Selasa, 31 Maret 2015

Dimulai Dari Bujuk Patar

Selasa, 31 Maret 2015
Oleh RZ Hakim

Kalisat memang kaya akan bujuk atau makam-makam lama. Bujuk diartikan pula dengan Mbah atau Moyang. Biasanya makam mereka disemayamkan di tempat-tempat yang tinggi seperti di Gumuk. Sayang sekali, tidak ada dokumentasi tertulis tentang itu. Jika merunut dari sejarah lisan yang ada, Kalisat wilayah kota terdiri dari tiga pembabat desa. Mereka adalah Mbah Patar di desa Ajung --sebagian orang menyebutnya dengan ejaan Fatar, Mbah Genduk di desa Kalisat, dan Bujuk Nurdin di desa Glagahwero.

Pada 30 Maret 2015 lalu, rekan-rekan Kari Kecingkul --dengan diantar oleh Mas Musthofa-- sowan menemui Pakde Sugeng Sugiarto. Ia tinggal di desa Ajung, di seberang Toko Adin.


Mencatat cerita dari Pakde Sugeng Sugiarto, yang berbaju putih bergaris. Yang berbaju hitam adalah Mas Mus. Foto oleh Hana, 30 Maret 2015

Di pembuka obrolan, Pakde Sugeng menerangkan jika makam Bujuk Patar ada di Selatan Pasar Kalisat. Dulu sebelum menjadi sebuah pasar unggas, di sana adalah Kantor Kawedanan. Di sanalah dulu rumah Mbah Patar. Jadi jika ingin mengerti masa hidup Mbah Patar, kita harus mencari data, kapan pertama kali Kawedanan Kalisat didirikan.

Lalu Pakde Sugeng menegaskan jika usia Mbah Patar lebih tua dari Mbah Genduk yang makamnya ada di sebuah Gumuk di desa Kalisat.

"Jadi Mbah Genduk itu megang wilayah Kalisat ke Utara dan Barat, sedangkan Mbah Patar ke Selatan dan Timur. Sesepuh desa Ajung ini ya Mbah Patar itu. Tetapi dia bukan Kades Ajung yang pertama. Ceritanya begini. Kades Ajung yang pertama itu namanya Kaera. Kades berikutnya namanya Dulani. Istri Dulani adalah putri dari Mbah Patar."

Sampai di sini tabir pohon silsilah sudah mulai terang.

"Siapakah Dulani? Begini. Mbah Genduk berbesan dengan Bujuk Nurdin --Glagahwero. Lalu putra-putri mereka punya anak namanya Saryo. Nah, Saryo adalah Bapaknya Dulani. Secara silsilah keluarga, Saryo berbesan dengan Mbah Patar. Dulani selaku Kades kedua di Ajung, yang menikah dengan putri dari Mbah Patar, memiliki tiga orang putra. Si Sulung bernama Sukiman. Ketika menjadi Kades menggantikan Bapaknya, Sukiman berganti nama menjadi Karjodimoeljo. Adik Karjodimoeljo bernama Karyowijoyo, sedangkan anak Dulani yang bungsu, saya lupa namanya."

Menurut Pakde Sugeng, Karjodimoeljo memiliki anak bernama Madiroso, menikah dengan perempuan asal Mojoagung.

Sudah ada tiga nama Kepala Desa Ajung. Kades pertama Kaera, kedua Dulani, Kades nomor tiga adalah Karjodimoeljo. Siapakah Kepala Desa Ajung yang keempat?

"Petinggi desa Ajung yang keempat namanya Kandar. Setelah Petinggi Kandar, sudah ada Dwi Fungsi ABRI di zaman Orde Baru. Jadi, tidak ada Pilkades, yang ada adalah PD. Pemilihan dilakukan oleh Pemerintah dan kepala desanya dari tentara."

Setelah Kandar, Kades berikutnya adalah Sueb, lalu Salam. Keduanya --Sueb dan Salam-- menurut istilah Pakde Sugeng adalah Kades PD. Mungkin PD adalah singkatan dari Perwakilan Daerah, mengikuti UU No. 5 tahun 1979 tentang konsepsi desa.

"Setelah PD Sueb dan Salam, dilakukan Pilkades lagi, menghasilkan Kades Ajung yang ketujuh yaitu Ustadi. Lalu PD lagi, Imam Sahri, tentara juga. Lalu pilihan lagi, menghasilkan Kades Suratman. Setelah Suratman, Kades berikutnya bernama Imam Purwanto, biasa dipanggil Pur. Kades Ajung yang sekarang ini tidak lain adalah istri Imam Purwanto, yaitu Yusri Irawati. Jadi, Yusri Irawati adalah Kades Ajung yang kesebelas."

Urutan Kepala Desa Ajung Kecamatan Kalisat:

1. Kaera
2. Dulani
3. Karjodimoeljo
4. Kandar
5. Sueb
6. Salam
7. Ustadi
8. Imam Sahri
9. Suratman
10. Imam Purwanto
11. Yusri Irawati

Pakde Sugeng Sugiarto juga sempat menyinggung nama-nama Kades di desa Kalisat kecamatan Kalisat. Menurutnya, Kepala Desa Kalisat yang pertama bukan Srika --di beberapa sumber ditulis dengan ejaan SARIKA, dipercaya sebagai Kades pertama di desa Kalisat kecamatan Kalisat.

