebelum hari H, dua band tersebut --IKL dan BORJIGUN-- sering sekali berlatih di dapur rumah Mas Krisna. Namun sayang sekali, karena beberapa pertimbangan, kami lebih memilih untuk menunda acara tersebut dan menggantinya di waktu yang lain, yaitu pada 16-17 Januari 2016. Adapun mengenai konsep dan lokasinya masih sama.

Tawaran dari CV. Jawa Dwipa

Mendekati malam pergantian kalender masehi, tepatnya pada 21 Desember 2015, teman-teman IKL dan BORJIGUN ada tawaran dari Mas Bajil atas nama CV. Jawa Dwipa. Mereka dimintai tolong untuk tampil di acara malam tahun baru, di desa Cumedak kecamatan Sumber Jambe, Jember. Jadi, si empunya CV. Jawa Dwipa ingin bikin acara pada 31 Desember 2015 hingga malam pergantian tahun. Perusahaan yang bergerak di bidang beras, dengan merek dagang andalannya Padi Mas dan Padi Udang ini ingin menghibur para buruh beserta keluarganya dengan mengadakan serangkaian acara. Dimulai sore hari, lomba-lomba. Lalu acara di malam hari adalah ramah tamah dan hiburan.

Mulanya teman-teman IKL yang diwakili Mas Krisna sangsi, apakah lagu-lagu yang dibawakan IKL akan bisa diterima di sana? Bukan masalah apa, Mas Krisna mungkin menghitungnya dari sisi kebiasaan warga di sana dalam melahap lagu-lagu kesukaan. "Nah, nek misale dangdut, baru cocok Mas!" Namun saat itu Mas Bajil bilang, tidak apa-apa. Setelahnya, IKL dan Mas Asep mulai bikin konsep lagu untuk dinyanyikan di depan keluarga buruh beras di desa Cumedak.


Ketika IKL latihan di dapur, 30 Desember 2015

Kabar mengejutkan datang pada 30 Desember 2015, ketika Mas Beni Satria (gitaris Flash Band) juga turut bergabung di konser mini --sebutan kami ketika IKL latihan di dapur rumah Mas Krisna. Dia juga mengabarkan jika akan turut bermain di Cumedak.

Singkat cerita, mereka pun tampil di acara CV. Jawa Dwipa, di desa Cumedak. Saya turut hadir bersama mereka. Di Fun Page SUDUT KALISAT, saya menulis seperti ini.


Saya tentu senang bisa menikmati alunan nada dari para musisi IKL --Ikatan Keluarga Lorskal-- di sebuah gudang beras di kecamatan Sumber Jambe, tepatnya di CV. Jawa Dwipa. Mereka memainkan lagu-lagu yang berbeda, di sebuah komunitas yang jauh dari kultur lagu itu.

Tanpa 'sound man' dan dengan kondisi sound system tidak prima, toh mereka tetap bernyanyi. Tetap riang.

"Mulanya kami sangsi, apakah musik yang kami bawakan cocok dengan kondisi di sana? Namun kata Mas Bajil selaku penanggungjawab acara, tidak ada masalah. Maka kami berdendang," ujar Mas Krisna.

Menikmati pergantian kalender bersama IKL adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya dan istri, meski tubuh saya sedang kurang fit.

Terima kasih. Selamat menyambut 2016




Selamat Tahun Baru. Dokumentasi, 1 Januari 2016


Ketika IKL bermain di panggung (di dalam gudang beras CV. Jawa Dwipa, di lapangan yang biasa digunakan untuk menjemur gabah) meskipun dengan sound system seadanya dan trouble di sana-sini, namun dapat saya rasakan jika mereka tampil dengan riang. Tampilan selanjutnya, Borjigun, yang hanya tampil dua lagu, dapat pula saya rasakan hal yang sama. Bahkan meskipun beberapa penonton telah berteriak memanggil-manggil nama DJ yang hendak tampil di penghujung acara, Mas Asep tetap bernyanyi. Semakin salut dengan mereka.

***

Teman-teman, jika Anda datang ke Kalisat dari arah Jember Kota, ketika memasuki lingkaran atau alun-alun mini, Anda akan disambut dengan lagu-lagu yang diputar oleh kios penjual kaset. Mereka senang sekali memutar lagu dangdut, India, serta Banyuwangi-an. Ini wajar, sebab Kalisat adalah wilayah agraria. Ia tumbuh seiring pesatnya kemajuan kapital perkebunan, di akhir abad XIX masehi.

Sebagaimana wilayah agraris pada umumnya, masyarakat yang ada di dalamnya menyukai nada-nada rancak. Musik Patrol/Kentongan misalnya. Lagu lain yang disukai adalah irama lembut dengan lirik kerinduan. Ia berbeda dengan rancak dan lembutnya musik pesisiran, yang kiranya lebih berani dan lebih terbuka pada aliran musik baru.

Namun Kalisat tak hanya tentang musik rancak dan atau irama yang mendayu. Ia juga menyukai genre underground rock, yang oleh banyak pengamat musik, dikolomkan secara membabi buta sebagai musik 'Barat.' Tentu ada kaidah sejarah yang bisa menjelaskan mengenai kenapa Kalisat (yang berlatar agraris) kaya akan aliran musik, serta bertaburan musisi, meskipun mereka lebih memilih untuk 'bersembunyi' dan tak terdeteksi oleh massa, kecuali hanya beberapa orang saja.
Sudut Kalisat © 2014