"Bukan, Srika itu Kades ketiga. Ia memulai kepemimpinan sejak permulaan masa pendudukan Jepang. Kades yang pertama ya Mbah Genduk itu. Setelah Mbah Genduk ada Pak Truno, baru kemudian Pak Srika. Kemudian tongkat kepemimpinan Pak Srika dilanjut oleh Kades bernama Sami'an. Dia tak lain adalah menantu dari Pak Srika. Sami'an asli Madura, menjadi Kades di desa Kalisat selama 24 tahun. Setelah Sami'an, Kades berikutnya adalah Pak Marsoel, adik iparnya Pak Sami'an. Berikutnya dijabat oleh PD bernama Sabaruddin. Pekerjaan Sabaruddin sebelumnya adalah seorang Carik. Setelah PD, ada Pilkades lagi. Pak Marsoel kembali menjabat sebagai Kades. Lalu ada Mustofa. Setelah Kades Mustofa, Kades berikutnya adalah Silaturrachman, kemudian Edde Hariyanto. Kini --setelah Edde Hariyanto-- Kades Kalisat namanya Lukman Hidayat, dilantik sejak 2013 lalu."

Jika melihat dari sumber-sumber lain, ada nama Kades Kalisat yang tak disebutkan oleh Pakde Sugeng, yaitu Manuntirto, dengan masa bakti 1976-1984.

"Mungkin itu di masa Pak Sami'an, atau setelah Pak Sami'an. Nanti saya ingat-ingat lagi."

Menurutnya, dulu ada pencatat nazab keluarga, namanya Mbah Darso. Sayang sekali, ia sudah meninggal dunia sekitar enam tahun yang lalu.

Sesepuh lain selain Mbah Patar dan Mbah Genduk adalah Bujuk Nurdin di Glagahwero. Makamnya ada di Gumuk Taman, atau lebih dikenal dengan Gumuk Blanggur.

Teman-teman Kari Kecingkul, catatan ini tentu masih butuh penyempurnaan di sana-sini. Jika ada salah pencatatan mohon dikoreksi, dan bila ada informasi lain --terkait dengan sesepuh di tiga desa; Ajung, Kalisat, Glagahwero-- mari kita tambahkan bersama-sama. Terima kasih.

Senin, 30 Maret 2015

Mengenang Gedung Bioskop di Jember

Senin, 30 Maret 2015
Oleh RZ Hakim

Ketika saya masih kecil, sore yang cerah adalah saat yang dinanti-nanti. Saya dan teman-teman akan ada di tepi jalan menanti datangnya mobil box yang dipenuhi poster-poster film. Di atas mobil itu terdapat toa. Lalu orang yang ada di samping kiri pak sopir akan setia memegang microphone dan tak henti-hentinya berkata, "Saksikanlah.. Saksikanlah!"

Itulah secuil dari masa kecil saya selama tinggal di JL. Pahlawan di wilayah Patrang, kini bernama JL. Slamet Riyadi.

Kisah lain yang saya ingat adalah ketika sekolah saya --di SDN Patrang 1 Jember-- mewajibkan siswa-siswinya untuk menonton film Tjoet Nja' Dhien. Ia adalah film drama epos berlatar sejarah Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, sebab saya benar-benar lupa meskipun telah sekuat tenaga mengingatnya kembali. Waktu kelas berapa saya nonton film ini? Apa baju yang saya gunakan saat itu? Saya lupa. Ingatan saya hanya samar-samar saja. Hanya tentang bagaimana guru-guru saya mengkoordinir siswanya untuk menonton film. Sebagian besar teman-teman saya nonton dengan ditemani orang tuanya. Satu lagi yang saya ingat adalah gedung bioskop tempat kami menonton secara kolektif. Itu di bioskop Kusuma Jember.

Seorang kawan bernama Elfira pernah melakukan wawancara dengan beberapa orang demi mengetahui perwajahan gedung bioskop di Jember tempo dulu. Dia juga menyinggung tentang keberadaan Kusuma.

Bioskop Kusuma dulunya bernama Bioskop Ambassador. Pembukaannya pada tanggal 15 Maret 1952. Pak Edi, seorang pemutar rol film (proyeksionis) yang telah bekerja sejak dibukanya bioskop tersebut mengatakan pada masa kejayaannya sekitar sedikitnya 300 sampai 400 orang perhari menonton film disana. Bioskop Ambassador berganti nama menjadi Duta, penggantian pemilik lalu membuatnya berubah nama menjadi Kusuma.

Pada masa-masa awal Bioskop Kusuma memiliki tustel pemutar film terbaik di Indonesia, sama seperti di Jakarta dan Surabaya. Bioskop Kusuma memutar film-film lokal, india, china, dan film barat dari MGM (Metro Goldwyn Mayer), Columbia Pictures, serta Paramount. Film-film tersebut diambil dari kantor distributor film di Surabaya. Sama seperti bioskop-bioskop lainnya, Kusuma sempat mengalami mati suri. Namun Kusuma mulai bangkit lagi dengan perubahan manajemen dan menggunakan nama baru yaitu New Kusuma. Sampai saat ini New Kusuma mendapat respon yang cukup bagus dari masyarakat Jember.

Hasil wawancara Elfira dengan Pak Edi, lelaki kelahiran 16 Agustus 1933.

Pergantian nama-nama gedung bioskop di Indonesia terjadi pada tahun 1960. Ketika itu Presiden Sukarno tidak suka dengan segala hal yang menggunakan nama-nama asing. Semua dirubah menjadi nama-nama Indonesia.

Gedung bioskop lain yang ada di Jember adalah REX Theatre. Bertempat di Jalan Imam Syafi'i, kini bernama JL. Diponegoro. Saat ada perubahan nama-nama asing, REX Theatre berganti nama menjadi bioskop Jaya. Kini bekas gedung bioskop Jaya beralih fungsi menjadi sebuah toko, Sumber Kasih namanya. Bioskop REX/Jaya terbilang gedung bioskop tua di Jember. Selain Jaya, gedung bioskop tua lainnya adalah CATHAY Theatre. Kini Cathay Theatre menjadi gedung Telkom, di belakang Masjid Jamiek lama. Kata Lik Wuwul, dulu Cathay mengalami kebakaran kemudian gulung tikar.

Di seberang gedung bioskop Jaya juga ada gedung bioskop Sampurna. Sebelum ada Cineplex 21 di Johar Plasa Jember, Sampurna adalah gedung bioskop dengan karcis yang paling mahal. Hingga pertengahan tahun 1990an harga karcis adalah 1.250 rupiah. Terbilang mahal sebab ketika itu harga angkutan umum Lin dan bus DAMRI untuk pelajar masih 50 rupiah, sebelum akhirnya mundak menjadi 100 rupiah. Cineplex sendiri baru beroperasi di Jember sekitar tahun 1993-1994.

Jika kita hanya punya uang pas-pasan namun ingin nonton film, pilihannya adalah bioskop Indra atau bioskop Kusuma. Harga karcis sama-sama 500 rupiah. Bioskop Jaya 750 rupiah. Itu adalah pertengahan tahun 1990an yang indah. Ketika itu Gebang Theatre alias GT sudah terlebih dahulu gulung tikar.

Bagaimana jika uang kita pas-pasan tetapi ingin merasakan kursi empuk warna merah di Cineplex 21 Johar plasa Jember? Satu-satunya cara adalah menanti datangnya hari Senin. Di Senin siang dan sore, Cineplex 21 ramai sekali dipenuhi oleh para pelajar. Ini adalah saat yang tepat untuk nonton film. Harga karcis khusus 'senenan' adalah 1500 rupiah. Saya sering menjadi bagian dari penonton Cineplex 21 di hari Senin.

Di tahun 2000 ada kabar sedih bagi para pencinta film bioskop. Gedung Sampurna mengalami kebakaran, disinyalir karena ada konsleting listrik. Saya jadi ingat kejadian dua tahun sebelumnya, di pertengahan bulan Januari 1998. Saat itu Sumber Mas Department Store --toko swalayan terbesar kedua setelah Johar Plasa Jember-- mengalami kebakaran. Kejadiannya pada dini hari. Saya adalah salah satu dari sekian orang yang menyaksikan proses memadamkan api.

Gedung-gedung bioskop lainnya selain Kusuma, Jaya, Indra, Sampurna, GT, Cineplex 21, serta Cathay (yang saya ketahui tentang Cathay adalah sedikit sekali) adalah kisah tentang Trisno Theatre. Ia adalah anak perusahaan dari Jaya Theatre. Lokasinya ada di JL. Trunojoyo Jember.

"Film-film sing diputer nang Jaya Theatre pasti mlayune nang Misbar Trisno Theatre, baru maringono diputer nang Gebang Theatre," kata Lik Wuwul.

Masih menurut sumber yang sama. Dulu lapangan ARMED Jember pernah menjadi Misbar. Di Gladak Pakem juga ada Misbar milik Haji Imam. Selain hiburan film bioskop, dulu di Jember juga marak hiburan kesenian.

"Mbiyen nang Kantin --kini berfungsi menjadi PUJASERA-- iku gedung konser gawe pertunjukan wayang wong. Terus nang balai desa Jember Kidul JL. Gajah Mada --kini jadi RM Chiong On-- iku khusus konser ludruk. Terus gang Babian JL. Rasulta iku yo khusus konser ludruk."

Senang sekali menelisik keberadaan gedung-gedung bioskop di Jember tempo dulu.

Pertengahan tahun 1990an adalah masa suram bagi industri film tanah air. Bioskop-bioskop di Jember mulai sepi, semua siap-siap gulung tikar. Jember sempat mengalami ketiadaan gedung bioskop lumayan lama. Pertama kali yang berani membuka bisnis hiburan film di Jember adalah ketika Gedung Bioskop Kusuma kembali beroperasi, 2005-2006. Ia berganti nama menjadi New Kusuma Theatre. Kata Cak Ratt, beberapa waktu yang lalu New Kusuma Theatre kembali merubah namanya menjadi Jember Cineplex.

Bagaimana dengan Kalisat? Apakah ia juga memiliki cerita tentang gedung bioskop?

Keberadaan Gedung Bioskop Binaria di Kalisat

*Cerita di bawah ini saya sarikan dari cerita Ibu Sulasmini kepada saya pada 23 Januari 2015.

Di pemula era 1950an, paska 'booming' film Darah dan Doa, berdirilah sebuah gedung bioskop bernama Binaria. Lokasinya ada di seberang Koramil Kalisat. Ia didirikan oleh seorang pengusaha dari Surabaya. Lalu dibeli oleh Chung Yang, seorang pengusaha Kalisat yang masih bersaudara dengan Yok Cemara.

Ketika film Rhoma Irama sedang populer di era 1970an, bioskop Binaria ramai sekali. Orang-orang harus antri untuk bisa membeli karcis.

Sebelumnya, ada sosok yang tak kalah dengan pamor Rhoma Irama. Ia adalah seorang gadis cantik di masanya, Rita Zahara. Salah satu film yang pernah diperankan oleh Rita Zahara berjudul, Teror Di Sulawesi Selatan, rilis tahun 1964. Ia juga terlibat dalam film Tjoet Nja' Dhien, berperan sebagai Nya' Bantu. Selain piawai sebagai aktris, Rita juga seorang pemain drama sandiwara dan seorang penyanyi keroncong. Salah satu lagunya yang disukai oleh orang tua saya berjudul surat undangan.

"Rita Zahara itu juga seorang kiper sepakbola perempuan lho Nak," kata Ibu Sulasmini. Di masa itu, pemain film perempuan lain yang juga menjadi atlit sepakbola adalah Nurnaningsih, kelahiran Surabaya, 5 Desember 1925.

Pada tahun 1960, ketika Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua nama yang berbau asing, bioskop Binaria tak mengalami nasib seperti bioskop Rex Theatre Jember yang merubah namanya menjadi Jaya, atau Ambassador yang merubah namanya menjadi Duta, lalu berubah lagi menjadi Kusuma. Binaria tetap Binaria.

Seiring semakin menguatnya keberadaan televisi swasta di Indonesia pada pertengahan era 1990an, bioskop Binaria pun gulung tikar. Itu adalah masa suram bagi industri film tanah air.

"Saya masih ingat ketika Binaria beroperasi di pertengahan 1990an. Saat itu salah satu petugas gedung bioskop yang bertugas memutar film, ia adalah Pak Bani. Saya mengenalnya," kata Ivan, anak bungsu Ibu Sulasmini.

Kini gedung bioskop Binaria beralih fungsi menjadi Toko Baju Surya yang dikelola oleh seorang pengusaha dari Padang.

Jumat, 27 Maret 2015

Ketika Warga Jember Dihina di Facebook

Jumat, 27 Maret 2015
Baru empat bulan yang lalu masyarakat Indonesia tercuri perhatiannya oleh kasus Florence Sihombing, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang terjerat UU ITE karena dianggap menyebarkan penghinaan terhadap masyarakat Yogyakarta. Kini, di bulan Maret, warga Jember dibuat geleng-geleng kepala oleh tingkah Hariyanto alias HVQ, warga kabupaten probolinggo kelahiran 17 Mei 1988. Melalui sebuah group di jejaring sosial Facebook, pada hari Jumat, 6 Maret 2015 Hariyanto menuliskan uneg-uneg di hatinya.

Jember benjir Dulat...mnder tamba'ah rajeh benjir reh..mole lah mateh kabbi reng jember jiah..jember taeh

Dengan menggunakan bahasa Madura, Hariyanto terang-terangan menghina warga Jember, berdoa semoga banjir semakin besar biar masyarakat Jember mati semua. Ia menutup kalimat itu dengan menyebut 'Jember Taeh' alias menghujat Jember dengan kotoran manusia.

Ketika itu beberapa wilayah di Jember memang sedang terjadi banjir. Banyak warga yang update status tentang kejadian banjir ini. Aksi dari Hariyanto itu tentu segera mendapatkan reaksi. Tidak sedikit pemuda Jember yang membalas celometan dari Hariyanto. Suasana di group Facebook yang beranggotakan 78.766 akun itu menjadi panas.


Hariyanto, pelaku penghinaan di Facebook

Tidak menunggu waktu lama, esok harinya --7 Maret 2015-- kasus penghinaan ini dilaporkan ke Mapolres Jember. Adalah Febri Ary, warga Krajan Sumbersari Jember, ia turut ke Mapolres bersama 6 warga lainnya untuk melaporkan kelakuan Hariyanto. Mereka berangkat ke Mapolres dengan menggenggam keresahan yang sama. Saya membaca ini di media online suarajatimpost.

Hari-hari selanjutnya, wall Facebook di group itu dipenuhi foto-foto dan komentar tentang Hariyanto.

Pada hari Kamis, 26 Maret 2015, dunia maya se-Indonesia sedang ramai pemberitaan tentang Saut Situmorang. Di twitter ada hastag Save Saut. Hari itu sastrawan Saut Situmorang dijemput paksa oleh anggota Polres Jakarta Timur di kediamannya di Jalan Danunegaran Mantrijeron, Yogyakarta. Banyak yang memberikan dukungan moril kepada Saut. Ia diadukan Fatin Hamama pada 2014 silam karena dianggap berkomentar keras di sebuah group Facebook.

Di hari yang sama, ketika Saut Situmorang dijemput paksa oleh polisi, Tim KOber --Komunitas Orang Jember-- sedang melacak rumah Hariyanto di Probolinggo. Dengan dikomandani oleh Kang Oesman, mereka mulai melacak rumah Hariyanto. Mobil yang mereka kendarai sempat berputar-putar. Tanya sana-sini hingga berjumpa dengan jalan dengan nama buah-buahan. Ada jalan manggis, duku, dan beberapa lagi. Mereka masuk di wilayah dusun Gerdo kelurahan Pakistaji kecamatan Wonoasih, Probolinggo.


Berdasarkan informasi yang diperoleh Tim KOber, setelah berputar-putar cukup lama, keberadaan pelaku dapat dideteksi. Saat Tim KOber menemukan pelaku, dia sedang cuci motor disamping rumahnya. Tim KOber semakin yakin sebab plat nomor motor sama persis dengan yang ia unggah di Facebook.


Disaksikan perangkat desa setempat dan orang tuanya, pelaku mendapatkan pertanyaan-pertanyaan maupun pernyataan-pernyataan pedas dari Tim KOber. Tampak Raden Wawan dan Rahmad Bayu Prasetyo menanyai Hariyanto sambil menunjukkan bukti-bukti screencapture postingan pelaku. Hariyanto tidak bisa mengelak. Dengan wajah pucat dan selalu menunduk, ia tak bisa berkata apa-apa. Pada akhirnya Hariyanto menyatakan penyesalannya.


Di atas adalah lembar permintaan maaf Hariyanto kepada publik Jember. Tertanggal 26 Maret 2015, disaksikan oleh orang tua Hariyanto dan perangkat desa setempat

Permohonan maaf secara tertulis tersebut sudah dianggap cukup oleh warga Jember, diwakili Tim KOber. "Sesama muslim bersaudara, kita harus saling memaafkan," ujar Kang Oesman di sebuah komentar di Facebook. Ini juga menandakan jika laporan di Mapolres tidak lagi dilanjutkan, sebab jalur penyelesaian secara kekeluargaan telah ditempuh dan menghasilkan kesepakatan damai. Harapan berikutnya, semoga masalah ini tidak lagi membola salju, khususnya di group Komunitas Orang Jember.

Teman-teman, mari berhati-hati dalam menulis dan menyampaikan gagasan di dunia maya. Tidak semua pihak bisa berhati luas seperti Tim KOber. Lihat, di luar sana ada banyak sekali 'korban' dari membabi-butanya UU ITE, terlebih tentang pencemaran nama baik.

*Foto dari Group Facebook Dari Jember Oleh Jember Untuk Jember

Salam Kari Kecingkul!

Sabtu, 21 Maret 2015

Kamp Pengasingan di Kotok

Sabtu, 21 Maret 2015
Oleh RZ Hakim

Diceritakan oleh Mas Achmad Rizal dalam catatannya yang berjudul; Kamp Interniran di Jember, di daerah Kotok juga terdapat kamp interniran. Ia merupakan sebuah tempat pengasingan bagi tawanan perang di masa pendudukan Jepang. Kotok sendiri masuk desa Gumuksari kecamatan Kalisat, Jember.

Teman-teman dari Kari Kecingkul --atas bantuan seorang warga Sumberjeruk bernama Har, pernah beberapa kali melacak jejak interneeringen ini namun belum membuahkan hasil.

Mengapa Harus Ada Kamp Tawanan Perang

Catatan di bawah ini banyak saya sarikan dari karya Anna Mariana yang berjudul; Perbudakan Seksual, Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Kebetulan pada 5 Maret 2015 yang lalu saya turut menghadiri peluncuran dan diskusi buku itu. Bertempat di Hall Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.

Jadi, mengapa harus ada kamp tawanan perang?

Ketika Jerman berhasil menembus Rusia, langkah pertama yang mereka bangun adalah kamp interniran. Itu juga terjadi di atas tanah air kita, ketika sekutu keok dalam Perang Asia Pasifik di Perang Dunia II. Kondisi itu mengantarkan Hindia Belanda jatuh ke tangan balatentara Jepang. Seirama dengan langkah Jerman ketika merangsek Rusia, Jepang juga segera membuat kamp interniran.

Kamp interniran dibutuhkan untuk mengisolasi pergerakan kaum terjajah.

Interniran di masa Jepang berbentuk kamp-kamp yang dikelola dengan sangat rapi, tersembunyi, serta selektif dalam 'mengambil' orang-orang yang akan diinternir. Dalam pengelompokannya juga selektif. Para tahanan kebanyakan dari golongan intelektual. Yang diseser pertama kali adalah warga Eropa maupun warga keturunan Indo. Golongan yang paling merasakan dampak interniran ini tentu mereka dari etnis Tionghoa. Ini juga karena dampak perang, hubungan dua negara saat itu yang sama sekali tidak harmonis.

Menurut catatan Nio Joe Lan, seorang wartawan Tionghoa, penangkapan terhadap etnis Tionghoa, yang kebanyakan merupakan kelas menengah dan kaum intelektual, berlangsung tidak lebih dari enam minggu setelah Jepang berkuasa.


Foto di atas adalah dokumentasi milik KITLV Leiden. Semoga bisa membantu mengimajinasikan bagaimana seorang tawanan hidup terisolasi, terenggut dari kehidupan nyaman sebelumnya.

Berikut adalah kesaksian dari Anne-Ruth Wertheim. Pada saat tinggal di Kamp Pengasingan, ia baru berumur delapan tahun, dan hidup di sana hingga berumur sepuluh tahun.

"Kamp dikelilingi pagar kawat berduri lapis dua yang tinggi serta dinding bambu, hingga kita tidak bisa melihat keluar. Di sudut-sudut kamp ada menara tinggi, terbuat dari bambu, yang selalu dikawal para penjaga. Mereka bersenjata senapan mesin, yang mengawasi kita sepanjang hari dan malam. Berjaga-jaga jika ada yang mau melarikan diri. Tapi aku tidak akan pernah mimpi melarikan diri. Apa yang akan kulakukan tanpa mama, kakak dan adikku?"

Anne-Ruth Wertheim, Angsa Merampas Roti Bebek-bebek: Masa Kanak-kanakku di Kamp Tahanan Jepang di Jawa (Yogyakarta: Galang Press, 2008) hlm. 12.

Kaum kulit putih adalah golongan terbesar yang ditempatkan di pengasingan. Para penghuni interniran itu dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berisi laki-laki, khususnya yang telah berumur 12 tahun ke atas, sedangkan kelompok kedua adalah para perempuan dan anak-anak di bawah 12 tahun. Pertimbangannya adalah agar tidak ada kelahiran bayi selama di pengasingan.

Mengapa Kamp Interniran Ditempatkan di Kotok?

Untuk menghindari pandangan masyarakat umum, biasanya kamp-kamp memang sengaja dibangun agak sedikit jauh dari pusat kota atau di lokasi tersembunyi. Kiranya Kotok dianggap cocok dijadikan tempat pengasingan. Ingatan seorang interniran tentang gambaran letak kamp dapat kita simak sebagai berikut:

"Kamp itu terletak di daerah pinggiran kota, ditutupi gedek dengan pagar kawat berduri. Kami menempati rumah-rumah biasa meskipun penuh sesak, sehingga kami harus melangkahi orang-orang kalau keluar masuk; rumah-rumah itu terletak di sebuah jalan yang kedua susunnya disusuri pohon-pohon."

Paula Gomes, Sudah, Biar Saja... (Jakarta: Djambatan, 1993), hlm. 45.

Jika menengok dari catatan Achmad Rizal, Kamp di Kotok beroperasi dari April 1946 hingga Mei 1947. Penghuninya adalah wanita dan anak-anak pidahan dari Kamp Bataan, sekitar 15 Km Timur Laut Jember. Berikut adalah keterangan dari Achmad Rizal tentang Kamp Bataan.

Kamp Bataan, Desember 1945-Desember 1946

Awalnya ditempati oleh tawanan pindahan dari Sekolah Suster di Jember, tempatnya di bangunan milik Djelboek Tobacco Company. Bangunannya sebagian berupa gedek. Pada bulan Mei 1946, para wanita dan anak-anak ini dipindahkan ke Kamp Kotok.

Dari Mei 1946, kamp Bataan digunakan sebagai kamp untuk pria dan anak laki-laki yang lebih tua. Para penghuni kebanyakan tidur di tanah karena terbatasnya tempat tidur untuk menampung 302 penghuninya. Dapur umum tersedia dengan jatah terbatas untuk tiap orang. Toilet juga terbatas sehingga penghuninya menggunakan sungai di dekat kamp. Tidak ada dokter tetapi tersedia obat dan ada seorang tawanan yang perawat. Pada September 1946, terdapat kunjungan dari Palang Merah dan sebagian penghuni dievakuasi ke Semarang. Selanjutnya secara bertahap penghuninya dievakuasi sampai akhirnya ditutup pada Desember 1946.

Tercatat 1 orang penghuninya meninggal. Kamp ini dipimpin oleh J.D Belle.

Kamp Pengasingan di Kotok Adalah IANJO

Kembali ke kamp pengasingan yang ada di Kotok. Telah dijelaskan oleh Achmad Rizal bahwa penghuni kamp Kotok adalah wanita dan anak-anak. Oleh Jepang, kamp untuk perempuan dan anak-anak diberi label ianjo. Di sini tentu terjadi segala hal yang bernama pelecehan dan perbudakan seksual, seperti yang dipaparkan oleh Anna Mariana dalam bukunya. Perempuan-perempuan yang direkrut menjadi budak seksual tentara Jepang dinamakan jugun ianfu.

Para perempuan yang dijadikan jugun ianfu tak hanya kaum bumiputera. Eksploitasi seksual menimpa semua golongan, tidak terkecuali para perempuan kulit putih. Rekruitmen yang dilakukan terhadap perempuan kulit putih hampir sama dengan rekruitmen terhadap perempuan bumiputera. Modusnya bermacam-macam, salah satunya adalah dengan diiming-imingi pekerjaan yang lebih baik. Tidak ada yang mengira bahwa para perempuan itu akan ditempatkan di dalam kamp khusus yang sebenarnya berfungsi sebagai rumah bordil.

Berikut adalah kesaksian Elien Utrecht yang melihat bagaimana para perempuan itu dimobilisasi:

"Berikutnya barisan panjang gadis dan perempuan muda berdesak-desakan di sepanjang meja pendaftaran di kantor kamp. Beberapa orang Jepang duduk di dekat tempat itu dengan pandangan menguji. Mengerikan (....) Beberapa gadis dan perempuan mengenakan rok yang baik dan memakai dandanan rambut yang rapih. Mereka percaya cerita tentang pekerjaan kantor itu. Mereka dan Ibu mereka, jika ada yang menyertainya di kamp itu, ingin sekali mendapat kehidupan yang lebih baik di luar kamp. Sekitar dua belas atau barangkali sepuluh atau dua puluh dipilih, dan beberapa hari kemudian mereka meninggalkan kamp. Tanpa Ibu-ibu yang berkepentingan. Menyongsong masa depan yang tak diketahui."

Elien Utrecht, Melintasi Dua Jaman: Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan (Jakarta: Komunitas Bambu, 2006) hlm. 69-70.

Menurut Joost Cote dalam Recalling the Indies, dampak dari dipisahkannya kamp laki-laki dan perempuan untuk menghindari lahirnya bayi, terjadilah hubungan homoseksual dan lesbian di kamp-kamp. Bahkan hubungan seksual antara penjaga kamp Jepang dan tahanan perempuan pun terjadi.

Ketika September 1945, setelah Jepang bertekuk lutut, tentara sekutu menemukan 1.900 tawanan Belanda di Jakarta dalam keadaan menyedihkan.



Itulah yang terjadi. Ketika Jepang menginjakkan kekuasaannya di sini, warga Belanda dan sebagian Tionghoa menjumpai hari-hari yang tak sama lagi. Pada bulan-bulan awal, mereka mendapatkan makanan yang cukup. Terbilang mewah untuk seorang tawanan. Namun menjelang kekalahan Jepang, mereka dipindah ke Serang dan Cimahi.

Kala itu, kota Serang dijadikan penampungan untuk menyatukan tahanan Tionghoa dari seluruh Jawa dan Madura. Diperkirakan saat itu 500 orang Tionghoa dari Pulau Jawa dan 6 orang dari Pulau Madura dikumpulkan di tempat itu.

Bahkan untuk mandi pun mereka kesulitan. Dari catatan Rita la Fontaine de Clercq Zubli berjudul Disguised, ada disinggung pula masalah mandi ini.

Para perempuan menggunakan kain sarung untuk mandi di sumur. Satu tangan memegangi sarung, sementara tangan lainnya mengguyur air dengan gayung. Ketika menyabuni badan, tepian sarung digigit, sementara dua tangan bekerja di dalam sarung.

Catatan Rita itu terbit pertama kali di London pada 2007. Rita merupakan gadis Indo-Belanda. Kala menjadi tawanan Jepang, dia baru berusia 12 tahun.

Teman-teman di Jember memang belum berhasil merangkai kisah original tentang keberadaan Kamp Interniran di Kotok, di masa yang lalu. Namun kiranya masih ada harapan untuk menelisik kisah itu, sebab menurut beberapa catatan, meskipun biasanya kamp-kamp tersebut sengaja dibangun agak sedikit jauh dari pusat kota atau di lokasi tersembunyi, terkadang hal itu tak luput diketahui oleh warga sekitar. Namun tentu saja kita berlomba dengan waktu. Saksi mata --warga sekitar-- yang saat itu berusia 10 tahun kini telah berusia lanjut. Jika pun telah menjumpai saksi mata, kita masih berhadapan dengan daya ingat seseorang, serta hal-hal lainnya.

Jika ada data segar mengenai ini, tentu akan lahir artikel selanjutnya. Semoga.

Catatan

1. Komandan Kamp saat itu --April 1946 hingga Mei 1947-- bernama Moh. Rais. Ia adalah Wedono dari Kalisat.

2. Kepemimpinan Kamp di bawah pengawasan Nyonya M.H. Edie-Horsting.

Senin, 16 Maret 2015

Kari Kecingkul di Radar Jember

Senin, 16 Maret 2015
Faustinus Guido Saphan, Jember


Jawa Pos Radar Jember Edisi 16 Maret 2015

Kari Kecingkul, Kalisat; Pemburu Sejarah Lokal Jember Utara dan Timur

BERHASIL TEMUKAN KISAH TOKOH YANG MBABAT DESA

Tidak banyak kumpulan anak muda Jember di kecamatan pinggiran yang fokus menelusuri budaya dan sejarah daerah sendiri. Di antara yang sedikit itu, komunitas Kari Kecingkul Kalisat, bisa menjadi contoh kepedulian anak muda pada sejarah dan budaya lokal, khususnya di kawasan Jember bagian Utara dan Timur.

Nama komunitas Kari Kecingkul Kalisat sebenarnya muncul begitu saja di rumah Ivan Arifianto, pemuda asal desa Ajung, Kalisat, pada 3 Juni 2014. Saat itu, sejumlah pemuda yang memiliki aktifitas beragam, mulai pencinta alam, PNS, pegawai negeri maupun swasta, mahasiswa, dan pelajar berkumpul membicarakan banyak hal dengan hidangan kopi dan gorengan.

Para pemuda sebelumnya sudah biasa berkumpul. Tidak hanya di rumah, tapi juga sering kumpul sambil minum kopi di warung. Setiap berkumpul, mereka selalu mendengar banyak cerita tentang budaya dan sejarah asal-usul daerah, termasuk pahlawan lokal atau orang yang terkait dengan budaya dan sejarah itu.

Dari situlah, kumpulan pemuda yang digawangi Taufik Dwi Septiarso dan Ivan Arifianto semakin tertarik mempelajari budaya dan sejarah lokal di wilayah Jember bagian Utara dan Timur. Setiap berkumpul, mereka selalu membicarakan soal budaya dan sejarah lokal di Jember Utara dan Timur.

"Saat kumpul malam hari di rumah saya pada 3 Juni 2014 itu, saya muncul ide nama Kari Kecingkul sebagai nama komunitas ini. Nama itu perpaduan bahasa Madura dan Using, yang artinya bukan kena sikut, tapi belajar bersama menelusuri budaya dan sejarah daerah dan rakyat di Jember dan Timur serta Jember umumnya," kata Opick, panggilan akrab Taufik Dwi Septiarso.

Sejak punya identitas diri bernama komunitas Kari Kecingkul, Opick, Ivan, dan Hadi, serta sejumlah pemuda Kalisat lainnya sering blusukan ke tempat-tempat bersejarah di desa-desa yang tersebar di wilayah Utara dan Timur, seperti Kalisat, Sukowono, Jelbuk, dan Sumberjambe. Dalam menjalankan aktifitasnya, mereka juga mengajak teman-temannya yang sebagian besar kalangan pemuda yang punya tujuan sama.

Setiap beraktifitas, komunitas Kari Kecingkul berjalan ramai-ramai seperti halnya kelompok pencinta alam. Mereka blusukan ke desa-desa terpencil mencari dan mengungkap budaya dan sejarah masa lalu yang berkaitan dengan desa itu. Baik itu kisah kepahlawanan, tempat bersejarah, maupun budaya adat istiadatnya. "Misalnya mengungkapkan kisah masa lalu suatu desa, mengenang tempat bersejarah seperti stasiun kereta api Sukowono, Ajung, dan Sukosari yang sekarang tinggal kenangan. Atau cerita rakyat terkait dengan desa dan kisah kepahlawanan melawan penjajah," kata Opick.

Dari blusukan yang dilakukan sekali dalam sebulan itu, komunitas Kari Kecingkul mampu mengungkap banyak kisah masa lalu terkait adanya sebuah desa, tempat-tempat bersejarah yang layak menjadi cagar budaya, tugu-tugu kepahlawanan, dan sosok pahlawan kemerdekaan yang berjasa besar pada bangsa Indonesia, tapi namanya belum dikenal warga Jember. "Seperti Mbah Genduk yang konon mbabat Kalisat; Pak Boerah, pahlawan kemerdekaan anak buah Letkol. Moch. Sroedji yang selama ini belum dikenal warga Jember. Padahal beliau mati dibakar penjajah Belanda di Kalisat," paparnya.

Selain itu, komunitas ini juga menemukan kisah orang yang mbabat desa Sumberjeruk, Ajung, dan Plalangan, Kalisat. "Serta sejumlah bangunan bersejarah, seperti sejumlah stasiun kereta api di Jember Utara dan Timur yang kondisinya sekarang sudah rusak," tambah Ivan Bajil, panggilan akrab Ivan Arifianto.

Dalam menelusuri budaya dan sejarah lokal itu, komunitas Kari Kecingkul juga melibatkan para pegiat budaya dan sejarah lokal Jember, seperti RZ Hakim. "Mas Bro-panggilan akrab RZ Hakim, ini sangat peduli dengan budaya dan sejarah di Jember. Makanya, kami melibatkan dia, terutama dalam mempublikasikan budaya dan sejarah lokal Jember Utara dan Timur yang kita telusuri," kata Ivan.

Publikasi yang dilakukan komunitas Kari Kecingkul bukan melaui media mainstream. Melainkan, mereka menceritakan semua kisah yang mereka temukan melalui media sosial atau blog lengkap dengan fotonya. "Dengan menyebarkanluaskan melalui media sosial dan blog, selama ini banyak tanggapan positif dari masyarakat. Bahkan, anak dari Letkol Moch. Sroedji memberi sumbangan uang kepada kami untuk mengecat tugu pahlawan Pak Boerah di Kalisat," ujar Ivan.

Selain blusukan, komunitas Kari Kecingkul juga aktif menggelar kegiatan diskusi tentang budaya dan sejarah serta napak tilas Letkol Moch. Sroedji. "Semua kegiatan itu kami lakukan di Ajung, Kalisat. Bahkan, akhir 2014, Kari Kecingkul mendapat kehormatan menggelar teatrikal kisah kepahlawanan letkol Moch. Sroedji di sebuah lapangan di Ajung yang dihadiri langsung dua anak dan cucu Letkol Moch. Sroedji," kata Ivan. (cl/har)

Minggu, 01 Maret 2015

Sukowono 1910

Minggu, 01 Maret 2015
Jika melihat bilik kerja seorang karyawan Belanda di Sukowono seperti gambar yang tersimpan di KITLV Leiden ini, maka kita bisa mengukur bagaimana tingkat kerapian mereka. Tepat di bawah meja terdapat sebuah kotak kecil, itu adalah tempat sampah. Terlihat pula sebuah bollpoint yang diikat dengan tali lalu dipasangkan dengan semacam miniatur sebuah tiang.


Bilik kerja seorang karyawan Belanda di Sukowono

Tampak foto-foto tertempel di tembok di depan meja. Ada foto seorang perempuan, mungkin Ratu Belanda Wilhelmina. Ia dilantik sebagai ratu tahun 1898. Pada 7 Maret 1910, Ratu Wilhelmina merubah Papua menjadi Provinsi sendiri di luar Hindia Belanda, menjadi Provinsi Netherlands New Guinea, dengan Manokwari sebagai Ibukotanya. Gubernur terpilihnya adalah Class Lulof, meninggal dunia di Manokwari pada tahun 1922.

Maaf, tulisan ini tiba-tiba membahas kejadian di tahun 1910. Bukan tanpa alasan. Di foto tersebut terdapat sebuah kalender, di sana tertera Maret 1910.


Kalender menunjukkan bulan Maret 1910

Jika kita jeli memperhatikan foto, di sebuah tumpukan buku di sudut kanan meja terdapat buku dengan judul; Beekman Schulling-Atlasder Geheele Aarde. Itu adalah atlas dunia. Hal pertama yang harus dikuasai jika ingin menjadi penjajah di masa itu adalah penguasaan pada peta wilayah.

Bagaimana situasi Sukowono di tahun 1910? Tentu ramai, ia menjadi pusat kota perkebunan di Jember wilayah Utara yang berwajah Eropa. Saat itu di sana telah ada De Landbouw Maatschappij Soekowono milik Fransen van de Putte, bersamaan dengan semakin bertumbuh-pesatnya De Landbouw Maatschappij Oud Djember milik George Birnie. Perkebunan paling dekat dengan Sukowono adalah perkebunan di Djelboek milik Du Ry van Best Holle dan Geertsma, serta De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjoeng milik keluarga Baud.

Di tahun yang sama, pihak perkebunan di Jember membuka layanan rumah sakit Djemberscheklinik. Ia sengaja dibangun untuk memberikan layanan pengobatan bagi karyawan-karyawannya.

Jika membaca artikel tentang sejarah Djemberscheklinik, disebutkan bahwa setelah Indonesia merdeka, semua perusahaan perkebunan dinasionalisasi pada tahun 1956. LMOD pun berubah menjadi PTP XXVII, PTP XXVI dan PTP XXIII di Kabupaten Jember. Kemudian pada 14 Februari 1996, ketiga PTP tersebut melakukan fusi, dan hasil dari peleburan tersebut di bawah naungan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) X. Termasuk juga RS Jember Klinik, akhirnya menjadi salah satu dari tiga unit bisnis strategis yang dimiliki oleh PTPN X.

Sukowono juga telah memiliki sebuah Orkestra bernama blaasorkestje, di bawah naungan Soekowono tabaksonderneming. Pemainnya adalah para karyawan perkebunan.


Meja karyawan yang lain, masih di Sukowono dan di tahun yang sama

Jika melihat foto pembanding di atas --Karyawan Belanda yang lain-- tentu masalah kerapian meja kerja menjadi syarat penting bagi karyawan perkebunan Belanda di Sukowono dan di tempat-tempat yang lain.

Selain jalur-jalur kereta api yang pada tahun itu sudah bisa dinikmati di Sukowono, Belanda juga membuat banyak saluran irigasi untuk menunjang kinerja di bidang perkebunan.

Itulah wajah Sukowono di tahun 1910 jika dilihat dari meja kerja karyawan perkebunan Belanda.
Sudut Kalisat © 2014